Gue Bahagia

Selama dua puluh tahun gue hidup, perempuan yang bener-bener dekat sama gue itu bisa dihitung jari. Mama, Kak Ica, dan Beka. Tapi, semenjak Mama dan Kak Ica pergi ninggalin gue dan dunia, cuma ada Beka yang terus nemenin gue. Makanya waktu SMP kita mutusin buat pacaran.

Setelah pacaran dengan Beka, gue sama sekali gak bisa dekat dengan perempuan lain. Dia gak pernah suka hal itu. Walaupun itu hanya sekedar teman sekelas saja. Posesif? Iya. Tapi, waktu itu gue seneng-seneng aja dia posesifin gue. Menurut gue itu artinya dia beneran sayang kan sama gue?

Tapi, akhir-akhir ini gue merasa hidup gue mulai dipenuhi dengan perempuan-perempuan baru. Terutama semenjak gue putus dari Beka. Semua terima kasih kepada dua teman gue. Yordan dan Jauzan. Sejujurnya alasan gue putus dengan Beka bukan atas permintaan mereka berdua. Ada alasan lain, tapi gue lagi gak pengen ngomongin itu.

Alasan perempuan-perempuan mulai bermunculan di hidup gue itu dimulai oleh Yordan yang berniat deketin teman Jauzan, yaitu Griz. Dan kebetulan juga Jauzan punya sepupu yaitu si Elvina. Awalnya gue sempat tertarik buat deketin Elvina sebagai pelarian gue dari Beka. Gue sadar kalau pikiran gue terlalu jahat dan egois. Gue juga gak pengen ceritain ini karena sudah lewat. Sekarang dia bahagia dengan pacarnya, begitu juga dengan gue. Wait, begitu juga dengan gue?

Gue bahagia? Kok gue baru sadar?

Sebuah tangan menyentuh bahu gue dan mengembalikan gue ke dunia nyata. Mungkin karena sang empunya tangan melihat gue terlalu sibuk dengan dunia khayalan sendiri. Gue ngeliat ke arah tangan itu, kemudian menatap mata pemiliknya. Dia memaksa senyumnya, tapi tetap terlihat manis di mata gue. Gue terus menatap matanya, membuat perempuan di samping gue saat ini menurunkan tangannya dari bahu gue dan senyum terpaksa miliknya berubah menjadi senyum tulus. Hal itu memaksa kedua ujung bibir gue tertarik ke atas, mengukir senyum sepertinya.

Gue bahagia. Kok gue baru sadar.

Perempuan dengan rambut oval dan kulit sawo matang yang duduk di samping gue terlihat lebih menarik dibandingkan es jeruk yang baru saja dia berikan. Dia bertanya, “Jadi lo udah tau kita berdua harus kemana?” Sambil menghempaskan diri di samping gue, sedikit berjarak.

Gue ketawa dan menggaruk kepala yang aslinya sama sekali tidak gatal. Seperti yang gue katakan dari awal kalau gue gak pernah dekat sama perempuan lain selain Beka. Jadi, gue gak tahu apa yang perempuan lain suka. Semua tempat yang gue datangi itu tempat kesukaan Beka. Semua makanan yang gue beli itu kebanyakan makanan rekomendasi Beka. Bahkan, setiap sudut jalan yang gue lewati selalu ada bayang Beka.

“Gue nanya teman-teman gue aja kali ya?” Gue mencoba untuk jadi laki-laki yang punya solusi atas tindakan impulsif yang sebenarnya berasal dari gue sendiri. Ternyata emang bener gue seimpulsif itu. Kenapa hari ini gue jadi sadar banyak hal ya?

Retta yang saat ini di samping gue dan duduk lebih nyaman dari sebelumnya hanya menganggukkan kepala. Tadi gue sempat nanya dia pengen kemana. Tapi, kata dia kemana pun itu dia mau karena dia pengen coba suasana baru. Gue gak tau suasana baru buat dia seperti apa. Bodohnya gue gak memilih untuk bertanya lebih jauh.

Terlalu hening. Sebenarnya tidak ada atmosfer canggung yang gue rasain, tapi mungkin tidak dengan peremuan di samping gue. Terbukti dari bagaiman dia mencoba untuk mencari topik pembicaraan.

Retta memusatkan fokusnya ke gue. “Lo kenapa milih tahun baruan sama gue? I mean you have your family, friends–” Kata-katanya terputus sekian detik sebelum dia lanjutkan,”–or someone else.”

“Kalau gitu lo kenapa nerima ajakan gue?” Gue balik bertanya karena bingung harus menjawab pertanyaannya dengan jawaban seperti apa.

“Kok malah balik nanya sih? Lagian kan lo tau gue gak mau ke villanya Leony.” Dia cemberut mendengar gue yang malah membalikkan pertanyaannya.

“Penasaran aja. Keluarga lo?” Gue lanjut bertanya.

That’s just me and my Mom. Well, she’s busy as hell.” Badannya berubah menjadi lurus ke depan lagi, tidak menghadap ke gue seperti tadi. “Tapi, bukan berarti gue gak harmonis ya sama mama.” Dia menengok gue saat mengatakan itu.

Gue senyum, kemudian ikut menghadap lurus ke depan.

“Gue punya masalah keluarga, Ret. A long story. Lo bakalan bosen kalau gue cerita.”

Dia kembali mengarahkan tubuhnya ke gue, dari ujung mata gue bisa lihat wajah penasarannya. “We have all night and I’m here to listen.” katanya.

“Tapi, ini malam tahun baru. Kita buat cerita sendiri aja.”

Ini terlalu berharap, tapi kalau memang gue bisa buat cerita sama Varetta. Why not? Kita bisa buat cerita bersama di mana kita berdua yang jadi pemeran utamanya.