215
cw // mention of kiss , bad eating habits
Ngajakin seseorang untuk ketemu di tempat itu so not usually side of me. Sebagai seorang yang sangat sangat gampang canggung, gue gak pernah mau ketemu orang di tempat janjian. Alasannya banyak, pertama karena gue bakalan bingung harus ngapain kalau sampai duluan. Kedua, gue gak mau draw attention kalau hadir telat. Ngebayangin gue jadi pusat perhatian aja mampu membuat bulu kuduk gue merinding. Ketiga, walaupun gue datang tepat waktu pasti bakalan canggung jalan sendiri ke tengah-tengah kumpulan orang. Makanya, gue selalu minta untuk bareng, kecuali I’ve gain comfort dengan tempat tujuan tersebut atau emang gue lagi pengen me time.
Beberapa alasan itu membuat gue selalu berharap ada keajaiban untuk mengurangi rasa canggung yang gue rasa setiap terpaksa datang ke tempat janjian seorang diri. Keajaiban dalam bentuk bertemu teman janjian di parkiran atau di pintu masuk. Sayangnya, keajaiban yang telah gue tunggu-tunggu dalam kurun waktu lama, malah terjadi malam ini. Di saat gue sama sekali tidak mengharapkan kejadian itu.
Maha telah memarkirkan motornya di saat gue baru datang dengan ojek online. Sudah sekitar 2 minggu gue gak pernah ketemu Maha secara langsung. Rasa canggung yang ada di dalam diri gue sedang berlomba-lomba untuk caper ke Maha. Karena tidak mungkin gue pura-pura ngelewatin dia begitu saja di saat mata kita sudah saling bertabrakan. Akhirnya gue hanya bisa diam di tempat untuk memudahkan Maha nyamperin gue.
Pertukaran “halo” dengan tawa rendah menutupi kecanggungan kita lakukan. Entah untuk berapa kali gue akan nyebut kata canggung. Tapi, kata itu yang paling tepat untuk mendeskripsikan diri gue—dan Maha mungkin—detik ini juga.
Maha tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya terbuka, gesture mempersilakan untuk jalan. Basa-basi dilakukan Maha untuk membunuh udara dingin yang ada di sekitar kita. Pertanyaan yang seharusnya dapat dengan mudah terjawab dia tanyakan kepada gue. Dengan tenang gue coba menjawab satu-persatu. Maha tahu benar bagaimana cara untuk memukul masuk rasa canggung gue. Mengembalikan gue yang bisa bercanda dan ngobrol santai dengan dia yang juga otomatis mengembangkan senyum di wajahnya.
It’s fascinating to witness his laugh after 2 weeks apart.
Ini pertama kalinya gue datang ke JNM Bloc dan gue gak tau kalau bakalan sesepi ini. Teman kampus gue, in short Maya always said that this place was too crowded. Anehnya, hal yang gue antisipasi ternyata tidak ada. Melainkan hanya ada 2 meja terisi oleh gerombolan anak seusia kita yang kita temui. Gue dan Maha memutuskan untuk duduk agak jauh dari kerumunan tersebut. Berusaha untuk mengurangi gangguan. Di depan kita ada panggung kecil yang gue yakini sering diisi oleh live performance. Tapi, berbeda dengan malam ini, seperti tahu bahwa gue dan Maha akan datang. Sehingga, mereka memberikan ruang dan ketenangan untuk kita berdua berbicara.
“So, how’s life, Alin?” tanya Maha di saat kita berdua telah selesai memesan minuman.
“You’ve been asking the same question since you saw me today.” jawab gue dengan dengusan.
“It’s because I always pray that your life will be filled with smiles. No less.” katanya, menatap mata gue.
Maha juga tahu benar bagaimana cara agar gue menutup rapat mulut hingga menimbulkan semu merah di pipi.
Hening. Gue menatap pohon beringin yang menjulang tinggi di hadapan kita berdua. Sedangkan, Maha malah menatap gue. Gue bisa merasakan tatapan lembut yang dilakukannya. Tatapan yang selalu membuat gue ingin jatuh ke dalam pelukannya. Tatapan yang gue jamin tidak ada satu orang pun yang punya selain dia. Tatapan yang bisa membuat gue ngeluarin tiga kata yang selalu gue tahan untuk katakan. Tapi, tiga kata yang gue yakin pada akhirnya akan berlabuh di telinga Maha.
Seperti mengumpulkan tenaga, gue menarik napas panjang dan berbalik menatap dia. Walaupun gerakan gue cukup tiba-tiba, tapi tidak ada niatan dari Maha untuk pura-pura tidak menatap gue. Dia malah tersenyum. Pernah sekali gue bertanya ke Maha, alasan kenapa dia menjadikan kegiatan menatap gue sebagai hobinya. Waktu itu dia balas pertanyaan gue dengan tertawa dan malah menyuapkan satu kentang mcd ke mulut gue. Karena teringat, gue mencoba untuk menanyakan hal itu lagi kali ini.
“Kamu kenapa jadiin kegiatan natap aku sebagai hobi sih?”
Kali ini dia tidak tertawa. “Masih penasaran sampai sekarang?” Dia mengalihkan pandangannya ke depan.
Bukannya menjawab, gue hanya menganggukan kepala. Dia kembali melihat gue dan kali ini dia tertawa. Kemudian, membuka jaket yang dikenakannya dan menyelimuti jaket itu di paha gue. “Dingin.” katanya.
Kesal dengan responnya, gue mencoba menyerang Maha dengan satu kalimat yang gue yakin bisa membuat dia terdiam. “Bukannya kita di sini untuk jujur-jujuran ya?”
Benar saja. Senyumannya perlahan luntur, tapi sedetik kemudian senyuman itu kembali lagi. “Iya. Kamu bener, Alin.” jawabnya. “Tapi, pertanyaan itu kita simpan untuk lain waktu ya. Sekarang ayo kita ngobrol serius.” lanjutnya.
Gue merasa baru saja mendapatkan boomerang. Tetapi, sebelum bom waktu yang gue buat semakin membesar. Ada baiknya untuk gue mulai menguraikan kabel-kabel kusut di sana agar tidak meledak.
“You right. Let’s begin our real talk.” Dengan satu kalimat itu gue menarik napas panjang–lagi. Maha meraih tangan gue yang mulai dingin karena rasa gugup. Sikapnya membuat kegugupan gue sirna perlahan.
“I’ll try to be honest about what happened last year…” Ada jeda yang gue buat. “To me or simple to us.” Satu kata terakhir yang gue sebutkan sukses menarik senyum simpul Maha.
“First, I’m simply a dumb person. I hate the fact that you’re leaving me behind, that you don’t give me any explanation or a small sign that you’ll leave, that I got to know that from others. But, I’m trying to fool myself. I made a defense. I make myself believe that I hate long distance relationships. So, I don’t get hurt too much and have a reason if someone asks why it’s not working for us. I thought it could make me less hurt. But, guess what? I’m still hurting myself.” Gue mendongakan kepala menahan agar tidak ada tetesan air mata yang jatuh.
“Dan waktu gue tahu lo bakal pergi lagi dan tahunya dari orang lain. not directly from you. Semua pikiran gue waktu itu balik lagi. Perasaan untuk membuat pembelaan atas diri gue sendiri itu balik. Supaya gue gak tersakiti. Berakhir dengan gue cut off lo lagi. Sama kaya waktu itu.” Maha mengelus tangan gue, membuat gue menurunkan pandangan yang juga otomatis menjatuhkan satu tetes cairan dari mata kiri gue. Tangan Maha dengan cepat mengusap pipi gue.
“I’m just a fool and dumb person, Maha.”
Kedua tangan Maha menangkup pipi gue, tanpa memaksa membuat gue menatap matanya. “So what if you’re a dumb person? I’m a dumb too for not realizing it too soon.”
Tangannya beralih untuk mencubit pipi gue, “If we’re not in public space I would like to kiss you now.” Membuat gue mendelik.
“You’re not mad at me?” tanya gue, setelah mengeluh sakit karena cubitannya.
“Of course not. How about you?” tanyanya balik.
“I don’t know. You still don’t give me any explanation.”
“Please don’t ever get mad at me. Or maybe worse, hate me.” Maha mengeluh. “The thought of being hated by you makes me scared.”
“Gak janji.” balas gue bercanda.
“No, don’t say that. I will explain myself, so you better listen.” Dia berhenti untuk melihat respon gue. Saat melihat senyuman yang keluar, dia ikut tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. “It’s never my intention to leave you behind, even a tiny thought about it never crosses my mind. Waktu aku tau orang-orang tahu tentang aku yang pindah aja aku kaget. Padahal aku mau jadiin itu surprise buat kamu.”
Kalimat terakhir Maha menimbulkan tanda tanya di kepala gue. Tapi, gue sama sekali tidak ingin memotong penjelasannya.
“Aku tahu kamu pasti penasaran dengan maksud aku apa. Kamu inget gak waktu aku ngajakin kamu night ride?” Maha mengoper pertanyaan ke gue.
“Inget yang waktu kita ke langit di atas awan kan?” tanyanya.
“Not that one, Alin. But, the first one yang aku ajak kamu night ride jam 11 malam.”
Tiba-tiba kejadian yang Maha katakan berlangsung seperti sebuah film di bioskop di dalam kepala gue. Waktu itu sama seperti beberapa saat lalu, maha ngajakin gue night ride karena kata dia bosen nugas jam 11 malam di chat. Kita pergi untuk nyari angkringan dan mengisi perut. Juga menjadi pertama kalinya bagi gue seorang Tanalin Moira makan tengah malam.
“Inget?” Gue mengangguk. “Tahu gak kenapa aku bela-belain jam 11 malam ke kosan kamu dan maksa kamu untuk pergi nemenin aku padahal sudah jelas jam segitu portal di kosan kamu udah tutup.” Gue menggeleng.
“I'm not telling the truth. I was lying. It's not because I was bored. It's because you said that you haven't eaten*. Kamu cuma minum susu favorit kamu itu.”
Gue diem. Maha bener, gue punya kebiasaan makan buruk yang tanpa sadar gue lakukan karena terbiasa.
“Kamu tahu gak kalau kebiasaan kamu itu bahaya untuk diri kamu sendiri? Alasan kamu gampang banget kedinginan, gampang capek, dan lainnya itu karena kebiasaan buruk itu dan aku gak mau. Aku sama sekali gak mau orang yang aku sayang ngerasain itu. Aku gak mau kehilangan orang yang aku sayang karena kebiasaan itu.” Kalimat Maha mulai menyadarkan gue perlahan.
“Waktu aku coba masak buat kamu, ternyata kamu suka banget dengan masakan aku. Hal itu yang ngedorong aku sampai ada di tahap ini sekarang.” Semua penjelasan Maha mulai bisa masuk ke dalam kepala gue, memecahkan beberapa tanda tanya yang ada.
“I’m not saying that I do this for you. But, you make me realize and know what I want to do in life.” Dia menarik tangan gue, mendekapnya. “Senyuman kamu waktu nyobain masakan aku. Senyuman itu buat aku bener-bener bahagia dan ngerasa hidup.”
Air mata yang tadinya hanya turun tetes demi tetes berubah menjadi deras seperti hujan.
“Aku pengen liat senyum kamu terus-menerus, makanya aku mutusin untuk ini. I know it's kinda selfish of me. Aku bilang aku lakuin ini karena kamu, tapi kamu sendiri gak tahu tentang itu.” He gave a chuckle, tanda meremehkan dirinya sendiri. Gue menggeleng, mencoba menyangkal semua pernyataan Maha. Kemudian, menarik dirinya ke dalam pelukan dalam.
“In the end, we both are a dumb person, Alin.”
Mungkin Maha benar. Pada akhirnya kita semua sama-sama orang bodoh yang merasa bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah keputusan tepat untuk diri sendiri. But, there's never a right or wrong choice when it comes to making a decision. We choose that choice because we believe it was the righteous thing to do. Even though it builds us to be a dumb person. It has never been wrong.