Miserable
cw // kissing , implied sexual content
Segala hal yang pertama kali gue lakukan itu selalu sama Beka, termasuk ciuman. Bagi gue dan bagi dia, kita itu sama-sama yang pertama. Seharusnya gue marah waktu ngeliat dia ciuman dengan orang lain di saat punya janji sama gue. Kenyataannya, ternyata gue gak marah, gue gak dengan gegabah datangi cowok yang dicium Beka dan nonjok cowok itu. Tapi, gue kecewa. We’re miserable. I know. But, not that ‘miserable’ to go kiss each other if we’re sober.
Tapi, ternyata semua pikiran gue itu salah waktu gue ketemu Varetta di Guardian – club malam – sendirian. Jauh dari Varetta selama 2 minggu buat gue sadar 1 hal. Kalau ternyata selama ini gue udah terbiasa dengan kehadiran dia, cerita dia, tingkah dia. Makanya waktu dia minta gue buat menjauh untuk perbaiki semua masalah gue. Gue galau banget. Gue gak punya tempat cerita – di luar Jauzan dan Yordan – lagi.
Gue yang udah mabuk gak sengaja nabrak dia yang baru aja turun ke dance floor. Dia berteriak dengan nada marah, “Can you be carefull?” Gue otomatis langsung mencari wajah orang yang bicara dengan gue itu, gue takut telinga gue salah karena terlalu kangen sama Varetta, gue jadi berhalusinasi denger suara dia. Tapi, ternyata telinga gue gak salah, otak gue gak salah, dan mata gue gak salah. Varetta. Perempuan itu berdiri tepat di depan gue sambil memegang lengan kirinya yang tertabrak tadi.
Kali ini giliran mata kita yang bertabrakan, gue mau senyum, tapi gak berani. Dia nutup setengah matanya, untuk ngelihat wajah gue dengan jelas – sepertinya. Kemudian, setelah dia berhasil yakin bahwa yang dia liat adalah gue, dia langsung ngomong. “Wait, Finn?” tanyanya memastikan.
Gue menggelengkan kepala dan membuka mata lebih lebar agar dapat dengan cepat sadar dari pengaruh alkohol yang gue rasakan sekarang. Gue malah dengan bodoh bertanya, “Retta?” Padahal sudah dengan jelas gue sadar bahwa perempuan di hadapan gue ini Varetta. Orang yang selama 2 minggu ini buat gue susah tidur karena kepikiran dia.
“God, what are you doing here?” Dia bertanya ke gue, tapi belum juga jawaban keluar dari mulut gue, dia langsung menambahkan, “Eh, good question, Varetta.” gerutunya seperti tersadar kalau pertanyaan yang dia ajukan lucu. Sama seperti nanyain apa yang orang lakukan di rumah makan. Pertanyaan retoris yang jawabannya sudah jelas.
Gue ketawa, sedikit keceplosan, tapi waktu gue ngeliat ke dia. Dia gak keberatan dengan tawa gue. “Mau duduk aja gak, Ret?” tanya gue. Awalnya dia keliatan gak begitu yakin dengan ajakan gue. Tapi, ngeliat gue yang udah cukup mabuk untuk terus berdiri, dia ngeiyain ajakan gue untuk duduk.
Varetta duduk dan memesan minumnya, sempet nawarin ke gue juga dan yang terpaksa gue iyain, karena aneh rasanya duduk tanpa minum di saat lawan bicara lo lagi minum. Tapi, gue maupun Retta gak ada yang mulai memecahkan keheningan yang gak hening ini. Kita berdua cuma sibuk neguk gelas-gelas yang dituangkan bartender sampai kosong. Pikiran gue tiba-tiba dimasuki kejadian yang gue saksikan 30 menit sebelumnya. Kekecewaan gue benar-benar memuncak dengan tingkah Beka. Gue gak mau kejadian itu terus terbayang, tapi kayanya gak mungkin.
Sepertinya gue udah terlalu mabuk, karena tanpa sadar gue udah duduk sangat dekat dengan Varetta. Bahkan, tangan kiri gue udah hampir ngerangkul pinggang perempuan di samping gue ini. Wajah kita berdua saling beradu. Gue bisa ngeliat wajahnya memerah. “Finn, you ok, right?” tanyanya. Of course not. Gue beneran pengen meluk lo sekarang, gue pengen meluk lo yang erat, gue pengen… cium lo. Tapi, yang keluar dari mulut gue hanya, “Pusing, Ret.”
“Well, lo bawa mobil?” Gue udah ga sanggup buat jawab pertanyaan dia, jadi gue cuma nganggukin kepala. Gue bisa denger samar-sama dia minta bantuan bartender untuk nuntun gue ke mobil. Sampai akhirnya tersisa kita berdua di dalam mobil gue. Seperti hari-hari sebelumnya. Hari di saat gue dan dia masih sering ngabisin waktu bersama untuk sekedar ngobrolin tentang hari kita.
Gue nutup mata, berusaha untuk menghilangkan rasa pusing di kepala. Gue ngelirik Retta yang juga bersandar di seat mobil dengan nyaman. Itu tempat dia. Retta beneran cocok duduk di kursi itu dan gue baru sadar hal itu sekarang.
Kalau aja gue gak bodoh. Mungkin gue gak akan pernah kehilangan sosok Retta yang duduk di samping seat gue. Dengerin segala cerita gue. Nemenin hari-hari gue yang menyakitkan. Gue bisa ngeliat betapa cantiknya Retta dari sini. Gue pengen banget marahin diri gue yang dulu nyakitin dia.
Tanpa sadar gue manggil dia, hanya namanya, “Ret.” Dia membuka mata dan menengok ke gue secara perlahan. Gue bisa liat dia narik napas yang dalam sebelum mengarahkan pandangannya ke gue. Mata kita berdua kembali beradu.
“Lo udah ena-” Gue motong pertanyaannya dan bergerak mendekat, mengikis jarak di antara kita berdua. Napasnya tertahan. Sampai jarak di antara wajah kita berdua tersisah satu jengkal.
Gue natap bibirnya, dia punya bibir yang tebal, merah, dan terlalu menggoda untuk ditinggalkan begitu saja. Gue merasa ditarik oleh hawa napsu untuk segera menempelkan bibir gue di bibir Retta. Dengan bodoh gue malah minta maaf sebelum akhirnya benar-benar menciumnya. “I'm sorry, Ret.” kata gue. Dia kaget. Gue bisa merasakan tubuhnya yang terkejut. Tetapi, dia tidak menolak sama sekali.
*I don’t know if we’re still under the influence or sober enough to realize that we are now kissing each other. *
Gue megang kedua pipi Retta, menariknya pelan agar mendekat. Gue pun juga mendekatkan wajah gue dan menggigit bibirnya pelan. Dia membuka bibirnya, memberikan kesempatan buat gue untuk menjelajahi dalamnya. Hingga, Retta kesulitan untuk bernapas membuat gue berpikir bahwa bisa jadi ini adalah ciuman pertamanya – atau dia memang jarang berciuman.
Gue memperdalam ciuman kita, jantung Retta – dan gue – berdegup terlalu kencang. Kemudian gue sadar bahwa Retta pasti kesulitan mengikuti cara gue, tetapi di saat gue mau nyesuain tempo dengan dia. Dia malah lingkarin tangannya di sekitar leher gue.
Hawa di dalam mobil ikut memanas dengan kita yang menikmati ciuman memanaskan ini, gue terus mendekat dan akhirnya ngangkat Retta untuk duduk di atas pangkuan gue. Tangan kanan gue sibuk untuk nurunin sandaran seat agar Retta dapat lebih nyaman duduk di atas gue. Tapi, ternyata cukup susah menggunakan satu tangan. Makanya gue ngelepas tautan bibir kita berdua dan bergerak dengan cepat nurunin sandaran seat sialan itu.
Tiba-tiba bayangan tentang kejadian Beka berciuman dengan laki-laki yang gak gue kenal kembali menusuk pikiran gue. Kata-kata gue tentang berciuman dengan sembarang orang di saat kita sadar terngiang-ngiang. Tapi muncul pembelaan di kepala gue “Retta bukan sembarang orang”. Gue berusaha untuk mengabaikan pikiran itu dan kembali mencium Retta. Gue beberapa kali ngusap pipi Retta dengan lembut. Gue ingin manggil nama dia sekali sebelum kembali menciumnya.
“Bek…” panggil gue tanpa sadar. Dia terdiam. Gue baru sadar ketika tubuh Retta yang duduk di atas gue terdiam kaku. Sinting. Pikiran-pikiran gue tadi membawa gue ke sini. Ke titik permasalahan ini. Gue langsung ngusap wajah dengan kasar ketika sadar wajah dan mata Retta memerah. Gue terlalu bodoh untuk meminta maaf dan mengatakan bahwa gue salah. Karena gue yakin semuanya akan terdengar seperti alasan bodoh.
Dengan pasrah gue ngeliat Retta menyambar semua barang-barang dia yang ada di mobil gue. Dia keluar dari mobil gue tanpa satu kata pun. Dia terlalu baik untuk gak jambak dan tampar gue. Karena saat ini gue sangat ingin jambak dan tampar diri gue sendiri. Gue nundukin kepala, meletakkan kepala gue di atas dashboard. Mengacak rambut gue dan memaki di dalam kepala karena kebodohan gue sendiri.