Effortlessly Beautiful

Setelah UAS itu harusnya jadi saat yang paling melegakan bagi seluruh mahasiswa. Tapi, ga dengan teman-teman gue yang dilimpahi masalah yang gila-gilaan. Termasuk gue sih, tapi dibawa santai aja.

Mereka bahkan ngeluarin ide-ide gila untuk buka usaha. Gue sih bagian yang ngikut aja. Tapi, sekarang kita tinggalin dulu pembahasan tentang ide gila Jauzan dan Yordan.

Sekarang gue lagi duduk di salah satu tempat makan sederhana. Makanan di sini itu enak banget dan juga murah. Itu yang jadi alasan gue ngajak Varetta untuk ngobrol di sini saja. Gue kayaknya gak bakalan kuat buat mentraktir dia di cafe mahal.

Gue sibuk melirik handphone yang sejak tadi gak berhenti bolak-balik gue cek. Masih menunggu pesan dari Varetta yang menandakan dia telah sampai. Tiba-tiba gue jadi kepikiran jangan-jangan dia gak mau lagi diajak ke tempat kayak gini.

Tapi, waktu handphone gue bergetar dan terlihat nama Varetta di layarnya. Gue menepis semua pikiran negatif gue tersebut. Ternyata dia datang dengan kaos oversized dan mom jeans sebagai bawahannya. Varetta tipe cewek yang cantik effortless. Beruntung banget yang jadi pasangannya nanti.

“Hai,” sapanya menarik salah satu kursi di hadapan gue. “Finn.”

“Halo, Ret.” Gue berdiri dari duduk dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Dia menerima tangan gue dengan sedikit menundukkan badannya. Sopan.

Varetta tersenyum, “Finally kita bisa kenalan face to face.” Gue terpanah ngeliat senyumnya. Benar-benar cantik.

“Hahaha iya. Btw, lo mau pesen makan dulu ga? Gue tadi udah sih.” Gue mencoba membuka obrolan agar tidak terasa canggung. Walaupun, gue yakin suara gue tadi sedikit bergetar. Aneh. Padahal gue bukan tipe yang gampang gugup.

“Ah iya pas banget gue laper. Kata lo tadi udah langganan di sini kan? Boleh saranin gue ga? Gue makannya ga pemilih kok.” kata Varetta kemudian dia fokus dengan tasnya.

Gue berdiri dan pergi memesankan makanan setelah menanyakan kepada Varetta pendapatnya. Saat balik dari memesan makanan. Gue kaget melihat beberapa kertas yang nangkring di atas meja.

So, Finn. Ini beberapa contoh kontrak dan juga storyboard untuk konsep music video-nya nanti. Lo liat dan baca-baca aja dulu. Kalau ada yang pengen ditanyain, feel free aja.” kata Varetta terdengar sangat professional.

Gue mulai mengambil potongan-potongan kertas tersebut dan melihatnya. Gila. Ini keren banget.

“Gue suka konsepnya.” kata gue merapikan kertas-kertas itu.

Thank you. Gue rancang sendiri loh. Sorry, if I sound too self centered. But, I adored myself so much.” Gue bisa ngeliat gimana merah wajah Varetta. Perempuan yang duduk di depan gue saat ini punya daya tarik yang kuat.

Kemudian, obrolan mengenai music video berlanjut ke topik-topik lain. Bahkan, yang sedikit pribadi. Dia cerita gimana lagu ini ditulis untuk cinta pertamanya yang saat ini berpacaran dengan teman dekatnya.

Gue ga banyak cerita karena jujur saja gue bukan orang yang gampang terbuka. Bahkan, ke Jauzan yang sudah jadi temen gue cukup lama. Gue di sini mencoba jadi pendengar yang baik saja.

Putusan tentang job gue sebagai model mv-nya sudah selesai sejak sejam yang lalu. Tapi, obrolan-obrolan random terus memenuhi dialog kita berdua.

Ketenangan kita berdua tiba-tiba diusik oleh beberapa perempuan yang salah satu dari mereka sepertinya pernah gue lihat sekali.

“Lo ngapain anjir, Ta? Sejak kapan seorang Varetta makan di tempat gini.” teriak heboh perempuan itu. Sedangkan, dua orang lainnya hanya diam dan tersenyum kepada Varetta.

Gue ingat sekarang. Itu perempuan yang waktu itu di penyetan yang ngeliatin gue kayak habis dapat jackpot.

Dan apa katanya? Retta ga pernah makan di tempat seperti ini.

“Lo lupa selalu ngajakin gue makan di tempat gini, Ony.” Saat mengatakan “tempat gini” Varetta menggerakan dua jari telunjuk dan tengah dengan kedua tangannya—seperti membuat tanda petik. Gue ngapain? Tentu saja tertawa. Tapi, pikiran gue kembali ke pernyataan yang disampaikan si Ony tadi.

Terlalu sibuk memikirkan tempat makan yang sesuai dengan selera Varetta, gue gak sadar kalau ada seseorang yang memanggil-manggil nama gue sepersekian menit.

Itu Beka.