420

“Emang aku kelupaan apaan sih kak?” Anulika masuk ke dalam mobil gue dan duduk tepat di samping gue. Di kursi yang terlihat sudah seperti miliknya. No… It’s hers.

Selain Bunda dan Haira, gue gak bisa ngeliat ada perempuan lain yang duduk di seat itu. Hanya Anulika seorang. Dan gue harap selamanya akan seperti itu. Tapi, apa sih arti dari selamanya?

Mungkin kalau tadi Anulika tidak bersuara, gue masih akan sibuk dengan lamunan seorang diri. Gue bahkan gak dengar suara pintu yang terbuka. Lucky me Anulika has this noisy habit. P.S I’m not complaining.

Gue gak langsung menjawab pertanyaannya, melainkan bergerak untuk mengambil sesuatu di jok belakang. Meraba-raba untuk meraih barang tersebut. Anulika tidak kepo, dia tetap menatap lurus ke depan, sedikit memainkan kuku jarinya. Gue kembali ke posisi awal setelah mendapatkan apa yang gue cari.

“Isn't this yours?” tanya gue sambil mengarahkan bouquet di tangan ke arah Anulika.

“Eh,” Anulika ngambil bouquet yang gue kasih dengan wajah bingung, tapi dia masih juga tidak melihat ke gue. Entah kenapa sejak tadi sore dia selalu mencoba untuk meniadakan kontak mata diantara kita berdua. Dia diam sebentar. Kemudian mempertanyakan hal yang membuat dia bingung tersebut. “Kok isinya stroberi?”

Bukannya udah jelas? “Because you like them.” I smiled. I’m not a fan of rhetorical questions, but it’s Anulika who makes the question. So, I will always answer her questions. Even the silly one.

“I know.” She rolled up her eyes. “Can I eat this?” Tanpa menunggu jawaban dari gue, dia langsung narik salah satu stroberi yang ada di bouquet dan memasukkannya ke dalam mulut. Mata kanannya bereaksi dari rasa asam stroberi. Pipinya pun tidak tertinggal dan ikut memberikan reaksi yang lebih menarik di mata gue.

Masih dengan posisi mengunyah, Anulika berbicara. “Au piir amu upa oh…”

Gue ketawa. “Dikunyah dulu, Anulika.” Gue ngambil tissue dan menadahkan tangan di dekat wajahnya. Sementara dia sibuk menyelesaikan kegiatan mengunyahnya.

“Aku pikir kamu lupa loh.” ulangnya.

“Ga mungkin aku lupa.” Gak mungkin, apalagi untuk hari ini–lanjut gue dalam hati.

“Kan aku pikir.” cetusnya galak.

“Jangan marah-marah dong.” Gue ngacak rambutnya sepersekian detik.

“Ini aja kan? Aku turun ya.” ujarnya.

“Also this…” Dengan cepat gue ngambil satu tas belanja yang ada di jok belakang. Tas yang udah gue atur tempatnya biar gampangin gue buat ngambil.

“Ha? Kamu abis ngerampok alfamart ya?” Tangannya sibuk membongkar isi tas belanja, “OMG I love this one.” Dia ngeluarin salah satu ice cream strawberry cheesecake dari tas belanja tersebut. “Thank you, Kak Hart.” Dia senyum menimbulkan pipinya yang bersemu merah. But, I can’t see it properly because she tried to hide her face from me. “Udah kan? Hati-hati di jalan ya, aku mau makan ini sekarang.”

“Tunggu,” gue nahan tangannya sebelum membuka pintu. “Kamu lupa satu hal lagi.”

“Apa lagi, Kak?” tuturnya perlahan.

All the things you wanna heard.

Jujur gue gak siap. Tapi, kalau gue terus-terusan mikir gue gak siap? Kapan gue bakalan siap?

Seperti kata temen-temen gue, terutama Jeje yang semalam sibuk membombardir gue dengan kata-kata mutiara yang gue bingung dia curi dari mana. Perfect moment itu dibuat, bukan dicari. So, I will try to make one. A perfect moment.

Dia diam dan kembali duduk dengan rapi di seat tadi. Duduk kaku seakan sedang duduk di kursi panas. Ke mana Anulika yang semenit lalu duduk di seat sebelah gue dengan santai? Karena kali ini dia terlihat seperti orang yang baru pertama kali duduk di situ. Dia terlihat tidak nyaman.

You ok?” Tentu hal itu menarik rasa penasaran gue.

“Bukannya udah jelas?” cicitnya.

You’re not?” Gue memastikan.

Dia mengangguk dan untuk pertama kalinya nengok dengan full ke arah gue. Memperlihatkan wajah sedih yang terlihat seperti telah ditahannya sejak tadi. Akhirnya gue sadar, mata berkaca yang awalnya gue pikir akibat dari rasa asamnya stroberi, pipi bagian atas yang bersemu merah, bukan lah reaksi yang baru muncul ketika dia memakan stroberi. Gue salah.

Did you cry?” Ok the stupid and rhetorical questions that I hate the most. Of course she’s been crying, Hart bego.

Semua kata dan kalimat yang udah gue siapin untuk malam hari ini tertelan begitu saja. Gue merasa kacau. Did I hurt her? Did I hurt her feelings?

“Kamu mau cerita ke aku dulu?”

Apapun yang akan dia sampaikan ke gue bisa jadi merubah rencana gue hari ini. But, I need to know, I need to know what happened.

“Boleh?” Dia memastikan, gue balas dengan anggukan. “I don’t know, but, after last night.” Dia diam, mengulum bibirnya. “I mean the argument we had.” Seperti ada yang ditahan, seluruh kalimat yang dikeluarkannya terputus-putus. “Dan ngeliat sikap kamu hari ini, aku takut untuk dengerin penjelasan kamu.”

Gue hanya diam mendengarkan.

“Aku takut semua yang aku bayangin ternyata jauh dari kenyataan.” Kali ini dia memberanikan diri untuk natap mata gue. “Aku takut ngira kita hanya beda 1 jengkal, tapi ternyata masih 1000 jengkal.” Wajahnya sembab. It hurts me.

“Tapi aku beneran nguatin hati untuk balik ke sini. Berharap kali ini bener-bener dapet kejelasan. Apapun itu. Sesuai dengan keinginanku atau gak. Aku siap.” She tries to hold back her tears. But, she endes up crying.

Tidak tahan melihat air mata yang perlahan jatuh, tangan gue bergerak sesuai dorongan otak. Menghapus tiap jejak yang terbentuk di atas pipi Anulika. Sikap gue membuat Anulika meneteskan air mata lebih deras lagi.

“Kamu jadi ngomong gak sih? Aku udah jujur tentang semua rasa anxious aku dari semalam. Kalau kamu gak jadi ngomong, I will hate you forever.”

Gue senyum. Bukan senyum jail. Just a simple one. Senyum yang mencoba untuk menyampaikan kalau semuanya akan baik-baik saja.

“Kamu siap?” Tangan gue masih ada di pipinya, memberikan beberapa usapan kecil.

No, kamu buat aku makin takut.” Keningnya berkerut.

Then I will not talk.”

What’s wrong with that logic?” Nadanya marah. “Then I will go and act like we do not exist.” This one is not even funny.

Anulika hampir narik handle pintu mobil untuk kedua kalinya sebelum gue ngomong, “Sorry for giving you a hard time.” Dia melepas tangannya dari handle pintu mobil untuk kembali duduk sekaku tadi.

Gue narik napas. Try to rearrange all the words in my mind.

“I don’t know where to start… But I think you must know the reason behind my call back in july.”

Dia merapatkan cardigan pink tipisnya. Hawa malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin ini hanya hawa yang muncul di antara kita berdua.

Sebelum melanjutkan penjelasan, gue mengecilkan volume ac mobil agar Anulika tidak merasa kedinginan. Setelahnya gue menarik napas lebih panjang, menyiapkan kalimat-kalimat yang akan mengupas diri gue. Never once in my life I was lying. All I did was try to hide it. And now what I’m trying to hide, Anulika will know everything.

The reason we didn’t talk the past 6 months before is my fault. I'm trying to make peace with myself. Trying to understand that I'll be ok. I'm trying so hard so I'll not be disappointed if something goes wrong when I'm with you. But when I saw you together with that… guy. It makes me slightly angry.”

I sound like a helpless, jealous, and selfish person. I don’t like it. What if Anulika hates this side of me?

Kali ini giliran dia yang diam mendengarkan. “Waktu aku ngehubungin kamu lagi, aku belum selesai dengan itu. Aku belum selesai dengan diri aku sendiri. Aku belum berdamai dengan diri aku sendiri.” Gue berhenti untuk melihat ekspresinya. I thought she would give me weird looks, but no. She do not.

“Malah dengan egoisnya, aku ngehubungin kamu lagi.” Dia mengangguk kecil. Seperti salah satu pertanyaannya terjawab. “In the end, I gave you a hard time. A really hard time.” Matanya kembali berkaca. “Aku ngebuat kamu ngerasa digantung and it makes me looks like I ignore your feelings. Selalu minta kamu untuk bareng aku terus, when I’m the one that didn’t give you the chance.” Anulika ga bisa nahan air matanya. Untuk kesekian kalinya dia nangis di depan gue hari ini.

“Maaf aku sering buat kamu nangis.” Dia menggelengkan kepala, berbisik ‘no, you’re not’. “Kalau dengan aku kamu malah jadi sedih, mungkin emang kita ga ditakdirkan bersama.” Dia menolak dengan menggeleng makin keras.

“Kamu kalau buat aku sedih harusnya tanggung jawab! Bukan nyalahin takdir, Kak.” Reaksi Anulika membuat gue sedikit sadar dengan tingkah gue selama ini ke dia. Gue terlalu berlaku seenaknya. “Aku gak paham kak. Terima kasih untuk semua penjelasan kamu. Aku paham semuanya. Tapi, pertanyaan aku cuma satu and it was simple.” Dia diam sebelum mengeluarkan pertanyaan yang lebih terdengar seperti tuntutan untuk fakta. “What are we?”

Kali ini kedua tangan gue kembali berada di pipi Anulika. Menilik tiap bagian dari wajahnya. Apa gue bisa setega itu untuk ngelepasin Anulika? Apa gue bisa ikhlas ngeliat dia dengan orang lain? I don’t think so. Like I said, I’m a selfish person.

I smiled. “That’s the first thing you need to know. Now would you be willing to move to other things?”

Dia menarik hidungnya dan memunculkan suara khas orang pilek.

Tears don't look good at your pretty face, Anulika. In the future, please let me be the one that will erase it for you, not the one who makes your eyes wet…” Dia menggigit bibir bagian dalamnya, menahan semua gejolak tangis. Again. It hurts me. I don’t want to make her cry over the river like this ever again. “Don’t you worry, Anulika. Because I can’t see that seat seated by another person, other than you.”

Kalimat terakhir gue seperti memberikan tiupan energi ke Anulika. Dia mulai perlahan kembali duduk dengan nyaman, bahkan lebih nyaman dibandingkan yang pernah gue lihat. Hal itu membuat gue yakin dengan keputusan yang udah gue buat semalam. I will never ever find someone like her again. Never in this life.

Setelah diam, dia mulai berkata. “Aku boleh makan ini gak? Udah mau leleh.” Dia ngeliat ke tas belanja yang sudah jadi milik dia sepenuhnya. Fokus ke es krim yang tadi sempat merubah sedikit moodnya.

Gue ketawa dan mempersilakan dia untuk makan. “Boleh.”

Gue diam sembari kembali merangkai kata-kata yang tepat. Bersama Anulika di samping yang kali ini sibuk dengan es krimnya. Masih dengan wajah sembab dia mulai melahap es krim tersebut.

Hening yang muncul kali ini lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Walaupun masih ada sedikit hawa dingin di sekitar. Mungkin hawa itu muncul karena es krim milik Anulika.

I’m too selfish, Anulika. Aku egois.” ungkap gue.

Dia mengangguk. “You've stated it before. Gak ada yang salah dengan jadi egois, Kak. Selama gak merugikan orang lain.”

Otomatis gue ngelirik ke dia. “Jadi aku boleh egois?”

“Boleh.” katanya. Kemudian kembali menyendokkan es krim di pangkuannya.

“Kalau gitu aku mau kamu sama aku terus. Aku mau kamu selamanya sama aku.” ungkap gue.

Dia terdiam, berhenti bergerak. Bahkan, sendok yang ada di mulutnya pun tidak dikeluarkannya.

Setelah sepersekian detik, dia menggerutu. “Kak, boleh gak sih aba-aba? Aku lagi jelek banget lagi nyuapin es krim kaya gini?” Bener kan? I will never find someone like her again. Never. “I hate you.” Dia naro es krimnya di dashboard. Kemudian natap gue, “Karena kamu susah ditebak.”

Dia ngambil es krim tadi, kemudian menyodorkannya ke gue. “Mau gak?” tanyanya.

Gue menggeleng dan tersenyum.

“Gak gak gak, kamu harus mau.” tolaknya. “Coba aaa.” Dia memperagakan dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Setelah gue mengikuti, Anulika langsung menyendokkan es krim tersebut ke gue.

“Aku juga mau selamanya sama kamu.” katanya cepat. Dengan tangannya yang masih menyendokkan es krim di mulut gue. Dengan sengaja gue gigit sendok itu, sehingga terlepas dari tangannya. Membuatnya protes, “Ih curang kok respon kamu gak sama kayak aku?” Selanjutnya, kembali terdiam karena gue ngambil tangan kanannya. Membawa tiap jarinya masuk ke dalam sela-sela jari milik gue. Kemudian menariknya ke dalam satu pelukan hangat. This is the perfect moment and I’m successfully made it.

I hope we stay like this, forever. Feel the warmth of each body. I want it forever.

“Tapi, Kak.” Dia sedikit bergumam.

“Hmm?” Gue melonggarkan pelukan kita untuk menatap Anulika.

“Kadang aku bingung, apa sih arti dari selamanya?” Satu pertanyaan singkat milik Anulika cukup menampar gue. Didn’t I ask the same question before? I always said forever, but I didn’t even know the meaning.

Gue kembali memeluk Anulika. “I don’t know. How about we figured it out. Since we’re together now.”

Wait, so what are we?” tanyanya.

“Anulika, I feel the urge to throw up everytime you say those words.” Dia ketawa. “We’re together.” Instead of saying we’re in a relationship or define our relationship. Gue lebih milih untuk bilang kalau kita bersama. “You are mine and I’m yours.

So… We’re together?” I didn’t answer, I just held her tightly and placed my face in the crook of her neck.

Anulika made me realize that one way to accept other people in our life is to accept ourselves first. New people–like her–have zero responsibility for my past trauma.

Anulika Anulika Anulika. Thank you for everything that you gave me. Let’s find the meaning of forever, together.