115
cw // kissing
Waktu Maha menjemput gue di kosan, dia sudah dengan pakaian tidurnya, tapi tidak terlihat pancaran kantuk dari wajahnya. Tentu itu menarik rasa penasaran karena jam di handphone gue udah nunjukin pukul 2 dini hari. “Lo gak ngantuk, Maha?”
Dia ngeliat gue dari kursinya dan terukir senyum di wajah putih susunya. “I’m not. Gue tahu tabiat lo tiap sakit kaya gimana. Lo pasti butuh temen untuk ngobrol karena gak bisa tidur.” Jawaban yang diberikan Maha membuat gue tercengang. “Makanya gue nungguin lo buat ngehubungin gue.” tutupnya. Dia dengan santai kembali arah depan, sedangkan gue yang ada di sampingnya merasakan panas di pipi.
“What if gue sama sekali ga ngehubungin lo?” Maksud gue orang gila mana yang nungguin text dari orang sakit sampai gak tidur. Tapi, seperti biasa Maha selalu tahu caranya buat gue terkesima dengan tiap perlakuannya. Sebelum menjawab pertanyaan gue, dia ngambil selimut yang ada di kursi belakang dan nyelimutin gue dengan itu.
Setelahnya dia kembali ngeliat gue, shrugged his shoulders. Dia memalingkan pandangannya ke arah setir mobil “I believe you will definitely do it and…”. Kali ini dia kembali ngeliat gue, tapi dengan tatapan lebih tajam seakan ingin membuktikan sesuatu. Membuktikan bahwa he knows me too well, even me myself don’t know it. “...it's proven.”
It’s hard to not blush after listening to all of those words. So, I’m trying to hide myself by covering up my head with the hoodie that I wore. Don’t forget about the blanket he gave me, I literally wrap my body with that.
Sepertinya demam gue udah lebih mendingan, mungkin tadi gue ngerasa dingin banget karena gak ada yang nemenin. Sekarang ada Maha di samping gue rasanya lebih tenang aja. Lebih hangat.
“Masih ada yang mau ditanyain gak, Alin? Kayanya susah banget ga ngobrol sama gue 5 detik.” tanyanya tertawa.
“PD banget lo. Udah jalan aja, yuk.” Gue memukul pelan lengan kirinya dan mendapatkan respon dramatis dari sang pemilik.
“Lo lagi sakit aja, kuat banget mukulnya.” ucapnya dengan nada bercanda.
“Idih. Katanya gym tiap hari, gitu aja gak kuat.” cibir gue. Dia tersenyum simpul.
“Talks about gym, lo mau gak gym bareng gue?” tanyanya.
Gue ngasih tatapan aneh ke Maha sebagai jawaban. Berharap dia paham dengan maksud dari tatapan gue. Tapi, dia masih tersenyum manis nungguin jawaban atas ajakan dia sebelumnya. Akhirnya gue nyoba untuk nanya ke dia. “Maha, are you for real?”
Once again, he shrugged. “Yeah, why not? Pasti seru.” ujarnya.
Rasanya gue mau ketawa denger respon yang dia berikan. And I did. I laugh. “Lo gym di mana?” tanya gue berusaha mencari solusi setelah tertawa tidak jelas. “Gimana kalau lo nge gym, gue nongkrong di cafe deket gym nungguin lo. Itu tuh di samping Forus Coffee ada tempat gym, mana dua-duanya pakai kaca. Kita bisa saling liat-liatan.” jelas gue.
Kali ini tatapan aneh muncul dari wajah Maha. Dia mendekat, kemudian menoyor kepala gue pelan. “Isi kepala lo ada apaan sih? Gue selalu penasaran. You’re weird. In a good way. Funny weird or weird funny.” Dia ketawa. Setelah itu kepalanya bersandar di atas kemudi mobil dan natap gue dengan senyuman tipis. “Mau jalan sekarang aja?” katanya dengan volume kecil, hampir seperti bisikan.
Gue ngangkat alis gue, gestur meminta pengulangan.
Melihat respon gue, bukannya membesarkan volume suaranya, Maha malah mendekat, lebih dekat dibandingkan posisi waktu dia noyor kepala gue. Otomatis membuat gue melakukan hal sebaliknya. Gue perlahan mundur. Semakin dia mendekat, semakin susah untuk gue fokus. Susah untuk bedain rasa panas di pipi gue akibat demam atau akibat laki-laki di samping gue yang terus-menerus mendekatkan wajahnya.
Di saat fokus gue 100 persen ada di wajah–terutama bibir merah alami–laki laki ini. Dia kembali berbisik, “I said, wanna go to my place?”
Entah kenapa gue yakin bukan itu yang tadi dia katakan. He’s flirting with me right now. Gue jadi pengen teriak di mukanya, harus banget di saat gue sakit? Well, I don’t mind… It’s not that bad.
Gue nahan napas panjang dan menjawab dengan anggukan pelan. Dia menarik badannya kembali ke tempatnya, dengan sedikit cekikikan membuat gue merasa sedang dikerjain.
“Kok lo ketawa?” protes gue.
“Gue ngetawain diri gue sendiri, Alin. It’s not about you.” Dia menjawab sambil menggelengkan kepalanya.
“But, what’s wrong?” tanya gue penasaran.
“No, I just think…” Dia diam beberapa detik, membersihkan tenggorokannya, berusaha membuat suara lain untuk mengalihkan fokus. “Gue rasa kalau kita masih terus di dalam mobil ngobrol dengan lo yang menurut gue patut dipertanyakan kelucuannya waktu lagi sakit–dan gak sakit–gini.” Dia narik napas. “I think I would end up kissing you.”
Gue… speechless.
“I’m sorry, but I think your laugh, your words, your face, everything about you is my weakness, Alin.” lanjutnya. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke kemudi, kembali ke posisi yang sama seperti tadi. Maintain eye contact.
Gue. Speechless.
Rasa salting membuat gerak-gerik gue aneh. Pura-pura batuk, ngatur rambut yang jelas ga berantakan, menggaruk pipi setelah ngelakuin ten step skincare routine. I felt like the most stupid person that exist in this world. While he—Maha—still looked at me with the same attitude.
It’s not like we’ve never kissed before. Yeah. We’ve kissed and I’m dying to do it again with him. Tapi, gak di saat gue lagi sakit gini yang ada gue malah transfer virus ke dia. But, yes, it will be our first kiss after 1 year apart.
“Ok, ayo.” jawab gue memutuskan kontak mata.
“Yang mana?” tanyanya.
Muka gue memerah. Paham dengan maksudnya. “Ke kosan lo.” bentak gue.
Dia ketawa, merasa menang berhasil ngebuat gue puzzled.
Kita berdua sampai di kosannya pukul dua lewat empat puluh menit. Gue masuk sambil memeluk tubuh dengan selimut tadi. Sedangkan, barang-barang gue dibawain Maha. Dia jalan di depan gue, tapi nengok ke belakang tiap beberapa detik. Memastikan gue gak kehilangan jejaknya.
“You take the bed, I’ll take the sofa.” katanya.
Setelahnya kita berdua pergi ke tempat masing-masing. Gue di kasur dan Maha di sofa. Dia nemenin gue ngobrol sampai rasa kantuk datang. Sama sekali melupakan pembahasan yang membuat gue kembali panas waktu di mobil. Tapi, gue merasa akan sangat menyesal jika tidak mengungkit tentang hal itu. Sebelum gue jatuh ke dalam mimpi, gue mau ngungkit itu sekali and after that I’ll blame my fever for saying this ridiculous thing.
“Maha…” panggil gue. “I think…”
Maha ngasih perhatian sepenuhnya ke tiap kata yang keluar dari mulut gue. Tidak merespon. Tapi, gue bisa merasakan itu dari tatapannya.
“I think I want to kiss you too.” cicit gue.
Rasanya tiap detik berjalan sangat lambat setelah gue ngungkapin apa yang ada di otak gue. Kita berdua saling melihat satu sama lain.
“Alin, I don’t have much self-control. So you want to kiss me or not? ” Dia bangun dari sofanya, perlahan mendekat.
Posisinya saat ini sudah berdiri tepat di depan gue, membuat gue terduduk dari tidur. “I do want it. But, you know I’m not in a perfect condition.”
“Nope. You’re perfect for me.” Dia naik ke atas kasur dengan bertumpu pada lutut kirinya.
“What if you get sick? Because of me?” Tubuh Maha makin mendekat. He grabs my waist with his hands.
“I’m already sick because of you, Alin. I always want to be by your side.” Tangannya sekarang berada di pipi gue. Dia menempelkan kedua kening kita. “But, you. Are you sure?” tanyanya meminta consent.
Untuk nelan ludah di posisi ini pun rasanya sulit. Gue natap matanya. He didn’t lie. He wants to kiss me. So do I. That way, I just close my eyes. Nunggu Maha untuk nyium gue.
And he did it. I felt his lips press on mine.
I think… I’ve never been this happy when I was sick.
So, I was wondering what if I am fit as a fiddle when we do it?
I think… I’ll be on cloud nine.