360
Sejak kemarin sejujurnya gue udah bisa nebak sedikit apa yang ingin ditanyakan Kak Hart. Kata orang-orang sih itu namanya insting perempuan. Dari cara Kak Hart yang tiba-tiba datang ke parkiran kemarin dan respon teman-temannya yang ngeledek. Gue makin yakin. Yakin kalau sikap dia kemarin ada sedikit banyak hubungannya dengan Kak Warren. Kenapa gue bisa yakin? Gak tau. Sekali lagi insting perempuan.
Punggung lebar dan wangi semerbak yang selalu nyaman di hidung adalah dua hal pertama yang nyambut gue waktu ngebuka pintu. Orang yang saat ini ngebelakangin gue lagi sibuk dengan handphone-nya, mungkin juga gak sadar kalau gue udah berdiri di depan pintu. Gue bisa tebak siapa yang menjadi lawan bicaranya dari suara teriakan yang terdengar dari ujung telepon. Gak ada niatan untuk mengganggu, gue hanya berdiri di belakangnya sambil menutup pintu rumah. Menunggu panggilan yang sedang dia lakukan berakhir.
Belum selesai dengan teleponnya, laki-laki dengan hidung yang terukir sempurna di wajah itu menengok ke arah gue. Tersenyum dan tak lupa juga menunjuk ke arah telponnya. “Sorry, sebentar.” katanya tanpa suara yang gue balas dengan anggukan juga senyuman. Padahal gue udah berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sama sekali saat menutup pintu. Entah apa yang membuat dia bisa sangat peka dengan kehadiran gue.
Detik selanjutnya dia alias Kak Hart sudah berjalan mendekat–masih dengan telepon di telinga juga omelan dari Haira yang masih terdengar jelas–ke arah gue. Mengulurkan tangannya dengan posisi terbuka. “Tas.” katanya masih tanpa suara.
“Kenapa?” Entah kenapa gue juga ikut bicara tanpa suara.
“Sini aja.” Tangannya lebih mendekat. “Sorry ya.” ucapnya seraya ngambil alih tas gue. Sikapnya pagi ini otomatis ngebuat gue terdiam seribu bahasa. Walaupun gue cuma bisa 2 bahasa doang. Rasanya napas gue sempat tercekat sekitar 2 menit lamanya.
“Thank you.” Dia nganggukin kepalanya sambil tersenyum. Bagian kiri tubuhnya cukup sibuk, di mana tangannya masih sibuk menahan handphone di telinga, ditambah lagi tas selempang gue yang seperti kantong ajaib itu tersampir di bahu kirinya. “Can I?” Dia ngulurin tangannya lagi. Gue gak tau apa maksudnya, tapi gue merasa itu masih ada urusan dengan tas gue yang ada di bahunya sekarang. Jadi, gue hanya menganggukan kepala. Tapi, apa yang dia lakukan selanjutnya ternyata bukan hanya ngebuat napas gue tercekat, tapi juga ngebuat gue ingin pingsan dibandingkan urusan tas. Alasannya karena dengan bagian kanan tubuh yang kosong melompong, otomatis ngebuat tangan kanannya tidak memiliki kerjaan lain. Akhirnya, dia manfaatkan situasi itu untuk narik tangan gue–tepatnya jari-jari–ke dalam genggaman tangannya.
“Oma opa mana?” Kali ini dia bertanya setelah mengakhiri telepon dengan Haira. Gue masih diam karena langkah tiba-tiba yang dilakukannya beberapa detik sebelumnya. “Anulika,” panggilnya menyadarkan.
“Eh, masih bobo, tapi semalam aku udah pamit kok, Kak.”
Setelah Kak Hart membalas jawaban gue, kita berdua hening. Gue sendiri sibuk mengatur debar jantung yang sejak tadi rasanya gak mau berhenti. Serem juga sih kalau berhenti.
Perjalanan dari teras rumah ke tempat dia markir mobil yang biasanya hanya butuh waktu2 menit, berasa seperti 15 menit lamanya.
“Kak Hart”
“Anulika”
Bersamaan kita manggil nama satu sama lain.
“Kamu aja dulu,” katanya.
“Gak penting sih, eh penting nanti dia ngambek lagi, itu Haira gimana?”
“Gapapa, aman. Gue udah minta tolong ke Euan kok.”
Gue cuma ber-oh ria mendengar jawaban dari dia.
“Anulika,” panggilnya. Gue natap wajahnya sebentar. “Kita ngobrol nanti kalau udah sampai kampus aja ya.”
Setelah dia ngomong itu, kita berdua sampai di depan mobil miliknya. Tepatnya di samping kiri mobil.
“Ok.” Gue senyum.
“Ok.” katanya membeo. Kemudian ngebukain pintu mobil tersebut. Nungguin gue masuk dan nutup pintu itu setelahnya.
Parkiran udah hampir penuh waktu kita berdua sampai dan kelihatannya rangkaian ospek sudah dimulai, tapi dia dengan santainya masih nemenin gue di dalam mobil. Dia cuma ngomong kalau posisinya gak begitu dibutuhkan di lapangan.
Dari 5 menit waktu yang kita habisin di dalam mobil di parkiran ini, pembicaraan utama kita belum tersenggol sama sekali. Karena gregetan, gue merasa harus kembali bertanya untuk memancing obrolan. Tapi, ternyata dia udah paham dengan gerak gerik gue atau mungkin bisa jadi dia dukun yang tau gue mau ngapain. Makanya, sebelum gue mulai ngomong dia udah lebih dulu ngomong.
“So, kemarin Warren ngechat aku.” Ok. It’s kinda shocking, tapi gue mencoba untuk santai.
“Dia ngajak kamu berantem?” Hello, welcome back. This is Anulika. Gue harus bercanda biar gak tegang. Walaupun gak lucu. Well, setidaknya Kak Hart ketawa.
“Ngapain juga? Hahaha.” Dia berhenti sebentar untuk menyelesaikan tawanya. “Gak. Dia cuma ya gitu deh.”
“Gitu gimana?”
“Pokoknya dia tuh. Gitu deh.”
“Apa sih kamu gak jelas banget mending kamu liatin aku chatnya.” Gue bercanda waktu minta dia ngeliatin chatnya. Karena kesal cara dia ngejelasin apa yang terjadi itu malah ngebuat makin rumit. Surprisingly, dia malah ngasih gue handphonenya dan nyuruh gue untuk ngeliat sendiri. Tapi, gue tolak dan nyuruh dia untuk tetep megang handphonenya.
“Gak. Kamu aja yang pegang, aku bisa liat kok dari sini.” Gue merapatkan diri ke arahnya.
Setelah membaca dan mengamati tiap kalimat di dalam ruang chat tersebut. Gue cuma bisa berharap kalau saja ada Kak Warren di hadapan gue lewat detik ini juga, gue pengen banget ngejambak kepala dia tapi juga ngucapin terima kasih. Gue malu dan kesal, tapi seneng. Tapi, gue malu.
“Terus kemarin mau nanyain apa? Tentang dia nembak kan udah aku tolak. Tentang aku yang milih kamu, kan emang bener?” Sikap tidak tahu malu gue rasanya selalu muncul di keadaan seperti ini. Tapi, ada 1 hal yang menarik perhatian gue, yaitu 3 baris chat terakhir dari Kak Hart “Tapi…”
Dia menaikkan satu alisnya dengan raut wajah bertanya.
“Kamu ngerasa lucky kenapa? Hehehe.”
Dia mengabaikan pertanyaan terakhir gue dan milih untuk ngejawab rentetan pertanyaan pertama. “Iya. Aku mau tau tentang itu. Aku mau tau perasaan asli kamu. Aku mau tau…” kalimatnya terputus. “Gak, kalau aku lanjutin kesannya aku gak bisa percaya sama kamu. Aku gak jadi nanyain itu kemarin pun karena aku mau percaya sama kamu.”
“But, now you sound like that. I mean, kamu kedengaran lebih gak percaya sama aku. Dengan cara kamu coba buat abaikan perasaan kamu sendiri.” Dia diam mendengarkan. “Kepercayaan kan juga bisa diraih dari bertanya, Kak. Gak ada salahnya. Itu malah nunjukin kalau kamu peduli.” Peduli dengan hubungan kita.
Dia terus diam. Dentingan dari handphone-nya lah yang memecah keheningan itu. Selanjutnya dia kembali bertanya, “Can I?” Pertanyaan yang sama dengan tujuan berbeda.
“Holding hands lagi?” Gue ngangkat tangan gue sejajar dengan wajah. Hal tersebut memecah tawanya. Kekhawatiran yang ada di wajahnya perlahan hilang, diikuti dengan suasana yang mencair.
“Itu boleh juga,” katanya masih dengan tawa yang tak henti. “Maksud aku, aku boleh selalu nanya ke kamu? Kamu gak bakal tersinggung dan ngerasa aku gak percaya ke kamu kan?”
“Of course not, Kak Hart. Malah aku seneng kalau kamu nanya. Hal sekecil apapun itu. Aku siap untuk jawab iya tiap waktu.”
“Jawab iya jangan tiap waktu. Tapi,” Dia terlihat ragu untuk ngelanjutinnya. “Ada satu waktu yang aku pengen banget kamu jawab dengan iya. Kalau nanti udah saatnya aku tanyain itu, aku harap jawaban itu masih available, Anulika.”
Sepertinya oksigen dalam mobil ini habis. Karena rasanya gue akan pingsan 5 detik lagi.
“Now, Can I?” Dia menjulurkan tangannya ke arah gue. “Holding hands?”
Ok. Sekarang gue udah beneran pingsan.