385

Hubungan gue dengan Kak Hart saat ini cocok disebut dengan “situationship”. Kita ada di sebuah garis. We’re not friends, but not lovers either. We’re in the middle of that. Bukan hitam, apalagi putih. Kita abu-abu.

Dia minta gue untuk nunggu. So I do it. I wait for him. I wait... Wait... and still waiting…

Sometimes it kinda irritates me. Gue ngerasa hubungan kita berjalan terlalu pelan, sampai di saat yang gue bingung apa dia bener-bener akan ngejar gue seperti janjinya? Belum lagi gue juga masih punya beberapa hal yang gue pendam. Hal yang buat gue bertanya-tanya, tapi gue terlalu cupu untuk bring that thing up. Salah satu dari yang paling penting adalah alasan kenapa dia milih untuk kembali ngehubungin gue. I know that I should just be happy that he finally ‘wants’ me. Whatever the reason is, I’m trying to understand him. But, I still want to know why. I deserve a proper answer and reason.

Seperti biasa gue naik ke mobilnya dengan penuh senyum. Gak ada bedanya dengan robot yang udah diatur dalam sebuah sistem, senyum gue selalu aktif secara otomatis setiap bersinggungan dengan Kak Hart. Rasanya gak bisa sedetik pun gue gak senyum tiap ngeliat wajahnya. Dia bales senyum itu dengan senyuman yang sama. Senyuman yang selalu dan gak pernah gagal ngebuat gue merasa ada yang ngelindungin.

“Mau jajan ke mana?” Tangan gue bergerak untuk mengatur suhu AC. Udara siang ini terlalu panas dan menyengat.

Wait.” Bukannya menjawab pertanyaan gue, Kak Hart malah mengulurkan tangannya ke arah kursi belakang. Kemudian kembali ke depan dengan satu buket bunga di tangannya. Tadinya gue pikir dia lupa untuk bawain gue bunga. As he always do.

Buket bunga itu berpindah ke tangan gue. “Flowers,” katanya.

Another flower for no reason?” Buket tersebut gue peluk dengan erat setelah membauinya. Dia senyum, maybe more like giggling.

Where do you think we are going?” tanyanya setelah memakai sabuk pengaman untuk dia dan tentu juga untuk gue. Mungkin karena dia punya Haira dan Bunda, he knows how to treat woman. Gak pernah sehari pun dia ngebiarin gue repot. Inisiatif bisa jadi nama tengah dari Kak Hart.

Hal-hal yang mungkin sepele dia lakukan buat gue, seperti contohnya bawain tas, ngelap sendok dan garpu pakai tisu, bukain botol air mineral, ngecilin volume ac tiap gue mulai rapetin jaket, dan terlalu banyak hal kecil lainnya yang mungkin gue sendiri pun ga notice untuk gue jabarin. But, he always wanted to make sure that I was comfortable ‘being’ with him.

“Jajan?” Gue sengaja balik bertanya ke dia karena gue beneran gak tau kita bakalan ke mana, yang gue tahu dia ngajak gue buat jajan.

Dia ketawa. “Iya jajan. Mau ke mana dulu?” tanyanya.

Dia nungguin gue buat ngasih jawaban, sedangkan gue malah ngeluarin wajah bingung.

“Aku tau kamu punya note yang isinya ‘place to go with Kak Hart’ di hape kamu.” Gak lupa dengan kedua tangannya yang memperagakan tanda kutip seakan judul dari note gue itu hal yang harus ditekankan dalam kalimatnya.

“Ih kamu tau dari mana?” Note yang gue rahasiain dan cuma cerita ke Haira doang–oh udah jelas kalau ini Haira pelakunya. “Pasti Haira kan?”

More giggling came from him.

“Ok. We’re going there. The first place on your notes.”

Shit, he must be planning this. Dia udah nentuin bakalan ke mana, tapi dia nanya gue untuk ngasih kesempatan godain gue tentang note itu. Kesel.


Tempat pertama yang gue dan Kak Hart datengin itu tempat jualan dessert. Gue tahu tempat ini dari salah satu tiktok ‘kamus makanan online’ katanya sih disini bisa dessert date dan bonusnya ada photobox.

“Kak, I will give you a thumbs up.” Gue ngomong dengan sendok di mulut dan dua jempol ke atas. “Kamu tau gak sih kalau hari ini tuh panas banget. Aku seneng kita bisa makan es keyim.” I always said es keyim instead of ice cream in front of him. I love it and I know he loves it too. So, I’ll do it over and over again.

He’s muttering a thank you. “Coba kamu hadap sana deh.” Dia nunjuk ke arah depannya, tepatnya ke belakang gue. Karena kita berdua lagi duduk berhadap-hadapan.

“Hadap mana?” Gue menyerngitkan jidat heran.

“Ke belakang kamu, Anulika.” Gue menuruti arahannya dan duduk berbalik membelakanginya.

Kak Hart berdiri dari tempatnya duduk, gue tahu dari suara kursi yang bergesekan dengan lantai. Kemudian suara langkah kakinya berhenti tepat di belakang dan perlahan gue bisa ngerasain tangannya yang menyisir tiap bagian rambut di kepala gue. Sempat kaget karena gerakan tiba-tiba dari dia, gue berusaha untuk stay calm. Tapi, sepertinya kak Hart sadar, melihat gimana dia langsung mengeluarkan suaranya, “Ini aku kok. Tunggu bentar.”

Tangannya masih sibuk bermain di atas kepala gue sepersekian menit. Setelahnya yang gue tahu rambut panjang gue yang terurai berantakan sudah terikat menjadi satu ikatan tinggi.

“Cantik.” katanya setelah menarik tangannya dari atas kepala gue yang otomatis membuat gue beralih melihat dia.

“Kamu ngikatnya pakai apa?” Dia jalan dan duduk kembali di tempatnya. Sedangkan gue masih duduk seperti tadi dengan tubuh yang berputar melihat ke belakang. Kalau saja pinggang gue sakit pulang dari sini, itu salahnya Kak Hart.

Yours.” Dia menunjuk pergelangan tangannya yang selalu berhiaskan ikat rambut hitam gue. Ikat rambut yang sejak di Bandung dibawa kabur oleh laki-laki di hadapan gue. “Iket rambut item kamu.” Dia ketawa.

I know. I know that his small actions always caught me off guard. Tapi, gue gak mau salting di hadapan dia. Terlalu banyak salting yang gue tunjukin, takut dia capek dengan kelakuan gue. Akhirnya, gue ngealihin percakapan setelah ngucapin terima kasih dan duduk dengan baik biar pinggang gue gak patah. “Aku pengen take away red velvet bronie-nya deh, Kak. Rasanya kurang puas cuma makan di es keyim doang.”

“Boleh aja. Tapi inget kan list place to go kita masih panjang?” I love how he said 'kita' instead of 'kamu', padahal yang buat list itu gue. Tanpa seijin dia lagi. But, it turns out he loves it more than me. He’s just too excited about it and I'm excited about going to these places with him.

“Hehe, masa mau diselesain hari ini juga semuanya? Ntar aku ga punya ide lagi dong ngerecokin kamu buat ngajak ke sana dan ke sini.”

“Gapapa, kan gantian aku lagi yang ngerecokin kamu.” Dia ngangkat sendok miliknya. “Punya kamu enak banget ya? Can I try it?” Dia nyendokin sendoknya ke es krim gue setelah menerima anggukan izin dari gue. Gue ngeliatin ekspresi dan juga respon seperti apa yang bakal dia keluarin. Dia ngeliat gue. “Manis.” Mata kita berdua saling menarik, tanpa ada satupun yang mau memutuskannya.

Rasa panas yang tadi hilang karena bantuan Kak Hart dengan ngiketin rambut gue–juga AC di cafe ini–tidak cukup kuat menghilangkan rasa panas akibat tatapan matanya.

I wish I could freeze this moment forever. I wish.

Getaran handphone di meja menjadi alasan kita berdua berhenti dengan adegan tatap-tatapan yang mungkin di mata orang lain ini cringe. But, I know for sure, if they are in my shoes. I can guarantee they can’t take it. Or maybe the correct answer is they want to take Kak Hart only for themselves. Gue gak mau Kak Hart dilihat banyak orang, because 'he’s mine'. But, at the same time gue pengen orang-orang ngeliat, I want to show off to people that 'he’s mine'. Gue kayanya udah gila karena udah jatuh sedalam ini.

Gue ngelirik dia, matanya melotot kaget. “Kak, what’s wrong?” Rasa panik dan khawatir menjelajah di seluruh tubuh gue.

“Anulika,” panggilnya pelan.

“Iya, Kak?” Gue gak bisa nyembunyiin rasa panik.

No, don’t panic. It’s not something bad, rather it's something great.” Gue bisa bernapas lega. “Gue dapet offer,” dia mengatakan satu per satu dari kalimatnya dengan pelan. “Dari salah satu agensi. The one that I’ve told you.” Ah, it's the model things.

Panik gue berubah jadi tenang dan mungkin haru. Gue tahu seberapa sering dia ngobrolin tentang keinginannya join di salah satu agensi. Keinginan yang muncul semenjak dia nyaman dengan dunianya. Alasan dia masih bertahan untuk mix and match outfit di tiktok pun karena berharap dapat di-notice dengan mudah. Finally he got it.

“Terima kasih, Anulika.” Gue diem. Bingung harus ngerespon seperti apa. I don’t know why he’s thanking me for this.

“Kok ke aku makasih nya?”

“Kalau bukan sama kamu aku gak tahu harus sama-sama sama siapa?” Gue bingung dengan jawabannya. “No, I’m just being grateful, Anulika.” Dia senyum dan mendekatkan tangannya, mengacak rambut gue dengan sesuka hati. “Thank you.

Gue sedikit mengeluh, tapi tidak menyingkirkan tangannya dari kepala. “You deserve it, I'm happy for you. Kamu pasti bakalan jadi model yang keren.” I mean it.

“Tetep temenin aku ya.” He said.

Gue mungkin lupa cerita, Kak Hart udah dapet beberapa offer jadi model photo shoot beberapa kali sebelum ini for a few brands. Tapi, dengan join agensi kesempatannya untuk become the real models–to clarify I’m not saying that others is not a real models–is getting closer. Dia selalu ceritain about his dreams to become a model. So I was happy. Yes. I was happy. But, it means he will get bigger.

Wow, he’s getting bigger.

“I will,” I answered.*

He smiles. But, those smiles didn’t make me calm. Some anxiety comes to hit me.

Apa gue bener-bener bisa bertahan tanpa status yang jelas dengan dia yang bakal semakin banyak dikenal orang? I know that he's already well known now. But... I don’t know what happened to me. Insecurity was never in my dictionary. That’s not my problem… or maybe I tend to ignore it and don’t recognize it as a problem.

My head is starting to make a noise. So noisy.

When will I have the courage to tell him about all my worries? When? When will I have the courage to ask him why he called me again? When? When will I have the courage to ask him what we are? When? When will I proudly say ‘he’s mine’? When? When will I stop thinking about this stupid things?

Too much stalling.

I wish one day I could say that, ‘loving him was hard, but it’s worth my lifetime.’ I don’t want all of this to be in vain. I can’t deceive myself for too long. I want to ask him. Now. What he aims to do. With me.