3 Detik

Disclaimer; Tentang proses melahirkan aku cuma dekstop research dan juga bertanya pada teman yang sudah berpengalaman. Jadi, jika ada yang salah mohon diluruskan. Aku terima kritik dan sarannya. 🤍

TW // death CW // blood

—

Setelah mendapatkan pesan dari Fawnia, Jauzan segera mencuci mukanya agar lebih segar. Kemudian, tak lupa menelpon Mama Yani. Panik.

“Ma maaf nelpon pagi buta gini, katanya Fawnia udah berasa kontraksinya. Aku mau jemput dulu, terus ke rumah sakit. Mama nyusul ya.” Jauzan berbicara dengan cepat.

“Halo, Jan. Kamu yang tenang. Masih kontraksi kan, gapapa tenang aja. Ketubannya belum pecah kan?”

“Kayanya belum, Ma.”

“Yaudah, kamu hati-hati nyetirnya. Nanti Mama sama Papa ke sana. Rumah sakit biasa kan?”

“Iya, Ma. Ojan matiin ya. Hati-hati di jalan, Ma.”

Telepon itu berakhir dan Jauzan langsung bergegas ke rumah Fawnia, menjemput perempuan itu. Ketika sampai, dia langsung masuk begitu saja. Dilihatnya Fawnia sedang duduk di sofa meminum air putih.

“Awni?” panggil Jauzan.

“Eh, udah sampe, Zan,” kata Fawnia santai.

“Kamu ga kesakitan?” tanya Jauzan heran.

“Udah gak, Zan. Kayanya kontraksi palsu deh. Ayo ke rumah sakit. Tas-tas aku di mobil kamu kan, Zan?”

“Iya, udah siap. Kamu beneran gapapa?”

“Iya, gapapa. Ayo….”

—

Seperti dugaan Fawnia bahwa yang terjadi adalah kontraksi palsu. Dokter mengatakan bahwa saat ini, Fawnia sudah berada di pembukaan ketiga.

Mama Yani datang dan ikut menemani Fawnia dalam prosesnya. Rasa sakit yang dirasakan setiap pembukaan berpindah dari tiga ke empat, empat ke lima, dan seterusnya ditahan oleh Fawnia. Walaupun rasanya dia sudah tidak mampu menahan rasa sakit dari kontraksi rahim.

Semakin besar pembukaan lahiran serviks, semakin sakit juga rasa yang diberikan. Kontraksi terjadi lebih intens dan lebih lama. Rasa tidak nyaman pun meliputi Fawnia.

Fawnia telah masuk ke ruang bersalin, ditemani oleh Mama Yani. Sedangkan, Jauzan di luar sudah sangat pucat.

Tidak lama setelah proses pembukaan kesepuluh terjadi, terdengar suara bayi dari dalam ruang bersalin tersebut.

“Oek… o-oek….” Suara itu memenuhi ruangan bersalin.

Dokter dan suster keluar dari dalam ruangan dengan senyuman penuh. “Ibu dan bayi selamat ya. Dua-duanya sehat. Untuk ibunya ada masih kelelahan jadi gapapa biarin istirahat aja dulu. Nanti ketemu bayinya bisa setelah ibunya sudah sadar. Kalau bapak dan mas mau lihat bayinya, silahkan ke bagian sana ya.” Menunjuk ke arah ruangan dengan jendela kaca yang di dalamnya dipenuhi bayi. “Saya pamit dulu.”

“Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak. Terima kasih juga suster dan perawat lainnya,” kata Jauzan terharu.

—

Jam menunjukkan pukul 5 sore, Fawnia akhirnya bangun dari tidurnya. “Zan, Nyawa mana?” Yang pertama dicarinya adalah Nyawa, bayinya.

Jauzan yang sedang memainkan handphone-nya sadar kalau Fawnia sudah bangun. “Ada di kamar bayi, kamu mau ketemu?”

“Iya, aku mau ngeliat bayi aku,” kata Fawnia. Terlihat lelah dan juga excited dari wajah Fawnia.

“Yaudah aku ambilin kursi roda dulu ya. Katanya kamu belum bisa jalan.” Jauzan tersenyum.

“Iya, minta tolong ya, Zan.”

“Not a problem. Tunggu ya,” kata Jauzan.

Tanpa keduanya sadari ada seseorang yang sedari tadi mengincar kamar milik Fawnia.

Jauzan kembali dari meminjam kursi roda. “Awni, ini kursi rodanya. Ayo sini aku bantu naik,” kata Jauzan mengulurkan tangannya.

“Mama sama Papa kamu ke mana, Zan?” tanya Fawnia yang saat ini sudah terduduk manis di kursi roda dan Jauzan yang mendorongnya pelan.

“Pulang ga lama, ngambil baju kayanya. Btw, kamu gapapa kan? It must be hard for you, you really doing great today. Congratulations for being a mom, Awni,” kata Jauzan mengacak perlahan rambut Fawnia.

Belum sampai di depan kamar bayi, handphone milik Jauzan berbunyi. Awalnya dia terus mengabaikannya, tetapi telpon dan pesan terus masuk.

“Awni, tunggu ya. Aku angkat telpon dulu,” kata Jauzan agak menjauh, takut jika suaranya mengganggu.

“Iya gapapa kok, Zan,” jawab Fawnia. Dengan manis dia menunggu Jauzan yang sedang mengangkat teleponnya.

Tiba-tiba dari arah belakang ada yang mendorong kursi roda milik Fawnia ke arah tangga. Membuat perempuan itu berteriak. Orang-orang di sekitar langsung menengok dan berlarian membantu. Termasuk Jauzan yang terkejut melihat hal itu di depan matanya. Dengan cepat dia melempar handphone-nya ke sembarang arah.

“AWNI.” Teriak laki-laki itu tidak peduli dirinya sedang berada di rumah sakit.

Tetapi karena jarak kursi roda dan tangga hanya sekitar 5 langkah. Fawnia langsung terjatuh bersama dengan kursi rodanya dari atas tangga. Terlihat darah bercucuran dari kepala Fawnia.

“Kalau gue ga bisa dapetin Jauzan, lo juga ga bisa selamanya sama Jauzan,” kata seseorang yang baru saja mendorong Fawnia.

“Lo gila ya? Tolong siapa pun telepon polisi.” Jauzan berteriak dan memohon kepada para perawat dan pengunjung rumah sakit lainnya. Beberapa orang telah menahan pelaku agar tidak kabur.

“Awni, jangan tidur ya. Ayo buka matanya kata Jauzan. Mau ketemu Nyawa kan? Awni kita di rumah sakit pasti kamu ga bakalan kenapa-napa.” Jauzan menangis, memeluk Fawnia yang terlentang di lantai.

“Mas, mbanya diangkat dulu. Biar bisa cepat diselamatkan,” kata seorang perawat.

Jauzan dengan cepat membantu mengangkat Fawnia, menaiki tangga dan meletakkan Fawnia ke atas brankar.

“Awni, kamu kuat kan. Aku tahu kamu kuat. Bertahan ya.”

Brankar tersebut didorong agar cepat sampai di IGD.

Dengan sisa-sisa kekuatannya Fawnia berkata ke Jauzan terbata-bata, “Zan, ja-jagain Nyawa ya. Makasih udah mau aku repotin.”

“Awni, ga boleh ngomong gitu ya. Kamu bisa selamat kok,” katanya memegang erat tangan Fawnia. Brankar berhenti tepat di depan pintu dan masuk ke dalam ruangan.

“Mas tunggu di sini,” kata salah seorang suster.

Dari arah yang berlawanan terlihat Mama Yani berlarian, sedangkan Papa Prima berjalan dengan cepat.

“Jan, ada apa? Kenapa kamu penuh darah gini.” Mama Yani panik.

“Ma,” tidak dapat mengatakan apa-apa, air mata Jauzan seketika pecah. “Ma, Awni ga bakalan ninggalin aku kan. Awni kuat kan, Ma?”

“Jan, kamu yang tenang, Nak. Ayo berdoa buat Awni ya,” kata Mama Yani memeluk anak satu-satunya.

Di sisi lain, Papa Prima sedang mengobrol dengan salah satu keluarga pasien yang ada waktu kejadian tersebut. Papa Prima sangat tercengang saat mendengar kebenaran dari kejadian. Mereka hanya dapat berdoa agar Fawnia dapat diselamatkan.

Operasi berjalan selama 3 jam lamanya. Dokter keluar dari ruangan operasi dengan wajah datar. “Operasi berhasil dilakukan, tapi pasien kehilangan sangat banyak darah. Ditambah dengan kondisi pasien yang baru saja melahirkan. Kemudian, sebelum didorong jatuh, pasien ditusuk dengan pisau. Kami hanya bisa berdoa agar pasien dapat cepat kembali sadar. Saya permisi,” jelas dokter.

Jauzan merasa dunianya runtuh, dia terduduk setelah mendengar penjelasan yang disampaikan oleh dokter. Tidak tau apa yang ada di pikirannya saat ini.

Dia masuk di kamar rawat Fawnia. Duduk di kursi yang terletak di samping kasur Fawnia. Menunduk. Berdoa. Tertidur.

Dalam mimpinya terlihat Fawnia tersenyum manis dan berkata. “Jaga Nyawa ya, Zan. Maaf dan aku sayang kamu.” Mimpi itu hanya berdurasi 3 detik. Membuat Jauzan dengan cepat membuka matanya. Kemudian terlihat dokter telah mencabut segala alat yang terpasang ditubuh Fawnia.

Ternyata mimpi Jauzan adalah sebuah perpisahan. Perpisahan yang dilakukan hanya 3 detik. Jauzan hancur. Dia ingin berteriak, tetapi tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Terdiam. Mematung. Menangis.