80

Waktu gue bilang ke Cantika kalau Hadani mau nyusulin kita bertiga, tiba-tiba seperti disuntik serotonin booster wajahnya langsung berseri-seri. Gue dan Cantika udah berteman lama banget sejak di bangku sekolah dasar. Luar dan dalam dari masing-masing pribadi sudah tertanam di otak kita. Gak mudah buat nyembuiin apa pun dari satu sama lain. Makanya, gue bisa tahu alasan dia jadi sumringah gini. Sudah jelas dia pengen ngeledekin gue. As she always does.

“Gak usah yang aneh-aneh lo. Awas aja.” ancam gue.

“Siapa yang mau aneh-aneh sih?” balasnya dengan tertawa. Kemudian fokusnya berpindah ke Naditya. “Nadi nanti ajak kenalan ya om-nya.”

“Om siapa, Ma?” tanya Naditya penasaran.

“Coba kamu tanyain tante Oyin-nya.” Setelah itu dia nengok ke gue dengan wajah yang penuh ejekan.

Naditya yang punya rasa penasaran setinggi gunung langsung berpindah ke tempat duduk di samping gue. “Tante Yin, Nadi boleh tau gak om siapa kata mami?” Suara Naditya manis selayaknya permen coklat kesukaan dia.

Salah satu alasan yang membuat gue bisa ngasih rasa sayang yang besar ke Nadi—selain karna fakta dia anak cantika yang notabene sahabat sehidup gue—adalah karena dia bukan balita yang tantrum gak tau tempat. Untuk usia yang baru mau menginjak 4 tahun, dia pintar mencuri hati orang dewasa.

Tangan gue bergerak untuk mengusap puncak kepala Naditya hendak menjawab pertanyaannya. “Maksud mami kamu itu–” Kedatangan seseorang memotong ucapan gue.

“Halo!” sapa seseorang. Suara laki-laki yang gue kenal.

Kita bertiga menengok ke arah sumber suara tersebut.

“Papiii,” pekik Naditya.

Benar. Orang yang datang dan memotong ucapan gue itu adalah suami Cantika. Gue gak tau kalau dia bakalan nyusul kita ke sini. Sudah jelas ini adalah salah satu akal-akalan dari Cantika.

“Ngapain nyusul deh.” protes gue.

“Marah mulu lo. Gue mau nyusul anak istri gue sirik aja.” katanya melawan.

“Jangan gituin di, Lex. Brondongnya mau nyusulin ke sini.” cetus Cantika.

“Tumben banget tiba-tiba ke brondong.” ejek Alex.

“Daripada sama temen-temen lo gak ada yang jelas.”

Debat bersama Alex dan Cantika berhenti karena handphone gue berbunyi dan menunjukkan satu notif whatsapp dari Hadani yang mengatakan bahwa dia telah sampai dan menanyakan tempat kita duduk. Setelah gue membalas pesan itu, dari jarak dekat terlihat dia berjalan dengan senyuman yang sama dengan jumat malam kemarin. Gambaran seorang Hadani dua tahun lalu sudah terlalu buram di ingatan gue. Tapi, gue ingat kalau dia sangat murah senyum. A smile that makes you feel warm. A smile that gives you reinforcement. A smile that seems to say “ everything it’s gonna be okay” to you. A smile that rarely appears on my face.

Dia mengenalkan dirinya ke Alex–suami Cantika, Cantika, dan tak terlewatkan Naditya. Disambut dengan heboh oleh ketiganya. I can never understand how I’m stuck with these three extroverts, while being an introvert. Pertanyaan jail ke luar dari mulut suami istri tersebut dan gue yang harus meminta maaf kepada Hadani karena ucapan mereka yang tidak terfilter dengan baik.

“Jadi, lo calon cowo tersakiti yang ke berapa?” tanya Alex ke Hadani.

“Lex.” tegur gue dengan tatapan kesal yang gue yakin dia paham.

“Jangan gitu, Lex.” Cantika membela gue–setidaknya itu yang gue pikirkan sebelum dia melanjutkan kalimatnya. “Kali aja Hadani gak bakal disakitin.”

You guys need to stop.” kesal gue. Hadani hanya merespon dengan ketawa yang terdengar sedikit canggung. “Sorry, Dan. As you can see this is what I've been through. Temen-temen gue pada gak waras. Lo udah pesen kan?” Gue mencoba untuk mengalihkan topik.

“Santai gapapa kok seru... dan udah gue udah pesen tadi, Kak.” katanya. “Gue malah gak enak ganggu waktu makan kalian bareng gini.” Dia mengusap tengkuknya canggung.

“Om, om siapanya tante Yin?” tanya Naditya yang sudah berdiri di sebelah Hadani. Entah kapan anak ini bergerak dari samping papinya ke samping Hadani.

“Tante Yin?” tanyanya bingung, tapi seperti klik dengan sesuatu dia langsung melanjutkan. “Oh… temennya mungkin?” jawab Hadani kurang yakin.

“Tapi, kata mami temennya tante Yin cuma mami doang.” jawab Naditya polos membuat meja kita dipenuhi gelak tawa. Hadani mengusap kepala Naditya pelan. I can tell that he could easily get along with kids. Unlike me.

“Temen yang lain kan ada, Nadi.” Cantika berseru. Tapi, seruannya terpotong ketika ada pelayan yang mengantarkan makanan kita semua. Gue sedikit menghelakan napas karena setidaknya mulut comberan milik Cantika bisa sedikit terdiam karena akan berjejal makanan.

Kita memilih untuk menghabiskan makanan sebelum melanjutkan obrolan lagi. Obrolan untuk saling mengenal satu sama lain seperti apa yang dikerjakan, alumni almamater mana, dan sebagainya. Obrolan-obrolan kosong juga terjadi di meja kita pada malam hari itu.

“Dari sini mau lanjut ke mana?” tanya Alex, mungkin untuk ke kita semua.

“Gue mau pulang.” jawab gue singkat.

“Lo gimana Dan?” tanya Alex kali ini tertuju pada satu target.

“Gue juga balik aja sih, Lex.” Hadani manggil Alex dan Cantika pakai nama karena mereka yang minta. Meskipun, ke gue dia tetap manggil ‘kak’. Lagian rasanya akan aneh kalau dia manggil gue tanpa embel-embel tersebut. Walaupun gue gak gila hormat, tapi Hadani pernah sekali jadi orang yang gue ‘mentorin’.

Raut wajah Cantika berubah ketika mendengar jawaban Hadani. Gue tau harus waspada, karena otak perempuan itu kadang terlalu licik.

“Yah, Yin.” kata Cantika dengan suara memelas. Ok. The drama starts. “Gue mau lanjut keliling-keliling keluarga dulu. Lo gak bisa balik sama gue dong? Suami gue sih pake acara nyusl gak jelas. Padahal kan kalau gak ada dia tadi gue bakal langsung nganterin lo pulang.” She deserves the grammy for this. Aktingnya tai banget.

Alex yang seperti paham maksud istrinya langsung menimpali. “Kita udah lama gak jalan malam bareng ya, sayang.” Gue memutar mata. Bewitched by their acting. “Lo bisa nganterin dia gak, Dan?” Kan. Emang suami istri sialan.

“Apaan sih lo berdua? Sana pergi aja gue bisa pulang sendiri kali.” kata gue kesal.

“Bisa kok.” jawab Hadani. “Bareng gue aja, Kak.”

“Nah itu pergi bareng Hadani aja, Yin.” seru Cantika. “Btw Dan, alamatnya di–” kalimatnya terpotong.

“Gue tahu, jumat kemarin gue nganterin Kak Riana juga.”

Dumbfounded. Gue sama sekali belum cerita ke Cantika soal itu.

“Oh hahahaha ok kalau gitu yang ini biar gue dan suami aja yang bayar.” She laugh and side eyeing me. Dari matanya gue bisa liat dia menuntut penjelasan.

“Eh jangan gitu.” Hadani menahan tangan Alex yang ingin membayar.

It’s ok, bills on me tonight. Next time lo yang bayar.” jawab Alex.

Adegan mereka berdua membawa gue ke hari jumat kemarin. Di mana bills malam itu dibayar semuanya oleh Hadani dengan excuse I can pay for the next dinner. Mengingat hal itu mengukir senyum di wajah datar gue.