Bendera Hitam
TW // abusive CW // mention of dead
Panggilan dan pesan bertubi-tubi dari papa ini bukan kali pertama gue terima. Sejujurnya gue benci banget panggil dia dengan sebutan itu, jadi gue bakalan ganti dengan si “bendera hitam”. Tiap gue terima panggilan dan pesan dari bendera hitam pasti besoknya badan gue berubah warna jadi biru keunguan. Tapi, gue gak bisa berbuat apa-apa selama gue gak menghasilkan uang sendiri. I still need him.
Itu juga yang menjadi alasan gue saat ini berdiri di depan rumah yang dipenuhi ribuan kenangan buruk. Dengan langkah hati-hati berjalan masuk ke dalam rumah. Gue merhatiin rumah ini seperti sedang menikmati karya-karya di museum. Mama dulu punya banyak koleksi vas hiasan lantai, gue gak tau namanya yang jelas bentuknya itu vas besar yang berdiri di sudut-sudut rumah. Tapi, yang gue tau tiap tahun vas-vas itu hilang satu persatu berganti menjadi pecahan-pecahan kecil yang kadang melukai tangan.
Gue selalu mencoba untuk kabur, pergi jauh dari dia dan mungkin dunia. Tapi, pada akhirnya gue harus balik lagi dan lagi. Gue benci itu. Gue selalu berpikir gue adalah satu dari sekian orang yang hidup tanpa pilihan. Padahal jelas semua orang punya pilihannya masing-masing. Mungkin juga sebenarnya gue udah tetapkan pilihan gue. Makanya usaha gue kabur tidak pernah berhasil.
Suara dari ruang keluarga memperlambat jalan gue untuk masuk lebih jauh ke dalam. Pergulatan batin terjadi, apa kali ini gue bisa punya pilihan lain. Tepatnya memilih pilihan lain. Gue ketawa mencemooh diri sendiri waktu dengar teriakan dari ruangan tadi. Teriakan memanggil nama gue. Pilihan apa sih yang gue harapin? Gak ada pilihan lain buat gue.
Terpaksa gue mendekati sumber suara tersebut dan seperti yang gue tebak, sekalinya gue tepat berdiri di depan si bendera hitam. Gue gak bisa dengar apa-apa selain dengungan di telinga dan pipi yang memerah seperti udang rebus. Awalnya sebelah kiri, beberapa detik kemudian warna merah itu merambat ke sebelah kanan. Setelah itu dinginnya tongkat golf mulai terasa saat bersentuhan dengan tangan, kaki, dan punggung gue. Mahakarya yang ditinggalkan si bendera hitam di tubuh gue kali ini sedikit mengeluarkan cairan berwarna merah.
Kali ini apalagi alasannya? Sudah jelas bukan hanya karena gue yang gak ngangkat telpon dan balas pesannya. Bendera hitam punya banyak alasan untuk berkarya di tubuh gue. Bahkan, hal-hal yang tidak memiliki hubungan dengan gue pun dia akan tetap melampiaskannya ke gue. Sedangkan gue hanya dapat berdiri–tepatnya berlutut–di hadapannya sembari menerima segala perlakuannya.
Gue bisa sedikit menebak satu alasannya, pasti salah satunya adalah alasan mengapa di dalam rumah besar ini hanya tinggal dia sendiri. Tante Emily dan Freya berhasil kabur. Gue ikut bahagia untuk mereka, lebih baik untuk hidup tanpa ayah dan suami dibandingkan harus hidup dengan bendera hitam. Pukulannya makin terasa sakit. Tandanya gue masih hidup.
Gue udah sering ngerasain ini, tapi kali ini gue sedikit khawatir. Gak tahu apa yang gue khawatirin, tapi mungkin gue takut mati. Kalau gue mati gimana dengan teman-teman gue? Gimana dengan adik gue? Gimana, gimana dengan Retta? Gue punya janji yang harus gue tepatin ke dia. Untuk kali ini aja gue ingin memilih. Gue ingin pilih hidup.