Bertiga

Waktu berlalu sangat cepat, tidak terasa telah memasuki bulan Juni. Usia kandungan milik Fawnia memasuki minggu ke-30 atau 7 bulanan.
Setiap 7 bulanan pasti ada acara-acara adat maupun keagamaan yang dilakukan. Tapi, Fawnia menolak hal-hal tersebut. Dia hanya mau mengadakan acara sederhana. Karena, dia tidak memiliki sanak saudara, tepatnya tidak ada lagi yang mengakuinya.
Keluarga Jauzan sudah menjadi keluarga bagi Fawnia. Perempuan cantik itu merasa sangat beruntung keluarga Jauzan mau menerimanya dengan rendah hati. Padahal kondisinya sedang hamil.
Syukuran tersebut diadakan hanya antara mereka saja. Hanya Papa Prima, Mama Yani, Jauzan, Fawnia, dan Elvina. Di mana pun itu, Elvina selalu ada di antara sepupunya dan Fawnia.
Acara syukuran pun berjalan dengan lancar sama sekali tidak ada permasalahan.
“Kalian nanti bakalan tinggal bertiga atau gimana?” tanya Papa Prima ke Jauzan dan Fawnia. Kondisi dari Papa Prima sudah lebih membaik, tetapi karena telah sakit Papa Prima sama sekali tidak dapat bekerja.
“Aku mau Jauzan selesain kuliahnya dulu, Om,” kata Fawnia malu.
“Bener-bener, mending Jauzan cepat lulus. Kamu ga mau nikah sama Fawnia?” tanya Papa Prima.
“Mau lah, Pa.”
Fawnia merasa malu mendengar jawaban dari Jauzan. “Aku maunya Jauzan abis lulus cari kerja dulu, Om. Aku mau dia tau prioritasnya.”
“Udah jelas kamu itu prioritasnya, Awni. Tapi, emang harus diingetin lagi dia. Agak keras kepala,” kata Papa Prima membongkar sifat anaknya itu.
“Kok anaknya digituin sih, Pa.” Jauzan tertawa mendengar jawaban dari Papanya tersebut.
Baru saja Papa Prima ingin membalas perkataan Jauzan. Suara dari depan rumah menghentikannya.
“Ada acara kok ga ngundang-ngundang sih.” Terdengar kalimat sindiran dari seseorang.
Setelah mendengar perkataan itu Jauzan, Fawnia, dan juga Papa Prima segera berjalan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.
“Kamu itu ngapain sih, Tia? Ga sopan banget dateng malah teriak gitu,” tegur Mama Yani.
“Loh, kamu itu kak ga becus ngurus anak. Kamu sama Mas sama aja, anaknya pada ga bener semua. Ngehamilin anak orang, mau jadi apa dia nanti. Perempuan ga bener gitu lagi, mau aja kamu punya menantu kaya begitu.” Kata-kata pedas yang dilontarkan oleh Tante Tia itu menyakiti kelima orang yang ada di sana.
Tidak tahan dengan kata-kata cacian dan hinaan yang dikeluarkan Tante Tia, membuat Papa Prima yang selama ini diam angkat bicara. “Kamu itu mau apa kesini, Tia? Ga tau diri, mending kamu bayar semua utang-utang kamu ke kita. Jangan sok hebat, waktu kerja dulu saya sering lihat anak kamu jalan sama teman-teman kantor saya. Tapi, tidak pernah saya menghina-hina anak kamu seperti itu. Kamu yang ga becus ngurus anak.”
“Denger suami kamu itu, Kak. Malah nuduh anak saya yang ga bener. Ngomongin uang mulu, kalo ga ikhlas ga usah minjemin. Saya kesini juga buat bayar utang.” Tante Tia tersulut emosinya, kemudian dia melempar tas yang berisi uang itu. Kemudian pergi dari sana.
Jauzan melihat ke arah Fawnia yang tertegun. “Ga usah didengerin Tante Tia. Kamu perempuan baik, Awni,” kata Jauzan. Tetapi, tidak cukup menenangkan hati Fawnia.
“Tante Tia itu kesurupan apaan sih? Ga sopan banget mulutnya, attitude-nya juga jelek. Beneran adik kandung Papa sama Tante ga sih?” marah Elvina.
“Hus, dia itu karena anak bungsu maunya dimanja sama kakak-kakaknya. Mana stress suaminya selingkuh di mana-mana. Tentang anaknya juga tante yakin dia tahu. Maklumin aja ya, Elv,” kata Mama Yani berusaha untuk memaklumi adiknya itu.
“Tetep ga membenarkan tau, Tan. Sinting. Dikira aku ga sakit hati kali tiap dia ngehina-hina aku,” kata Elvina. Jauzan yang tidak ingin Fawnia terus mendengar tentang Tante Tia, memotong pembicaraan Elvina dan Mamanya.
“Ma, maaf motong. Aku nganterin Awni pulang ya,” pamitnya. “Pa, aku anterin Awni pulang. Gue jalan dulu ya, Elv,” lanjut Jauzan.
Ketiga orang tersebut memberikan persetujuan.
—
Kedua sejoli itu telah berada di mobil. “Jangan dibawa stress, Awni. Aku ga mau kamu sakit. Ga lama lagi mau ketemu Nyawa kan?” kata Jauzan.
“Ga kok, Zan. Aku kaget aja. Padahal dulu juga udah pernah dikatain. Ga tau kenapa akhir-akhir ini mood-ku gampang jatuh,” katanya berusaha tertawa.
“Mau jalan-jalan dulu ga? Ke taman? Abis itu kita drive thru mcd?”
Senyum langsung muncul di wajah Fawnia. “Iyaa, mau.” Fawnia senang.
Jauzan merasa sedikit lega melihat Fawnia yang bisa kembali tersenyum.