The Air is Cold
Dari semua percakapan gue hari ini dengan Leony, Euan, dan Hart. Gue sadar kalau mereka sama sekali ga bermaksud untuk ngelarang gue buat bahagia. It’s just that they don’t think the same as me. What I think that can make me happy, they think it’s just a way for me to get hurt. So it's valid.
Gue duduk di pojok ruangan dan masih sibuk mainin handphone waktu dengar music director gue manggil nama gue. Gue noleh dan ngeliat dia tersenyum cukup lebar. Tangannya terus memanggil gue untuk lebih mendekat dan nyamperin dia. Gue memutar mata dan mendengus.
Handphone yang sejak tadi ga lepas dari tangan gue lepasin gitu aja. Gue yakin tempat ini cukup aman, karena jujur saja kru yang bekerja hari ini ga begitu banyak. Shooting pun dilakukan di satu ruangan yang lumayan besar. Dilengkapi CCTV juga, jadi kalau ada barang yang hilang bisa kelacak. Gue jalan mendekat Kak Yena–Music Director–yang senyumnya ga luntur sejak tadi manggil gue. Di sampingnya ada kru-kru lain yang sibuk ngatur kamera dan lainnya. Gue ga mau terlalu ikut campur. I gave them the concept. Tapi, gue ga mau terlalu ikut campur karena gue tau itu bukan ranah gue. Paling gue bakalan ngasih kritik dan pendapat dikit-dikit.
“What’s with that smile?” Gue sampai di hadapan Kak Yena dan nanya karena emang penasaran banget alasan di balik senyum orang ini yang lebar banget, tapi gue bisa sedikit nebak sih.
“Lo dapet di mana sih ni orang? He got the looks. Bisa jadi model tau. He's tall and handsome.” Bingo. Gue tau dia bakalan ngomongin Finn. Mata gue emang ga pernah salah ngeliat orang. I’m blushing. I know that the compliments it’s not direct for me. But, I still blushed.
“I know that you’ll love him.” Gue ketawa karena gue tau banget tipe Kak Yena. An attractive man. That’s Finn.
“Not that deep, Ta. Just…Intinya lo keren.” Dia sedikit memukul lengan kiri gue, ikut ketawa dan muji gue.
“Thanks. Btw, ini masih lama gak sih, Kak? Laper.” Siapa sih yang ga laper nunggu kurang lebih 7 jam. Gue pun yakin Finn udah laper. Setalah nama dia terlintas dipikiran akhirnya gue beraniin diri untuk natap dia dan ternyata dia juga lagi natap gue. Ga tau sejak kapan, tapi gue yakin dia udah ngeliatin gue sejak tadi sebelum gue ngobrol dengan Kak Yena. Gue langsung otomatis buang muka dan gue masih bisa ngerasain dia ngeliat gue. Pipi gue memanas.
“Udah kok ini. Baru aja tuh…” Gue udah ga dengerin apa yang Kak Yena omongin karena detak jantung gue jauh lebih keras suaranya. Finn masih ngeliatin gue atau ga, gue ga tau. Hanya itu satu-satunya yang ada di kepala gue sekarang. Ga lama kemudian gue ngerasain ada tangan yang nepuk bahu gue. Gue tau bau parfum ini, ga perlu ngelirik pun gue tau siapa yang nepuk gue.
“Ret, gue boleh ngomong sebentar?” Suaranya yang selalu terdengar kaya nyanyian di telinga gue mulai terdengar. Gue bisa ngerasain Kak Yena tidak ingin ikut campur dan meninggalkan gue berdua dengan Finn. Beberapa kru lain masih sibuk mengatur peralatannya, tapi mereka bertingkah seperti tidak mendengar dan melihat apa pun yang akan terjadi.
Gue membalikkan badan, berhadapan dengan Finn. Gue senyum, mungkin terlihat kaku tidak seperti biasanya. Karena saat ini gue sedang berusaha untuk menahan jantung gue agar tidak keluar dari tempatnya. 4 hari gue ga ketemu dan ada di dekat dia seperti sekarang. Gue nelan ludah. Nervous.
“Ngomong apa?” Gue berdeham, masih senyum, berusaha melepaskan tangannya dari pundak gue dengan pelan. Gue bisa liat matanya yang sedih–mungkin–waktu gue ngelakuin itu.
“Lo ngehindarin gue?” Straight to the point. Gue selalu sadar kalau Finn tipe yang straightforward. Jadi gue ga terlalu kaget dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Straightforward tapi ga mau jujur.
“No. Why should I avoid you?” Gue balikin pertanyaannya. Hal yang paling menjengkelkan, gue tau. Tapi, gue sama sekali ga ingin memberikan penjelasan apapun ke dia. I want him to realize what he does, until I act like this. Kali ini gue lebih merhatiin wajahnya. Dia langsung nundukin kepalanya. Wait. Did I just see bruises on his face?
“Finn,” gue manggil dia. Dia ga ngejawab, masih nundukin kepalanya. Entah apa yang lebih menarik di bawah sana. “Finn, look at me.” Gue tau kata-kata gue sedikit cringe, but I want him to look at me. So I can see clearly that what I saw before is real. Dia masih ga mau ngeliat gue. Gue benci banget ini, tapi akhirnya gue ngulurin tangan buat ngeliat wajahnya. Satu tangan gue sibuk buat megang kedua pipinya. What the hell is that? What did I miss?. Wajahnya sedikit lebam. Mungkin dengan ngeliat sekilas orang ga bakalan notice hal itu. But not me. Gue selalu merhatiin wajahnya. So I can tell if there’s something different.
“Tell me.” Gue maksa dia buat ngasih tau apa yang terjadi. Gue panik. Is it the reason he’s been avoiding me these past days? What in the hell happened, Finn Cavan? He’s still not answering me. Gue kesal dan akhirnya narik tangan dia buat pergi jauh. Gue masih sempat buat narik tas gue dan nyuruh dia buat ngambil barang-barangnya.
Gue pamit ke semua kru termasuk Kak Yena. Gue bisa ngeliat wajah khawatir Kak Yena yang ngeliat gue panik. So, I mouthed to her that I’m ok. She nodded and smiled.
Dengan bodoh gue narik Finn tanpa tujuan. Tiba-tiba dia berhenti dan ngomong, “Ke mobil gue aja.” Gue ngikutin dia yang ngegiring gue buat masuk ke mobilnya. Ngebukain gue pintu dan nunggu gue duduk dengan nyaman sebelum nutup pintu tersebut. Pikiran gue dipenuhi banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan jelek seperti dia kecelakaan, dibegal, dirampok, dan lainnya. Pikiran-pikiran itu berhenti ketika gue denger suara pintu di bagian kemudi ditutup. Finn duduk di sebelah gue dalam diam. The air is cold. I hate it here.