Eyes

Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa gue bisa maafin Finn berkali-kali. Mungkin kalian juga udah maki-maki gue dengan bilang kalau gue goblok buat ngasih dia maaf. Mungkin kalian juga bisa paham tentang perasaan dan alasan gue. Mungkin dan kemungkinan lainnya pasti banyak, but I don’t really care. I just want to do what I want to.

Gue lahir sebagai anak semata wayang dari papa yang anak tunggal dan mama yang juga anak tunggal. Cukup menjawab kan alasan kenapa gue sangat keras kepala. But, I didn’t want to talk about my stubborn behavior. Kalau kalian pikir gue tumbuh besar kesepian. Kalian completely wrong. Karena gak sama sekali. Gue orang yang mudah bergaul, saking mudahnya gue sering hampir diculik – banyak kali – waktu kecil. Itu yang jadi alasan orang tua gue lebih milih nge-homeschooling gue. Homeschooling juga gak buat gue kesepian karena gue punya tetangga yang lo semua juga kenal. Iya, tetangga gue itu Ony dan Kak Sage. Actually there’s more, tapi mereka sekarang hanya sekedar kenalan di hidup gue.

Gue tumbuh besar dibekali fairy tale tentang seorang putri yang ketemu dengan pangerannya. Gue sangat percaya dengan kisah-kisah fairy tale like princess and prince charming dan ketika gue tumbuh besar, gue pikir Kak Sage adalah pangeran gue, tapi ternyata gue salah. Di situ gue bener-bener patah hati banget. Karena hidup gak seindah kisah princess yang gue tonton sejak kecil. Dari situ gue jadi gak tertarik untuk jatuh cinta lagi. Tapi, manusia mana gak yang butuh afeksi dan perhatian? Akhirnya gue belajar untuk move on dan menanti seorang yang tepat untuk masuk lagi ke hati gue. Karena kali itu gue siap.

Penantian gue terasa terbayarkan waktu gue pertama kali ngeliat Finn. Seperti kisah para princess lainnya, gue sangat percaya cinta pada pandangan pertama. It’s magical for me. Finn has the charm and attractiveness that can make you shiver. Emang gue selalu berusaha untuk denial. Terutama waktu Ony called out gue dan bilang kalau gue udah suka dari awal sama si Finn. Because, I’m looking for him like I’m crazy. Well, I do. But, I don’t want to admit it, because all I know back then he had a girlfriend. Turns out it’s his ex. Oh and the hit just keeps on coming. I fall for him harder, deeply, I drown.

Pesona Finn terlalu kuat, bahkan bisa bangkitin Varetta yang bego kembali. Gue beneran sejatuh itu sama Finn. Bukan hanya karena penampilannya, but because he’s a great listener, he gave me warm hugs with his nice body, he smells fuckin nice, and I hate to admit it but he’s such a great kisser. Padahal gue gak pernah ciuman but I can tell he get the game in him. He’s someone I always dream about. If I exclude all his mistakes.

Yordan bangungin gue dari khayalan gue yang udah mulai sejak gue duduk di sofa depan kosan milik Finn. Kita gak banyak bicara, gue rasa dia orangnya emang pendiam and kinda awkward around new people. Karena selama jalan ke kamar Finn, kita berdua cuma bertukar kalimat sebanyak dua kali. Pertama waktu dia ngajak gue untuk naik, karena kamar Finn di lantai atas. Kedua waktu pintu kamar Finn mulai kelihatan. Dia nyuruh gue untuk masuk sendiri. Gue gak masalah dengan itu, gue cuma ngangguk dan dia senyum, kemudian ninggalin gue sendirian berdiri di depan pintu.

Gue ngumpulin keberanian buat ngetuk pintu Finn. Gue gigit bibir bawah gue kuat-kuat, bahkan gue bisa denger jantung gue berdetak di telinga. Gue takut apa yang akan gue lihat nanti bakalan buat gue nangis. Gue takut. Gue takut bakalan langsung lari untuk meluk dia kalau gue lihat dia ada di posisi yang kacau.

Setelah sekian detik berdebat dengan diri sendiri, gue beraniin diri untuk ngetuk pintu laki-laki yang sejak awal udah nyuri hati gue. Gue nungguin balasan dari dalam, tapi balasan tersebut gak kunjung terdengar. Sekali lagi gue ngetuk pintu Finn. Tiga ketukan. Tiba-tiba pintu terbuka disusul dengan suara dari yang membukakan pintu, “Ngapain ketuk-ketuk, Dan? Lo kan tau gue susah jalan bangsat. Tinggal ma–” Kalimatnya terhenti waktu dia ngeliat yang berdiri di depannya itu gue. Bukan orang yang dia tunggu yaitu Yordan.

“Hi,” sapa gue canggung. I mean siapa yang gak bakalan canggung jika ada di posisi gue saat ini.

“Ret? Bukannya Yordan?” Dari ekspresinya gue yakin kalau dia berpikir Yordan yang seharusnya ada di depannya saat ini.

“Dia yang ajakin gue ke sini.” jelas gue. Gue bisa lihat dia nahan napas.

Dengan canggung dia nyuruh gue untuk masuk, “Eh… Masuk aja, Ret.” Gue bisa ngerasain dia di belakang gue ngelirik-lirik ke luar pintu untuk nyari Yordan – sepertinya.

Kita berdua akhirnya duduk dengan canggung di dalam kamarnya. Untuk ukuran laki-laki, menurut gue kamar Finn standar. Cukup berantakan, tapi masih understandable. Kamarnya wangi, sama seperti wangi dia. I miss him even when he’s so close to me. Gue masih sibuk ngeliat sekeliling kamar karena gak mau bertatapan sama dia. Dia manggil nama gue, “Ret.” Gue pura-pura gak dengar. Dia manggil gue sekali lagi. “Ret, please.” Akhirnya gue beraniin diri untuk nengok ke dia. Karena sejak tadi gue gak berani buat natap muka dia dengan lama, makanya gue ga bisa lihat dengan jelas tanda biru di pelipisnya, ujung bibir kiri yang robek kecil, atau goresan kecil di pipi kanannya. He’s messed up and I want to bury him in my arms.

“Retta…” Dia manggil nama gue sekali lagi dengan suaranya yang lemah. Kedua matanya terus mengejar kedua mata gue. Berusaha untuk terus bertatapan, tapi gue gak kuat. Gue ingin lari, gue takut gue lemah, gue takut gue gak kuat, gue takut. “Lihat gue, Ret.” katanya, membuat gue natap dia dengan lekat.

“Lo gak seharusnya datang. Gue makin susah buat relain lo kalau kaya gini.” Matanya berkaca.

Bukan cuma lo, Finn. It's not just you who's hard to let go of 'us'. This is hard for me too.

Gue bisa ngerasain mata gue juga berubah panas. Gue nahan air mata gue untuk gak keluar. Tapi gagal. Ternyata gue gagal. Gue gagal waktu dia narik tangan gue perlahan dan nundukin badannya. Kemudian nangis di atas kedua tangan gue. Rahangnya bergetar hebat, membuat getaran itu berpindah ke gue. Karenanya tangisan gue ikut pecah. Gue ikut nangis di punggung dia.

We don’t need to tell each other how we feel. The time when our eyes meet, they share the feelings. Talks about how much we miss each one.