Wish
Indah. Itu kata pertama yang terlintas di otak gue waktu ngeliat pemandangan di tempat Finn membawa gue. Finn ngajakin gue buat duduk di salah satu taman yang cukup ramai ini. Tapi, tetap memberikan masing-masing personal space. Finn duduk di samping gue dalam diam. Gue pun juga ikut diam.
“Gue dulu punya janji.” Finn memulai cerita. “Kalau tiap natal gue bakalan nemenin Beka. Natal bukan hari yang bahagia buat dia. Gue pikir setelah putus, dia ga bakal butuh gue lagi untuk jadi teman dia.” Finn ngelirik gue yang masih dengan tenang mendengarkan.
“Jadi, gue minta maaf sekali lagi. Gue sama sekali ga punya tujuan untuk ngebatalin atau telat dalam janji gue. Tadinya, gue pikir bisa tepat waktu buat nyamperin lo. Tapi, ternyata gak” ucapnya. “Gue ngecewain lo lagi dan lagi kan. Maaf ya, Ret.” Gue senyum. At least he knows it.
“Jujur iya. Tapi, ga tau kenapa gue selalu pengen maafin lo.” Finn tertawa mendengar jawaban gue.
“Jangan baik-baik, Ret. Nanti orang jadi serakah kalau tau lo sebaik ini.” Gue senyum lagi. Dia menundukkan kepalanya mencabut beberapa rumput yang ada di sebelah kanannya. Hening lagi.
“Mau cerita-cerita kaya kemarin lagi ga?” tanya Finn dengan senyuman hangat.
Pikiran gue langsung pergi ke waktu dia ngejemput gue, waktu gimana gue menceritakan kisah gue, Kak Sage, dan Monic ke dia. Kisah tentang seorang Varetta yang merasa hidupnya akan baik-baik saja asalkan selalu ada Kak Sage di sampingnya. Tapi, semuanya hancur dengan kenyataan adanya Monic yang masuk ke dalam kehidupan Kak Sage. Gimana akhirnya Varetta terus mengejar Kak Sage yang pada waktu itu–sampai sekarang–fokusnya hanya pada Monic.
Gimana naif dan egoisnya seorang Varetta yang merasa lebih berhak untuk menjadi pasangan Kak Sage karena waktu yang dihabiskannya lebih banyak dari Monic. Sampai akhirnya dia sadar bahwa itu semua salah dan perlahan memperbaiki keadaan. Walaupun sampai sekarang masih sulit untuk berada di sekitar keduanya.
Gue sadar kalau kita ga bisa ngukur perasaan orang dengan indikator-indikator itu. Hanya karena waktu yang dihabiskan lebih lama, tidak menjamin menjadi pasangan yang ditakdirkan untuk satu sama lain.
“Boleh. Lo dulu. Kemarin lo cuma cerita kalau lo harus move on dari Beka karena temen-temen lo ga suka sama dia. But, I think it’s more than that.” ujar gue, berusaha menilik wajah Finn dan membuat lelaki dengan suara menawan itu tertawa.
“Gue ga bisa cerita masalah dia.” katanya.
“I’m not talking about her. But, you.” Damn, ini orang ga bisa sekali aja ga bawa nama Beka.
“Iya, Ret. Gue tau. Tapi, cerita gue itu ada hubungannya dengan dia.” Dia menatap gue dan bertanya, “Jadi, boleh cerita?” Akhirnya gue hanya bisa menganggukan kepala.
“Kita berdua... gue dan Beka hancur, Ret. Kita berdua ga punya orang lain selain kita masing-masing.” Dia menjeda perkataannya, menari kata-kata yang pas. “Makanya, susah buat gue lepasin dan lupain dia... dan gue rasa hal yang sama juga terjadi ke dia.” Dia senyum walaupun matanya tidak bisa berbohong. Raut wajahnya sedih. Gue ga tau masalah apa yang sebenarnya ada. Tapi, gue bisa lihat gimana Finn berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Dia bukan Finn yang gue lihat di Guardian. Bukan Finn yang tiap gue lihat dari jauh selalu tertawa tanpa beban. Bukan Finn yang kadang atau mungkin sering bertingkah kikuk. Gue menarik napas.
“You can be better. You will.” Gue memberikan tanggapan gue. Tangan kanan gue jatuh ke lengan kirinya. Ingin mengingatkan bahwa gue ada di sisinya saat ini.
“Tapi... Kapan ya, Ret?” tanyanya. Kali ini dia menatap gue dalam dan durasinya lebih lama dari sebelumnya.
“We never know, Finn.” kata gue yang juga menatap mata dia dalam. Kembali hening.
Kemudian dia tertawa dan mengacak rambut gue dengan tangan kirinya. Otomatis sedikit menghempas tangan gue yang ada di atas lengannya tadi.
“Gue ga pernah tau kalau gue bisa cerita banyak sama lo. Maksud gue kita belum begitu kenal.” Dia berdiri dari duduknya, mengulurkan tangan ke gue. “Makan yuk,” ajaknya. “Perut lo tadi bunyi.”
Gue yakin kalau sekarang muka gue sudah sangat merah tidak tertolong. Tapi, gue beneran lapar. Jadi, gue ngambil tangannya dan ikut berdiri.
“Gue harap bisa terus temenan sama lo, Ret. Bahkan setelah urusan kita berdua selesai.” katanya. I wish the same, Finn.
Why? Why do we have the same thought? Gue juga berharap kita masih berteman, walaupun lebih banyak ga yakinnya.