325
Kalau dihitung-hitung gue dan Anulika udah gak ketemu selama lebih dari enam bulan. Anehnya, waktu gue buka pintu rumah dan ngeliat sosoknya yang berdiri ngebelakangin gue, perasaan rindu yang besar tiba-tiba nyerang gue. Ditambah dengan waktu dia nengok ke gue dan senyum pas sadar gue udah berdiri di belakangnya. She’s still the same Anulika. She still radiates the smell of flowers in the morning. Six months? More like six years.
“Kak Hart?” panggilnya
“Hello, apa kabar?” I think I got a malfunction, because I can’t think about other things when she’s standing right in front of me. I can hear her deep breath. It makes me do the same. Deep breath.
A deep breath before deep talks? Karena sekarang gue dan Anulika udah misahin diri dari Haira dan Bunda–dan sebenernya juga ada Euan, tapi gue terlalu males buat nyebutin nama dia.
Kita berdua mutusin untuk pergi ke salah satu cafe terdekat, tepatnya yang gue asal pilih dengan alasan, “Di sini aja enak kok, gue biasanya di sini.” Padahal sekali pun gue gak pernah nginjakin kaki gue ke dalam cafe ini. Tapi, gue udah kepalang penasaran dengan apa yang perempuan di hadapan gue saat ini mau omongin.
Matanya fokus ngeliatin menu, sedangkan mata gue fokus ngeliatin dia yang lagi ngeliatin menu. “Kak, it’s weird.” katanya. Jidat gue otomatis berkerut heran.
“Apanya?” Dia ngelepas pandangannya dari menu dan balik natap gue.
“Kamu.” Tangannya terangkat lurus dengan jari telunjuk ke arah gue. “Weird.” lanjutnya sambil memamerkan gigi putih rapinya.
“Apanya?” Gue membeo pertanyaan yang udah gue keluarin tadi.
“Au ah.” Dia kembali sibuk membolak-balik menu makanan tadi.
“I’m not weird, Anulika.” Kepalanya kembali terangkat. “I just realized something. That’s what makes me act like this.” Gue natap dia dengan dalam membuat dia semburan merah senada dengan stroberi muncul di pipinya. She’s a perfect example for human strawberry. Segera kepalanya menunduk, sibuk mengatur napas.
“Udah siap denger cerita aku gak?”
“I’ve never been this ready and I'm always waiting to hear you talk about your stories, Anulika.” Gue bahkan gak nunggu dia untuk nyelesain kalimat. Dia senyum.
“But, don’t be mad, yaa?” Gue diem. “Yaaa?” ulangnya. Gue narik napas dan nganggukin kepala setuju.
“Aku milih untuk gap year.” Well, I’ve been predicting this one. “That’s ok.” Gue mendekat dan ngusap rambutnya. “That’s fine, I know a lot of people that take gap year. Tapi mereka bisa survive dan bahkan mereka keren-keren semuanya. Lagian kuliah gak ngukur usia kok, Anulika. Kamu bisa kuliah kapan pun kamu mau, selama kamu jalaninnya dengan serius. Satu aja aku minta. Kamu jangan jadi ngerasa mundur atau tertinggal. Because, everyone has their own time. Masing-masing dari kita punya waktu untuk bersinar, punya alur hidup yang berbeda.”
“Tapi, Kak.” Gue masih mau ngelanjutin ceramah yang gak tau kenapa tiba-tiba bisa ngalir aja keluar dari mulut gue, sebelum Anulika motong omongan gue. Tangan gue berhenti bergerak di kepalanya.
“Tapi…?” tanya gue dengan nada rendah. Perlahan kembali mengusap kepalanya.
“Aku juga mutusin buat gak kuliah.” Kali ini tangan gue berhenti lagi dan rasanya susah untuk bergerak. Freeze. Gue nge-freeze.
“Strawberry Pearl Ice Cream dan Choco Ice Cream? Di sini ya?” Seorang pegawai sudah berdiri di samping meja gue dan Anulika.
“Iya bener, Mba. Terima kasih, ya.” kata gue sambil mengambil ice cream tersebut.
“Terima kasih, Mba.”
Distraksi tadi membuat kita berdua diam.
“Makan aja dulu.” kata gue sengaja biar gue bisa mencerna maksud dari perkataannya. Gue gak marah, gue mungkin cuma kaget, bingung, heran, atau sejenisnya.
“Kata kamu kan I will shine better in other places.” Tangan gue otomatis berhenti bergerak nyendokin ice cream. So, is it because of me? Masa karena gue dia harus ngebuang mimpinya.
“Anulika, that’s not what I mean. Aku gak mau kamu buang mimpi kamu karena perkataan aku. You totally get it wrong.” Gue membuang napas frustasi.
“Mimpi aku yang mana? I never had a dream, Kak. Malahan kamu yang buat aku punya mimpi. Punya mimpi untuk kuliah di kampus kamu. Sebelumnya? Aku cuma pengen bisa kuliah di Jakarta aja, nepatin janji ke Oma Opa.”
Kita berdua diam dengan pikiran masing-masing. Tetapi, akhirnya gue mutusin untuk mecahin keheningan itu.
“Jadi kamu mau kaya gimana?”
“Kak, aku tahu kamu sadar kalau aku ga pinter belajar.”
Gue ragu untuk ngangguk, tapi better be honest. Jadi, gue ngangguk setuju.
“Dih setuju lagi. Aku jadi kesel.” katanya dengan tatapan sinis buatan yang ngebuat dia makin lucu.
Gue ketawa dan ngacak rambutnya.
“Sorry yaaa, jadi kamu mau gimana, Anulika?” Gue ngambil salah satu tangannya kemudian mengusap dan membentuk pola kecil di atasnya. Dia sempat nunjukin raut wajah terkejut, bahkan wajahnya memerah. Lagi-lagi seperti stroberi.
“Aduh jadi ga fokus kan,” komentarnya.
Kalian pasti bisa tebak gue ngapain sekarang? Bener, gue ketawa. Celetukan Anulika itu selalu lucu di telinga gue. It’s refreshing to be around her. It feels like I can rest all the pain and all the tiredness.
Sebelum gue menarik tangan yang gue pake untuk menggenggam tangannya, Anulika ngelanjutin kalimatnya.
“Aku pengen nyari tahu kesukaanku, Kak. Aku punya banyak hal yang aku suka and there’s more I love to try. Dari awal kamu tau kan I love try new things. Kayak kamu tau aku belajar ngelukis, aku belajar baking, aku belajar masak, I even learn photography hehehe. Tapi, aku gak bisa handal, aku bisa semuanya tapi gak jago. Semuanya standar. I only know the basic things.” Dia diam untuk narik napas.
“Makanya aku pengen nyari tau apa sih yang aku suka banget.”
Gue diam. Bener, Anulika sadar dengan kemampuannya. Tapi, warna merah yang masih ada di wajahnya, bibirnya yang dibentuk kerucut, dan matanya yang melihat ke sana kemari–lebih sering ke arah lantai–karena tangan gue yang masih duduk manis di atas tangannya, ngebuat gue pengen banget ngerjain dia.
“Aku?” Gue ngomong dengan nada menggoda.
Benar. Wajahnya bahkan lebih merah dari tadi, dalam hitungan detik gue gak akan kaget kalau asap keluar dari puncak kepalanya.
“BERCANDA MULU SIH.”
Gue terbahak. “Hahahaha kan biasanya kamu yang bercanda.”
“Ih aku kesel.” Dia narik tangannya yang tadinya gue genggam. Tanpa sengaja nyenggol gelas ice cream-nya, membuat seisi cafe menengok ke arah kita. Reflek anulika berdiri dan berteriak dengan volume sedang untuk meminta maaf. Kemudian berniat berjongkok untuk mengambil pecahan gelas tersebut dengan tangan kosong.
Sayangnya, Anulika kalah cepat dari gue. Karena sebelum dia merendahkan tubuhnya, gue udah lebih dulu berjongkong menghadap kakinya. Menghalangi agar dia tidak menyentuh pecahan kaca itu dengan tangan kosong dan juga merhatiin kakinya kalau saja ada pecahan yang terlempar ke sana.
“Jangan gerak. Jangan ngeyel. Duduk aja.” Awalnya dia gak mau duduk dengan alasan dia harus ngebersihin sendiri karena dia yang mecahin. Well, I’m sorry but I would never let you.
“Permisi, Mas. Saya minta sapu dan serok sampahnya juga yaa.” Mas-mas nya datang membawa sapu dan serok sampah, tetapi gak ngizinin gue untuk pake.
“Gapapa mas, ini cewek saya kok yang jatuhin. Nanti saya ganti juga ya, Mas. Di kasir kan?”
Anulika duduk diam, gue gak bisa nebak ekspresi campur aduk yang ada di wajahnya saat ini. Setelah gue ngebersihin semuanya, gue ngasih sampah pecahan itu ke mas-mas tadi dan bergerak ke kasir untuk ganti biaya gelasnya. Kemudian gue balik ke tempat duduk kita. Tapi, gak langsung duduk.
“Ehem. Sejak kapan aku ganti nama jadi ‘cewek saya’ hehe?” tanyanya menggoda waktu gue berdiri tepat di hadapannya.
Gue ga nanggepin godaannya, masih celingak celinguk mencari pecahan. Mata gue nemuin 1 pecahan yang sangat dekat dengan kaki Anulika. Bisa-bisanya pecahan itu terlewat dari mata gue. Akhirnya gue berlutut dengan 1 kaki di hadapan Anulika. Lagi. Matanya melebar. Lagi. Gue ambil dan letakin di atas tissue.
Gue nguluruin tangan ke depan dengan posisi terbuka. “Tangan.” Dia bingung. “Tangan kamu, aku mau liat.”
“Oh…” dia naruh tangannya di atas tangan gue. Mata dan tangan gue sibuk mencari serpihan gelas yang mungkin menempel di tangannya.
“Next time jangan impulsif kaya tadi. Untung aku lebih cepet geraknya. Kalau aku telat gimana?” Dia mengerucutkan bibirnya.
“Iya.” jawabnya masih cemberut.
“Apanya iya?” Ternyata dia lucu kalau lagi dimarahin gini.
“Iya gak.” nadanya lesu.
“Gak apa? Coba ulangi.” Lucu. Anulika lucu banget.
“Ih ngapain diulangi, kamu ga lagi ngajar kali, Kak. Udah ah ga mau.”
Gue sejak tadi berusaha untuk gak ketawa, tapi sayangnya susah untuk tidak meloloskan tawa tiap bareng Anulika. Hal itu membuat dia makin cemberut.
“Ok.” jawab gue masih dengan sisa tawa.
Pantat gue udah kembali nyentuh kursi lagi. Siap untuk memulai kembali obrolan.
“Kita tadi tuh ngobrol apaan ya?” tanyanya.
Gue ngeliatin ice cream gue yang udah meleleh jadi air. Mutusin untuk meminta air mineral ke pelayannya. “Yang kamu suka banget.” jawab gue.
“Kamu dong?”
Ok. She got me this time. Tahu kalo gue gak siap untuk godaannya dia tersenyum penuh kemenangan. Anulika itu suka flirting ke gue tapi kalo dibalikin dia bakalan merah banget. Gue ketawa. Dia ketawa. Kita berdua ketawa.
“Kali ini ayo serius, Anulika.”
“Jangan serius dulu kak aku masih kecil.”
“Ngobrolnya maksud aku.” See?
“Oh kirain.”
Pelayan nganterin 2 air mineral yang gue minta. Gue ngebuka botol pertama dan ngasih botol yang terbuka itu ke Anulika. “Nih, minum dulu. Kirain apaan sih kamu tuh.”
Dia ngambil botol itu setelah ngucapin terima kasih dan langsung meminumnya. “Ya intunya gitu deh, Kak.”
“Kamu ke Jakarta bukan buat ngomongin ini doang kan?”
“Dih pede banget, tapi lima puluh persen bener sih, sisanya kan aku udah pernah ceritain ih masa lupa.” Gue mencoba menggali ingatan. “Tadi aja aku mention.” Ting.
“Ah Oma Opa kamu ya?” Gue mengingat cerita dia tentang keluarganya yang minta dia setelah selesai SMA untuk kembali ke Jakarta.
“Betul, plus Ibu juga. Makanya aku balik sini.”
“Rumah kamu di Bandung?”
“Mau aku sewain aja kali ya, kan asik passive income. Setidaknya aku udah sempet ngerasain tinggal di rumah masa kecil aku itu.”
Gue ngangguk-nganggukin kepala.
“Good idea. So what's new?”
“Nothing. Semuanya aku ceritain ke Kak Hart kok. Kecuali soal yang barusan aku omongin hehehe.”
“Tapi dengerin kamu nyeritain langsung rasanya pasti beda.”
“Ihhh gombal.” katanya. Gue ketawa.
“Ga gombal. Emang bener kok karena udah lama gak denger kamu cerita langsung.”
“Hahaha iya juga, it’s been 6 months?”
“I don’t know. It feels more like 6 years.” Gue kembali neguk air mineral di tangan. Dia juga ngelakuin hal yang sama untuk nutupin senyumnya.
“I miss you, Anulika. I really do.” She’s not responding to all of my sentences. But a bright smile blossomed on her cheeks. This time she’s not trying to hide it.
“Anulika?” Satu suara dari belakang gue terdengar manggil nama Anulika. Gue noleh dan ngeliat Warren. Wow. What a perfect time?