PROLOG

Riana's POV

I’m growing up while listening to all my parents “discussion” about money. Mulai sejak bokap masih punya pekerjaan dan gaji yang stabil, sampai pada giliran nyokap yang harus muter otak untuk mikirin kita bisa makan apa esok hari. They just never stop. Kalau ada yang tanya gimana rasanya? Jelas menegangkan, sama seperti waktu gue pertama kali menjadi penonton dalam acara debat antar sekolah. Walaupun sekolah gue saat itu tidak keluar sebagai pemenang, gue tahu betul bagaimana 20 menit terasa seperti 20 jam hanya dengan mendengar argumen yang disela oleh interupsi pelik. Terlalu panas, legit, berapi, seperti saat orang tua gue memulai debat pribadi mereka. Mengakibatkan gue sebagai penonton dan pendengar melemparkan diri masuk ke dalam kamar dengan satu bantal yang menutupi kedua telinga.

They would persistently complain about “family” financial problems. Make sure that I was there listening to all their yammer. I always tried hard to escape from that, but the result will always be the same. Sometimes, it leads me to have many “what ifs”. Pertanyaan, “gimana kalau dulu…”, “coba aja dulu…”, dan masih banyak lagi bersemayam dalam diam di kepala gue dan akan muncul secara tiba-tiba di saat yang kurang tepat.

Salah satunya adalah di saat tengah malam, di mana gue sibuk dengan tumpukan kerjaan yang entah kapan akan lenyap. I could stay up all night and work till my pants ripped due all the endless work and accompanied by a cup of warm milk. Ketenangan malam bakalan ngebawa gue untuk membanding-bandingkan kehidupan yang sedang berjalan dengan kehidupan hasil daydreaming yang selalu terlintas tanpa kenal waktu dan tempat.

Perkara kehidupan menyuburkan perasaan cemburu yang tertanam di dalam lubuk hati dan akhirnya berbuah gue sebagai seorang yang mudah untuk cemburu. Gue bisa cemburu cuma dengan melihat keluarga yang sedang makan malam bersama dengan harmonis, gue bisa cemburu cuma dengan melihat teman kantor gue yang rutin mendapatkan panggilan telepon dari orang tua-nya, gue bisa cemburu dengan melihat beberapa mentee gue yang dijemput oleh orang tuanya after work hours. Pathetic.

Setidaknya, kehidupan yang telah gue jalani bisa membentuk gue menjadi seperti sekarang. Menjadikan gue money oriented yang gila bekerja. Berhasil membuat gue angkat kaki dari tempat yang digadang-gadang sebagai “rumah” tersebut. Menyadarkan gue bahwa I still have an option–when my parents made me believe that I left with no option at all.

Orang-orang selalu ngomong kalau gue berubah. But, did I really change? Or is it just the real me? Cold as stone, cold as the poles, and cold as the night breeze. Maybe, just maybe. What I need the most is a cup of warm milk at midnight.