375

“Aku pikir kamu masih di jalan tau.” Gue dengan tergesa keluar dari pintu rumah dan berjalan mendekat ke arah dua laki-laki yang umurnya terpaut jauh tersebut. Keduanya tengah asyik bercengkrama gak tau membahas apa. Semakin sering Kak Hart datang berkunjung, semakin random juga obrolan mereka. Kadang gue sampai harus memisahkan diri karena tidak ingin mengganggu. Walaupun kenyataannya sih karena gue emang gak bisa masuk di antara cerita mereka. Gue jadi gak percaya kalau gue adalah cucu kesayangan opa atau perempuan yang katanya lagi “diperjuangkan” oleh laki-laki dengan jaket denim dan sepatu nike keluaran terbaru itu.

Banyak yang terjadi di antara gue dan Kak Hart yang kalau harus diceritakan secara detail dan mendalam mungkin bisa setebal Oxford English Dictionary. Tapi, untuk bilang kita berdua ada di hubungan yang resmi sepertinya belum tepat. We talk a lot. We spent time as much as possible. Banyak pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan yang kita bicarakan. Menurut gue, kita itu gak cuma hidup di masa kini, tapi kita juga hidup di masa lalu dan masa depan. Makanya, gue mencoba untuk komunikasikan semuanya dengan Kak Hart. Iya mencoba. Karena sejujurnya masih ada satu hal yang cukup mengganjal sejak satu dua bulan lalu di diri gue dan masih belum berani untuk gue tanyain ke dia. Why did he text me again?

Bohong kalau gue bilang gue gak loncat kesenangan waktu dia mulai nge-react instastory gue setelah sekian lamanya we’re not talking. Apalagi dilanjutin dengan dia nelpon gue–yang katanya kepencet–waktu itu. Then he finally texted me again. Setelah itu gue cukup bertanya-tanya alasan di balik itu semua. But, I’m not brave enough to bring myself in front of him and ask about it. Gue takut dengan jawabannya. But, oh to be in this situationship. What should I do? He always tells me that this is his turn to go after me. Eventually, he never said out loud about his feelings to me.

Gue tau dia care sama gue, gak mungkin pagi hari buta gini dia datang ke rumah opa oma gue tanpa bawa perasaan apa-apa kan? Datang untuk mastiin if I'm ok. But, sometimes what women need is the words. Words of certainty.

“Opa dicariin oma tuh di belakang.” Gue gak sepenuhnya bohong karena tadi oma beneran nanyain opa di mana. Iya cuma sekedar nanyain doang bukan nyari. But, I’m not lying ‘kan?

Setelah berpamitan dengan Kak Hart selama 5 menit, akhirnya opa meninggalkan gue dan Kak Hart berdua.

You look... good.” sapanya, tersenyum. Senyum yang gak pernah gagal buat gue jatuh cinta.

I do lah, Kak. Kan aku udah bilang aku gapapa. Kamu sih gak percayaan.” Gue mencoba untuk mengalihkan pandangan. Takut makin cinta. Tapi percuma sih karena cintanya udah terlalu dalam. Hehe.

Sorry.” Gue mendengus kesal.

“Ih stop saying that. Mending sekarang kita pergi cara sarapan. Aku pengen bubur ayam.” Gue menarik dia pergi dari teras rumah ke area parkir. Pagi ini dia datang dengan sepeda motornya. Untung saja waktu itu kita sempet beli helm untuk gue. Karena di rumah oma opa sama sekali gak ada helm yang layak untuk dipakai. Akhirnya, dia berinisiatif untuk beliin gue helm dengan warna merah muda. Warna yang terlalu melekat di gue. Sama seperti perangko.

Dia juga udah pakai helm dan duduk di atas motor, siap untuk pergi. “Tas.” Tak lupa meminta tas gue untuk diselempangkan di badannya.“Tapi, instagram kamu?” Sempatnya kembali khawatir.

“Bahasnya nanti aja.” balas gue. Kemudian naik ke atas motor dan juga memegang ujung-ujung jaket denimnya. Gue gak mau modus sok-sok gak sengaja peluk dia, walaupun rasanya magnet di dalam diri gue dan Kak Hart saling tarik-menarik dengan sangat kuat.

Perjalanan untuk sampai ke tempat bubur ayam yang katanya enak banget ini hanya butuh 10 menitan saja. Kita berdua memilih untuk duduk di bagian yang sedikit terbuka, bukan di bawah pohon karena tempat itu sudah ditempati oleh satu keluarga yang sepertinya habis berolahraga pagi.

“Kamu udah jarang lari pagi ya, Kak?”

“Masih kadang. Tergantung.” Dia ngebukain air mineral botol dan disodorkan ke gue. “Kamu?” Kali ini tangannya sibuk mengelap sendok dan garpu, setelah bubur pesanan kita diantarkan oleh mamangnya.

“Aku sih jalan pagi doang.” Tangan gue udah terjulur untuk ngambil sendok dan garpu dari tempatnya yang ada di dekat Kak Hart.

“Ini.” katanya memberikan sendok dan garpu yang dia lap tersebut ke gue. Setelahnya mengambil untuk dirinya sendiri. Gue berterima kasih dan memulai menyantap bubur tersebut setelah merapalkan doa.

Kita berdua hanyut di dalam kenikmatan bubur ayam ini dan memutuskan untuk fokus menikmatinya. Dia menandaskan mangkuknya dalam 5 menit dan gue butuh 3 kali lipat dari waktunya untuk membersihkan mangkuk sendiri.

“Ini bubur ayam terenak yang pernah aku datengin.” Cukup menggebu-gebu karena gue beneran jatuh hati dengan bubur ini.

“Setuju.”

Setelahnya kita berdua kembali mengobrolkan banyak hal, seperti hubungan Haira dan Kak Euan yang gue sendiri bingung harus deskripsiin seperti apa. Kemudian hal-hal random yang kita berdua liat di jalanan. Kali ini kita berdua berlomba untuk menemukan plat nomor kendaraan dengan angka yang awalnya telah kita sebutkan. Siapa yang pertama ketemu angka yang sama maka dia pemenangnya. Gue nyari nomor yang disebutkan Kak Hart dan sebaliknya.

Kali ini dewi fortuna ada di pihak gue karena 2 menit setelah Kak Hart nyebutin angka pilihan dia, mobil dengan plat nomor kendaraan yang sama melintas tepat di hadapan mata kita berdua. Menimbulkan gelak tawa dari gue dan Kak Hart. Karena jujur saja permainan ini tidak pernah berujung dengan adanya pemenang. Itu juga yang menjadi alasan kita selalu memainkannya. Karena dengan begitu kita berdua dapat terus menghabiskan waktu bersama. Untuk tertawa.

“Ini udah kan?” Tangannya menunjuk ke mangkok bubur yang telah kosong. Gue balas dengan anggukan. Kak Hart berdiri dan membawa mangkuk milik kita berdua untuk diberikan kembali ke abangnya, sekaligus membayar. Sedangkan, gue memilih untuk bermain handphone sembari menunggu Kak Hart manggil gue untuk balik. Gue terlalu begah kalau harus berdiri detik ini juga.

Saat melepaskan pandangan dari handphone, gue tidak nemuin Kak Hart di dekat gerobak bubur ayam. Mata gue akhirnya kembali mengedar dan akhirnya menemukan Kak Hart di dekat pohon yang tadi sempat gue sebut. Di sana dia berbicara dengan 2 orang perempuan. Karena penasaran akhirnya gue mencoba mendekat secara perlahan.

“Maaf, tapi tolong dihapus kalau cewek yang bareng gue masuk ke dalam fotonya, ya. Gue minta itu aja. Kalau mau foto sama gue boleh banget. Tapi, jangan cewek gue. Sorry ya. Bener-bener sorry.” Tangannya bersatu seperti saling menepuk, meminta tolong dengan sangat lembut ke kedua perempuan tersebut. Dari pembicaraannya sepertinya gue bisa menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Apalagi setelah apa yang terjadi semalam di media sosial. Hanya ada satu kemungkinan terbesar yaitu kedua perempuan itu mengambil foto atau video gue dan Kak Hart secara diam-diam. Sayangnya, Kak Hart peka dengan hal itu dan menegur mereka.

“Loh kapan kamu ke sini?” Raut wajahnya kaget waktu berbalik dan ngeliat gue udah berdiri tidak jauh dari dia. Sedangkan, dua perempuan tadi sudah menghilang ke kerumunan lainnya.

“Baru aja kok. Itu kenapa?” Gue bertanya dengan menunjuk menggunakan kedua alis mata.

Nothing. Mereka mau ngefoto aku tapi kamu ikut kefoto jadi aku minta hapus aja.” Dia berjalan mendekat dan berdiri tepat di samping gue. “Can I?” Mulai waktu itu, tiap Kak Hart mau genggam tangan gue, dia akan selalu izin dengan satu pertanyaan yang lain dan tak bukan adalah Can I?

Dia narik tangan gue ke dalam tangannya setelah mendapatkan izin dari gue. Menyelipkan jari-jari kita hingga tertaut dengan erat. Diangkatnya tangan gue dan kemudian diteliti dengan perlahan. “Your hands are so small.” Hampir saja gue marah karena berpikir itu adalah candaannya. “But, it looks perfectly fine in my hands.” Instead of being mad, I am blushing.

Mungkin cara dia untuk nunjukkin perasaannya ke gue adalah dengan tindakan-tindakan sederhana tersebut. Sesederhana bawain tas gue tiap ke mana-mana. Sesederhana bukain tutup botol minum gue waktu gue haus. Sesederhana ngelapin sendok dan garpu gue waktu mau makan. Sesederhana itu. Tetapi, dilakukan terus menerus tanpa henti. Sesederhana peduli dengan privasi gue. Akhirnya, gue paham kenapa dia tadi sekhawatir itu ke gue. Itu cara dia.