Kali Ketiga

Dokter mengatakan bahwa perkembangan ‘nyawa’ sangat bagus. Tetapi, Fawnia diminta agar tidak terlalu stres dan banyak pikiran. Setelah menyelesaikan pemeriksaan bulanan, keduanya langsung bepergian ke salah satu supermarket. Supermarket yang menyimpan kenangan pertemuan mereka.
“Aku udah tau siapa dibalik fake account itu. Nanti di kampus mau aku datengin,” kata Jauzan mendorong troli belanjaan mereka.
“Ga usah berlebihan ya, Zan. Udah lewat lama juga kok. Dia sekali itu aja.”
“Ga sekali, Awni. Tapi, beberapa kali,” bantah Jauzan.
“Iya aku tahu. Udah jangan emosi gitu dong.” Fawnia berusaha menenangkan Jauzan dengan mengelus lengannya.
Keduanya berjalan mengarah ke rak susu ibu hamil dan dari arah berlawanan ada seseorang yang dikenal Jauzan juga Fawnia. Orang itu adalah Tante Tia.
“Eh, Jauzan. Ngapain kalian di sini.” Sambil mata Tante Tia melirik ke arah susu-susu ibu hamil di rak. Kemudian dengan jelas melihat perut Fawnia. “Perasaan Tante belum dapet undangan dari kamu deh, Zan,” sindirnya.
“Tan, aku ga mau ribut ya di sini.” Kata Jauzan. “Aku sama Awni duluan.” lanjutnya, menarik tangan Fawnia untuk menjauh.
“Dasar anak muda, keliatan kok dari natal kemarin emang anak ga bener. Udah saya duga bakalan kejadian,” sindir Tante Tia lagi. Jauzan yang mendengar perkataan tersebut berbalik arah dia benar-benar murka. Dia hampir saja berbalik untuk adu mulut dengan tante kandungnya, sebelum Fawnia menahan tangannya.
“Udah, Zan. Biarin aja ya,” lerainya.
“Tapi, kamu dikatain kaya gitu, Awni. Aku ga masalah kalau dia ngatain aku. Udah biasa. Tapi, dia ngatain kamu.”
“Zan, dia itu tante kamu. Udah ya, gapapa kok. Mending kita ke kasir, bayar ini, trus pulang. Biar kamu juga bisa ke kampus. Ok?”
“Iya,” kata Jauzan pasrah.
Jauzan dan Fawnia bergegas pergi ke kasir untuk membayar belanjaan-belanjaan mereka, dominan milik Fawnia.
“Emang kamu gapapa sering cuti gini?” tanya Jauzan kepada Fawnia.
“Gapapa. Sebenarnya aku udah pengen resign juga. Simpanan aku udah lumayan banyak banget. Kayanya aku kalau udah masuk bulan keenam mau beneran resign. Habis itu mau jualan aja.”
“Asik, cewe aku business woman nih.”
“Emang iya cewe kamu?” kata Fawnia membuat ekspresi wajah Jauzan berubah murung. “Hahahahaha,” tawa Fawnia lepas.
“Iya deh iya, aku cewenya Jauzan.” Kata-kata itu membuat senyum kembali terukir di wajah Jauzan. Fawnia merangkulkan tangannya di sekitar lengan milik Jauzan. Keduanya berjalan ke parkiran mobil.
—
Jauzan yang telah mengantarkan Fawnia dengan selamat sampai ke rumahnya langsung berangkat ke kampus.
Dia tidak langsung pergi ke fakultasnya, melainkan ke FISIP terlebih dahulu. Tujuannya sudah jelas, untuk menemui orang dibalik akun bodong yang menebar hate kepada Fawnia.
Ditemuinya Elvina sedang duduk di kantin sendirian. “Elv,” panggilnya.
“Eh, Jan. Lo nyari tu anak ya? Ayo bareng, gue mau ikut.” Teriak Elvina sangat keras.
“Mulut lo bisa disumpel aja ga sih? Ribut bangsat.” Seperti yang pernah Jauzan katakan bahwa dia akan terus memaki kalau berbicara dengan teman-temannya, termasuk sepupunya. Karena menurutnya mereka semua menguji emosi Jauzan. “Lo boleh ikut kalau ga ikut campur. Awas aja bacot,” tambahnya.
“Iya, bawel. Ngata-ngatain orang bucin mulu. Mampus kan lo kena karma, jadi bucin Awni sampai mati lo.”
“Apa sih lo ngomongnya. Udah ayo,” ajak Jauzan.
Keduanya pergi dari kantin untuk mencari anak ilkom semester 2 itu. Sampai di taman tempat banyak maba mengerjakan tugasnya.
“Kayanya itu deh, Za-“ belum selesai Elvina berbicara, Jauzan telah berjalan menghampiri perempuan yang mirip dengan foto yang dikirimkan Finn.
“Lo orang yang dibalik fake account?” todong Jauzan.
“Bu-bukan gue Kak, gu-gue ga pernah nyebar fitnah tentang lo atau cewe lo itu,” jawabnya panik.
“Gue ga nyebutin sama sekali loh. Gue cuma nyebutin fake account aja.” Kata Jauzan memberikan isyarat tanda petik menggunakan dua jarinya saat mengatakan fake account.
Perempuan tersebut panik, tubuhnya gemetar hebat.
“Gue ga salah. Harusnya lo ngeliat gue, Kak. Gue lebih pantas buat bareng lo. Gue udah lama suka sama lo. Bukan perempuan kaya dia,” teriaknya. Jauzan dan Elvina yang mendengarkan hal itu bergidik ngeri.
Orang-orang di sekitar mulai berkumpul mendengar ada keributan.
“Lo gila ya? Jangan pernah ganggu gue atau Fawnia lagi. Selama ini gue diemin lo, tapi malah berulah. Ini kali ketiga gue ya buat ngingetin lo. Dua kali gue ingetin lewat twitter sama sekali ga lo peduliin. Gue ga mau lagi liat lo ngehina Fawnia pake akun apapun itu. Titik.” Jauzan berusaha menahan emosi. Jika saja yang dihapannya ini bukan perempuan, tidak tahu sudah berapa pukulan yang mendarat di wajahnya.
Selesai mengatakan itu Jauzan pergi meninggalkan perempuan yang terisak itu, “gue tau yang terbaik buat lo, kak. Gue suka sama lo udah dari SMA,” bisiknya pelan.
Jauzan dan Elvina sudah berjalan jauh di depan. Sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan perempuan itu. Bahkan, tidak peduli dengan keramaian yang mereka ciptakan.
“Gue ada kelas, lo gimana?” tanya jauzan.
“Gue juga masih ada kelas abis ini. Balik bareng ya, Jan.”
“Iya. Gue agak familiar sama tu cewek. Siapa sih?” kata Jauzan.
“Dia adik kelas lo dulu, njing. Gue baru sadar, yang pernah lo bilang itu loh. Stalker lo.”
“Bangsat, ngeri banget.”
“Iya kan, setelah gue perhatiin baru gue sadar. Udah ah sana lo pergi, telat lagi nanti,” usir Elvina.
“Bye, sepupu gue tercinta.”
“Jijik banget lo. Pergi sana.”
Jauzan tertawa dengan respon itu. Pikirnya masalah tentang fake account telah selesai. Sehingga, dia cukup lega.