00.30 happy? new year

Tahun baru kali ini mereka habiskan berdua. Jauzan dan Fawnia masih berada dalam tahap pendeketan. Fawnia pernah mengatakan bahwa mereka tidak perlu terburu-buru. Jauzan pun setuju dengan hal itu, bisa bersama dengan Fawnia di akhir pekan sudah cukup baginya.
Keduanya menghitung mundur secara perlahan menanti pergantian tahun. “5, 4, 3, 2, 1. Happy new year, Awni.” Jauzan memeluk Fawnia erat.
“Happy new year, Zan.” Fawnia membalas pelukan dari Jauzan.
“Can I kiss you?” tanya Jauzan membuat Fawnia terkejut dan benar-benar bingung. “Awni?” tanya Jauzan sekali lagi. Fawnia bergumam dan menganggukan kepalanya isyarat setuju. Jauzan tersenyum kemudian menyentuh pelan pipi Fawnia dengan kedua tangannya, memajukan wajahnya membuat Fawnia menutup kedua matanya. Jauzan tersenyum kecil kemudian mencium kening Fawnia.
“I will kiss your lips when you already mine.” Membuat Fawnia membuka matanya dan pipinya memerah. “Kok merah sih mukanya,” Jauzan menggoda Fawnia.
“Btw, kamu emang keliatan cape banget sih? Kerjaan banyak ya?” tanya Jauzan sambil mengelus pipi Fawnia.
“Ga juga kok, Zan. Ga tau kenapa berasa cape mulu akhir-akhir ini. Beberapa kali juga mual pengen muntah gitu.”
“Masuk angin kali?”
“Mungkin ya, tapi aku sering pake minyak-minyakkan kok.”
“Lagi datang bulan? Soalnya Elv kalau lagi datang bulan juga males kemana-mana katanya cape. Padahal emang dia yang pemalas,” kata Jauzan tertawa mengingat sepupunya itu.
CW // mention of rape
Fawnia terdiam, kemudian mencoba mengingat kapan terakhir kali dia datang bulan. Badannya mulai bergetar mengingat kejadian mantan kekasihnya yang memaksanya berhubungan badan. Fokusnya hilang, sama sekali tidak mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh Jauzan.
“Awni,” panggil Jauzan. “Ni, you ok? Awni? Hey, what’s wrong?” Jauzan berusaha menarik Fawnia kembali dari lamunannya. “Awni, kamu kenapa?” Terdengar nada panik dari suara Jauzan.
Fawnia kemudian melihat ke arah Jauzan, menangis. “Zan, aku takut. Takut banget.” Fawnia mengatakan itu dengan suara bergetar, bahkan seluruh badannya gemetar hebat.
“Takut kenapa, Awni? Jelasin jangan buat aku panik gini.” Jauzan ikut panik.
“Aku takut,” Fawnia terdiam beberapa detik, “hamil,” lanjutnya sangat pelan, tetapi terdengar oleh Jauzan.
Mendengar itu tubuh Jauzan langsung kaku. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa. Rasanya dunianya baru saja runtuh.
“Aku dipaksa, Zan. Aku dipaksa sama brengsek itu.” Tangis Fawnia histeris. Jauzan yang tadinya diam, berusaha untuk menenangkan Fawnia.
“Awni, kamu tenang dulu ya. Belum pasti kan? Kita test dulu ya.”
Fawnia masih terus menangis. Jauzan pun bingung apa yang harus dia lakukan.
“Awni, kalaupun kamu bener hamil. Aku ga bakal ninggalin kamu, kita sama-sama ya ngurus dia.”
Fawnia menggelengkan kepalanya masih terus menangis. “Ta-tapi,” dengan terbata dan isakan yang masih terdengar, Fawnia berusaha untuk berbicara. “Ini bukan anak kamu, Zan.”
“Aku tau, Awni. Kamu ingat ga kalau aku bilang aku pengen ngelindungin kamu? Anak ini kan juga bagian dari kamu. Pasti bakalan aku lindungin. Malam ini aku beliin testpack dulu. Kamu tunggu ya?” Fawnia hanya menganggukan kepalanya.
Jauzan keluar dari rumah tersebut berniat untuk membeli testpack. Tapi, pikirannya benar-benar kacau. Saat sampai di depan mobilnya, kakinya yang lemas langsung terjatuh. Tadi dia benar-benar berusaha tegar. Walaupun nyatanya berat untuk diterimanya jika ternyata perempuan yang disukainya sebulan terakhir ini mengandung anak dari laki-laki lain. Tetapi, dia bertekat untuk menerima apapun yang terjadi.
Jauzan menunduk dengan posisi berjongkok di samping mobilnya. Laki-laki itu menangis. “Gue harus apa bangsat?” teriaknya tertahan.
Jauzan segera bangkit dan memutuskan untuk pergi ke apotek terdekat. Walaupun jalanan sedang macet dan dia tidak yakin ada apotek yang buka pada tahun baru. Apalagi saat ini masih pukul 00.30.
Dia berkeliling sampai jam menunjukkan pukul 02.30. Tidak menemukan satu apotek pun yang buka. Dia memutuskan untuk kembali lagi ke rumah Fawnia.
Mengetuk pintu itu, terdengar larian dari dalam rumah. “Jauzan?” Fawnia langsung memeluk Jauzan. “I thought you left me alone, again. I’m so scared,” kata Fawnia.
“Hey, sorry, Awni. Aku tadi keliling cari apotek yang buka. Ternyata ga ada. Besok aja ya?”
Fawnia menganggukan kepalanya di dada Jauzan, mereka masih dalam posisi berpelukan di depan pintu rumah. “Udah yuk, masuk dulu ya,” kata Jauzan mengajak Fawnia masuk ke dalam rumahnya.
Setelah sampai di ruang tamu, mereka berdua duduk di sofa yang sama seperti tadi. “Kamu bisa cerita ke aku?” Fawnia hanya menggeleng. Dia tidak mampu menceritakan hal-hal itu lagi. Sudah cukup trauma yang dimilikinya, dia belum kuat.
“It’s ok. I will always by your side. Jangan takut ya.”
“Kalau orang tua kamu ga suka, Zan? Aku takut banget. Kamu tau kan konsekuensinya berat. Kamu bakalan dibicarin orang-orang, kalau kamu sama aku. Aku ga mau repotin kamu, tapi aku ga yakin bisa kuat kalau ga ada kamu.”
“Aku bakalan bicarain sama mama dan papa. Kamu tenang aja. Aku ga peduli omongan orang-orang, kamu yang paling penting.”
“Tapi, kamu masih kuliah, Zan. Kamu temenin aku aja ya. Jangan ada pikiran buat bertanggung jawab atas aku ataupun anak aku.”
“Tapi, Awni. Aku-“
“Ga, Zan. Aku ga mau jadi penghalang masa depan kamu. Aku udah pikirin semuanya waktu kamu pergi tadi.”
Jauzan diam dan akhirnya dia setuju. “Kalau emang kamu maunya gitu, aku setuju. Tapi, kamu sama sekali ga boleh pergi sama mantan kamu itu lagi.” Fawnia tersenyum pahit, sangat tidak mungkin dia kembali ke laki-laki yang membuatnya trauma itu.
Masalah terus saja datang di antara hubungan keduanya. Tanpa ampun. Dunia seperti puas menguji mereka tanpa henti.