The sun set and you
Pagi buta, di saat matahari baru saja menampakkan diri, Johnny telah selesai dengan mandi dan sarapan. Sangat pagi. Lelaki itu berniat untuk menunggu Pamela membuka pintu kamarnya. Dia menunggu — tidak tepat di depan pintu kamar sang puan — tetapi di belakang pintu kamarnya sendiri. Menunggu suara pintu di seberang sana terbuka. Johnny memikirkan beberapa rencana yang harus dia lakukan ketika bertemu dengan Pamela, sambil menunggu pintu tersebut terbuka. Setidaknya Johnny tahu bahwa hari ini ia ingin menghampiri Pamela, mengobrol, dan mungkin mereka dapat berbaikan — tanpa berkelahi.
Waktu terus berjalan hingga matahari tepat berada di atas kepala. Johnny selalu mengecek jam di tangannya, bahkan beberapa kali keluar dari kamarnya untuk mengecek. Tetapi, sang puan tak kunjung keluar dari kamarnya. Tidak ada tanda-tanda aktifitas dilakukan di dalam kamar hotel. Sarapan pun tidak dilakukannya, membuat Johnny khawatir. Pamela tipe yang mudah jatuh sakit, metabolisme tubuhnya tidak begitu baik. Pikiran buruk menguasai kepala Johnny. Mengingat angin malam yang menerpa Pamela semalam. Wajah Johnny jelas berubah panik, dengan cepat berjalan keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu Pamela. Tidak memperdulikan bel yang ada tepat di depan matanya. Dia terus mengetuk kamar tesebut dan semakin panik karena tidak mendengar balasan apapun dari dalam kamar.
Pikirannya kalut, ingin rasanya mendobrak pintu kamar hotel tersebut. Sebelum Johnny melakukannya, salah satu pegawai datang karena mendengar keributan. Johnny menjelaskan situasinya dengan tergesa – pegawai tersebut sampai tidak begitu memahami maksud Johnny. Tetapi, setelah memahami maksud dari Johnny, pegawai tersebut menggunakan mastercard yang dipegangnya untuk membuka kamar Pamela. Johnny seketika menghambur masuk ke dalam kamar, meneriakkan nama Pamela berulang kali hanya untuk menemukan Pamela tertidur dengan posisi aneh.
Tubuh Pamela terbaring lemah di atas kasur, terlihat seperti dia berulang kali mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Tergesa, Johnny segera menghampiri dan menarik Pamela ke pelukannya. Tangan Johnny seperti terbakar saat menyentuh tubuh Pamela yang panas. Tubuh wanitanya sangat panas seperti memegang gelas berisi kopi panas yang baru saja disajikan. It hurts him.
“Pam,” tangannya menyusuri rambut Pamela. “Bangun ya sayang.”
Pamela membuka matanya perlahan. Terkejut melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini. Sayup-sayup ia mengatakan, “Ka Jo?” Johnny mengangguk membenarkan penglihatan Pamela. “Kok di sini?” lanjutnya. Pamela berusaha menjauh dari Johnny, mendorong tubuh lelaki tersebut menjauh. “`You’re not supposed to be here, Ka Jo.” Pamela memegang kepalanya, dengan sigap Johnny memaksa Pamela untuk kembali berbaring, tetapi ditolak oleh sang puan.
“Pam, udah seharusnya aku di sini.” Johnny menarik tangan Pamela yang tentu ditepisnya berkali-kali. Johnny berhenti melakukan itu dan berjalan ke arah pintu untuk menutup pintu dengan rapat. Pegawai yang tadi membukakan pintu sudah lama pergi. Setelah Johnny meminta untuk dibawakan bubur dan juga obat untuk Pamela.
Johnny bersandar di balik pintu, memperhatikan Pamela dari sana. “Can we at least talk?” kata Johnny yang dijawab keheningan. Johnny menghembuskan napas panjang.
“Aku ga paham, Pam. Why did you leave me? Aku ga paham.” Johnny frustasi, mengusap kasar wajahnya. Pamela masih diam, menjauhi tatapan Johnny. Dia yakin sekali saja dia mengubah pandangannya ke arah Johnny, segala pertahannya akan runtuh saat itu juga. Dia tidak ingin menyakiti Johnny. Perasaan bersalahnya terhadap Johnny dan juga seluruh keluarga mereka menguasi Pamela.
“Pam. Sayang. Jawab aku.” Saat ini Johnny berusaha mendekat, berlutut di depan wanita itu. Secara perlahan Pamela menunduk, mengarahkan pandangannya kepada sang suami. It hurts her too.
“Ka Jo,” panggil Pamela. Tangannya terbuka, mengundang Johnny untuk masuk ke dalam dekapannya. Johnny mengangkat kepalanya, matanya merah, pipinya penuh jejak air mata. Tangisan keduanya pecah ketika tubuh mereka bersatu dalam dekapan erat.
“Tell me, tell me what happened, ok? I would listen, you know me.” Johnny menenggelamkan kepalanya di dada Pamela. Anggukan diberikan sang puan sambil membelai pelan rambutnya. Dia lemah melihat seseorang bisa menangis sesakit itu karena dirinya.
Setelah situasi tenang, Pamela menceritakan segala kegelisahan yang dirasakannya. Bahwa kekhawatirannya sangat tinggi. Dia takut untuk bertemu orang tuanya, dia takut untuk bertemu mama dan oma Johnny, dia takut akan pandangan orang-orang terhadapnya. Bahkan, takut Johnny menyalahkan dirinya atas kehilangan mereka. Kehilangan atas sang buah hati. Johnny menggelengkan kepala, menyangkal segala pernyataan yang dilontarkan oleh Pamela.
Pamela masih merasa bahwa semuanya ini hanya mimpi. Bahwa bayi mereka masih ada. Dia ingin bangun dari mimpi ini. Datang ke tempat ini adalah solusi yang dipikirkannya. Merasa bahwa tempat ini adalah tempat berbahagia mereka. Penjelasan dan keresahan yang diberikan Pamela cukup valid. Johnny paham.
“Pam, gimana balik dari sini kita ketemu Dokter Ryan? Dia salah satu psikiater hebat. Kita berdua ngobrol sama dia, ok?” Satu-satunya solusi yang terlintas di benak Johnny hanya itu. Berharap Pamela mengerti alasannya. Johnny menghembuskan napasnya tenang ketika Pamela menyetujui permintaan tersebut. Sedangkan Pamela sendiri pun tenang dengan kata 'kita berdua' yang dilontarkan Johnny, menunjukkan bahwa dia tidak sendirian dalam hal ini.
“Sekarang kamu makan ya, abis itu mandi. Kita pulang besok.” Johnny mengelus rambut sang puan lembut, beberapa kali. Kemudian menciumnya.
Johnny dan Pamela percaya bahwa yang paling utama dalam sebuah hubungan adalah komunikasi dan pengertian. Walaupun beberapa kali Pamela tersesat dalam hal itu, tetapi Johnny dapat menariknya kembali. Menariknya kembali ke dalam hubungan mereka. Menunjukkan bahwa tidak ada yang tertinggal, bahwa mereka ada di posisi yang sama. Selamanya.
‘Hari yang melelahkan’ tertulis dengan rapi di kening Johnny. Tetapi, dia bahagia. He got his wife back. Perjuangannya masih panjang, tapi dia yakin bisa melalui semuanya. Besok pagi mereka akan berangkat kembali ke rumah mereka berdua. Sebelum kembali, Pamela mengajak Johnny untuk duduk bersama di pantai. Seperti hal yang beberapa hari kebelakang dilakukan perempuan itu.
Langit masih cukup terang, tetapi tidak begitu terik. Pamela duduk terlebih dahulu dan menepuk posisi di sebelahnya, mengisyaratkan agar Johnny ikut duduk di sampingnya. Tentu Johnny akan mengikuti segala perintah Pamela. Terutama untuk hal seperti ini. Johnny mengambil posisinya, Pamela menengok dan tersenyum kepadanya dengan sangat hangat.
“Ini hari ketiga aku duduk di sini,” Pamela memulai cerita. “Tiap hari aku berharap kalau aku itu cuma lagi jalan-jalan di mimpi aku sendiri.” Johnny melingkarkan tangannya di pundak Pamela. Membiarkan perempuannya mengistirahatkan kepala di bahunya. “Tapi, ternyata semuanya nyata, Ka Jo. Aku sendirian.” lanjutnya.
“But, I’m here now.” Johnny mencium kening Pamela. Lama. Tangannya tak berhenti mengusap lengan kiri Pamela.
“I know.” Pamela tersenyum dan lebih mendekatkan tubuhnya ke Johnny. Memeluk balik lelakinya. Keduanya saling menatap dan kadang kembali memperhatikan matahari yang hampir terbenam.
Kemudian matahari yang sejak tadi menemani keduanya saat bertukar pandang pun perlahan menghilang. Menyisakan langit berwarna oranye yang cantik.
“I love you, Pam. Don’t ever leave me again.” Kali ini Johnny menarik Pamela menghadapnya. “I do really love you. I can’t imagine my life without you. So please don’t ever – even trying – to leave me.” Matanya berkaca. Dia jujur dengan perasaannya. Rasa sakit yang timbul saat Pamela hilang, tercermin di kedua iris mata Johnny.
Pamela diam, dia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata agar tidak keluar. Energinya sudah sangat terkuras untuk kembali menangis lagi. Sadar akan betapa lelaki di hadapannya ini mencintainya. Dia mengangguk, menjatuhkan bulir air mata. Tangannya meraih wajah Johnny, mencium bibir Johnny dalam. Tanpa tuntutan.
“Kamu tau ga ada dua hal yang paling aku suka.” Johnny berkata setelah melepaskan tautan bibir mereka. Pamela memberikan tatapan bertanya.
“When the sun already set, and you, you’re here with me.” Johnny tersenyum saat kembali mencium Pamela.
Kisah mereka tidak berawal dari tempat ini dan juga tidak akan berakhir di tempat ini. Tetapi, di dalam perjalan kisah mereka selalu ada matahari terbenam yang menjadi saksi buta kisah mereka. Segala emosi dari canggung, bahagia, sedih, marah, takut, kesepian, bersalah, lega dan lainnya. Semuanya disaksikan langsung oleh matahari terbenam Nihiwatu.
Sunset will always be there. And with that they found each other as a home.
The sun set and you. Fin.