125
Gue pernah baca salah satu cuitan di twitter yang bilang kalau punya mantan yang sekelas dengan kita pas kuliah itu bisa buat mood jadi jelek banget, sampe ga pengen masuk kelas itu. Menurut gue sih gak, tapi gue tau apa yang buat mood jadi jelek banget, yaitu kalau sekelas dengan mantan dan sepaket dengan sahabat kecil mantan lo yang udah suka dia dari lama. Well, Itu yang terjadi sama gue.
Gue dan Eila mulai pacaran waktu kita berdua masih duduk di bangku kelas 11 SMA, gue dan dia termasuk siswa-siswi berprestasi di sekolah. Dari segi akademis. Jadi, banyak guru yang jodoh-jodohin gue dan dia. Karena katanya kita berdua itu cocok dan bisa ngimbangin satu sama lain. Awalnya kita berdua gak begitu ambil pusing, karena apaan deh jodoh-jodohan gitu. Tapi, lama kelamaan karena keseringan dicengin, kayanya kita berdua jadi suka satu sama lain dan akhirnya mutusin buat pacaran.
Eila punya teman kecil namanya Jarrel. Dia gak satu SMA sama gue dan Eila. Gue baru tau eksistensinya waktu gue jemput Eila pertama kali untuk malam mingguan. Mereka berdua tetanggaan dari kecil dan sejak itu udah jadi sahabat dekat. Jujur, pertama kali tau itu gue iri. Having a childhood friends di mata gue itu keren banget. Gue juga pengen. Tapi, rasa iri gue karena pertemanan mereka lama kelamaan berubah jadi lebih annoying. Terutama, waktu Jarrel come clean ke gue kalau dia udah naksir Eila dari lama. Sebenarnya gue gak masalah dia suka Eila, karena siapa sih yang gak suka dengan perempuan cantik dan pintar seperti Eila? Tapi, ada alasan lain yang buat gue gak suka sama Jarrel.
Waktu itu kita bertiga baru awal-awal masuk kuliah, masih maba, di salah satu Universitas besar di Jakarta. Jarrel masuk ke grup gue yang isinya Jeje dan Aziel – yang lebih sering gue panggil AA. Kemudian, Garett atau Gege yang merupakan teman SD Aziel juga ikut gabung di grup kita. Kita berakhir jadi a group of 5. Gue akui semenjak masuk kuliah gue jadi keteteran karena tugas-tugas. Ditambah lagi gue ikut banyak himpunan dan komunitas-komunitas di kampus, termasuk kepanitiaan. Di luar itu ada Garett yang suka ngajakin gue – dan yang lain – pergi ke club malam. Kita gak sesering itu sih pergi ke sana, ya minimal dua kali seminggu. Tapi, tetep aja itu menyita waktu yang harusnya bisa gue habisin sama Eila. Sama pacar gue saat itu.
Sejujurnya gue gak sadar kalau gue mulai gak naruh perhatian ke Eila. Karena, dia sendiri gak pernah ngomong ke gue. Dia gak pernah mau jujur tentang perasaannya. Dia coba memahami kesibukan gue, padahal yang gue butuhin itu kejujuran. Gue gak bermaksud untuk nyalahin dia, karena gue sadar kesalahan gue. Harusnya tanpa perlu Eila ngomong, gue harus sadar sendiri. Gue dan Eila putus karena menurut dia, gue gak pernah ada untuk dia. Ok. Gue tahu itu. Tapi, kalimat selanjutnya yang menjadi percikan perang di antara gue dan Jarrel.
Gue sering minta tolong ke Jarrel buat jemput Eila karena gue bener-bener capek dan ngantuk untuk ngelakuin hal itu. Walaupun itu sebenernya kewajiban gue sebagai pacar dari Eila. Pikir gue bakalan bahaya kalau gue bawa kendaraan yang ada nyawa orang lain dengan keadaan capek dan ngantuk. Tapi, Jarrel malah mikir gue malas buat jemput Eila. Cuma karena gue yang keliatan malas-malasan dia langsung nyimpulin sepihak dan ngomongin itu ke Eila. It’s unfair. Karena gue yakin alasan dia ngomong itu ke Eila juga karena dia suka sama Eila. Gue dan Jarrel akhirnya berantem gede, hajar-hajaran, sampai jadi trending topic di fakultas kita. Temen gue yang lain dan tidak bukan yaitu Jeje, AA, dan Gege terus misahin kita berdua. Tapi, kita berdua bener-bener ngabisin satu sama lain sampai puas. Hingga akhirnya, malam itu, Jarrel pamit dan leave dari grup kita. Gue gak peduli. Gue gak ngerasa sedekat itu sama dia. Yang lain masih sering ngobrol tiap ketemu Jarrel, tapi gak dengan gue. We act like we don't know each other.
Makanya, gue gak setuju dengan ide Eila buat nemuin kita bertiga. Sialnya, semesta punya rencananya sendiri yang ngebuat kita semua — bahkan dengan tambahan orang — ketemu di Nara Park. Tempat yang sama sekali gak pernah melintas di otak gue akan ada Eila di dalamnya. Sialnya lagi, mereka semua — Jeje, Euan, Haira — negur Eila dan Jarrel, kecuali gue dan Anulika. Kalau Anulika bisa dipahami, dia gak kenal sama sekali dengan Eila dan Jarrel. Tapi gue?
Hal itu yang ngebuat Anulika bertanya ke gue, “Kak Hart gak kenal sama mereka?” Posisi gue dan Anulika saat ini emang agak jauh dari mereka semua. Karena gue berhenti di tempat, waktu lihat wajah familiar yang ternyata Eila dan Jarrel. Sedangkan yang lain terus berjalan untuk nyapa mereka. Anulika ngikutin gue yang berhenti di tempat dan berdiri tepat di samping gue. Gue gak menjawab pertanyaannya, gue hanya memiringkan kepala gue sedikit dan tersenyum. Gue bingung harus jawab apa. Gue kenal dua orang itu, gue kenal banget, tapi untuk ngejelasin histori hubungan kita, gue bingung. Anulika hanya mengangguk, beriringan dengan Eila manggil nama gue. What a perfect time.
“Hart,” sapa dia.
“Hai, Eila.” kata gue menyapa dia balik.
“Hai…” Dia menggantungkan sapaannya, menunggu Anulika mengkonfirmasi namanya.
“It’s Anulika, Kak.” kata perempuan di samping gue, tersenyum.
“Oh, lo?” Eila kembali bertanya ke Anulika.
“Temen Haira, Kak…” jawab dia ikut menggantungkan kalimatnya.
“Oh, sorry gue malah nanyain lo mulu, sampe lupa perkenalan. Gue Eila.” Eila ngulurin tangannya ke depan untuk berjabat tangan dengan Anulika. Jelas Anulika menerima uluran tangan itu dengan senyuman. Selesai itu suasana di antara kita bertiga jadi sedikit canggung atau mungkin hanya perasaan gue aja.
Gue langsung mengambil alih percakapan, takut Anulika merasa tidak nyaman. Walaupun dari wajahnya tidak terlihat raut muka tidak nyaman. Karena emang nyatanya dia seneng-seneng aja. Matanya sibuk ngeliat tiap sudut tempat ini.
“Dia juga tetangga, di rumah sebelah.” lanjut gue yang hanya direspon dengan anggukan kepala dan Eila yang ber-oh ria.
Gue mengalihkan pandangan dan melihat Jarrel yang berjalan mendekat. Tapi, gue gak punya niatan untuk bertukar sapa dengan laki-laki itu. Gue memutar badan dan langsung nyelonong pergi tanpa aba-aba. Gue tau gue bertingkah tidak sopan or whatever you called it. But, I really don’t wanna breathe in the same air as him. Gue lebih milih buat menjauh, sejauh mungkin.
Tebak gue berakhir di mana? Yap, parkiran. Sebenarnya, tempat ini luas, tapi gue bodoh untuk milih tempat. Terpaksa gue milih untuk balik ke mobil aja. Gue mainin handphone yang udah dipenuhi banyak pesan dari orang-orang di dalam sana. Gue cuma balas salah satu chat dari orang yang menurut gue gak akan ngomelin gue atas sikap gue barusan. Setelah itu gue milih satu lagu yang cocok buat nemenin gue. Tapi, gue bingung harus muter lagu apa dan akhirnya gue milih untuk muter acak. Lagu yang terputar sekarang adalah lagu dari Arctic Monkeys – 505. I don’t know if this song suits my mood right now. Tapi, gue seneng aja dengernya sampai satu ketukan di jendela mobil gue berbunyi. Itu Anulika. Masih dengan senyuman manisnya yang gue balas juga dengan senyuman.
Dia membuka pintu mobil dan bertanya, “Boleh masuk gak?” Dengan nada jailnya.
Ngabisin waktu seharian dengan Anulika kemarin buat gue sadar dengan tingkahnya di chat dan realita itu gak jauh beda. Dia benar-benar ceria, polos, dan straightforward. Dia benar-benar jujur dengan perasaannya. Bahkan, gue mulai nyaman dengan wangi strawberry yang selalu muncul tiap dia ada di dekat gue. Rambut hitam legamnya selalu dia gerai tiap berpergian keluar. Dia tahu untuk milih waktu yang tepat untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Buktinya dia sama sekali gak ngeluarin sepatah kata setelah gue mempersilakan dia untuk masuk dan duduk di seat sebelah gue.
Terpaksa gue harus mecahin suasana hening yang nyaman ini, takut berubah menjadi canggung. “Kenapa nyusul gue?” tanya gue masih melihat lurus ke depan.
“Kan aku ke sini karena diajak Kak Hart, masa Kak Hart malah sendirian di parkiran. Gak seru dong kalau gitu.” jawabnya panjang lebar. Dia nengok ke gue. “Kak, mungkin aku terlalu bodoh buat ngerti dengan apa yang terjadi. Tapi, gue pendengar yang handal kok. Tanya Haira deh.” ucapnya. “So, if you are willing to share what you feel, I'm all ears.” lanjutnya.
Gue ketawa. “Lo pinter, Anulika. Don’t underestimate diri sendiri gitu. Jangan bilang lo bodoh lagi. Karna lo itu gak bodoh.” kata gue. Gue suka Anulika yang perhatiaan, tapi gue gak suka dia selalu merendahkan diri dia sendiri. Bahkan, minta maaf for something that she doesn't need to be sorry about. Kaya nilai-nilai akademisnya di sekolah.
Kemudian, gue narik napas bersiap untuk ngejelasin beberapa hal, setidaknya gue harus ngasih tau dia hubungan gue dengan Eila dan Jarrel. “Yang cewek tadi itu Eila,” Anulika mengangguk. Dia sudah kenalan dengan Eila, tapi dia belum tahu apa hubungannya dengan gue. Anulika terlihat masih ngeliat dan nungguin penjelasan gue. “Mantan gue.”
Gue sekilas melihat pupil matanya membesar, tentu saja dia kaget. Tapi setelah itu tidak ada respon yang diberikannya, gue lanjut memperkenalkan orang yang satunya. “Yang cowok itu Jarrel, sahabat kecil dia.” tutup gue.
Hening sepersekian detik sebelum akhirnya dia membuka suara. “Oh, gitu.” katanya. Entah ini perasaan gue atau apa, tapi gue mendengar suaranya yang bergetar. Namun, berusaha untuk perempuan itu sembunyikan. “Keren banget mereka berdua.” Gue melipat dahi, bingung dengan pernyataan yang keluar dari mulut Anulika. “Maksud aku keren aja gitu anak kuliahan.” Dia memukul jidat dan kemudian mulutnya. “Maaf Kak Hart, aku bingung harus ngomong apa jadi motor di mulut aku langsung asal aja tancap gas.” kata Anulika terus terang. Gue ketawa lagi dan lagi karena menurut gue itu hal lucu kesekian yang Anulika katakan secara langsung ke gue.
Gue nengok dia dan tersenyum. Kemudian beralih mengacak rambutnya pelan. “Thanks, Anulika.” Makasih udah buat mood gue lebih baik dari sebelumnya. Makasih udah selalu buat gue ketawa karena kalimat-kalimat lucu yang keluar dari mulut lo. Bahkan, kadang gue gak pernah berhenti ketawa tiap chatting sama lo. Makasih. Makasih udah suka gue juga. Walau gue masih gak yakin lo beneran suka sama gue atau hanya bercanda.
Waktu tangan gue nyentuh puncak kepalanya, gue bisa ngerasain dia berhenti bergerak. Dia tiba-tiba mematung dan terus menundukan kepalanya, tapi gue bisa melihat wajahnya memerah setelah berusaha untuk mengintip wajahnya beberapa kali. Oh, ternyata gue salah udah main ngacak-ngacak rambutnya. Karena sepertinya bukan cuma rambut dia aja yang jadi acak-acakan. Tapi, mungkin ada yang lain. Terbukti dari wajahnya yang berubah semerah strawberry yang sering dia makan.