Berhenti atau jalan?

cw // mention of abusive behavior

Selama beberapa hari di rumah sakit, gue terus berusaha untuk ngelupain Retta. Of course it’s not easy. Namanya juga berusaha. Bahkan di saat gue sekarat yang ada di pikiran gue cuma Retta. Gue gak ngerasain sakit waktu bokap mukul gue berulang kali. Fisik gue sama sekali gak sakit. Tapi, gue kebayang gimana Retta meluk gue dengan erat untuk terakhir kalinya. Gue ngerasain sakit karena nginget Retta. Iya, gue pikir itu bakalan jadi terakhir kalinya kita ketemu. Not to be dramatic, but I really think that was the last time that I can see Retta.

But, now we’re here, in my room, facing each other – after all the cry sessions we had. Retta sekalinya nangis susah untuk berhenti dan gue benci dia selalu harus nangis karena gue. Gue merasa gak pernah ngukir senyuman barang sedetik saja di wajahnya. Gue baru sadar. Apa tujuan Retta untuk berhenti emang udah jadi tujuan yang tepat untuk kita berdua?

Dia masih sesenggukan waktu gue ngasih segelas air putih dan satu kotak tissue. Matanya merah, hidungnya meler, tapi dia masih cantik. Kita diam di ruangan yang sunyi ini. Gue nutup pintu kamar karena gak mau anak-anak kamar lain ngeliat Retta di sini. Bukan karena gue mau nyembunyiin dia. Gue cuma mau ngehindarin gosip-gosip, karena gue inget Retta termasuk seseorang yang punya nama di dunia entertainment. Bahkan, dia baru mulai karirnya.

Retta selesai dengan tangisnya, dia ngelirik gue yang sedari tadi gak ngelepas tatapan dari wajahnya. Satu pertanyaan lepas dari mulutnya, “Masih sakit, Finn?” tanyanya.

Lo harusnya tau jawabannya iya, Ret. Gue masih sakit karena lo mutusin buat berhenti. Gue masih sakit tiap ingat pelukan terakhir lo. Gue masih sakit tiap inget gimana gobloknya gue nyakitin lo berulang kali. Gue ngerasain semua sakit itu lebih dari sakit yang diberikan bokap ke gue. Tapi gue tau pertanyaan lo bukan ke arah itu, jadi yang bisa gue lakuin hanya senyum dan ngomong, “Udah gak kok, Ret.”

But, you still have a bruise on your face.” Tangannya perlahan terulur mendekat ke gue. Gue hanya ngeliatin tangan itu dengan kesadaran tinggi bahwa di mana tangannya berakhir di wajah gue, bisa buat gue gagal total untuk move on dari dia. Tapi, gue sama sekali gak punya keinginan untuk berhentiin tangan dia. Sampai akhirnya tangannya benar-benar ada di wajah gue, tepatnya di bekas di mana bokap nampar gue sampe gue jatuh tersungkur. “Here.” katanya memegang pelipis gue.

Gue masuk rumah sakit dengan alasan jatuh dari motor. Gimana pun gue gak pernah berani untuk ngelaporin bokap gue ke pihak berwajib. Retta mulai menggigit bibirnya lagi, tanda bahwa dia sedang nahan nangis. Dia megang dan ngelus pelan pakai jempolnya di tiap bagian yang ditandai bokap. Gue senyum ngeliat gimana dia merhatiin semuanya dengan wajah khawatir. Retta masih sayang sama gue. Itu yang gue percayai.

He’s too much, Finn. Lo mikir ga? Dia jahat.” kata Retta. Dia menarik tangannya dari wajah gue dan kembali duduk di posisi tadi. Kedua tangannya dia satukan, seperti akan berdoa, hal yang selalu dia lakukan tiap dia ngerasa takut atau cemas. Tiap dia ngelakuin itu, gue selalu ngambil tangannya untuk gue genggam. Karena itu salah satu cara untuk gue nenangin dia. For telling her that it’s gonna be okay. She doesn’t need to worry too much. Tapi, kali ini gue ragu untuk ngelakuin itu.

“Finn, lo bisa berhenti kan?” Lama-lama rasanya gue bakal trauma dengan kata berhenti. Kayanya dia sadar dengan ekspresi gue yang berubah, karena dia langsung lanjutin perkataannya. “Maksud gue, berhenti buat nerima pukulan dari bokap lo. You don’t deserve any of it.” Retta yang perhatian. Retta yang selalu mikirin gue. Gimana gue bisa berhenti suka sama lo kalau begini caranya, Ret?

Gue diem dan gak beri dia jawaban apa-apa. Karena, jujur gue gak bisa janji ke dia. Gue tau umur gue udah 20 tahun. Seharusnya gue bisa milih jalan hidup gue sendiri. Tapi, gue masih berusaha, Ret. Sekarang mungkin gue belum bisa ngasih jawaban yang pasti ke lo. Tapi, mungkin nanti gue bakal dengan lantang bilang iya ke lo. Kalau saja lo masih nunggu gue. Hahaha gue hampir lupa lo udah berhenti. Berhenti? Tapi kenapa lo datang lagi?

“Ret, kenapa datang?” tanya gue.

Dia gak jawab apa-apa dan langsung berdiri dari kursinya. “Gue balik besok ya.” katanya menutup percakapan.

Retta yang kaya gini buat gue berharap tinggi dengan kemungkinan-kemungkinan yang gue tau gak bakalan kejadian. Tapi, apa salahnya berharap? Apa salahnya berharap dia bakalan mau jalan lagi? Jalan dan mendekat ke gue lagi. Bukan berhenti, tetapi jalan.