206

“Cantik ya?” Anulika berdiri tepat di hadapan gue dengan senyum tertahannya. Gue ngangkat satu alis buat nunjukin kalau gue gak ngerti maksud dari pertanyaan atau pernyataannya.

“Ngeliatin aku gitu amat sih.” Gue gak respon protesnya, tapi gue juga gak ngelepas mata gue dari dia. Hal itu ngebuat dia merasa tertantang dan balik natap mata gue sambil memiringkan kepalanya. Mata kita saling beradu saling menunggu siapa yang bakalan kalah terlebih dulu. She’s brave. She’s not me. I’m not brave.

Gue kalah. Gue mutusin pandangan kita berdua.

“Halo?” Anulika melambaikan tangannya tepat di depan wajah gue, beberapa kali. Parfum stroberi miliknya kembali masuk menyerbu masuk dan menempel di tubuh gue. I think I will miss this scent. Her scent.

“Kenapa, Anulika?” Gue nangkap tangannya biar berhenti gerak. Wajahnya memerah. It’s a good sight to see.

“Kirain Kak Hart kerasukan. Aku ngomong gak direspon.” Dia narik tangannya dari genggaman gue. Kemudian ngeliatin ujung sepatunya. Lucu. Dia lucu waktu nunjukin wajahnya yang lagi pura-pura marah, tapi sebenarnya salting. Beneran lucu sampe ngebuat gue pengen jadi egois. Egois karena pengen sikapnya itu cuma buat gue. Because the idea that another person will see it too kinda makes me upset.

Gue mukul jidatnya pelan dan kembali ngebuat dia protes, sama seperti tadi protesnya gak gue hiraukan. Kemudian gue ngajak dia masuk ke dalam mobil. “Udah tau kan kita mau ke mana, Anulika?” Gue gak nengok ke dia, tapi gue bisa ngerasain tatapan matanya yang nusuk gue dari belakang. Akhirnya gue sedikit melirik ke arah samping kiri gue. Dia berdiri di situ, sedikit ke belakang. Tangan gue bergerak untuk dorong dia biar jalan tepat di samping gue. I’m not allowing her to stand behind me. She should be beside me or atleast in front of me.

Matanya membesar. She loves it when I pay attention to her. “Udah. Kemarin fyp aku ada studio foto lucu tau, Kak. Aku pengen ke sana.” Matanya nunjukin kalau dia bener-bener excited dan pengen datang ke studio tersebut.

“Bukannya lo mau foto untuk LTMPT? Formal?” kata gue seiring dengan tangan gue ngebuka pintu mobil.

Terlihat jelas telinga kucingnya langsung turun dilanjutkan muncul ekspresi sedih di wajahnya. Dia menganggukan kepalanya setuju. Tapi, gue bisa liat ekspresi kecewanya. Persoalan kecil ini aja bisa buat dia sesedih ini, then what if I tell her the reason behind today appointment? What will she do? Upset? Angry? Mad? or maybe Cry? But, I don’t intend to make her cry today.

*I don’t.

But, what if she cries?*


“Hasilnya bagus banget. Pengen foto lucu-lucuannya juga atuh.” Kita berdua udah ada di dalam mobil. Sekali lagi gue bisa ngerasain tatapan tajam matanya. Tatapan memohon untuk gue ngerespon kalimatnya. Tapi, gue masih sibuk ngebalasin beberapa chat yang ada di handphone gue. “Cih, padahal besok balik.” bisiknya pelan yang masih terdengar di telinga gue. Gue ngunci handphone dan masukin ke kantong celana.

Gue kalah lagi. Gue nerima ajakan dia.

I take a deep breath. “Yaudah ayo.” Tangan gue sibuk ngelepasin seat belt yang udah kepasang sejak beberapa menit lalu.

Anulika gampang ditebak. Senyuman yang tadinya ilang kembali terukir dengan baik di wajahnya. Matanya melebar. If earlier she’s a kitty, now she’s a puppy. “Serius?” tanyanya.

“Iya, Anulika.” Gue nengok ke arahnya dan natap matanya yang berbinar. She’s happy and I hope will always be happy.

“Yaps.” Gue buka pintu mobil dan ngasih pandangan ke dia untuk ikut turun. Dengan tergesa-gesa dia juga ikut turun. Gue ngunci mobil dan ngajak dia jalan untuk masuk lagi ke studio foto tadi.


Dia ngambil beberapa kostum yang disediakan, ngasih kostum itu dan nyuruh gue buat milih satu yang paling cocok. Begitu juga dengan dia yang ngambil beberapa pilihan kostum dan nantinya bakalan dia pake yang paling cocok. Dia pergi lebih dulu ke ruang ganti, ninggalin gue yang masih ngeliat beberapa pilihan kostum dari dia. Anulika bilang buat milih kostumnya secara random aja, biar lucu.

Akhirnya gue milih pakai yang kelihatan paling normal di antara semua pilihannya. Onesie sapi. Paling normal dan paling gak ribet menurut gue.

Gue keluar dari ruang ganti lebih dulu dibandingkan dia, balikin kostum yang gak jadi gue pake ke tempatnya. Gue nungguin dia sambil mainin handphone dan ngebales chat-chat yang mulai numpuk lagi. Gue bersumpah semester depan gak akan ngikut kepanitian atau kegiatan kampus. Gue lelah banget.

Setelah sekian menit, akhirnya dia juga keluar dari ruang gantinya. “Lah, Kak. Kok sama sih sama aku?” pekiknya. Otomatis ngebuat gue nengok ke dia. Anulika juga pakai onesie sapi. Sama kaya gue. Tapi, keliatan lebih lucu di dia.

“Ini yang paling gampang,”

“Ini yang paling lucu,”

Kita berdua ngomong secara bersamaan yang berakhir dengan gue dan Anulika saling liat-liatan. Dia ngegigit bibir bawahnya nahan supaya ketawanya gak keluar sampai wajahnya merah. Tapi, gue jadi ketawa karena ngeliat wajahnya dan dia jadi ketawa karena ngeliat gue ketawa.

Selama sesi foto dilakukan, gue bisa ngerasain energi bahagia yang keluar dari Anulika. I know right away that I will be the bad man when I break her heart later. But, I am already bad. I’m bad because I don’t know about my own feelings. I’m bad because I ignore her feelings. I’m bad because I don’t trust romantic relationships anymore. I’m bad because I gave her false hope. I’m bad because I know that she’s going to get hurt. I’m bad. I am.

But,

“Kak Hart,” panggil Anulika ngelunturin khayalan gue. “Ngelamun mulu ga takut kesambet apa? Aku takut beneran.” Gue ketawa dan ngacak rambutnya. Kita berdua keluar dari studio dan masuk ke dalam mobil lagi. Kali ini dengan suasana yang berbeda.


Senyuman gak luntur dari wajahnya dan gue berharap terus seperti itu. Tapi, apa yang gue lakuin selanjutnya sangat bertolak belakang dari keinginan gue. I’m going to hurt her. Kalimat itu terus berputar di kepala gue seperti sebuah reminder dengan alarm yang terus muncul buat ngingetin betapa jahatnya gue. Gue narik napas panjang lagi. Entah hari ini sudah berapa kali gue ngelakuin ini. Tapi, gue harus. Karena gak mudah untuk gue ngelakuin hal selanjutnya.

“Anulika,” She looks at me now, smiling. “Can we talk now?” I drop my voice. Dia kaget. Senyumnya luntur. Sekali lagi, Anulika gampang ditebak. Mungkin dia kaget karena intonasi nada gue yang berbeda. Tapi, dengan cepat dia ngubah ekspresinya.

“Ah aku sampe lupa kalo Kak Hart pengen ngajak aku ngomong.”

“Tadinya gue mau ngajak di taman, tapi udah terlalu malam. Jadi di rumah aja, ok?” Dia gak ngejawab, hanya menganggukan kepalanya.

Perjalanan pulang ini dia lebih banyak diam dan juga terlihat gelisah dari caranya mainin jari-jarinya. Dia gak pernah sediam ini tiap ada di mobil berdua dengan gue. Gak pernah sekalipun. Gak pernah sama sekali. Bahkan, sampai mobil gue berhenti di depan rumah pun dia masih ngunci mulutnya. Gue gak yakin pikirannya pun ada di dalam mobil ini.

“Anulika,” gue panggil namanya sekali. Tapi, gak ada sautan.

Gue narik napas dan coba manggil namanya lagi. “Anulika,” masih gak ada sautan. Dia masih nundukin kepalanya.

Kali ini gue panggil lagi untuk ketiga kalinya dengan lebih lembut dan mungkin terdengar berbisik. “Anulika.” Dia terkesiap. Merasa mendapatkan perhatiannya gue ngelanjutin kalimat gue.

“Dengerin gue sampai selesai, ok?” Dia gak menjawab hanya kembali menganggukan kepala. I hate it. I hate silent Anulika. I love it when she’s talking. Talks about everything.

I’m sorry, I’m so sorry. Don’t forgive me.

“Anulika,” dia negakin badannya dengan tatapan yang masih jatuh ke bawah. “Karena besok gue harus pergi ada dua hal yang pengen gue sampein.” I can’t tell what she feels. Dia gak mau nengok ke gue. Kayaknya sneakers yang dia pake lebih menarik di matanya.

“Pertama, gue makasih karna lo udah mau jadi temennya Haira dan Bunda, makasih juga udah banyak nemenin gue selama di sini, makasih udah sering banget buatin gue cookies, I love it so much, ada banyak hal yang buat gue makasih ke lo. Terutama makasih karna lo udah ngasih gue kesempatan yang hebat.” Dia ngelirik gue sekilas. Gue senyum. “Kesempatan buat disukai orang seperti lo. It’s such a big honor for me.” Dia ngalihin kepalanya ke sebelah kiri. Mencari cara agar tidak bertatapan langsung dengan gue.

Kali ini gue yang nundukin kepala. “Tapi, Anulika.” Gue ngelirik dia. Tatapannya masih pada jendela luar, entah apa yang dilihatnya. “Sorry,” Gue narik bahunya agar ngehadap ke gue. Waktu matanya ketemu dengan mata gue, perasaan sadar dengan apa yang akan gue lakuin selanjutnya bakalan nyakitin dia menjalar di tiap pembuluh darah gue.

I’m sorry, I’m so sorry. Don’t forgive me.

Dengan satu tarikan napas gue ngomong, “Untuk beberapa hari ini nyuekin lo. Tolong jangan maafin gue. Gue sadar itu jahat banget. Jangan maafin gue, Anulika.”

Dia diam. Bingung.

“Gue tau tentang perasaan lo. I mean that’s obvious and I’m thankful for that. But, if you continue to like me, you will get nothing but hurt. And I do not wish you to get hurt. I’m not ready for a relationship dan gak tau kapan gue bakalan siap untuk itu. You deserve someone better than me. You deserve it.” Gue ngelepas tangan gue dari kedua bahunya. Tapi, tangan kanan gue bergerak untuk ngelus rambutnya.

Dia ngegigit bibir bawahnya lagi sampai wajahnya merah, tapi kali ini dengan alasan berbeda. Bukan karena menahan agar tawanya gak keluar. Tapi, karena menahan agar tangisnya gak keluar. Ada rasa sakit di dada gue waktu ngeliat wajahnya seperti itu. But, there’s nothing I can do. Gue senyum. Senyum untuk nyembunyiin kalau gue juga sakit. Kalau tadi dia ngikut gue ketawa, gue takut dia bakalan ngikut gue sedih kalau gue nunjukin itu. Jadi, gue milih senyum dengan harapan dia juga bakal senyum. Tapi, dia sama sekali gak senyum.

“So, I guess, see you when I see you?”

Dia diam. Sedangkan, gue bergerak untuk turun dari mobil. Tiba-tiba tangan gue seperti ditahan. Anulika. Anulika nahan tangan gue. Nahan biar gue gak turun dari mobil.

“Tapi, Kak.” Dia bersaut. Ada hening yang tercipta. Sepertinya, Anulika masih merangkai kata-katanya. Kemudian ketika dirasa kata-katanya sudah terangkai dia melanjutkan. “Aku gak pernah berharap kamu balikin perasaan aku, Kak. Sama sekali.” Dia diam lagi. “Just, let me try it. Biarin aku berjuang dan biarin aku yang mutusin kapan akan berhenti. It's up to me to decide. Not you. It’s my feelings, Kak. Let me decide it. Please.” A single tear dropped from her eyes.

Meanwhile, I drop my head to my hands. “But, you will only get hurt. It’s not worth it, Anulika. Fight for someone that’s uncertain like me.” I run my fingers through my hair.

“I know. I’ll take a risk.” She wipes her tears.

No, I don’t want you to take a risk. I'm sorry to make you cry.

“Aku bakalan masuk ke kampus yang sama dengan Kak Hart. Kita ketemu nanti lagi.” Dia diam sekian detik. “I will make you fall in love with me. I promise.” She grab my hand. But, get too embarrassed so she released it. Did I say that she’s brave? Because she's brave and that’s so attractive.

*The moment she grabbed my hand, my heart beat hard.

Poorly, you’re late,* Anulika. Because, I think I’ve already fallen.

Gue kalah untuk ketiga kalinya. Tapi, kali ini rasanya seperti menang.