65
Kampus ini punya beberapa student corner, salah satunya yang dekat dengan kantin. Kadang mahasiswa dan mahasiswi kampus mengalihfungsikan student corner itu jadi tempat makan siang. Sama seperti yang gue dan Alin lakukan siang hari ini. By the way, it’s been two weeks since I drove her home. Setelahnya kita berdua sama-sama sibuk untuk bertemu. Tapi, cukup sering bertukar pesan untuk sekedar ngomong “just checking up on you”.
Waktu gue datang dengan membawa dua tas belanja besar–kanan berisi bekal dan kiri berisi jajanan dari indomaret–Alin sudah duduk lesu di salah satu kursi dan menyandarkan kepalanya di atas meja. Sebelum mendekat, gue mengambil satu kotak berisi susu dari sisi kiri gue. Susu kemasan dingin yang sengaja gue beli untuk Alin.
Mukanya bete waktu ada yang mengusik tidur atau istirahatnya tersebut. Tapi, waktu sadar kalau yang gangguan itu berasal dari gue, ekspresinya perlahan menghangat. Walau tidak sehangat matahari Jogja siang ini.
“Gue pikir siapa yang ganggu.” ujarnya dengan nada sewot.
Gue ngambil tempat di hadapannya, membuat kita saling berhadapan. “Kecut amat tuh muka atau lemon?” ejek gue.
“Jeruk Bali.” jawabnya acuh tak acuh sambil melirik-lirik ke tas-tas belanja yang gue bawa.
“Kenapa lirik-lirik?” Gue narik dua tas itu menjauh dari pandangnya.
“Mau dong, Maha. Boleh gak? Ternyata marah-marah bisa buat gue laper.” Dia senyum. Pikirnya senyum itu bisa buat gue luluh kali ya? But, she’s not wrong. Karena gue luluh.
Perlahan tangan gue kembali membawa tas-tas tadi ke atas meja. Kemudian setelahnya mengeluarkan satu persatu isi tas tersebut. Gue fokus ngeliatin benda-benda yang keluar dari tas tersebut. dua kotak makan, dua air mineral kemasan, dua kotak lebih kecil lagi berisi buah-buahan potong, dan lima kotak susu.
“Lo laper karena liat masakan gue kali.” Pandangan gue beralih ke Alin yang ternyata sejak tadi sibuk menatap gue.
Dia mengalihkan pandangannya saat mata kita bertabrakan. “Idih seneng lo kalo gue bilang iya.” Namun, tangannya bergerak salah tingkah, menunjukkan rasa malu karena terciduk natap gue.
Gue berusaha mengulum senyum dan berpura-pura tidak memperhatikan sikapnya saat ini. “Seneng lah. Mau makan sekarang?” tanya gue.
“Mauuuu…” serunya seperti anak sepuluh tahun.
Ada beberapa hal yang gue suka dari Alin. Pertama, she never tries hard to impress someone. She always stays true to herself. Kedua, dia cantik. Tipe cantik yang gak ngebosenin untuk dipandang tiap hari. Kalau diberi kesempatan untuk selamanya hanya natap dia, gue mau. Ketiga, gak ada. Karena gue gak mau ada yang ketiga di antara kita. Baik itu orang, maupun kesempatan.
Berbagi cerita dengan Alin adalah hal yang selalu gue rindukan tiap harinya. Awal-awal kita berpisah–tanpa alasan–adalah fase dalam hidup yang gak ingin gue rasain lagi. Merasa cocok dengan seseorang menurut gue adalah anugrah. Dari milyaran makhluk hidup di bumi, bertemu dengan seseorang yang cocok bukan lah hal yang mudah. Tapi, gue dapetin itu di Alin. Rasa cocok.
So, why do I need to find someone else?
Beberapa menit berlalu. Semua benda-benda yang tadi gue keluarkan, isinya telah tandas, tersisa tempat-tempat kosong. Kecuali tiga kotak susu yang masih lengkap isinya, tapi dinginnya mulai berkurang.
Masih ada waktu lima belas menit lagi. Alin sadar waktu gue mulai ngecek jam tangan. Karena setelahnya dia juga ikut melihat jam yang ada di handphonenya.
“Udah mau balik?” tanyanya.
“No, masih ada waktu.” Gue merentangkan tubuh dan kembali duduk dengan nyaman. “Lo yakin mau nunggu di kampus? Jam tiga masih lama.” tanya gue.
“Nanti kalau gue cabut, gue malah bolos, Maha.”
“Tapi, muka lo ngantuk banget, Alin.”
“Bukannya I am always sleepy?” jawabnya.
“Bener sih. Ngantukan dan mageran. What a perfect combo.” Gue ketawa mengingat Alin yang sering menolak ajakan gue dengan dua alasan itu.
“Hehe gue emang keren.” katanya tanpa tersinggung.
Gue bisa merasakan beberapa tatapan mata melihat ke arah kita. Beberapanya adalah tatapan familiar. Mungkin orang-orang yang gue kenal waktu kuliah di sini.
“Maha…” Suara yang mendekat dari arah belakang. Kan bener. “Ngapain lo di sini?” tanya seseorang yang gue lupa namanya.
Belum sempat gue menjawab, dia kembali mengeluarkan pertanyaan. “Lo mau balik kuliah lagi ya? Duh yuk balik biar kita bisa main-main bareng lagi.” Tangannya mulai narik gue.
Sebelum dia membuat benang-benang di baju gue lepas. Kayanya gue harus angkat bicara. “Sorry sebelumnya, gue di sini bareng Alin. So, I appreciate it if you leave us. Next time, ke cafe gue aja. Taste Ghanim, baru aja buka. Mungkin di sana kita bisa ngobrol lagi. Sorry banget. My time is limited.”
Setelahnya, dia–gue masih lupa namanya–dan teman-temannya pergi ninggalin gue dan Alin dengan beberapa kata maaf.
“Ga boleh gitu kali, Maha. Temen-temen lo tuh.” kata Alin setelah gue duduk kembali.
“Gue aja lupa nama mereka. Artinya gue gak dekat sama mereka.” Circle gue dulu cukup besar, kadang kita hanya sekedar kenalan dan berakhir kenal nama doang. So, I can’t recall her name.
“Serius? Kayanya emang pernah main bareng lo deh?” tanyanya.
“Mungkin. Gue inget, tapi gak inget namanya. Not someone I should remember mungkin. Maksud gue gak jahat loh.” Disclaimer sebelum orang-orang nganggep gue sombong. Even though gue sering ketemu orang baru, gue gak mau nganggep semuanya sebagai teman. Sometimes, it can be a boomerang toward us. I love to keep my circle small. Tapi, gue juga suka kenalan sama orang baru. So, solusinya adalah gue harus pinter milih-milih temen. Keep someone that I wanted.
“Cie sombong.” katanya mengejek.
“Gak sombong, Alin.” I look at her.
“Bercanda, Maha.” She looked at me back.
Alin… Alin is one of them. The people that I want to keep.
Keep as mine.