Pertemuan Ke-3
Rabu malam, seperti biasanya Jauzan Abian bersama dengan teman-temannya mendatangi salah satu club andalan mereka yaitu Guardian. Hari ini mereka datang masih dengan formasi yang sama dengan rabu minggu lalu. Formasi tersebut berisi Jauzan, Finn, Yordan, Grizella, dan Elvina. Kejadian Jauzan yang hampir dihajar oleh salah satu tamu pun sudah terlupakan begitu saja.
Tetapi, 30 menit setelah menikmati musik yang memekakkan telinga. Jauzan menangkap sosok perempuan yang menjadi alasan kenapa dia hampir kena hajar minggu lalu. Hal itu membawanya kembali ke kejadian minggu lalu.
<flashback on>
Jauzan melihat perempuan cantik yang sempat menarik perhatiannya minggu lalu. Baru saja Jauzan ingin menghampirinya, perempuan cantik tersebut telah lebih dulu mendekati Jauzan. Bahkan, langsung memeluk Jauzan dan berbicara, bukan, berteriak kepada salah satu laki-laki yang ada di depannya. “I have another boyfriend now, so leave me alone. Enjoy your whore,” teriaknya.
Jauzan melihat heran ke arah perempuan cantik tersebut. “What-“ belum selesai Jauzan bertanya maksud dari perempuan cantik itu, sebuah tangan melintas di depan matanya. Dengan insting cepat Jauzan langsung menjauhkan perempuan cantik yang ada di pelukannya. “Tenang dong, bangsat. Gue ga tau masalah lo apa, tapi kayanya cewe ini ga mau sama lo,” kata Jauzan sinis.
“She’s my girl. You stay out of this,” katanya sambil menunjuk tepat di wajah Jauzan. Hal tersebut membuat Jauzan naik pitam, tidak terima dia diperlakukan seperti itu.
“I’m not your girl anymore, you fucking cheater.”
Teman-teman Jauzan yang sedari tadi mencari keberadaan temannya tersebut segera melerai agar tidak terjadi keributan yang lebih besar. Kemudian, membawa Jauzan pergi menjauh kembali ke meja mereka meninggalkan perempuan cantik itu.
Perempuan tersebut melihat dengan tatapan kecewa. Dia sempat berpikir bahwa Jauzan akan membantunya lepas dari kekasihnya itu. Tapi, ternyata sama sekali tidak.
<flashback off>
“Jan, Ojan.” Panggilan yang samar-samar terdengar itu menyadarkan Jauzan dari ingatan minggu lalu. “Kenapa?” tanyanya.
“Lo kenapa ga semangat banget sih, ah lo semua ga asik mending kita balik kalo gini.” Elvina yang datang ke club untuk menghilangkan stres malah jadi lebih stres melihat teman-temannya itu.
“Ini minggu terakhir kita bisa have fun gini tau. Udah bakalan sibuk banget minggu depan sampai akhir semester.”
“Diem deh, Elv.” kata Jauzan menghentikan rengekkan dari sepupunya itu.
Tanpa disadari oleh Jauzan, Finn memperhatikannya secara seksama. Finn sadar tatapan Jauzan sedari tadi ke arah mana, yaitu ke arah perempuan cantik tinggi semampai yang hanya menggunakan mini dress berwarna hitam dengan tali tipis dan punggung yang terbuka.
Jauzan terus menatap perempuan itu hingga perempuan itu menatap balik ke arah Jauzan dengan wajah kaku. Entah kenapa hal itu membuat perasaan Jauzan tidak enak. Maka, dia melepaskan tatapannya dan meneguk minuman yang ada di meja.
“Pulang aja deh, gue ga mood banget bangsat.” Ajakan dengan bentakan tersebut mengagetkan teman-temannya yang lain. Karena merasa atmosfer di sekitar mereka tidak mengenakkan, mereka semua setuju untuk pulang.
Jauzan membawa mobilnya sendiri, sedangkan Yordan tentu saja bersama Grizella mereka berdua sedang dalam tahap PDKT. Sedangkan, Elvina terpaksa untuk pulang bersama Finn karena Jauzan memaksa ingin sendiri malam hari ini.
Jauzan bukan orang yang mudah sedih seperti ini, kebalikannya bahkan dia adalah orang paling jail selain Finn dalam perteman mereka. Melihat Jauzan sedikit sendu membuat teman-temannya membiarkannya kali ini.
Mobil yang dikendarai oleh Jauzan melaju dengan kecepatan tinggi setelah keluar dari area Guardian. Kemudian dengan cepat juga dia memberhentikan mobilnya dengan rem mendadak. Perempuan cantik tadi berdiri di pinggir jalan dengan tatapan nanar.
Jauzan melirik ke arah jam tangannya, sekarang pukul 00.30 masih terlalu pagi memang untuk pulang dari club. Dilihatnya lagi perempuan itu berdiri kaku menunduk dan menatap nanar ke arah jalanan. Kulit kuning langsatnya tertepa angin malam. Jauzan merasa bahwa perempuan itu sedang menyiksa dirinya sendiri dengan memakai pakaian super tipis di malam hari.
Dia segera keluar dari mobil dengan membawa salah satu jaket yang ada di mobilnya, entah milik siapa. Berjalan mendekat ke perempuan itu. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti dan tubuhnya kaku. Dilihatnya punggung perempuan itu penuh dengan lebam. Bukan hanya di punggung terbukanya, tetapi tangan, kaki, dan bahkan saat perempuan itu mengangkat wajahnya terlihat darah di sekitar hidung dan bibirnya.
Perempuan itu sadar ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Dia mengenali siapa laki-laki itu. “Harusnya lo bantuin gue kabur dari cowo brengsek itu minggu lalu,” ringisnya. Perlahan air matanya keluar tapi disekanya dengan kasar. “Harusnya lo bantuin gue kabur,” kali ini dia mengatakannya dengan suara tegas. “HARUSNYA LO BANTUIN GUE,” teriaknya dengan sekuat tenaga. Air mata yang sedari tadi ditahannya, keluar begitu saja.
Jauzan tersentak dengan cepat membungkuskan jaket yang dibawanya ke perempuan itu. Tetapi, perempuan itu menolak dengan kasar. “Ga usah bantuin gue pas udah hancur gini.” Jauzan menghentikan tangannya. Laki-laki itu sadar bahwa saat ini perempuan di hadapannya sedang sangat hancur.
“Gue butuh lo minggu lalu, bukan sekarang. Gue kasih kesempatan buat lo bantuin gue. I gave you a chance. But, you didn’t take it. You left me.” Perempuan itu menarik napasnya, “I know we’re strangers, even now we’re still strangers. But, I really need your help that day,*” lirihnya.
“Gue hancur sekarang, walaupun akhirnya gue bisa lepas dari dia. I can say that it’s my day, so leave me alone.” Setelah mengatakan kalimat itu, sang perempuan meninggalkan Jauzan yang tengah bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Baru saja Jauzan ingin mengikuti perempuan itu, dilihatnya perempuan itu telah terkapar di bahu jalan, pingsan.
Di pertemuan ketiga mereka ini, Jauzan merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu. Tidak diam seperti yang dilakukannya saat melihat perempuan cantik itu pertama kali. Atau seperti pada pertemuan kedua di mana perempuan cantik itu meminta tolong kepadanya, tetapi diabaikannya.