64

Hadani's POV

I think it’s been 2 years since the last time I saw Kak Riana. Salah satu dari beberapa orang yang berjasa dalam pembentukan kedewasaan gue. Kalau saja dulu gue gak pernah ketemu dengan perempuan yang sekarang sedang mengistirahatkan tubuh lelahnya di dalam mobil gue, mungkin gue masih menjadi seorang so called troublemaker.

Ada sebuah pertanyaan–mungkin lebih cocok untuk gue sebut pernyataan–yang lama gue pendam sendiri. Apakah gue pantas untuk disebut sebagai sulung? Sulit untuk menerima diri gue disebut “sulung”. Rasanya title itu terlalu berat untuk diemban seorang Hadani Sidharta Cakraya. Tanggung jawab sebagai kakak tertua tidak pernah gue jalani dengan baik. Title “childish” akan lebih cocok bersanding dengan nama gue.

Orang tua gue gak pernah ngelarang pilihan yang gue ambil. Bahkan, waktu gue milih untuk keluar dari tradisi keluarga–kuliah kedokteran–sekalipun. Ketertarikan gue ada pada bidang kreatif, so I pursued it. Gak bisa dipungkiri bahwa ada secercah perasaan kecewa—terlihat dari perayaan yang mereka lakukan saat adik gue memutuskan untuk kuliah kedokteran—dari mereka, tapi gak menghilangkan sedikit pun dukungan untuk cita-cita gue. They proved it by helping me get the internship program in one of the biggest agency companies in Indonesia.

There. I met Kak Riana.

“Tempatnya bakal jauh gak?” Pertanyaan yang diajukan Kak Riana membuyarkan lamunan gue. Dia menyandarkan tubuhnya dengan nyaman dan matanya menatap ke luar jendela. I can feel the coldness in her voice, it never dies. She’s always been like this. Makes people think that she’s approachable but the truth is she never let her guard down.

“10 menit aja dari sini.” She nods. “Kalau capek tutup mata aja, Kak. I will wake you up when we arrive.” Gue senyum. The smile that radiates I’m not a dangerous person.

She laughs, more like a slighted chuckle. The laughs that make me stare. I never knew that I could miss the sound of someone laughing. I found some interesting things again and it made my smile grow wider. But, I’m trying to hide it. I don’t want her to read me like an open book. Blame Ezra for this.

I’m fine, Hadani.” ucapnya. “You’re not my driver.” Tatapan matanya berpindah, lurus ke jalan.

I’m not saying I’m your driver, Kak. I just know you need to rest. Kerjaan lo dari dulu kan selalu gak ada abisnya. And you need to know that you did well. But, you're not a robot, so rest.

I know.” jawabnya. She holds her smile down there. “Thanks. But, I’m really fine.

Stubborn. How about making it into 3 meals?” celetuk gue asal merujuk pada janjinya untuk membelikan gue makan.

“Dasar bocah tengil.” keluhnya dan untuk pertama kali dia ngeliat langsung ke arah gue with you-are-unbelievable stare.

Setelah itu pertanyaan yang sering dilontarkan saat reuni pun keluar. “Sekarang lo lagi sibuk apa?” tanyanya. 1 point for me, because she’s trying to make a conversation.

“Oh itu ada hubungannya dengan apa yang mau gue tanyain ke lo, Kak. Bukan pertanyaan juga sih, it’s more like I need your advice.” I caught her attention, she sat straight.

Sounds interesting.”

It is.” Senyuman terpatri jelas di wajah gue.

Obrolan kita berdua kembali berjalan di seputar 2 tahun terakhir, saling lempar-melempar topik. But, again, at some points I could feel the coldness in her voice. If I can describe it, Kak Riana seperti tumbuhan putri malu. Tiap ada yang mencoba untuk mendekati, terutama menyentuh titik tertentu yang disembunyikannya dia akan melakukan pertahan. Menutup diri.

10 menit berlalu dan akhirnya mobil gue sampai di restoran seafood, sesuai dengan janji. Setelah memarkirkan mobil, kita berdua turun dan memesan beberapa seafood that catch our eyes. Obrolan “bisnis” berjalan dengan lancar selama 2 jam. Selama itu juga pandangan gue tidak lepas darinya. Tiap saran yang diberikan gue serap dengan baik. Mendengarkan dan melihat Kak Riana talks about work never failed me. She sounds and looks intimidating in a good way. I love that look on her.