Miserable and Vulnerable

Conan Gray · Memories

cw // kissing

Jantung gue berdegup kencang, kaki gue lemas gak terasa, napas gue gak karuan. Itu yang gue rasain waktu lari ke gedung fisip dengan bodohnya untuk ketemu Retta. Padahal pada kenyataannya gue bawa motor ke kampus. Akhirnya gue harus pamit lagi ke Retta untuk ngambil motor gue di gedung teknik. Otak gue bagian berpikir kayanya pindah ke dengkul karena isinya udah penuh dengan Varetta.

Gue ngambil motor dan minjem helm siapapun yang ada di situ. Berjanji untuk ngembaliin helmnya besok di kampus, dengan sedikit jaminan duit. Gak mungkin gak gue kasih, karena gue gak tau kapan lagi gue dapat kesempatan untuk ngobrol dengan Retta. Walaupun gue sedikit ngomel karena dia minta ganti rugi seharga helm baru.

Retta masih berdiri nungguin gue sambil mainin handphonenya di dekat pos satpam. Gue nyamperin dia, matiin mesin, dan turun dari motor. “Ret,” panggil gue. Sepertinya dia gak sadar gue udah di samping dia.

“Eh, sorry, Finn.” katanya. Dia senyum. Gue seneng liatnya, dia masih bisa senyum di depan gue.

“Gapapa. Btw, sorry gue bawa motor kali ini. Takut telat ujian, soalnya gue bangunnya kesiangan.” Gue tahu gue terlalu TMI, tapi gue harus apa lagi di saat kondisi kita berdua sedikit canggung seperti ini.

Dia senyum lagi. “Gak masalah gue bisa kali naik motor.” jawab dia terdengar santai. Sedikit menghapus kecanggungan dan atmosfer dingin di sekitar kita berdua. Buat gue juga ikut tertawa dengernya.

Gue ngasih helm yang butuh perjuangan untuk minjemnya itu ke dia. Setelah itu gue naik ke motor terlebih dulu dan ngeliatin dia masang helm di kepalanya. Sedikit kesusahan untuk ngunci pengamannya, akhirnya gue nyuruh dia untuk mendekat. “Sini deh, Ret.” Gue bantuin dia masang helm itu. Wajahnya hanya berjarak sejengkal dari wajah gue. Gue yakin banget pipi gue sekarang merah, karena gue bisa ngeliat pipi Retta yang juga merah dan dia hanya bisa menundukkan kepalanya.

Bunyik ‘klek’ terdengar dari helm yang digunakan Retta, membuat dia menarik dirinya dan ngucapin terima kasih dengan canggung ke gue. “Thank you, Finn.” Setelah itu dia naik dan duduk di jok belakang motor.

“Kita mau kemana sih?” tanya perempuan yang duduk di belakang sebelum gue nyalain motor.

“Ikut aja.” kata gue.


Kita berdua sampai di tempat pertama kali gue ngajak dia pergi. Tempat kita berdua saling mencurahkan isi hati. Dia ngambil tempat untuk mengistirahatkan tubuhnya dan duduk. Gue masih berdiri jauh dari Retta, sedikit takut untuk mendekat. Perempuan itu membalikkan badannya dan memanggil gue dengan isyarat tangannya. Gue tersenyum karena bisa ada di posisi ini lagi. Dengan perasaan yang berbeda.

“Gimana?” tanya gue ke dia.

“Gak ada yang berubah, Finn. Tempatnya. Gue selalu pengen ke sini tau. Tapi, gak pernah sempat.” ujar Retta. Dia menarik kedua kakinya ke dalam pelukan dan mengistirahatkan dagunya di lutut.

Sikapnya tersebut membuat gue meletakkan tangan di atas kepalanya dan memainkan rambutnya. “Gak sempet atau gak ada gue?” tanya gue.

Why does it have nothing to do with you?” Dia langsung ngelirik gue tajam, membuat gue tertawa.

“Nebak aja, Ret.” kata gue setelah berhenti tertawa.

Setelah itu kita berdua terdiam, menikmati waktu bersama. Gue berharap waktu berhenti saat ini juga. Karena gue gak tau apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah kita akan baikan or it will goes worse? Gue gak tau.

“Lo pengen ngomongin apa, Finn?” Retta kembali membuka pembicaraan kita berdua.

“Gue…” Heran. Di saat Retta butuh jawaban dan pernyataan dari gue, gue gak tau harus ngomong apa ke dia. Gue gak tau apa yang bisa gue sampein ke perempuan dengan rambut hitam legam, kulit sawo matang, juga senyuman paling manis dan cantik yang pernah gue liat. Gue perhatiin wajahnya dengan lekat, mencari cela tapi gak nemuin cela sedikit pun. Meneliti tiap garis yang ada.

“Finn.” panggilnya. Panggilan tersebut membuat gue mengalihkan fokus gue ke bibirnya. The lips that I get addicted to when I kiss it. The lips that make me drunk when I am completely sober. The lips that always said my name when we did it. The lips that never fail to amaze me when I hear her sing. The perfect one and now I want to kiss it. Kiss her lips. Deeply. So I do it. I kissed her and she kissed me back.

“Finn, we need to stop.” Dia sedikit mendorong gue. “We are here to talk, not to do this.

Sorry.” Gue terlalu terlarut sampai tidak sadar dengan tujuan awal gue.

If you don’t want to talk. Then I will.” ucapnya singkat. Kalimat-kalimat yang selama ini gue rangkai untuk sampein ke dia mendadak hilang lebur. Akhirnya gue ngasih kesempatan untuk dia bicara pertama kali.

You can talk first. Gue abis lo aja, Ret.” kata gue, memberikan dia kesempatan pertama.

Ok then.” Dia menarik napas panjang. Raut wajahnya mulai berubah. Gue jadi sedikit khawatir dengan apa yang akan dia sampaikan ke gue.

“Finn, what we’ve is good. I love it. But every time I found myself trying so hard to convince my friends about how I can fix you or I can change you. I see how pathetic I am. While you are still longing for your ex at that time.” Shit. So it’s going to be the latter one. It goes worse.

“Gue seneng dengan perasaan gue ke lo. Gue seneng karena lo juga ngebalas perasaan itu. But, it’s not working for now, Finn. It’s not working. I can’t do it anymore. The timing is bad for us.” Dia meremas kedua tangannya, mencoba nguatin diri sendiri.

I want to be with you so bad, that I could die. I’m looking for only one, and I think it’s you. It’s always been you since I met you. But, maybe it’s not the best time.” Kali ini dia natap gue dengan dalam, megang kedua tangan gue yang gak kalah dingin dari tangan dinginnya. She’s been nervous. Same as me. “And if we're meant to each other. we’ll find our way to meet, Finn.”

She stroked my hair. “You are miserable and I was vulnerable. Or maybe it's just that we are both miserable and vulnerable. So maybe. Maybe. We need to find our happiness in life first.” Gue bisa ngerasain panas di mata gue. Perasaan sesak di dada seperti kekurangan oksigen terus menjalar.

And when we reach the best of our life. When we’re not miserable and vulnerable. Let's hope that the universe will let us find each other again. And falling in love again.” Easy to talk, Ret. Air mata gue udah ada di pelupuk mata. Dia ngulurin tangannya ke wajah gue, hapus air mata itu.

We bury the hatchet and build a home, so we can welcome each other when we have improved our life and be happy.” Semua kalimat yang keluar dari mulut cantik Retta seperti mawar. Sangat indah, tapi menyakitkan. Gue bener-bener sakit.

Dia membalikkan badannya, menghapus air matanya sendiri. Sedangkan, gue kehilangan kata-kata. I was too stunned to speak. I don’t even hold my breath, but it’s hard to search for air in this state. Gue milih buat keluarin semuanya. Gue menangis dengan keras, sampai tidak mendengarkan sekeliling gue. Tapi, yang bisa gue rasain hanya tangan Retta yang menarik gue ke pelukannya. Samar-samar gue bisa dengar isak tangis juga keluar darinya dengan arahan untuk gue gak nangis. But, how can I/m not crying when you are also crying river? Gimana gue bisa gak nangis kalau akhirnya seperti ini?

Sejak hari ini gue bertekad untuk berubah menjadi lebih baik. Lebih berfokus ke diri gue sendiri. Melepaskan dari bokap dan bertemu dengan mama tiri dan juga adek gue. Lulus dengan baik dan mendapatkan pekerjaan. Gue nata semua keingan gue. Semua akan gue lakuin untuk bisa bertemu kembali dengan Retta di kondisi yang lebih baik.

So, we can fall in love with no pain, but full of love. Not less. Semuanya seperti yang Retta minta. Ketika waktunya tiba, I will be the one that started it.

When the day comes, we will never know what is ‘miserable’ and ‘vulnerable', because we will overcome it and become the Most Valid Couple.