100

Butuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke Kebun Buah Mangunan atau Negeri di Atas Awan yang sekarang gue dan Alin pijak. Dari namanya mungkin orang-orang berpikir bahwa akan menemui perkebunan buah, tapi nyatanya sama sekali salah. Justru yang bakalan ditemui di atas sana adalah hamparan pemandangan yang indah.

Gue selalu takjub dengan sesuatu yang indah. Salah satunya adalah Alin. Tanalin Moira. Nama yang indah bukan?

Nama yang gak pernah gue lupain sejak pertama kali kita berkenalan secara tidak sengaja di tempat fotocopy jaman maba dulu. Dia yang berjalan sendirian, membawa tumpukan hasil print-an yang mungkin cukup untuk sekelas. Sebagai seorang laki-laki yang dididik dengan baik oleh kedua orang tua. Gue merasa terpanggil untuk membantu Alin saat itu. Kemudian perkenalan itu menjadi hal yang gak akan pernah gue sesali seumur hidup.

Gue masih ingat gimana lekuk uraian rambutnya saat itu. Gimana dia natap gue dengan matanya yang sejernih kristal. Gimana wanginya yang merupakan perpaduan antara vanilla, bitter almond, cashmere wood, dan pink pepper menyatu dengan seharusnya di tubuh Alin dan menusuk dengan halus ke indra penciuman gue.

Setelah pesan terakhir yang gue kirimin ke Alin lewat DM Instagram hanya di-seen oleh yang punya. Alin bergegas berdiri ninggalin gue sendirian di gazebo dan berjalan menuruni tangga untuk mencapai pagar pembatas. Dari jarak 25 meter gue bisa ngeliat dia memeluk tubuhnya sendiri. Udara di atas sini terlalu dingin untuk Alin yang gampang terserang flu.

Akhirnya gue memutuskan untuk nyusulin dia ke bawah sana.

Dia sama sekali tidak bergeming waktu gue udah berdiri tepat di sampingnya. Tapi, sebuah kalimat keluar dari mulutnya, “Thanks, Maha.”

Gue menoleh, “Tau dari mana kalau ini gue?” Bukan merespon ucapannya, gue mengajukan pertanyaan lain.

Dia balik menoleh ke gue. “Gue tau wangi lo, Mahaprana.” Dia melakukan penekanan waktu nyebutin nama gue. Kemudian kembali menolehkan kepalanya ke depan. Jawaban yang diberikan Alin sontak membuat ujung bibir gue tertarik ke atas.

Gue ketawa dan lanjut bertanya, “Thanks for what?

Dia mengangkat kedua bahunya. “I don't know. For bring me here? Mungkin.”

This is nothing, Alin. We do have plan back then kan.” Dia tersenyum.

Yes, we do have plan.” Tatapannya fokus ke pemandangan matahari terbit.

“Gak dingin?” tanya gue. Dia masih di posisi memeluk tubuhnya sendiri sejak tadi. Sebelum Alin sempat menjawab pertanyaan yang gue lontarkan. Tangan kiri gue udah bergerak terlebih dahulu untuk merangkul pundaknya, sembari meminta izin.

Dia menggelengkan kepalanya, kemudian menyandarkannya ke pundak gue. Membuat gue sedikit bingung dengan reaksi balasannya.

You know what.” ucapnya pelan, lebih seperti bisikan. Gue berdeham tanda respon pada ucapannya. “I wish we can stay here longer.

Gue diam beberapa menit. Tidak memberikan jawaban apapun ke dia. Apalagi jawaban kosong.

Suasana yang gue dan Alin coba bangun dipecahkan oleh suara beberapa orang yang menyuruh kita berdua untuk berpindah tempat karena mereka ingin mengambil foto. Gue dan Alin otomatis saling melihat satu sama lain dan tertawa karena kekonyolan tersebut. Tetapi, memutuskan untuk mengalah dan naik ke atas–gazebo tadi.

Dia sibuk mengecek isi tasnya. Gue sibuk ngeliatin dia yang lagi ngecek isi tasnya. Dia ngambil sesuatu dari dalam sana. Kalau gue gak salah, namanya itu cushion. Dia bercermin lewat benda itu. Kemudian memperbaiki beberapa makeup di wajahnya. Walaupun di mata gue gak ada yang kurang dari wajahnya. But, I love to see how passionate she is while touching up her makeup. Memperhatikan tiap gerakan Alin memicu rasa penasaran yang sudah lama gue pendam.

Why has she never talked to me again since that day? She's been completely cutting me off.

“Alin,”

“Maha,”

Kita berdua saling memanggil nama satu sama lain.

You go first.” kata gue dengan memberikan gestur tangan mempersilakan.

I know you must have been wondering the reason why I cut you off last year…” Gue mengangguk di tengah kalimatnya. “I’ll tell you the reason behind it. But, let me prepare myself. Because it’s so fucking stupid.” Dia memukul kepalanya pelan.

“Sebodoh gue yang masih suka lo sampe detik ini gak?” ujar gue dengan jujur.

Dia nunjukin muka gak percaya dengan ucapan gue. “Bisa gak lo tuh ditutup-tutupin dikit kalau naksir ke orang. Kalau orangnya kabur gimana?”

“Oh, jadi alasan lo kabur dulu karena gue terlalu blak-blakan ya?” Dia menggeleng cepat.

“Bukan gitu maksud gue, Maha. Maksud gue nanti, kalau lo suka ke orang lain. Gue sih suka cowok blak-blakan.” I could never like someone else, Alin. Dia senyum memamerkan deretan giginya. “Malah kayanya lo yang bakal kabur setelah denger alasan gue dulu. Terus ngerasa deket sama gue lagi adalah hal yang percuma, karena ternyarta yang lo deketin cegil.” Kali ini gue ketawa dengan volume yang sedang, cukup ribut di dekat Alin, tapi terdengar kecil untuk orang-orang di bawah sana–masih sibuk dengan handphone-nya mencari pose terbaik untuk foto.

Btw, Alin.” Dia mengangkat alisnya. “I also wish the same thing.


Sekarang udah nunjukkin jam tujuh pagi. Gue nganterin Alin balik karena gue tau dia udah kedinginan di atas sana–walaupun dia ngomong gapapa. Ditambah cuaca yang tiba-tiba mendung, membuat rasa tanggung jawab gue makin tinggi. If she’s caught a cold, that would be my responsibility. Gue yang ngajak dia ke sana.

Sebelum pulang, gue sempat ngajak dia untuk singgah sarapan. Tapi, dia menolak dengan alasan udah ngantuk dan pengen tidur. Makanya gue mutusin untuk langsung nganterin dia pulang.

Dia turun dari motor, melepaskan helmnya. “Udah kali liatnya jangan kaya gitu. Gue gak bakal sak–” Alin belum sempat menyelesaikan ucapannya, tetapi dia sudah bersin terlebih dahulu. Membuat gue menghela napas panjang.

“Kan sakit.” Tiba-tiba segala rasa khawatir memuncak dalam diri gue. Dia ketawa dan mengibaskan tangannya ke arah gue.

“Gak, gak sakit. Kalau gue sakit, lo tinggal tanggung jawab.” katanya tertawa.

“Ok. Gue tanggung jawab.” kata gue dengan yakin.

Alin ketawa. “Orgil lo. Udah gue mau masuk, mau mandi, mau bobo. Hati-hati di jalan, Maha.” Dia menjulurkan lidahnya. Kemudian berlenggang masuk ke dalam pelataran kosan.

“Jangan lupa mandi dulu Alin sebelum tidur.” Gue teriak sebelum dia masuk ke dalam kosannya.

“Iya, bawel. Lo juga.” balasnya teriak.

This is how I know. Mulai detik ini, gue dan Alin kembali ngelanjutin journey kita berdua untuk nyoret list yang udah kita buat di notes–sejak setahun lalu.

I wish we could stay like this. I do really wish.