90
Jakarta ke Bandung naik mobil itu cuma sekitar 3 jam doang kalau gak macet dan akhir pekan. Beruntungnya kali ini gue berangkat di weekday jadi gak ketemu dengan macetnya tol Jakarta-Cikampek. Sebenarnya udah mulai macet sih, maklum aja udah deket akhir tahun. Setelah gue pikir-pikir, ngabisin waktu 3 jam di jalan itu gak lama buat gue bisa ketemu sama Haira dan bunda. Tapi, gue terlalu egois buat mutusin pergi ke sana dan alhasil gue cuma nunggu mereka yang datang ke Jakarta. Selalu beralasan gak bisa kesana karena sibuk. Padahal ayah aja yang super sibuk bisa datang ke sana.
Mungkin ini jadi pertanyaan banyak orang, gimana gue bisa tinggal terpisah dari bunda dan adek. Jawabannya, “Kenapa gak?” Hahahaha, bercanda. Pokoknya gitu, kalian bisa pikirin aja sendiri alasannya. Gue males aja ngasih tau, kecuali emang ada alasan yang ngeharusin gue untuk cerita.
Dari jarak 5 meter gue bisa liat rumah kecil gue, tempat gue lahir dan besar sampai umur 15 tahun. Rasanya baru 3 bulan gue ninggalin rumah ini, padahal boro-boro 3 bulan yang ada udah lebih dari 3 tahun. Suasananya gak banyak berubah, masih sangat asri apalagi ditambah pohon-pohon besar di depan jalan. Di pekarangan depan masih dipenuhi dengan bunga yang nyokap tanam.
Gue turun dari kursi penumpang, sedangkan Jester gak langsung turun dia lebih milih mainin handphone-nya. Karena yang hari ini nyetir itu dia jadi gue bebasin dia gak mau bantuin gue turunin barang. Lagian barang bawaan kita bertiga gak banyak kok. Kalau kalian lupa gue datang ke Bandung bareng dengan Jester dan Euan. Alasan besar gue pulang juga karena Euan yang mau deketin adek gue. Mereka berdua punya rumah masing-masing di Bandung. Tapi, rencananya mau nginap sehari di rumah gue. Jangan tanya alasannya apa, karena emang hidup mereka gak jelas. Terutama, Jester. Dia aja ninggalin kembarannya di Jakarta sendirian.
Tangan gue sibuk nelponin Haira–karena ga diangkat-angkat–sampai suara dari rumah sebelah ngagetin gue. “Tante Hanania lagi pergi tadi bareng Haira, katanya gak lama sih? Mau nungguin aja gak, Kak?” Suaranya halus dan manis, tapi ada serak-seraknya. Gue balik badan buat ngeliat orang yang ngajakin gue ngomong itu. Niatnya mau berterima kasih. Tapi, sekalinya gue balikin badan gue kaget. Karena orangnya cantik banget dan anehnya terasa familiar. Orang itu gak kalah kagetnya kaya gue, bahkan dia hampir jatuhin handphone yang ada di tangannya. Gue bisa liat dia gigit bibir bawahnya setelah ngomong satu kalimat yang gue kurang denger dengan jelas apa.
“Kak Hart?” Dia bertanya memastikan setelah menarik napas panjang sebanyak 5 kali. Gue masih diam antara mastiin yang gue denger emang bener atau hanya khayalan semata. Setelah gue sadar siapa orang di hadapan gue, dia udah lebih dulu ngenalin dirinya ke gue. “It’s me, Anulika.” Dengan senyum lebar memamerkan barisan giginya yang rata, matanya juga ikut tersenyum. Tangannya diulurkan ke depan, nungguin gue untuk ngambil tangannya. Karena gue diem dan tak kunjung ngambil tangannya, Euan yang sedari tadi jadi saksi mata nyenggol gue dengan pelan.
“Oh, sorry, Anulika. Gue Hart.” Gue ngenalin diri gue lagi. Walaupun dia udah tau siapa gue. Grogi. Dia ketawa dan narik tangannya, kemudian ngerapiin rambutnya yang tergerai dan menyisipkannya di telinga kirinya.
“Hahahaha, iya aku tau, Kak. Kirain Kak Hart nyampenya besok? Aku salah ya?” tanya perempuan itu. Dia gak salah sih, awalnya kita emang berencana untuk berangkat besok. Tapi, sekali lagi karena alasan bodoh dari Jester dan Euan yang pengen nginap di rumah gue. Jadinya kita bertiga mutusin buat datang hari ini. Setelah disetujui oleh bunda.
“Kamu gak salah kok. Salahin dua orang ini.” Gue nunjuk Euan yang ada di samping gue–lagi nurunin satu koper kecil milik dia–dan nunjuk Jester yang ada di dalam mobil. “Btw, kamu ngapain di sini? Nungguin Haira?” tanya gue.
Dia keliatan berpikir dan seperti ingin menertawakan gue, terlihat dari ekspresi wajahnya. “Aku…” Dia berdehem. “Aku tinggal di sini, Kak.” Tunggu. Gue gak salah denger lagi kan?
“Gimana?” tanya gue.
“Ga gimana-gimana. Aku tinggal di sini.” Dia tertawa dengan renyah. Gue masih bingung dengan maksud dia “di sini” itu di mana. Dia tinggal di rumah gue?
“Maksudnya?” tanya gue lagi.
“Aku tinggal di sini, Kak.” Dia nunjuk rumah yang berada tepat di samping rumah gue. Gue baru sadar kalau sejak tadi dia berdiri di halaman rumah tersebut. Gue kenal rumah itu, rumah yang dulu ditinggalkan oleh pemiliknya. Tapi, gue lupa alasan rumah itu ditinggalkan begitu saja dan faktanya sekarang rumah itu udah punya penghuni lagi yang lain dan bukan, Anulika.
“Oh, my bad.” Gue malu. Tangan kiri gue nutupin muka gue dan tangan satunya nangkring di pinggang kanan. Anulika ketawa lagi, posisi berdirinya sejak tadi tidak berubah.
“Naik pesawat kaga, jet lag iya.” Sialan. Si pengacau datang. “Halo Anulika. Kenalin nama abdi teh Jester.” Gue menghela napas lelah dengan tingkah temen gue yang satu ini.
“Gaada yang mau kenalan sama lo kali, Je.” Kali ini yang ngomong Euan. Terlihat dia udah selesai mindahin barang-barang dari mobil ke teras rumah gue.
“Dih kata siapa,” kata Jester tidak terima. “Mau kan, Anulika?”
“Hehehe iya, Kak.” katanya. Berbeda dengan bayangan gue. Gue pikir dia bakalan heboh banget, ternyata biasa aja, hanya sedikit tertawa.
“Udah ga nyaman tuh anak orang. Btw, gue Euan. Gue sering denger lo dari Haira.” Euan juga ikut memperkenalkan dirinya. Anulika menyambut kedua tangan milik temen gue dan nyebutin namanya.
“Oh, hi Kak Euan.” Kali ini responnya sedikit beda, lebih ceria. Gue mau berasumsi, tapi bukan tempat gue untuk dengan gamblang berasumsi. Mungkin, nanti bakalan gue tanyain langsung ke dia.
“Sorry, temen-temen gue emang agak kaya gitu,” kata gue. Dia tertawa lagi, untuk kesekian kalinya. Jadi tanpa sadar gue malah ngomong, “Ketawa mulu lo.”
“Lagi seneng,” katanya menahan senyum.
“Seneng kenapa?” Gue nanya ke dia sambil ngatur rambut, nyisir rambut gitu pakai jari-jari gue beberapa kali. Bukannya jawab pertanyaan gue, matanya malah makin lebar waktu natap gue.
“Ganteng banget…” gumamnya. Gue otomatis tertawa. “Makasih.”
“Hehehehe, maaf keceplosan, Kak.”
Gue baru aja mau balik nanya alasan dia seneng, teriakan Haira terdengar dari jauh.
“Kakak!” Gue bisa liat dengan cepat dia turun dan ninggalin bunda yang masih sibuk memarkirkan mobil. Gue membuka tangan bersiap untuk menerima pelukannya. Dia langsung melompat ke dalam pelukan gue. Udah jadi kebiasaan kita berdua. “Kangen banget aku,” ujar Haira. “Kamu gak kangen aku atau mama gitu?” tanyanya.
“Kangen, Adek. Makanya ini aku udah pulang kan?” Gue mengeratkan pelukan. Baru sadar kalau adik perempuan gue ini udah sangat tinggi. Tahun lalu waktu dia ke Jakarta, kayaknya gak setinggi ini. Gue sedikit menjauh dan mengelus rambutnya pelan, “Kamu kok tambah tinggi?”
“Aku emang tinggi tau.Tapi…” Dia nengok ke bawah, gue ikutin arah pandangannya. Ternyata bocah ini pakai heels.
“Hehehehe, 5 cm doang tau.” ujarnya jahil.
“Pantes aja,” kata gue sambil menyentil jidatnya. Kebiasaan gue kalau gemes sama orang. Gak jarang Haira nangis karena jidatnya merah gue sentil.
Haira ngelirik Anulika yang kali ini gue belakangi, kemudian dia berjalan menghampiri perempuan itu.
“Cie udah ketemu aja lu…” Kalimat setelahnya gak bisa gue denger karena mereka bisik-bisik. Sedangkan, Euan langsung berdiri di sebelah gue dan berbisik.
“Haira gak liat gue ya?”
Gue memutar mata. “Tau dah.” Kemudian, mutusin buat nyamperin bunda. Gue salim dan meluk bunda, nanyain kabar, dan lainnya. Bunda juga nanyain banyak hal ke gue, dari kuliah, teman-teman, kabar ayah, dan Eila. Padahal gue udah pernah ngomong kalau gue udah putus lama dari Eila. Karena malas untuk bahas Eila, gue ngalihin topik dengan ngomong kalau Jester dan Euan bakalan nginap. Walaupun, gue yakin bunda udah tau karena gue udah ngomong kemarin. Tapi, setidaknya itu berhasil buat bunda sadar kalau gue gak pengen ngomongin Eila–mantan gue.
Bunda ngajakin kita semua buat masuk ke dalam rumah, termasuk Anulika. Tapi, dia nolak dengan alasan belum mandi, tapi bunda dengan sikap keras kepalanya terus maksa Anulika buat gabung sama kita dan bilang gak masalah kok belum mandi. Sepertinya, bunda belum tau kalau Anulika naksir gue. Kalau tau pasti bunda bakalan biarin dia buat mandi dulu. Karena gak jarang anak-anak cewek temen bunda yang malu-malu karena naksir gue. Haira di sampingnya udah nahan ketawa karena bunda yang gak nyerah buat ngajakin Anulika ikut jadi tamu.
Akhirnya gue mutusin buat ngomong, “Udah, Bun. Biarin anaknya mandi dulu. Itu Jester mukanya udah kelaparan kaya gak makan setahun.” Gue ngeliat muka Jester yang gak terima namanya dibawa-bawa, tapi gak bisa protes karena di depan bunda. Maklum, ini pertama kalinya dia ketemu bunda, kalau udah sering pasti juga gak ada malunya. Bunda akhirnya setuju dan untuk terakhir kali sebelum masuk ke dalam rumah, bunda maksa Anulika untuk datang buat makan malam. Anulika kayaknya setuju dengan tawaran itu. Keliatan dari mukanya yang nahan senyum sampai merah. Kita semua masuk ke dalam rumah. Gue jalan belakangan, sambil mastiin Anulika masuk ke dalam rumahnya.
Today is the first day I meet Anulika in person. Honestly. She is beautiful and cute at the same time. I admit. But, to think of her as a “girl”? I don’t think I can do that. She’s just my lil sister's best friend. That’s what I thought when I saw her walking into her house and closing the door. I can’t or maybe I still don’t know.