Worst Christmas Ever

Gue mengecek handphone gue lagi. Belum ada balasan sama sekali setelah gue membalas pesan Finn tadi dengan satu kata singkat. Ok.

Limat menit kemudian gue lihat mobil yang pernah jemput dan nganterin gue pulang itu. Dia datang. Setidaknya dia ga ngebatalin janji. Setidaknya, setidaknya dia sekarang ada di sini.

“Ret sorry banget.” Gue lihat Finn keluar dari mobilnya dan jalan ke teras kontrakan gue. Tangan kirinya sibuk memijat dahinya dan juga sedikit menarik rambut nya ke belakang. Walaupun pada akhirnya rambut itu jatuh dengan lembut kembali.

Oh to hear his apologies for a countless time. What should I do? Give him the warm smile I have. “Nah, don’t worry. It’s ok. Kenapa lo telat? Bocor ban? Or what?” Gue bertanya sambil ngerapihin anak-anak rambut di kepala gue dan mengambil tas selempang yang tadi gue geletakkan di kursi sebelah. “At least lo coba ngabarin gue, biar gue ga panik, Finn.”

Bukannya menjawab, dia hanya terus menerus melirik ke mobilnya. Gue yang penasaran juga ikut melirik ke mobilnya. Di situ gue sadar, he’s not alone. Mobilnya dia tinggalkan dalam keadaan nyala. “Are you with someone?” I simple ask him.

Dia menggaruk tengkuknya dan sedikit menggeram. “Iya, Ret. Gue minta maaf banget.” Dia ngeliat tepat di mata gue. “Bukannya ga mau ngabarin lo, tapi–pokoknya gue salah. Maafin gue, ya.” ucapnya.

Gue senyum dan menganggukkan kepala. Tawa sarkastik yang menyedihkan hampir saja keluar dari mulut, kalau saja gue ga langsung dengan cepat menggigit bagian dalam bibir gue. Sudah sangat jelas siapa orang itu. “Jadi kita batal ya?” Gue mencoba memastikan.

“Gak, Ret. Kita tetap jalan kalau lo bolehin gue buat nganter Beka dulu. Gimana?” tanyanya. Gue ngelirik wajahnya yang terlihat was-was menunggu jawaban gue. Terlihat dari kerutan di dahinya. Gue menutup mata dan menghembuskan napas cepat. Tidak membutuhkan waktu lebih dari semenit untuk gue memutuskan.

“Ayo,” kata gue. “Lain kali…” Gue diam. “...never mind.” It’s not like there will be another time, right?


Gue duduk di kursi penumpang di belakang. Kali ini Beka terlihat berbeda. Dia senyum dan nyapa gue waktu masuk ke dalam mobil. Bahkan, dia berusaha untuk ngajak gue ngobrol. Nanya-nanyain beberapa hal basic yang dilakukan orang untuk saling mengenal. Atmosfer kali ini lebih nyaman.

Mobil berhenti. Gue melihat sekeliling, gue tau wilayah ini. Ini salah satu perumahan elite di kota ini. Beka menengok ke belakang, tepatnya ke arah gue. “Retta, gue turun di sini ya. Maaf udah ganggu waktu lo berdua. Btw, gue boleh minta nomor lo ga, Ta?” Dia bertanya dengan posisi tangan kiri siap membuka pintu mobil.

“Boleh,” gue senyum. “Nanti minta ke Finn aja, Bek.” lanjut gue.

“Ok. Gue turun ya.” Dia ngelirik ke samping kanannya. “Thanks, Finn.” Itu yang dikatakan Beka sebelum benar-benar turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Terdengar hembusan napas kasar dari Finn setelah itu. Kemudian setelah merasa napasnya lebih teratur Finn menengok ke arah gue yang masih mengagumi rumah-rumah di perumahan ini. Dia bertanya, “Lo ga mau duduk di depan, Ret?”

Gue kaget. Hampir aja gue membuat seorang Finn Cavan jadi sopir gue. “Wait, gue pindah.” Dia tertawa, tertawa ringan untuk mencairkan suasana.

Gue nyalain Handphone untuk mengecek jam. Pukul delapan lewat dua puluh. Wow. This is the worst Christmas ever. Pikir gue sebelum Finn ngajakin gue ke suatu tempat. It’s a real new place, not like before. Not a place that is full of memories with him and his ex. A place for us. I realize that “us” sounds so odd for me and him.