3 Tempat
Jauzan menjemput Fawnia jam 7 tepat. Dia ingin mengunjungi beberapa tempat bersama Fawnia di hari natal ini. Setelah sampai di depan rumah milik perempuan itu. Dia cepat-cepat turun mengetuk pintu rumah berwarna coklat itu.
“Iya, tunggu.” Terdengar sahutan dari dalam rumah. Fawnia keluar dengan pakaian yang sangat cantik. Gaun berwarna merah muda itu melekat cantik di badannya. “Kita mau kemana aja hari ini, Zan?” Tanya Fawnia.
Jauzan masih tertegun melihat perempuan yang saat ini berdiri di hadapannya. “Halo? Jauzan?” Kata Fawnia sambil menggerak-gerakan tangannya di depan wajah Jauzan.
“Eh, apa tadi? Aku ga denger, Awni.” Jauzan sadar dari khayalannya. Hal itu membuat Fawnia tertawa.
“Kita mau kemana aja, Zan?”
“Pertama kita ke rumahku dulu, abis itu kamu ikut aku aja. Tenang, ga aneh-aneh kok. Mau ya?”
Fawnia mengangguk, “iya boleh.”
—
Rumah Jauzan terlihat sangat ramai dari luar. Mereka berdua masuk ke dalam dan menemui beberapa orang anggota keluarga besar Jauzan, termasuk Elvina yang sedang memangku satu stoples berisi kue kering.
“Awniiii,” teriak Elvina. “Ih gue kangen banget sama lo. Ngapain deh lo sama sepupu gue yang ga jelas ini.” Elvina berkata sambil memutar bola matanya.
“Diem lo, tai.”
“Nah, lo denger kan? Dih kasar banget jadi cowo.” Elvina menepuk pelan bahu milik Fawnia.
Kemudian terlihat Mama Yani datang menghampiri mereka bertiga. “Halo temen Ojan ya, ayo masuk ke dalam kita makan.” Ajak Mama Yani.
“Iya, Tante. Nanti bareng Jauzan aja.” Jawab Fawnia canggung.
“Eh, ini sih calonnya Ojan, Tante.” Elvina memulai gosip. Mendengar sebuah gosip, salah satu tante mereka yaitu Tante Tia ikut mendekat.
“Ketemu di mana, Jan? Club malam ya? Cewe ga bener dong?” Jawaban itu membuat semua orang di ruangan terdiam. Fawnia terkejut dengan perkataan tersebut. Elvina yang sedari dulu sangat kesal dengan tingkah tantenya itu, langsung angkat suara.
“Apaan sih, Tan? Anak lo tuh urusin. Sok kaya banget, duit aja ngutang sama Tante Yani. Balikin kali, Tante Yani lebih butuh buat perawatan Om Prima.” Kata Elvina sinis. Sudah sangat lama dia menahan diri untuk berkata seperti itu. Tante Tia selalu saja mengomentari gaya hidupnya dan Jauzan. Mengatakan mereka anak-anak yang masa depannya akan hancur. Menyumpahi Elvina hamil di luar nikah. Masih sangat banyak perkataan menyakitkan yang dilontarkan oleh Tantenya itu.
“Ga usah ikut campur kamu anak kecil.” Tante Tia yang merasa malu mulai meninggikan suaranya.
“Lah? Tante yang ngapain ngurusin urusan anak kecil. Ga tau malu banget sih.” Balas Elvina.
“Mas, lihat anakmu kelakuannya kaya gitu. Ga becus banget sih didik anak.” Merasa kalah dari Elvina, Tante Tia beralih ke Kakaknya yang juga adalah Papa dari Elvina.
“Maksud kamu apa, Tia? Kurangajar skali mulutmu itu. Ini hari natal, harusnya jadi hari yang suka cita. Cuma karena nyinyiranmu malah jadi ngerusak hari bahagia.” Om Yusuf yang merupakan anak tertua dari keluarga itu murka. “Usir saja adikmu yang kurangajar itu, Yani.” Sindir Om Yusuf kepada Tante Tia.
“Zan, ini kok jadi ribut sih? Karena aku ya?” Fawnia berbisik ke Jauzan.
“No, no. Emang Tante Tia suka bikin keributan. Ayo kita ke belakang aja, makan. Biarin nanti mereka yang selesain masalahnya.
Keduanya pergi ke meja makan yang ternyata di sana ada Papa Prima (Papa dari Jauzan). “Siapa itu, Jan?” Tanya Papanya.
“Cewek Ojan, Pa.” Mendengar jawaban dari Jauzan, Fawnia sontak menengok ke arah Jauzan. “Becanda, Pa. Walaupun pengennya sih serius.”
“Kamu itu jahil banget, Jan.” Kata Papa Prima paham dengan kelakuan anaknya. “Siapa nama kamu, Nak?” Tanya Papa Prima.
“Fawnia, Om.” Jawab perempuan itu pelan, dia masih malu dengan jawaban yang diberikan Jauzan tadi.
“Cantik kan, Pa?” Tanya Jauzan dengan nada sombong.
“Iya, cantik. Kok mau sih sama Ojan?”
“Dih, najis. Sama anak sendiri kaya gitu.” Kata Jauzan.
Fawnia merasa canggung berada dalam situasi ini. Dulu dia dengan orang tuanya tidak dapat bercanda seakrab ini.
“Udah ah, Pa. Kita makan dulu ya. Papa udah minum obat kan?” Jauzan memastikan.
“Iya, udah. Sana kalian makan yang banyak.” Usir Papa Prima.
“Permisi, Om.” Pamit Fawnia. Papa Prima hanya tersenyum dan menganggukan kepala sekali.
Keduanya mengambil makanan dan duduk di taman belakang rumah Jauzan. “Papa kamu sakit, Zan? Btw, nama panggilan kamu emang Ojan ya?”
“Eh iya sakit, tapi papa kuat kok orangnya. Btw iya nama panggilanku di keluarga emang Ojan. Lucu ga sih?” Katanya tertawa.
“Semoga cepat sembuh ya buat Papa kamu. Nama kamu lucu kok, bagus.”
“Amin, makasih doanya, Awni. Kalau namaku bagus kamu ambil aja.”
“Apasih,” kata Fawnia tertawa.
Kemudian keduanya diam dan menikmati makanan masing-masing.
“Abis ini kita mau kemana?”
“Aku punya 2 tempat lagi yang mau aku datangin sama kamu, Awni. Sebenarnya banyak sih, tapi hari ini 3 aja. Kamu mau ga?”
“Mau dong. Aku udah ngeiyain dari kemarin-kemarin tau, Zan.”
“Hahaha, iya juga.”
“Yaudah, abis makan kita pergi ya, Awni.”
“Iya….”
Keduanya menghabiskan makanan dan berpamitan kepada kedua orang tua Jauzan, termasuk ke beberapa anggota keluarga lain. Elvina sudah pulang lebih dulu, karena kejadian tadi. Tante Tia juga tidak terlihat, mungkin dia juga telah pulang karena menanggung malu.
Tempat kedua yang didatangi oleh mereka adalah gereja tua yang terawat. Mereka mengikuti ibadah, setelah itu keduanya berjalan di taman yang ada di sekitar gereja. Sekarang waktu menunjukkan pukul 3 lewat 30 sore. Matahari tidak begitu terik.
Beberapa kali mereka berfoto untuk diunggah ke media sosial. Setelah puas mereka melanjutkan perjalan ke tempat terakhir. Tempat terakhir adalah pasar malam. Pilihan yang tertebak. Tapi, di situ letak fun-nya. Di saat Fawnia memikirkan tempat-tempat unik dan berbeda untuk didatangi. Jauzan memilih tempat yang gampang ditebak.
Keduanya menghabiskan waktu dengan bahagia. Tiba-tiba Fawnia berkata, “kamu ga ketebak banget, Zan.”
“Emang aku kenapa?” Kata Jauzan tertawa.
“Ya ga ketebak. Eh kita naik komidi putar aja ya. Ayo, kita foto buat kenangan yang banyak.”
“Kenangan?” Jauzan memastikan.
“Iya, kenangan itu berharga tau, Zan. Kadang kita ga sadar kurang punya kenangan sama orang yang kita sayang. Nanti udah kehilangan deh baru sadar, kalau kenangan kita kurang. Makanya, aku pengen buat kenangan yang banyak.”
Jauzan tersenyum, dia bahagia. Dia mengartikan bahwa Fawnia menganggap dirinya termasuk dalam “orang yang kita sayang”.
“Ayo, Awni. Kita buat kenangan yang banyak.”
Keduanya, membuat kenangan untuk disimpan bersama. Sebagai penanda. Sebagai pengingat.