Cita-cita

Grizella duduk di satu-satunya sofa di studio milik kekasihnya itu. Perempuan itu selalu membawa pakaian ganti, karena keadaan yang tidak begitu memungkinkan untuk mandi.

“Kamu mau ngapain?” tanya perempuan itu kepada si laki-laki yang baru saja masuk ke dalam studio.

“Pengen ngobrol aja,” katanya. Yordan mengambil posisi tepat di samping Grizella.

Perempuan itu tidak membiarkan kesempatan terbuang percuma. “Can I hug you?” tanya Grizella.

“Tumben nanya,” Yordan tertawa dan juga bingung harus merespon apa. Bukannya ingin menolak, tapi laki-laki itu sudah siap tanpa perlu disodorkan pertanyaan retoris seperti itu.

“Kali aja kamu kaget lagi,” goda Grizella.

Merasa sedikit diremehkan, Yordan perlahan menarik Grizella ke pelukannya. Membuat wajah perempuan itu berhadapan langsung dengan dadanya.

“Beneran kamu gapapa?” tanya Yordan sekali lagi. Tangannya membelai lembut helai-helai rambut milik Grizella.

“Iya, Dan.”

“Aku ga percaya,” ucap Yordan menolak percaya.

“Yaudah ga usah percaya,” kata Grizella. Perempuan itu mengeratkan pelukannya pada Yordan.

“Grizaaa,” rengek Yordan. “You really fine, uh?” tanyanya sekali lagi memastikan.

“Iya, Yordannnn,” jawab Grizella sedikit tidak terdengar karena wajahnya yang dibenamkan di dada Yordan. “Diem dulu, aku mau tidur,” lanjutnya.

Yordan diam, memilih untuk melanjutkan kegiatannya tadi. Membelai rambut Grizella. Perempuan itu benar-benar jatuh tertidur di pelukan Yordan.


Grizella bangun dari tidurnya menemukan selimut yang menutupi badannya.

“Dan?” panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Perempuan itu mengambil telepon yang ada di atas meja. Kemudian menghubungi Yordan. Tetapi, belum berdering sebanyak tiga kali telepon itu dimatikan.

Pintu terbuka.

“Aku keluar tadi beli minum di warung depan.” Suara itu terdengar ketika pintu dibuka.

“Kirain kamu ninggalin aku,” ucap Grizella.

“Ga mungkin lah, sayang. Ini minum.” Yordan menyodorkan botol air mineral yang baru saja dibelinya.

Grizella mengambil botol itu dan langsung meneguk isinya.

“Beneran ga ada yang mau diceritain?” Yordan masih kekeh bertanya soal itu.

“Aku mau nanya deh, Dan.”

“Kan aku yang nanya duluan,” kata Yordan dengan wajah cemberut.

“Nanti aku jawab, tapi kamu jawab aku dulu.”

Yordan mengangguk.

“Kamu nanti pengen kerja apa?” tanya Grizella.

Sedikit berharap Yordan memiliki cita-cita yang jelas diinginkan laki-laki itu.

“Aku pengen jadi entrepeneur sih, sayang.” Grizella tersenyum senang. “Tapi, aku udah diwajibin nerusin perusahaan.” Grizella menelan saliva.

“Kamu mau?” tanya Grizella.

“Nerusin perusahaan? Mau aja. Soalnya aku juga udah janji,” kata Yordan tersenyum dan mengelus kepala Grizella. “Kenapa nanya gini?” tanya Yordan sekali lagi.

“Penasaran aja,” katanya tersenyum pahit. Harapannya pupus.

“Sekarang jawab aku, kamu kenapa?”

“Ga tau juga. Lagi ga enak badan kali ya.”

“Kamu ga panas sih tadi,” kata Yordan. Laki-laki itu kembali memeriksa suhu badan sang puan.

“Mau pulang aja?” tanya Yordan.

“Di sini aja dulu,” tolak Grizella.

Perempuan itu kembali menarik Yordan. Memeluknya erat. Dia sedikit khawatir apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi, memilih untuk menikmati saat-saat ini.