Musibah

TW // Death

Musibah itu bisa datang kapanpun, bahkan sedetik sebelum musibah datang manusia masih bisa tertawa seperti orang paling bahagia di dunia. Musibah tidak kenal waktu, tidak peduli perkara perasaan yang akan dibuat terombang-ambing seperti kapal di tengah lautan lepas. Musibah itu bergerak sesuka hati, menghancurkan setiap hati yang tidak dikenalnya. Kali ini korban dari musibah itu adalah Johnny dan Pamela–tepatnya seluruh keluarga mereka.

Pada saat itu atmosfer di sekitar ruangan Pamela benar-benar tegang, bahkan membuat para pengunjung lainnya tidak berani untuk mendekat. Ketegangan mulai mengintimidasi lebih dalam ketika Johnny diminta untuk memberikan izin untuk melakukan operasi caesar secepatnya untuk mengeluarkan Abey. Lilitan di leher Abey terlalu kencang, hal itu yang menyebabkan kurangnya pergerakan yang dilakukannya saat masih berada di dalam perut. Bukan hanya terlalu kencang, tapi lilitan tersebut terdapat lebih dari satu.

Dokter Anita mengatakan bahwa denyut janin Abey sangat lambat dan lemah. Dari segala rangkaian pemeriksaan yang telah dilakukan. Langkah terakhir yang tersisa adalah mengeluarkan Abey dari dalam tubuh Pamela. Dalam keadaan bernyawa maupun tidak bernyawa. Satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan pada saat itu adalah berdoa sekuat tenaga. Memohon pada Tuhan untuk menghindarkan mereka dari musibah.

Walau pada akhirnya musibah tetap melihat dan mendatangi mereka. Memberikan segala rasa sakit yang teramat kepada dua keluarga besar itu. Seseorang yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan mereka dibawa pergi jauh. Mungkin akan kembali, tetapi hanya sebatas di dalam mimpi.

Saat ini mereka berkumpul di suatu tempat, berpakaian serba hitam. Terik sinar matahari pun tidak membuat mereka pergi untuk meneduh. Semuanya menundukkan kepala ke bawah, melihat peti kecil yang di dalamnya terdapat bayi lucu dengan panggilan Abey itu. Musibah tidak memberikan mereka waktu untuk membuat kenangan. Hanya ada rasa sakit yang ditinggalkan.

Pamela masih sama pucatnya seperti saat dia bangun pasca operasi dan mendengar kabar kepergiaan sang pengisi hari. Duduk tanpa emosi di kursi roda, menatap lurus ke kubur yang ditutup secara perlahan. Tidak ada tangisan yang keluar, hanya tatapan kosong yang ditampilkannya. Di sampingnya ada sang suami yang telah pecah dalam tangisan sejak peti ditutup.

Johnny tidak sanggup berdiri, bahkan mungkin dalam beberapa hari terakhir ini tidak ada yang bisa melihat sosok Johnny yang biasanya berdiri tegak menjulang tinggi. Johnny banyak duduk dan berlutut. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, matanya lelah, seluruhnya kacau dan hancur. Seperti bukan dirinya.

Setelah kubur Abey berhasil tertutup tanpa cela, Johnny dan Pamela tidak berniat untuk bergerak sedikit pun. Keduanya masih ada di sisi kanan peristirahatan terakhir bayi mereka. Pamela dengan tatapan kosongnya dan Johnny yang berlutut menundukkan kepalanya–entah menangis atau berdoa. Keduanya bahkan mungkin tidak sadar dengan keberadaan masing-masing.

Langit yang tadinya terik pun perlahan berubah warna menjadi gelap. Petrichor mulai tercium, tetapi tidak di kedua hidung pasangan tersebut. Mereka tidak peduli dengan sekitar, bahkan panggilan dari orang tua yang mengajak untuk balik ke rumah pun tidak mereka dengarkan. Telinga mereka berubah tuli untuk saat ini, hanya mata dan pikiran yang fokus terhadap rasa sakit.

Hujan perlahan turun, satu titik, dua titik, tiga titik, kemudian berubah deras. Bersamaan dengan raut wajah Pamela yang ikut berubah. Seakan air hujan tersebut menyadarkan dia dengan apa yang terjadi. Tangisannya pecah meraung-raung walaupun mungkin teredam suara hujan. Tetapi, membuat Johnny yang tadinya hanya menunduk dan berlutut tersadar bahwa Pamela masih di sampingnya.

Keduanya merasakan sakit yang sama, sehingga hujan pun ikut menemani mereka bersedih. Johnny memutar kursi roda Pamela ke arahnya. Berlutut di hadapan Pamela. Dia menunduk menarik kedua tangan Pamela dan menggenggamnya erat. Meletakkan tangan tersebut di atas paha Pamela, kemudian menunduk dan menangis di atas paha sang istri.

Pamela menarik salah satu tangannya, mengusap kepala Johnny. Kemudian ikut menundukkan kepalanya, terbentur kepala Johnny. Keduanya menangis bersamaan dengan hujan yang turun tanpa ampun. Ini pertama kalinya setelah hari itu mereka saling menguatkan kembali. Karena setelah hari itu, keduanya hidup bagaikan tak bernyawa. Tidur berdampingan tanpa obrolan sama sekali. Duduk bersebelahan menjaga peti di rumah tanpa sadar kehadiran masing-masing.

Untuk pertama kalinya lagi mereka saling mengenal satu sama lain. Sadar bahwa rasa sakit mereka sama. Rasa sakit yang diberikan oleh musibah yang kejam. Terlalu kejam. Terlalu kejam dalam merebut kebahagian mereka.

Johnny mengangkat kepalanya, menatap mata Pamela dalam. Mata yang beberapa hari ini terlihat kosong, kali ini dipenuhi air mata dan kesedihan. Kedua tangannya digunakan untuk menghapus air mata itu, tangan Pamela pun menangkup kedua tangan Johnny yang berada di pipinya. Seakan mengatakan, “Aku ada di sini.”