Over and over again

cw // mention of kiss

Kata orang cinta pertama itu sulit dilupakan dan akan terus ada di hati seseorang, di bagian terkecil dan terdalam. Mungkin itu yang mendorong gue untuk ikut dan membuktikan kebenaran itu. Gue pengen liat reaksi dan interaksi Finn dan Beka. Gue gak cemburu, setidaknya itu yang gue pikirkan sebelum akhirnya sampai di cafe tempat gue dan Beka janjian.

Dia tidak datang sendirian, tapi bareng pacarnya yang keliatannya jauh lebih dewasa dari kita bertiga. I think he’s four or five years older than us. Ngeliat gue dan Finn datang, pacarnya milih menjauh setelah membisikkan sesuatu ke Beka dan mencium keningnya. Oh, he’s sweet. Karena ngeliat pacar Beka menjauh buat ngasih space untuk mereka berdua, gue juga milih untuk duduk di tempat yang berbeda setelah nyapa Beka, sekaligus kenalan dengan pacarnya.

Dari jauh gue bisa ngeliat Finn dan Beka yang mulai ngobrol, but the sad part I can’t hear anything. But I guess it goes well. Gue duduk berjarak 1 meja dari meja Finn dan Beka, berhadapan langsung dengan Finn. Jadi gue gak bisa ngeliat ekspresi Beka. Tapi, gue bisa liat ekspresi Finn, the way he looks at Beka, the sadness in his eyes, his hands that can’t stay still. Gue selalu merhatiin hal-hal kecil ini dan itu buat gue sadar kalau habit itu gak pernah berubah dari awal gue kenal dia. Tiap ngobrol dengan gue, dia juga ngelakuin hal-hal itu. Pasti Beka lebih tahu itu dibandingkan gue. It makes me question myself, did he really like me or did he see her in me?

I’m not trying to be pathetic, but I really like him. I fell for him, and I didn't want what we had was just an illusion for him.

Obrolan mereka berdua terus berjalan, sedangkan gue udah selesai memesan makanan, bahkan sudah hampir selesai dengan makanan tersebut. Gue gak sadar Finn udah berdiri di samping gue yang masih sibuk dengan piring gue yang udah kosong dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk di antara kita berdua. Dia senyum. “Kita pulang yuk, Ret. Gue dan Beka…” Dia narik napas panjang, buat gue juga ikut narik napas. “We’re done.” tutupnya. Membuat gue sedikit lega, tapi masih ada rasa panik atau khawatir yang ada di dalam diri gue.

Sebelum gue menjawab ajakan Finn, Beka udah lebih dulu nahan tangan gue. “Gue boleh ngomong sama lo ga?” tanya Beka ke gue.

Gue ngelirik Finn yang sepertinya nyerahin keputusan itu di gue. So, not thinking twice, gue langsung jawab. “Boleh.”


Sekarang gue duduk berhadapan dengan Beka, gue bisa liat matanya yang merah. Dia juga terus menunduk, tidak seperti Beka yang gue temuin waktu pertama kali. Beka yang gue pikir full of herself. Finn dan pacar Beka berdiri di luar cafe, karena Beka ngomong kalau dia cuma bakal ngobrol 5 menit dengan gue.

Thank you, Retta.” Kata pertama yang dia keluarkan setelah kita berdua duduk. Dahi gue bertemu saking bingungnya dengan ucapan terima kasih yang berulang-ulang dari perempuan di depan gue.

“Iya, thank you juga.” Gue gak tau harus jawab apa, jadi cuma itu jawaban yang gue berikan.

“Gue boleh ngomong kan?” tanyanya. Gue mengangguk. Well, she’s been talking all this time right? Lagian kan kita di sini emang untuk ngobrol.

“Gunain hak lo.” kata gue.

Thank you.” Lagi. “Gue sadar apa yang gue lakuin ke lo dan Finn itu jahat dan egois. Gue beneran minta maaf.” Gue senyum dan dia melanjutkan kalimatnya. “Setelah jauh dari Finn gue sadar kalau gue dan dia terus bersama, malah jadi boomerang untuk kita berdua. Terlalu toxic kata teman-temannya and I just realized it. Selama ini yang selalu ada buat gue itu Finn dan akhirnya itu ngebuat gue merasa kalau dia bakalan terus ada buat gue selamanya. Gue jadi egois dan merasa that he’s mine. Pacar gue yang sekarang bener-bener nyadarin dan bantuin gue untuk ngelakuin semua ini, dia beneran bantuin gue banyak hal. Dia ngajarin gue banyak hal. I met a better man.”

Gue senyum sepanjang penjelasan yang Beka berikan. I’m happy for her. Really.

And maybe Finn is your kind of man. That’s why I let him go. Gue lepasin dia.” Dia senyum dan berdiri setelah ngomong itu. Kemudian dia pamit ke gue yang masih duduk diam memikirkan kata-katanya.


Kata-kata Beka terus terngiang di kepala gue, bahkan setelah gue duduk di dalam mobil Finn. Mobil yang menjadi saksi bisu saat kita berdua ciuman dan saksi bisu di mana Finn manggil gue dengan nama Beka. Semua pikiran itu buat gue kembali paranoid.

I come to think twice untuk keputusan gue and it makes me re-questioning myself. Did Finn was that kind of man to me? or Did he still see her in me? It's a question that I can’t answer. I need him to answer it. So I call his name, “Finn.” Dia menggumam dan terus fokus dengan kemudinya.

Did you still see her in me?” tanya gue dengan berhati-hati.

“Ha? Maksud lo gimana Ret?” Dahinya berkerut, bingung.

“Beka. I mean that time when you kissed me, but you called her name.” Finn terkejut, terlihat dari badannya yang sedikit bergetar. Sepertinya dia kaget karena gue ngangkat topik ini dengan tiba-tiba.

“Ret, that’s a mistake. Gue pikir kita udah over masalah ini.”

What mistake? Are we a mistake? And no Finn. We’re not over this. Kita gak pernah ngomongin ini.” Gue mencoba mengingat apa kita pernah membahas masalah ini sebelumnya.

“Bukan gitu maksud gue. Kejadian itu is a mistake. We’re not.” jawabnya terdengar frustasi.

Which one. Tell me clearly.” Ok. Gue sadar gue mulai menyebalkan. Tapi gue frustasi dan mungkin sedikit — banyak — paranoid.

“Ret kok tiba-tiba gini sih. I'm done with her and I want to start it with you.” Dia terdengar lebih frustasi. “Gue gak mau bertengkar lagi, Ret.”

But, you can’t start something that you do not see clearly, Finn.”

“Ret, jujur gue bingung.” kata Finn. Dia meminggirkan mobilnya ke dekat trotoar. Kemudian menatap gue. “Ayo ngomong sekarang.”

“Jalan aja. Kita ngobrol nanti.” Bilang gue aneh, tapi gue bener-bener paranoid banget untuk memulai obrolan yang menyinggung masalah kemarin. Salahin gue karena gue sendiri yang ngungkit itu. Tapi, untuk ada di posisi gue sekarang gue yakin gak bakalan ada yang paham.

“Ret, please. Gue gak mau kita kaya gini lagi.”

But, we had to kaya gini lagi, Finn.” Gue nekanin dan ngulangin kalimat dia.

“Ok.” Dia sedikit memberikan pukulan di kemudianya, tidak keras, hanya pukulan kecil untuk mengeluarkan perasaan frustasinya.

Dia memilih untuk diam sampai akhirnya mobilnya berhenti di depan rumah gue. Dengan buru-buru gue keluar, tapi dia mulai mengeluarkan sepatah dua patah kalimat yang sempat buat gue berhenti sedetik. “Gue yang salah, Ret. Gue salah. Kita bicarain nanti kalau lo udah siap.” Itu kalimat terakhirnya sebelum gue nutup pintu mobil dan juga memilih untuk kabur sekali lagi dari dia.