90
“Punya” Maha di awal perkuliahan adalah suatu hal yang paling gue syukurin. Why not? He always try to drag my lazy ass untuk ngikut dia ngebolang di Jogja. He always wins btw, and I’m glad he did. Setidaknya, nyokap gue gak bakal stres setiap nanya “Kakak udah ke mana aja di Jogja?” karena gue punya beberapa destinasi yang bisa gue ceritain keseruannya. Mulai dari tempat yang selalu disebutin tiap ada konten ‘recommended place to go in Jogja’, sampai ke tempat-tempat ‘hidden gem’ yang hanya sedikit orang tau.
Kita berdua pun gak pernah ngedatangin satu tempat untuk kedua kali. Karena list ‘place to go’ yang ada di notes yang dibagikan ke handphone gue dan Maha masih sangat menumpuk. The urge to taste every single place on this city was insane. Truth be told list itu udah ada di dasar notes gue. Simple. Because, when he left, never once in my life (1 year) reopening that list. But, I don’t know about him. Apa pernah dia sekali buka list itu dan pergi tanpa gue? Walaupun lubuk dasar hati berharap kalau list tersebut juga terakhir kali dibuka Maha bersamaan dengan gue.
So that means he never goes to those places without me.
Setelah keluar dengan wajah yang lebih segar, juga leather jacket yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, membuat kulitnya terlihat lebih bersinar, Maha nyamperin gue dan ngasih jaket miliknya ke gue. Dengan sedikit ledekan that weirdly sounds sweet. Dia ngasih gue jaket di tangannya, jaket yang dapat dikenali dengan mudah bahwa itu bukan milik gue. Terlihat dari gimana gue tenggelam di dalam jaket itu.
Udara malam ini sama dinginnya seperti malam-malam sebelumnya. Gue duduk di boncengan Maha, masih ragu untuk melingkarkan lengan di kedua pinggang lelaki itu. Tangan gue memilih untuk merapatkan jaket untuk mencari kehangatan. Canggung untuk tiba-tiba merekatkan diri ke laki-laki depan gue.
Maha memelankan motornya. “Kalau kedinginan peluk aja, Alin.” celetuk Maha, suaranya terdengar jelas.
Bukan hal yang baru buat gue untuk meluk Maha. I did that a lot in the past. Tapi, setelah setahun ini merupakan momen pertama gue dibonceng oleh Maha lagi. Gue gak mau sembrono. Mengabaikan perasaan hati gue yang sudah menggebu untuk melingkarkan lengan dan menyandarkan tubuh gue di punggung Maha.
“Mau gultik dulu?” tanyanya, dia menghentikan motornya saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah.
“Kita baru aja selesai makan-makan yang banyak, Maha.” Gue memperbaiki posisi duduk.
“Kali aja lo laper lagi. Gue tau lo makannya ga banyak tadi.” Dia berusaha nengok ke belakang, tepatnya ke gue. Tapi, kesusahan karena helm yang digunakannya. Hingga, hanya setengah dari wajahnya yang terlihat.
Gue sempat diam beberapa detik melihat wajah Maha yang sejuk. “Bukan cuma tadi. Tapi, gue emang gak pernah makan banyak.” tukas gue.
“Banyakin, Alin. Kalau lo sakit gimana?” Oh, Maha inget.
“Gue udah jarang sakit, Maha.” ujar gue meyakinkan.
“Iya, tapi lo inget gak yang lo sakit karena night ride 10 menit kita karena cuma pakai cardigan tipis sampai akhirnya gak masuk kampus 1 minggu.” Oh, Maha inget semuanya.
“Males, gitu mulu yang diinget.” Gue melipat kedua tangan di atas dada.
Maha ketawa. Perlahan kembali mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan, melihat lampu lalu lintas warna merah yang telah di detik akhirnya.
5
4
3
2
1
Waktu warna lampu lalu lintas sedang dalam persiapan berpindah dari merah ke hijau. Maha menarik kedua tangan gue untuk memeluk pinggangnya. Membuat gue sedikit terkejut dengan aksi tiba-tibanya.
“Gue inget semuanya kali. Semua tentang lo.” Iya. Gue percaya. “Gultik dulu ya. Kita lanjutin list kita, Alin.” Gue bisa merasakan senyuman di kalimat terakhir yang dia ucapkan. Tetapi, gue juga bisa mendengarkan suara degup jantung yang entah milik gue sepenuhnya atau telah berbaur dengan milik Maha.
Oh. Maha. Ingat. Semuanya.