It's Easy

I still remember what he said the day before over the phone. That I can’t interfere in his life, unless it’s about love matters. It’s hurt me and I hate him for that. But, the moment I saw him dressed just like usual when I opened the door for him. I recall something I said to myself one day that it’s not easy for me to fallin in love. Well, it turns out to be such bullshit. Cause I think I like him a little bit.

He bit his lower lips and smiled at me. “Hi,” he said. On his left hand there’s a plastic bag filled with food. It’s easy. It's easy for him to make me fall.

“Gue boleh masuk ga sih?” tanyanya. Gue yang masih terpukau dengan wajahnya hanya mengangguk, dari ujung mata gue bisa lihat dia tersenyum. Dia masuk ke dalam rumah membawa kantongan plastik itu, menanyakan letak dapur, dan pergi untuk mengatur makanan sendiri.

Gue kembali bertanya-tanya tentang kejadian kemarin. Seperti tidak percaya segala pesan yang kemarin itu dikirim oleh Finn yang ada di depan gue sekarang. Dia nyodorin gue makanan yang dibawanya dari luar. Classic. Nasi uduk.

“Sorry ya, gue udah terlanjur beli dan belum sempet nanya lo suka atau ga.” Finn mengatakan itu setelah melihat gue yang hanya menatap nasi uduk yang disodorkannya.

Tersadar dari lamunan gue segera menjawab. “No, gue suka kok. I just daydream.” Gue mulai menyendokkan makanan yang ada di hadapan gue sekarang. Finn yang melihat itu juga mulai menyantap sarapannya.

Tenggorokan gue serak, bukan karena haus yang menyerang. Tapi, karena udara yang sangat canggung saat ini. Sama sekali tidak ada yang mengeluarkan suara. Bahkan, suara kunyahan pun terdengar sangat tipis.

Finn menghabiskan makanannya terlebih dahulu. Dia ngelirik gue yang belum selesai makan. Merasa tidak memiliki kewajiban untuk nungguin gue makan, dia duluan pergi ke dapur untuk mencuci piringnya. Kemudian, kembali dan duduk dengan canggung di hadapan gue.

Tatapannya terus menembus kepala, gue sama sekali ga berani untuk nengok matanya. Terdengar suara kecil merayap keluar dari bibir merah mudanya. Wow, gue baru sadar bibir Finn benar-benar cantik banget. Karena tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Finn. Akhirnya gue memberanikan diri untuk menatap dia. Berharap dengan itu gue bisa tahu apa yang dikatakannya.

Wajahnya putih bersih, hidungnya terukir dengan sempurna, bibirnya merah seperti delima. “Sorry, Ret.” katanya. Oh, ternyata itu yang dari tadi coba dikatakannya.

Gue bingung. Mungkin dia bisa tahu dari wajah gue yang saat ini penuh tanda tanya. “For what?” I asked him.

“Kata-kata gue kemarin. Gue nyakitin lo, Ret.” katanya. Menundukkan kepalanya, yang sekarang dapat gue tatap hanya puncak kepalanya.

Gue senyum. Ternyata dia sadar, dia sadar nyakitin gue. Walaupun, it takes one day.

Nah, don’t worry. We’re nothing from the start. Gue ga punya hak untuk tau semua tentang lo.” kata gue mencoba untuk menepis segala perasaan yang mungkin muncul.

“Jangan gitu, Ret. Gue mau kita temenan dengan baik dan juga saling membantu dengan baik. Gak seharusnya gue ngomong kaya gitu kemarin. Gak seharusnya gue ngelampiasin segala rasa kesal gue ke lo. Padahal gue yang pertama ngehubungin lo.” Rasanya saat ini juga gue pengen ngehapus kata “temenan” dari Bahasa Indonesia. I don’t want you to be just my friend, Finn.

Shit. It’s easy. So fucking easy.

Gue menarik napas dalam. “Ok, Finn teman Retta.” Gue menekankan kata teman. “Gue gapapa. Salah gue juga dari awal ga nanyain batasan kita. Dan ya lo salah lampiasin semua itu ke gue yang gatau apa-apa. Terutama lo marah ke gue yang mau cari tahu tentang itu.” lanjut gue.

“Iya gue tau gue salah. Gue sadar. Tapi, lo masih mau bantuin gue kan, Ret?” tanyanya.

Gue menutup mata dan menarik napas dalam. “Of course.” Of course you stupid. I just realized now that I have grown feelings toward you. Ga mungkin gue langsung cut out lo dari hidup gue. Gue manusia biasa. Gue bisa selfish.

Dia senyum. Manis banget. Gue balas senyumannya dan tiba-tiba dia narik gue ke pelukannya. Dari pelukan itu gue yakin, one hundred percent. He really needs that hug. Samar-samar gue mulai dengar isakan tangis dari dia. He tightens our hugs.

Kita berdua diam dalam posisi itu. Gue mulai menebak-nebak Finn ini orang seperti apa. He once told me that he’s broke and hurt. Gue ga tau dan ada kemungkinan ga bakalan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, gue sampe di conclusion kalau dia butuh seseorang untuk jadi rumahnya. He’s alone. Karena sekarang rumahnya hilang, yaitu Beka.

Beka was once his home. But, maybe, just maybe. It’s my time to bring him home.

I can guarantee that if all my close friends know about this. Especially Leony, Prisa, and Monic. They will kill me.

I’m not stupid, but I want to act stupid this time. I know that I can’t fix someone, if he doesn't want it. But, I can see Finn wants it. He wants to change and I’m here to help him.

He helps me too. Cause I slowly forget about Kak Sage. Well, from the start I don’t really long for him any more. Sage and Monic make a perfect combo. The problem was with me. It’s on me all the time.

Finn perlahan mulai melepaskan pelukannya. Gue lihat wajahnya yang berubah canggung, gue senyum menandakan bahwa tidak ada masalah yang terjadi. Setelahnya kita lebih memilih untuk membicarakan topik-topik lain. Karena kita sadar, kita saling membutuhkan satu sama lain. Walau mungkin kita akan saling menyakiti juga.

Tapi, gue udah meyakinkan diri untuk siap menjadi rumah Finn selanjutnya. Untuk itu pun gue siap untuk tersakiti. Sesakit apapun itu. Gue akan coba untuk terima. We’re not perfect and that makes us human.