365

Suara bel yang kemudian diiringi ketukan pintu yang terdengar membuat gue berjalan dengan cepat untuk membukakan pintu dan menyambut seseorang yang sejak tadi sudah ditunggu-tunggu oleh ibu, oma, opa, dan tentu saja tak terlupakan gue sebagai bintang utama di rumah ini. Walaupun gue yakin gelar bintang utama tersebut akan segera tergantikan oleh Kak Hart. Opa dan oma selalu nunjukin ekspresi yang sama tiap denger kalau Kak Hart bakalan datang ke rumah. Kali ini ekspresi senang itu terpancar di wajah keriput keduanya.

Di hadapan gue saat ini berdiri seorang laki-laki dengan 1 buket bunga tangannya. Tangan gue udah siap untuk menerima buket itu waktu Kak Hart ngomong, “Hai. Ini buat Ibu kamu.”

“Oh… Masuk aja, Kak. Anggap rumah sendiri aja.” Jujur saja gue saat ini pengen teriak saking malunya. Kemudian karena tidak fokus dan juga ditambah dengan sedikit rasa kesal. Waktu ngenalin Kak Hart ke ibu gue malah ngomong, “Ibu ini kenalin calon suami aku.” Tanpa sadar gue kebawa candaan dengan Haira sejak kemarin malam.

Gue masih diam dan dengan santai menunggu respon dari ibu. Tetapi, situasi ruang tengah terasa terlalu senyap. Di saat itu gue baru sadar dengan apa yang gue ucapin. Tiba-tiba pipi gue terasa panas dan perasaan malu menjalar di tiap pembuluh darah. Dengan cepat gue lari ke dalam kamar, tanpa menghiraukan panggilan atau teriakan dari ibu. Gue terlalu malu untuk menghadapi Kak Hart detik ini juga. Dalam hati juga memaki Haira karena perkataannya tadi dengan cepat terkabulkan.

Sedikit walaupun samar-samar gue masih bisa mendengar obrolan dari mereka berdua sebelum menutup pintu kamar.

“Biarin aja, Tan. Nanti kalau udah gak malu pasti balik lagi.” You know me so well nih ceritanya?

“Tau banget kamu.” Nah kan ibu aja setuju sama gue.

Setelahnya gue udah gak bisa dengar apa-apa lagi, karena gue milih untuk masuk ke dalam kamar dan mendinginkan diri.

Di saat gue keluar dari kamar setelah proses “mendinginkan” diri, gue memilih untuk mengangkat topik apa saja yang terlintas di kepala dengan harapan mereka melupakan apa yang tadi gue katakan. “Ibu masak banyak banget, mending makan sekarang ayo sebelum dingin.”

“Banyak dong, kan buat calon suami kamu.” Ibu dan Kak Hart tertawa. Begitu juga dengan oma opa yang baru saja bergabung di ruang tamu.

“Aduh udah dong aku tuh malu tau.” Gue lupa kalau ibu bener-bener jahil.

Semuanya kembali tertawa menyisakan gue yang masih berpura-pura merajuk sebelum akhirnya ikut tertawa.

Makan malam kita berjalan dengan sangat lancar, obrolan-obrolan pun mengalir dengan baik. Sesuai dugaan gue, Kak Hart malam ini jadi bintang utamanya. But, I’m not complaining. Justru gue seneng. Bahkan, ibu memberitahukan sesuatu hal yang cukup mengejutkan buat gue dan awalnya juga gue pikir Kak Hart bakalan terkejut. Tetapi, dari ekspresinya yang biasa saja. Gue yakin dia udah tau tentang ini sebelumnya. Mungkin juga ibu yang ngasih tau tentang ini ke dia tadi waktu gue ninggalin mereka di ruang tamu.


Tak terasa jam udah nunjukin pukul 10 malam yang tentu saja mengharuskan Kak Hart untuk balik ke rumahnya. Sedangkan gue ditugaskan ibu untuk nganterin dia ke depan parkiran mobilnya. Walaupun kenyataannya tanpa disuruh pun gue pasti bakalan maju paling depan untuk nganterin Kak Hart.

“Anulika,” panggilnya membuat gue menoleh. “Thank you buat hari ini, ya.”

“Aku yang thank you, Kak.”

“Jam malam kamu masih jam 12 kan?” Dia melihat jam yang terbalut di pergelangan tangannya.

“He’em.”

“Mau jalan dulu gak?” Senyuman mengembang di kedua wajah gue. This is what I want.

“He’em.” kataku lebih bersemangat.

Gue masuk lagi ke dalam rumah untuk ngambil jaket dan mengunci rumah. Ibu, oma, dan opa sudah ada di dalam kamarnya masing-masing.

“Ayo, Kak.” Dia ketawa melihat tingkah gue yang terlalu bersemangat di tengah malam seperti ini.

Kebiasaan Kak Hart bukain pintu mobilnya untuk gue masih terus bertahan sampai detik ini, setelah dia memulainya beberapa hari ke belakang. Sehingga, gue pun sudah mulai terbiasa. Tapi, sepertinya laki-laki satu ini tidak puas hanya membuat gue kaget dengan sikapnya itu. Dia selalu mencari cara untuk membuat gue kembali kaget dan ingin pingsan dalam hitungan detik.

Kali ini dia memilih untuk bertingkah sedikit berbahaya. Gimana gak bahaya? Setelah gue duduk dengan manis di seat gue, Kak Hart mendekatkan tubuhnya hingga suara napasnya pun dapat gue dengar. Kemudian, dia narik seatbelt yang ada di samping gue dengan satu tangan menopang tubuhnya. Tanpa sadar gue berhenti bernapas ketika sadar betapa dekatnya jarak kita berdua.

Setelah memastikan seatbelt gue terpasang dengan baik, dia kembali ke seatnya. “Gimana nyaman?” tanyanya yang gue balas dengan dua jempol ke atas. Dia tertawa.

Perlahan mobil ini bergerak meninggalkan rumah gue. Setelah beberapa menit sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kak Hart yang merapikan spion tengah dan juga memencet beberapa tombol yang gue gak tau fungsinya. Gue yang sibuk dengan menyambungkan spotify dan speaker mobilnya. Akhirnya, kita berdua mulai ngobrol kembali dengan nyaman.

“Kamu kok ga kaget sih, Kak?” Pertanyaan gue membuatnya menolehkan pandangan ke gue. “Ih, liat depan aja. Lagi nyetir.”

“Oh, sebenernya aku udah sadar sedikit kalau kamu itu anak kecil nakal yang dulunya tinggal di samping rumah.” Gue mencubit lengan kirinya dan membuat dia sedikit berteriak, tetapi setelahnya malah tertawa. “Waktu kamu pindah aku sempat sedih tau. Tapi, namanya juga anak kecil.”

“Dih kamu bocil naksir aku duluan ya.” kata gue mengejek.

“Iya mungkin.” jawabnya.

Gue pengen banget teriak di telinganya untuk stop buat jantung gue berhenti berdetak 1 detik karena serangan-serangan kalimatnya yang tidak terduga.

“Kamu kesel ya?” tanyanya kembali.

“Karena apa?” Gue nengok ke dia yang masih fokus dengan jalan di depan.

“Gak aku bawain bunga tadi?” Gue ketawa mendengar pertanyaannya.

“Gak lah, Kak. Ngapain? Mahal.” kata gue mencoba mengikuti sound yang sedang trend di tiktok tersebut, termasuk juga dengan gerakan tangannya. Hal tersebut kembali memicu tawa dari Kak Hart.

“I like them.” katanya mengarah kepada duo content creator tiktok yang sedang ramai.

“Me too.”

“But, I think I like you more.” Sebelum gue bisa memberikan balasan, dia dengan cepat memutar topik kita. “Jadi kamu masih mau bunga gak?”

Seperti yang pernah gue bilang. Kali ini gue akan ngikutin permainan Kak Hart. “Of course, I do. Kamu kan tau how much I love flowers.”

Dia mengangguk. “I do know.” Kemudian kembali melanjutkan. Entah setan apa yang merasuki Kak Hart karena tiba-tiba dia berubah sangat-sangat talkative. “Kamu tau gak aku suka apa?”

Gue berpikir sejenak. “Lari pagi?” tebak gue.

“Iya, itu juga. Tapi, ada lagi yang lain.”

“He’em. Aku?” Dia ketawa. Lagi. Apakah gue seperti badut?

“Iya. Tapi, jawabannya yang bener kupu-kupu.” katanya membongkar kunci jawaban dari soal yang dia berikan ke gue. Bahkan, selama dia jadi tutor gue, gak pernah sekalipun dia ngasih gue kunci jawaban dengan mudah.

Seperti ada lampu di atas kepala. Gue mengingat obsesi laki-laki satu ini terhadap segala yang berbau kupu-kupu. Hal itu mirip dengan obsesi gue ke bunga dan stroberi. Roti dan selai. Bunga dan kumbang. Romeo—Ok gue mulai ngaco. “Ah, iya aku inget.”

“Good.”

Ekspresi penuh tanda tanya terpahat di wajah gue. Setelahnya gue bisa ngerasain mobil kita berhenti di suatu tempat.

“Kok berhenti?”

Dia gak menjawab dan memilih untuk turun dari mobil dan pergi ke bagian paling belakang mobil. Kemudian dari situ diambilnya satu buket bunga yang jauh lebih besar dari yang diberikan ke ibu. Kak Hart kembali masuk ke dalam mobil, duduk di posisi yang sama dengan keadaan yang berbeda yaitu membawa buket bunga tersebut.

“Ini apa?” Pertanyaan bodoh keluar dari mulut bodoh gue.

Dia ketawa. “Kamu.”

“Ha?”

“Iya kamu. Aku mau kamu terus jadi bunga, Anulika. Sedangkan, aku jadi kupu-kupu yang bakal datengin kamu. Bakal terus nyari kamu. Lebih menarik saat bareng kamu.” Dia mindahin buket bunga dari genggamannya ke genggaman gue. “Just be the flower and I’ll be the butterfly, Anulika. All you need to do is stay still and wait till the butterfly comes to you. I’ll come to you.”