3 Minggu

Sudah 3 minggu berlalu setelah Jauzan dan Fawnia memutuskan untuk tidak saling mengenal, walaupun kenyataannya mereka juga belum begitu mengenal satu sama lain.

Dalam kurun waktu 3 minggu sangat banyak hal terjadi pada mereka berdua. Jauzan sendiri baru saja menyelesaikan UAS-nya. Menandakan bahwa dia akan segera memasuki semester 4. Hal lain yang terjadi menyangkut keluarganya.

Ayahnya berhenti bekerja karena harus menjalani perawatan. Sedangkan, ibunya yang sejak awal adalah ibu rumah tangga harus memutar otak untuk mendapatkan uang.

Maka dari itu dengan modal nekat dia ingin membantu ekonomi keluarganya. Mengajak teman-temannya untuk membuka bisnis bersama.

Keluarga Jauzan bukan keluarga tidak mampu. Tapi, tidak mungkin mereka hanya akan bertumpu pada harta benda yang tersisa.

Di sisi lain, Fawnia benar-benar telah lepas dari kekasih brengseknya itu. Dia kembali menjalani hidupnya sendiri. Sama seperti sebelum bertemu dengan mantan kekasihnya.

Selama 4 tahun dia hidup sendiri, orang tuanya telah lama meninggalkannya. Tepatnya, meninggal dunia. Keluarga besar tidak ada yang ingin mengurusnya. Menurut, mereka Fawnia sudah ada di usia untuk hidup mandiri. Tetapi, semandiri apapun hidupnya Fawnia tetap membutuhkan sandaran.

Dia tidak kuliah, karena takut warisan yang ditinggalkan orang tua-nya akan habis begitu saja. Perempuan cantik itu memilih untuk bekerja di usianya yang baru menginjak 18 tahun. Kemudian, bertemu dengan mantan kekasihnya yang saat itu adalah seniornya di tempat kerja.

Fawnia bukanlah sosok perempuan yang sering pergi ke tempat malam. Dia memilih untuk menghabiskan waktu di rumah atau berjalan di taman. Malam itu (pertemuan pertama Fawnia dan Jauzan) dia pergi ke sana karena mendengar kabar kekasihnya yang sering pergi ke tempat itu. Hal itu membuatnya murka, terutama saat melihat kenyataan kekasihnya bercumbu dengan perempuan lain.

Bahkan, saat Fawnia melabrak mereka, kekasihnya itu tampak tidak peduli. Tetapi, saat pulang dari tempat itu. Laki-laki itu menampar Fawnia. Benar-benar menyiksanya dan mengancam akan membunuhnya jika berani datang lagi ke tempat malam itu. Fawnia merasa takut, tapi dia bingung bagaimana cara lepas dari kekasihnya itu. Ide gila muncul di kepalanya, ketika mengingat laki-laki (Jauzan) yang sempat bertatapan mata dengannya di club malam itu.

Itulah alasan dia memilih memeluk Jauzan saat kembali ke sana (pertemuan kedua Fawnia dan Jauzan). Ingin menunjukkan kepada kekasihnya. Dia sadar tingkahnya salah, tapi sama sekali tidak peduli. Dia terlanjur sakit hati. Fawnia tidak berani meminta putus, karena takut akan dipukuli lagi. Pikirnya, jika dia mengatakan memiliki kekasih lain, mantannya itu akan meninggalkannya. Tetapi, respon yang diberikan berbeda. Membuat Fawnia ketakutan dan sadar bahwa dia akan mendapat pukulan seperti minggu lalu.

Kemudian, di minggu ketiganya pergi ke tempat itu, saat itu juga penyiksaan paling parah terjadi (pertemuan ketiga Fawnia dan Jauzan). Membuat perempuan cantik itu hancur sehancur-hancurnya. Perasaan bahagia dan sakit bercampur aduk. Bahagia akhirnya lepas dari brengsek keji, sakit karena pukulan-pukulan yang diterimanya.

Selain itu, ada satu perasaan lain yang dirasakan Fawnia. Rasa sesal saat mengatakan untuk ‘tidak saling mengenal’ kepada Jauzan. Penyesalan menyelimutinya.

Sekarang, 3 minggu telah berlalu dan bagaimana pun dia harus tetap hidup. Dia bersyukur mantan kekasihnya itu telah dipecat karena kinerjanya yang terus turun. Sehingga, Fawnia tidak perlu takut dan canggung bekerja di kantornya sekarang.

Pulang kantor, Fawnia memutuskan untuk singgah sebentar ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Sampai di supermarket itu Fawnia berjalan tanpa memedulikan orang di sekitar. Tanpa sadar dia baru saja berpapasan dengan seseorang yang 3 minggu lalu membantunya.

Jauzan menelan salivanya dan napasnya tertahan saat melihat Fawnia melewatinya begitu saja. Jauzan semakin yakin bahwa Fawnia benar-benar tidak ingin mengenalnya. Merasa kecewa, Jauzan ingin segera pergi. Tetapi, matanya sekali lagi melirik ke arah Fawnia.

Hati dan otak Jauzan bertengkar, yang satu ingin mendatangi dan menyapa Fawnia. Sedangkan, satunya memilih untuk meninggalkan Fawnia sendiri. Kali ini hatinya yang menang. Jauzan pergi menghampiri Fawnia yang terkejut saat ditepuk bahunya. “Awni?” panggil Jauzan lembut.

“O-oh, hai Jauzan?” jawab Fawnia sedikit gugup. “Kamu ngapain di sini? Eh bad question udah jelas kamu pasti belanja.” Fawnia berusaha untuk mencairkan suasana, dia masih ingat betapa dingin perkataannya kepada Jauzan terakhir kali.

“Kamu?” tanya Jauzan heran karena Fawnia tiba-tiba menggunakan aku-kamu.

“Maaf, maksudnya lo.” Fawnia kalau gugup pasti keceplosan aku-kamu. Karena pada dasarnya dia hanya perempuan polos.

I’m fine with aku-kamu. If you don’t mind.” kata Jauzan tersenyum. Senyuman Jauzan membuat Fawnia menganggukan kepalanya.

“Kamu,” Jauzan sedikit menjeda pertanyaannya tidak yakin harus menanyakan hal tersebut. “Apa kabar, Awni?” tanya Jauzan sangat pelan.

“A-aku baik kok, Zan. Kamu apa kabar?“ Fawnia memaksakan senyumnya.

“Biasa aja hahaha.” Jauzan tertawa. “Awni, kamu beneran ga mau kita dekat ya?”

“Ga gitu, Zan. Tapi, aku takut bawa pengaruh buruk buat kamu,” bantah Fawnia.

Jauzan kembali bertengkar dengan otak dan hatinya. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan kali ini. Akhirnya, dia mengungkapkan perasaannya.

“Aku suka sama kamu, Awni. Dari pertama kali ngeliat kamu. Ga bisa ya kita kenalan dulu?” Jauzan bukan tipe yang akan memohon seperti itu. Berada di samping Fawnia menghilangkan tingkah jahil yang dimilikinya. “Kamu ga mau karna aku masih terlalu muda?” lanjutnya.

“Bukan gitu,” Fawnia tertawa. Sejujurnya dia bingung. Dia takut merepotkan Jauzan. Apalagi orang ini baru dikenalnya dan dia sudah 3 kali merepotkan Jauzan.

“Kita coba dulu, Awni.” Jauzan kembali memohon membuat Fawnia berpikir keras.

“Ok, kita coba. Kenalan aja kan?” Putus Fawnia.

Senyum merekah dari bibir Jauzan. “Beneran?” tanya Jauzan. Fawnia menganggukan kepalanya.

Thank you, Awni.” Jauzan sangat bahagia. “Kamu naik apa ke sini? Aku anterin pulang ya? Kamu tinggal di mana? Ngekos sendiri? Atau gimana?” Jauzan menyerbu Fawnia dengan pertanyaan.

“Satu-satu, Zan. Kita belanja dulu ya.”

“Ah iya, aku sampe lupa kita di supermarket.”

Jauzan dan Fawnia memutuskan untuk perlahan saling mengenal lebih dekat. Mungkin terdengar terlalu cepat, tapi Jauzan yang sejak awal memiliki ketertarikan pada Fawnia, tidak ingin kehilangan perempuan cantik ini sekali lagi. Sedangkan, Fawnia yang merasa berada di goa tergelap seperti baru saja melihat secercah cahaya terang di kegelapan itu. Dia tidak sendiri lagi.