julietirw

Rabu malam, seperti biasanya Jauzan Abian bersama dengan teman-temannya mendatangi salah satu club andalan mereka yaitu Guardian. Hari ini mereka datang masih dengan formasi yang sama dengan rabu minggu lalu. Formasi tersebut berisi Jauzan, Finn, Yordan, Grizella, dan Elvina. Kejadian Jauzan yang hampir dihajar oleh salah satu tamu pun sudah terlupakan begitu saja.

Tetapi, 30 menit setelah menikmati musik yang memekakkan telinga. Jauzan menangkap sosok perempuan yang menjadi alasan kenapa dia hampir kena hajar minggu lalu. Hal itu membawanya kembali ke kejadian minggu lalu.

<flashback on>

Jauzan melihat perempuan cantik yang sempat menarik perhatiannya minggu lalu. Baru saja Jauzan ingin menghampirinya, perempuan cantik tersebut telah lebih dulu mendekati Jauzan. Bahkan, langsung memeluk Jauzan dan berbicara, bukan, berteriak kepada salah satu laki-laki yang ada di depannya. “I have another boyfriend now, so leave me alone. Enjoy your whore,” teriaknya.

Jauzan melihat heran ke arah perempuan cantik tersebut. “What-“ belum selesai Jauzan bertanya maksud dari perempuan cantik itu, sebuah tangan melintas di depan matanya. Dengan insting cepat Jauzan langsung menjauhkan perempuan cantik yang ada di pelukannya. “Tenang dong, bangsat. Gue ga tau masalah lo apa, tapi kayanya cewe ini ga mau sama lo,” kata Jauzan sinis.

“She’s my girl. You stay out of this,” katanya sambil menunjuk tepat di wajah Jauzan. Hal tersebut membuat Jauzan naik pitam, tidak terima dia diperlakukan seperti itu.

I’m not your girl anymore, you fucking cheater.”

Teman-teman Jauzan yang sedari tadi mencari keberadaan temannya tersebut segera melerai agar tidak terjadi keributan yang lebih besar. Kemudian, membawa Jauzan pergi menjauh kembali ke meja mereka meninggalkan perempuan cantik itu.

Perempuan tersebut melihat dengan tatapan kecewa. Dia sempat berpikir bahwa Jauzan akan membantunya lepas dari kekasihnya itu. Tapi, ternyata sama sekali tidak.

<flashback off>

“Jan, Ojan.” Panggilan yang samar-samar terdengar itu menyadarkan Jauzan dari ingatan minggu lalu. “Kenapa?” tanyanya.

“Lo kenapa ga semangat banget sih, ah lo semua ga asik mending kita balik kalo gini.” Elvina yang datang ke club untuk menghilangkan stres malah jadi lebih stres melihat teman-temannya itu.

“Ini minggu terakhir kita bisa have fun gini tau. Udah bakalan sibuk banget minggu depan sampai akhir semester.”

“Diem deh, Elv.” kata Jauzan menghentikan rengekkan dari sepupunya itu.

Tanpa disadari oleh Jauzan, Finn memperhatikannya secara seksama. Finn sadar tatapan Jauzan sedari tadi ke arah mana, yaitu ke arah perempuan cantik tinggi semampai yang hanya menggunakan mini dress berwarna hitam dengan tali tipis dan punggung yang terbuka.

Jauzan terus menatap perempuan itu hingga perempuan itu menatap balik ke arah Jauzan dengan wajah kaku. Entah kenapa hal itu membuat perasaan Jauzan tidak enak. Maka, dia melepaskan tatapannya dan meneguk minuman yang ada di meja.

“Pulang aja deh, gue ga mood banget bangsat.” Ajakan dengan bentakan tersebut mengagetkan teman-temannya yang lain. Karena merasa atmosfer di sekitar mereka tidak mengenakkan, mereka semua setuju untuk pulang.

Jauzan membawa mobilnya sendiri, sedangkan Yordan tentu saja bersama Grizella mereka berdua sedang dalam tahap PDKT. Sedangkan, Elvina terpaksa untuk pulang bersama Finn karena Jauzan memaksa ingin sendiri malam hari ini.

Jauzan bukan orang yang mudah sedih seperti ini, kebalikannya bahkan dia adalah orang paling jail selain Finn dalam perteman mereka. Melihat Jauzan sedikit sendu membuat teman-temannya membiarkannya kali ini.

Mobil yang dikendarai oleh Jauzan melaju dengan kecepatan tinggi setelah keluar dari area Guardian. Kemudian dengan cepat juga dia memberhentikan mobilnya dengan rem mendadak. Perempuan cantik tadi berdiri di pinggir jalan dengan tatapan nanar.

Jauzan melirik ke arah jam tangannya, sekarang pukul 00.30 masih terlalu pagi memang untuk pulang dari club. Dilihatnya lagi perempuan itu berdiri kaku menunduk dan menatap nanar ke arah jalanan. Kulit kuning langsatnya tertepa angin malam. Jauzan merasa bahwa perempuan itu sedang menyiksa dirinya sendiri dengan memakai pakaian super tipis di malam hari.

Dia segera keluar dari mobil dengan membawa salah satu jaket yang ada di mobilnya, entah milik siapa. Berjalan mendekat ke perempuan itu. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti dan tubuhnya kaku. Dilihatnya punggung perempuan itu penuh dengan lebam. Bukan hanya di punggung terbukanya, tetapi tangan, kaki, dan bahkan saat perempuan itu mengangkat wajahnya terlihat darah di sekitar hidung dan bibirnya.

Perempuan itu sadar ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Dia mengenali siapa laki-laki itu. “Harusnya lo bantuin gue kabur dari cowo brengsek itu minggu lalu,” ringisnya. Perlahan air matanya keluar tapi disekanya dengan kasar. “Harusnya lo bantuin gue kabur,” kali ini dia mengatakannya dengan suara tegas. “HARUSNYA LO BANTUIN GUE,” teriaknya dengan sekuat tenaga. Air mata yang sedari tadi ditahannya, keluar begitu saja.

Jauzan tersentak dengan cepat membungkuskan jaket yang dibawanya ke perempuan itu. Tetapi, perempuan itu menolak dengan kasar. “Ga usah bantuin gue pas udah hancur gini.” Jauzan menghentikan tangannya. Laki-laki itu sadar bahwa saat ini perempuan di hadapannya sedang sangat hancur.

“Gue butuh lo minggu lalu, bukan sekarang. Gue kasih kesempatan buat lo bantuin gue. I gave you a chance. But, you didn’t take it. You left me.” Perempuan itu menarik napasnya, “I know we’re strangers, even now we’re still strangers. But, I really need your help that day,*” lirihnya.

“Gue hancur sekarang, walaupun akhirnya gue bisa lepas dari dia. I can say that it’s my day, so leave me alone.” Setelah mengatakan kalimat itu, sang perempuan meninggalkan Jauzan yang tengah bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Baru saja Jauzan ingin mengikuti perempuan itu, dilihatnya perempuan itu telah terkapar di bahu jalan, pingsan.

Di pertemuan ketiga mereka ini, Jauzan merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu. Tidak diam seperti yang dilakukannya saat melihat perempuan cantik itu pertama kali. Atau seperti pada pertemuan kedua di mana perempuan cantik itu meminta tolong kepadanya, tetapi diabaikannya.

Perempuan itu terbangun dan menatap sekitarnya yang terasa sangat asing. Dia melihat bahwa pakaiannya telah berganti dengan pakaian yang lebih nyaman. Merasa bingung, dia berdiri dan berjalan keluar dari kamar tersebut. Menemukan dua orang, laki-laki dan perempuan sedang mengobrol di ruang tamu. Dia mengenali laki-laki itu, laki-laki yang tadi menghampirinya. Laki-laki itu adalah Jauzan.

Jauzan dan Elvina yang tersadar akan keberadaan perempuan cantik itu langsung reflek menatapnya, membuat sang perempuan salah tingkah. Elvina merasa Jauzan sama sekali tidak ingin memulai pembicaraan, maka dia lah yang mulai pembicaraan. “Hi, gue Elvina sepupu Jauzan.” Katanya menunjuk Jauzan. “Sorry ya ini lo lagi di kosan gue, kali aja lo bingung, eh sini duduk.”

“Oh, hi gue Fawnia. Maaf banget ngerepotin kalian berdua, sekarang gue balik aja.” Katanya.

No, lo sama sekali ga ngerepotin. Pretty name, btw.” Mendengar pernyataan terakhir Elvina, Jauzan menganggukan kepalanya sangat pelan.

But still, gue ga enak aja. Baju lo gue balikin nanti ya? Gue pulang aja.” Elvina sendiri kebingungan untuk menahan Fawnia. Sedangkan, Jauzan sama sekali tidak ingin berbicara. Laki-laki itu masih berpikir bahwa Fawnia tidak ingin berbicara kepadanya, mengingat kata-kata yang dilontarkannya tadi di jalanan.

“Tapi, ini jam 3 subuh. Lo tidur sini aja, nanti pulangnya besok? Gimana?” Elvina menawarkan solusi kepada Fawnia.

Fawnia terlihat berpikir. “Ok, boleh deh. Tapi gue balik pagi banget ya. Gue besok harus kerja.” Jawab Fawnia.

“Oh wow, lo udah kerja? Keren banget, gue pikir kita seumuran.” Kata Elvina ekspresif.

“Ah gue 22 tahun, lo berdua?” Tanya Fawnia ke Elvina dan Jauzan. Jauzan yang sedari tadi diam terkejut dengan pertanyaan yang juga diarahkan padanya.

“Kita berdua 19 tahun,” kekeh Elvina.

“Gue udah mau 20 kali, Elv.” Sanggah Jauzan.

“Dih masih sebulan lagi tai. Eh maaf kak, keceplosan emang kalo ngomong sama Jauzan tuh harus ngegas.” Fawnia tertawa dengan pernyataan Elvina tersebut.

“Btw, panggil gue nama aja. Panggil Awni.” Membuat Jauzan kembali menganggukan kepalanya pelan.

“Gue balik ya, Elv.” Jauzan merasa sudah terlalu tengah malam untuk berada di kosan cewek. “Lo di sini ya, Awni. Maafin gue yang baru bantuin lo.” Ucapnya pamit.

Membuat Fawnia terdiam. Kaget dengan permintaan maaf dari Jauzan tersebut. Elvina yang merasa bahwa Jauzan dan Fawnia harus bicara, izin pamit untuk mengambil minum.

“Lo kenapa minta maaf ke gue? Padahal tadi gue ngebentak lo.” Kata Fawnia canggung. “Malah harusnya gue yang minta maaf main bentak-bentak lo. Makasih udah bantu gue.”

“Nah, lo bener harusnya gue bantuin lo. Lo gapapa kan? Itu cowok lo yang-“ Fawnia mengangguk pasrah, menahan air matanya agar tidak terjatuh. Bayangan-bayangan kejadian yang menimpanya minggu lalu melintas kembali di matanya.

<flashback on>

TW // sexual assault, violence

Setelah Jauzan pergi dibawa oleh kedua temannya. Fawnia tahu apa yang akan terjadi kepadanya. Perempuan itu merasa nafasnya tercekat dan matanya tidak dapat berkedip. Laki-laki yang harusnya menjadi seseorang yang memperlakukannya dengan sopan dan berharga, malah menariknya dengan kasar keluar dari club tersebut.

“Minggu lalu lo ke sini kan? Ngapain sekarang ke sini lagi? Buntutin gue? Mau gue patahin kaki lo?” Bentak laki-laki itu sambil mendorong kepala Fawnia berulang kali. “Jawab ga?” Masih dengan teriakan yang membuat orang-orang di sekitarnya melihat. “Ngapain lo semua ngeliat? Udah jalan sana.” Orang-orang memilih pergi tidak ingin berurusan dengan laki-laki berbadan perkasa itu.

“Maksud lo apa tadi? Untung aja ga gue hancurin muka tu cowo. Sekarang lo ikut gue.” Tariknya kasar membawa Fawnia masuk ke dalam salah satu hotel di samping Guardian.

Sampai di dalam sebuah kamar, laki-laki itu mendorong Fawnia ke atas kasur dan berusaha untuk menenjalanginya. “Lo malam ini ganggu gue, jadi lo harus muasin gue.” Sekujur badan milik Fawnia bergetar saking ketakutannya. Dia berusaha dengan sekuat tenaga melawan, tetapi tenaga milik pacarnya itu lebih kuat.

<flashback off>

“Lo mau cerita ga?” Masih penasaran, Jauzan kembali bertanya. Fawnia menggelengkan kepalanya, belum siap untuk menceritakan hal keji yang dilakukan mantan pasangannya itu. Iya, mantan.

“Orang gila, cewenya cantik digebukin.” Bisik Jauzan ke dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Fawnia membuat perempuan tersebut tertawa. “Beneran ga mau cerita? Gue liat memar dan lebam di badan lo.” Jauzan sekali lagi bertanya untuk memastikan keadaan Fawnia. Menarik Fawnia kembali ke 4 jam yang lalu.

<flashback on>

“Lo batu banget ya, ngapain pake baju kaya gini? Mau jual diri lo?”

Fawnia yang telah mengumpulkan keberaniannya, membalas perkataan laki-laki itu. “Iya, gue mau jual diri. Jadi, stop cari gue lagi. Mulai sekarang kita putus.” Teriak Fawnia membuat napasnya tersengal.

“Udah gila ya lo?” Tanpa ragu laki-laki itu mengangkat tangannya dan menampar Fawnia. Fawnia yang tadinya telah bertekad untuk kuat, kembali gemetar ketakutan. Dalam pikirannya saat ini hanyalah, “Mati gue.”

“Coba lo ngomong sekali lagi.” Bentak laki-laki itu kasar, kemudian kembali menampar Fawnia. Tidak turut mendapatkan jawaban, laki-laki itu bertindak lebih kasar lagi. Mendorong Fawnia hingga terjatuh dan menendangnya berkali-kali.

“Gue hajar lo sampe puas, baru kita putus,” kata laki-laki gila itu.

Itulah yang membuat Jauzan menemukan Fawnia berdiri dengan tatapan nanar di bahu jalan tadi.

<flashback off>

Merasa bahwa Fawnia belum siap atau bahkan mungkin tidak akan menceritakan hal itu kepadanya, Jauzan mengalihkan pembicaraan. “Besok butuh tumpangan ga?” Tanya Jauzan.

Nope, I’m ok.” Tolak Fawnia.

Setelah penolakan itu, keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.

“Gue-“ Keduanya mengatakan itu bersama-sama.

“Lo dulu aja, Awni.” Jauzan mempersilahkan Fawnia untuk berbicara terlebih dahulu.

“Setelah ini, kalau kita ketemu lo boleh pura-pura ga kenal gue. Gue mungkin ga bakalan bawa hal yang baik buat lo. Bahkan, dari awal kita ketemu.” Fawnia mengatakan itu sambil memainkan jari-jemarinya dan menunduk ke lantai.

Kata-kata yang ingin dikeluarkan oleh Jauzan ditelannya kembali. Dia terpaksa mengangguk, walaupun sebenarnya tidak setuju. Waktu tepat menunjukkan pukul 3 lewat 30 menit dini hari. Mereka yang baru saja berkenalan memutuskan untuk tidak mengenal lebih jauh lagi. Walaupun rasa ingin saling mengenal sangat dalam dirasakan keduanya.

“Kok wa gue ga dibales sih, Griz?” Tanya Yordan kepada Grizella yang telah duduk manis di kursi penumpang 1 menit yang lalu.

“Gue buru-buru, udah ayo nanti telat lagi.”

Yang membuat Yordan segera menjalankan mobilnya.

“Gue mau izin tadi ke orang tua lo.”

Grizella hanya diam mendengar pernyataan dari Yordan.

“Griz?” Panggil Yordan takut Grizella ketiduran atau tidak mendengarkannya. Grizella hanya menjawab dengan helaan napas.

“Lo ga tidur kan?”

“Ga, Yordan. Fokus aja nyetirnya.”

“Ngobrol dong. Gue kan niatnya pdkt bukan jadi sopir lo.”

“Oh kirain emang mau jadi sopir gue kaya jozan.” Grizella akhirnya dapat tertawa. Walaupun tertawa karena perkataannya sendiri.

“Ga mau lah. Cukup Jauzan aja kali jadi sopir lo.” Yordan ikut tertawa.

“Kasian banget jozan diomongin mulu. Tapi gapapa gue emang seneng ngeroasting dia.”

“Soalnya dia juga suka ngeroasting kan.”

“Bener banget, Dan. Cape gue di-roasting sama dia.”

“Hahahaha. Btw, ntar malam guardian gue jemput kan?”

“Iya, gue suka hari rabu gini ladies night.”

Open table juga ga masalah kok.”

“Iya deh yang banyak duit. Jangan kebiasaan gitu kali, Dan. Lo mau dimanfaatin?”

“Kalo lo yang manfaatin gue ga masalah.”

No. Don’t let anybody take advantage of you. Including me. Ga peduli lo sesuka apapun sama cewe, jangan biarin dia manfaatin lo.”

Thanks, Griz. Gue kebiasaan aja suka nge-treat temen-temen gue.”

I know. Kelihatan kok, tapi ada baiknya lo tau batasan aja. Untung aja temen lo baik-baik. Coba lo ketemu yang jahat.”

Yordan hanya tersenyum pahit mendengar pernyataan terakhir dari Grizella.

“Eh, udah sampe cepet juga. Parkir di fakultas lo aja, nanti gue lari ke fakultas gue.”

Yordan sontak tertawa mendengar perkataan Grizella yang tiba-tiba itu.

“Ga lah, Griz,” katanya sambil tertawa. “Gue anterin lo dulu,” lanjutnya.

Yordan membawa mobilnya melewati fakultasnya sendiri yaitu FTI dan terus ke arah FISIP.

“Thank you ya, Dan. Gue turun dulu.”

“Lo selesai jam berapa?”

“Jam 4 gitu sih.”

“Gue jemput ya.”

“Boleh aja sih. Tapi hari ini selesai jam berapa?”

“Jam stengah 4 kok.”

“Yaudah, gue duluan ya.” Kata Grizella sembari menutup pintu mobil Yordan.

Pamela berdiri di depan apartment milik kekasihnya, tidak tahu kenapa dia merasa jantungnya berdetak tidak seperti biasanya. Padahal hampir setiap sabtu dia datang untuk menginap di apartment ini.

Berkali-kali perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya. Setelah merasa siap, dia menekan bel yang ada tepat di depan mata.

Wait.” Terdengar suara cukup keras dari dalam apart tersebut, walaupun di luar hanya terdengar seperti volume normal.

“Sayang, ayo masuk.” Ajak Johnny menarik lengan wanitanya.

“Aku kok deg-degan ya. Aneh banget.” kata Pamela kemudian perempuan itu memerhatikan Johnny dari ujung rambut ke ujung kaki berkali-kali. “Ka Jo kok rapi gini sih, mau kerja? Katanya ga sibuk gimana sih? Aku udah sampe di sini lagi.” Pamela terus menyerobot tanpa mendengar penjelasan dari Johnny.

“Pam, take it easy. Aku ga kemana-mana kok. Ayo sini masuk kita duduk bareng.” Johnny masih menggenggam tangan wanitanya.

Pamela yang tadinya hampir menunjukkan wajah cemberut kembali tersenyum manis.

“Aku ngambil makanan dulu ya.” Johnny meninggalkan Pamela yang duduk di sofa ruang tengah apart-nya.

Setelah kembali dari dapur, Pamela yang penasaran langsung menanyakan hal yang menjadi tanya di kepalanya. “Tumben banget siapin makanan. Eh itu baru beli ya?” Menunjuk speaker Marshall berwarna hitam.

Johnny berjalan dari arah dapur sembari mengiyakan pertanyaan Pamela. Laki-laki itu berjalan ke arah speaker, sedikit mengotak-atiknya hingga terdengar lantunan musik yang sedikit asing di telinga Pamela.

Johnny berjalan mendekat, menghampiri Pamela. “Iya, aku mau ngomong, Pam.” Johnny meraih kedua tangan milik Pamela dan membungkusnya dengan tangannya.

“Aku tau pertemuan kita cukup singkat. Tapi setelah semua yang kita lewatin. Aku yakin. Aku yakin aku bisa menua sama kamu.”

Pamela benar-benar tertegun dengan kalimat yang dilontarkan oleh Johnny. Rasa berdebarnya semakin mencuat.

“Kamu dengerin lagu-lagu ini dulu ya. Khusus buat kamu.”

Pamela dan Johnny hanya diam mendengarkan tiap lirik dari lantunan lagu tersebut.

Ketika lagu terakhir yang berjudul ‘Baby I’m Yours’ hampir berada di menit terakhir. Pamela dengan cepat memeluk Johnny dan menganggukan kepalanya.

Lirik yang terdengar adalah seperti ini “I can wait forever for you. Baby I’m yours if you let me be yours. So do you let me?

Johnny membalas pelukan itu dengan erat. Mencium Pamela di kening dan puncak kepalanya. Terus memeluk mencari kenyamanan di antara leher dan pundak Pamela.

Setelah sekitar 5 menit, mereka berdua melepaskan pelukan tersebut dan Johnny mengambil sesuatu dari kantong celananya. Terlihat kotak cantik berisi cincin yang bermahkota permata tersebut.

I wanna ask you again. So do you let me?

Pamela menganggukan kepalanya dengan cepat “Yes, I do.

Johnny memasangkan cincin tersebut kemudian tersenyum dengan sangat puas.

Perjalanan dan perjuangan mereka berdua masih panjang, tetapi untuk saat ini mereka hanya ingin merasakan kebahagiaan saja.

Pasangan tersebut telah sampai di rumah milik perempuan itu.

“Ka Jo udah kaya mau buka warung tau ga. Ini banyak banget belanjaannya.” kata Pamela yang terheran dengan sikap lelakinya.

“Gapapa. Nanti bagi Gala aja setengah.” jawab Johnny santai.

Terdengar dari luar suara kaca mobil yang diketuk dan terlihat Jenggala yang berdiri di samping mobil.

“Ka, mana es krimnya? Udah sampe dari 5 menit lalu masih juga di mobil.” Jenggala tanpa protes, bukan lah Jenggala.

“Iya bawel banget lo. Papa mama ada kan?” tanya Pamela sambil memberikan kantongan-kantongan belanjaan tadi.

“Iya ada tuh, baru sampe.” jawab Jenggala setelah mengambil kantong belanjaan tersebut.

“Yaudah, ayo Ka Jo.” ajak Pamela kepada Johnny.

“Kamu turun duluan aja, aku mau ngobrol ga lama sama Gala.” Johnny melirik ke arah Gala berharap Gala paham dengan maksudnya.

“Iya, Ka. Lo duluan aja gue ada urusan sama Bang Jo.” Jenggala mengeluarkan gestur mengusir menggunakan bibir dan tangan.

Pamela sama sekali tidak merasa curiga. Pikirnya mereka akan membahas games atau hobi laki-laki lainnya. “Ok. Aku tinggal ya. Ini mau aku bawa aja belanjaannya?”

“Jangan, Pam. Nanti aku aja sama Gala.” Johnny melarang Pamela untuk membawa kantongan-kantongan ituz

“Iya nanti gue aja lah, Kak. Ini aja udha di tangan gue beberapa.” sahut Jenggala.

“Hm, ok kalau gitu.” Pamela segera masuk ke dalam rumah.

“Gimana, Bang? Lagu kan udah gue bilang tadi di chat. Lo mau nanya apa lagi?” tanya Jenggala setelah melihat situasi telah aman.

“Kapan bisa rekamannya? Biar gue bisa sesuaian waktu juga.” tanya Johnny to the point.

“Besok atau lusa udah bisa sih, Bang.”

“Ok. Soalnya sabtu gue ga bisa. Minggu juga ga bisa mau ada acara ketemu. Lo ikut?”

“Oh acara itu ya.” kata Jenggala sambil tertawa. “Ga deh. Nanti lamaran aja gue ikut,” lanjutnya.

“Gue mau lamaran berdua aja.” jawab Johnny tertawa.

“Ya maksud gue lamaran yang resmi, Bang.”

“Hahaha iya gue paham.”

“Bang, makasih ya ini.” Jenggala mengangkay kantongan berisi snack. “Bisa gue bawa ke studio,” lanjutnya.

Keduanya masuk ke dalam rumah dan berpisah. Jenggala berjalan ke kamarnya, sedangkan Johnny pergi menuju ruang tengah untuk menyapa kedua Orang Tua Pamela.

“Halo, Pa, Ma. Apa kabar?”

“Halo, John. Baik banget, sini duduk dulu.” ajak Mama.

“Gimana kerjaannya, John?” Sudah jelas siapa yang bertanya hal tersebut.

“Baik banget, Pa. Sudah lebih free waktunya. Ga ada yang urgent banget.” kata Johnny. Seperti biasa dengan senyum sopannya.

“Jadi kapan bisa ketemu keluarga kamu?” tanya Papa.

“Kebetulan saya anak tunggal, Pa. Papa saya juga sudah meninggal tinggal Mama saja. Jadi, tadi sudah ngomong sama Pamela hari minggu aja ketemunya. Mama dan Oma saya.”

“Maaf, saya baru tau. Pamela belum cerita.” Papa Pamela terkejut dengan fakta tersebut.

Johnny sedikit tertawa kecil berusaha mencairkan suasana. “Tidak masalah, Pa. Udah lama kok. Mungkin Pamela lupa ngasih tau.”

Dilihatnya Papa Pamela tidak tau harus berbicara apalagi, Mama mengambil alih obrolan. “Mama kamu tinggal bareng kamu, John?”

“Gak, Ma. Tinggalnya di rumah bareng Oma. Paling saya datang sebulan sekali karena lumayan jauh juga.”

“Oh gitu. Yaudah hari minggu jam berapa itu, John?” tanya Mama sekali lagi.

“Mungkin malam aja ya, Ma. Saya belum sempat kabarin Mama dan Oma juga. Rencananya hari ini kabarinnya.”

“Kalian berdua udah ngomongin buat nikah kan, John?”

“Udah kok, Pa. Tapi, Pamela jangan terlalu dipaksa ya, Pa, Ma. Maaf bukan bermaksud ngelarang Papa dan Mama.”

“Iya, John. Mama dan Papa paham kok. Iya kan, Pa?”

“Hmm.” Papa Pamela punya pendirian yang kuat dan tidak ingin apa yang telah dia perintahkan atau apa yang menjadi keinginannya diganggu gugat. Hal ini menurun kepada Pamela yang juga punya pendirian kuat. Walaupun, keduanya memiliki keyakinan yang sangat bertolak belakang.

Johnny dapat memahami itu. Dia tahu Papa Pamela akan tetap bertekad pada pilihannya.

“Ngomongin apa aja nih ga ada aku?” Pamela datang dan duduk tepat di sebelah Johnny.

“Ga ada kok, Sayang. Mama sama Papa cuma nanyain kapan acara ketemunya.” jawab Mama.

“Ohiya, aku lupa ngomong. Ketemunya hari minggu ini.” ucap Pamela dan ikut duduk di situ.

“Iya, udah tau telat kamu.” jawab Papa.

“Kenapa sih, Pa? Aku cuma ngomong lagi.” Emosi Pamela langsung sedikit tersulut mendengar nada bicara Papanya.

“Ya ga kenapa. Papa juga cuma ngomong doang.” jawab Papa seperti tidak peduli.

“Hus, udah-udah kok berantem mulu sih ini Papa dan Anaknya. Maaf ya, John.” Mama berusaha mengurai Pamela dan sang Papa.

“Iya, gapapa kok, Ma.” jawab Johnny tersenyum.

Masih merasa tidak puas, Pamela kembali bicara. “Pa, aku tuh ga mau ya kalau dipaksa buat nikah cepat-cepat. Persiapan kursus nikah aja 6 bulan tau. Belum lagi persiapan lainnya.”

“Ya kalau kalian ngurusnya dari sekarang kan ga bakalan lama. Apalagi kalau dari kemarin-kemarin waktu Papa ngomong.” jawab Papa tidak mau kalah.

“Ah, aku males ngomong sama Papa.” Pamela sangat kesal dan berniat meninggalkan ruangan.

“Udah-“ belum selesai Mama menghentikan perkelahian tersebut, Jenggala berteriak dari arah pintu depan.

“Ma, Pa, Ka, Bang, Gala berangkat dulu ya. Maaf motong berantemnya, lanjutin aja. Btw, makasih lagi snacknya, Bang.”

Akhirnya keempat orang dewasa itu hanya bisa terdiam. Selalu saja Jenggala yang menghentikan suasana panas antar Papa dan Pamela.

Pamela keluar dari toilet dan langsung menghampiri Johnny yang sedang bersandar pada tembok di dekat toilet. Timbul senyum di wajah laki-laki itu saat dilihatnya Pamela berjalan mendekatinya.

I thought I am the dessert and what’s wrong with that ‘temen’. I’m not your friends.” protes Johnny. Laki-laki itu membicarakan caption Pamela di instastory sang puan.

“Loh, Ka Jo kok nunggunya di sini. Ga cape berdiri?” kata Pamela mengalihkan pembicaraan. Dia paham Johnny tidak serius dengan protesannya tersebut.

Pamela langsung mengambil tangan Johnny untuk digandengnya. Membuat laki-laki itu tersenyum bahagia.

No. Aku anterin kamu ke mana nih? Kita ngobrolnya di mobil aja gapapa kan?” tanya Johnny.

“Jam makan siang udah mau selesai ya? Anterin aku ke bakery aja. Gapapa lah ngobrol di mobil, kan udah sering.” jawab Pamela.

“Iya udah deket selesai kalau mau ngobrol di sini nanti ga keburu nganterin kamu.” Johnny mengubah gandengan Pamela dan menggenggam kedua tabgan itu. Kemudian terus mempererat genggaman tangannya seperti tidak ingin melepaskan Pamela barang sedetik saja.

Keduanya telah berada di dalam mobil mendengarkan lagu dari playlist Pamela. Alunan musik dari Why Don’t We berjudul ‘What Am I’ memenuhi mobil tersebut. Perlahan Pamela bersenandung pelan “I know you are but what am I? What am I? What am I?”

You’re my love.” Johnny tahu bahwa Pamela tidak memiliki intensi untuk bertanya, tetapi Johnny tetap memberikan jawaban yang memuaskan untuk keduanya.

“Ka Jo apaan sih.” Pamela tertawa atas jawaban impulsif yang diberikan oleh Johnny. “Sumpah aku kaget hahaha.”

“Aku serius tau.” Merasa ditertawakan terus menerus membuat Johnny sedikit cemberut.

I’m sorry, Ka Jo.” Pamela menarik napas karena masih belum bisa menghentikan tawanya. “Ta-“ Tawa perempuan itu semakin terdengar, “tapi, lucu banget.” Perlahan dia menghapus air mata yang sedikit keluar dari matanya.

“Pam, udah ya ketawanya. Aku ngambek beneran nih. Tadi aja dikacangin.” kata Johnny berpura-pura mengungkit pertanyaannya di awal tadi.

“Ih iya jangan ngambek dong, Sayang.” kata Pamela membujuk sang kekasih.

Panggilan ‘sayang’ tentu sukses membuat Johnny menghentikan aksi merajuknya.

“Sayang, ngobrol dong.” Johnny ingin segera membahas perihal pertemuan keluarga mereka. Walaupun ini hanya pertemuan sederhana bukan dalam situasi resmi.

“Emangnya dari tadi kita ga ngobrol ya, Ka Jo?” kata Pamela menatap mata Johnny.

“Pam, kamu paham kan maksud aku.”

Pamela merasa sangat senang untuk menggoda pasangannya itu. Baginya ekspresi Johnny saat kesal sangat berbeda dengan ekspresi yang sering ditampilkannya.

Masih tertawa Pamela menjawab, “Iya aku serius nih. Ketemunya minggu aja mau ga? Sabtu kan aku nginep di apart. So I think sunday is a perfect time. How?

Great. Aku ikut kamu aja.” Johnny merasa sedikit tenang mendapatkan kepastian mengenai hari pertemuan keluarga mereka.

Now, aku takut deh it’ll be my first time met your mom. Mama kamu bakalan suka ga ya sama aku?” Mimik wajah Pamela berubah 180 deranat dari sebelumnya.

“Jelas iya. Kamu tenang aja.” Johnny berusaha menenangkan Pamela.

“Ok. Btw, udah ketemu belum premarital check up yang bagus di mana? Bagusnya kita 6 bulan sebelum menikah udah harus check up, Ka Jo. Aku yakin habis pertemuan besok minggu kita berdua udah ditodong buat nikah.” Pamela mengakhiri kalimatnya dengan sedikit nada sinis.

You okay?” Johnny tau Pamela sangat tidak suka dipaksa. Laki-laki itu melepaskan tangannya dari kemudi untuk menggenggam dan mengelus punggung tangan Pamela yang diletakkan di atas paha perempuan itu.

I’m ok. Tapi, cuma ngebayangin betapa ribetnya besok itu aku udah sakit kepala duluan.”

Johnny diam tidak menanggapi sama sekali.

“Ka, don’t get me wrong. Aku bukannya ga mau nikah sama kamu. I want it. Kita kan udah bicarain semuanya. Aku percaya kok kita berdua bisa. Tapi, premarital check up itu penting loh. Kalau aku ga bisa hamil gimana? Atau kalau ternyata rhesus kita beda gimana?”

It’s ok. I just want you.

Don’t say it. Ga mungkin kamu ga pengen punya anak.”

Johnny diam tidak menjawab. Laki-laki itu mencari tempat untuk dapat singgah dan parkir. Kemudian, menghentikan mobilnya dan mengubah posisinya menghadap ke Pamela untuk berbicara serius.

So we start arguing.” Tangan kanan lelaki itu disandarkan di atas kemudi, sedangkan badannya sudah mengarah ke Pamela.

I’m not trying to start an argument. I just state a fact. Jelas kita butuh persiapan yang banyak. Premarital check up, kita juga harus ikut kursus pernikahan di gereja. Semuanya ngabisin waktu 6 bulan loh. Aku yakin papa bakalan minta buat kita secepatnya buat ikut itu semua. I don’t know about your mom and grandma. Mungkin mereka juga bakalan setuju.”

“Pam, it’ll be okay kita jalanin berdua.” Johnny percaya Pamela hanya takut dengan segala pikiran-pikirannya.

“Aku takut, Ka Jo. Aku takut kalau nanti persiapan kita terburu-buru hasilnya ga bakalan bagus.” Perlahan Pamela terisak. Johnny menarik Pamela ke dalam pelukannya, menenangkan wanitanya itu.

“Tenang aja, semua yang kamu takutin itu ga selamanya bakalan terjadi.”

Johnny terus berusaha meyakinkan Pamela. Menenangkan wanita itu dengan memeluknya hangat. Walaupun, dirinya sendiri tidak yakin apa yang akan terjadi nanti.

Pizza

Yordan turun dari mobilnya yang telah terparkir sempurna di belakang mobil Xpander berwarna putih. Rasa gugupnya kian meningkat seiring langkahnya bergerak maju. Ditambah terdengar suara dua laki-laki dan satu perempuan yang sedang mengobrol.

Melihat Yordan yang tinggal beberapa langkah lagi masuk, Grizella dengan cepat keluar dari dalam rumahnya untuk menghampiri Yordan. Walaupun seharusnya pertemuan pertama itu canggung, tetapi tidak untuk Grizella yang telah terbisa berinteraksi dengan orang asing.

Perempuan itu tetap merasa canggung, tapi dia sangat pandai mengatur rasa canggung tersebut. “Hi Yordan,” sapa Grizella ke Yordan yang terlihat sangat tampan di matanya. “Nanti bilang aja ke abang gue lo temennya Jozan ya. Abang gue bakalan bawel kalo tau gue jalan sama orang asing. Lagian emang bener kan lo temennya Jozan.”

Mungkin dalam ruang percakapan tadi Yordan terlihat sangat berani dan percaya diri. Tetapi, pada kenyataannya ini adalah pertama kali baginya. Sehingga, dia cukup canggung dan hanya mampu menganggukan kepalanya.

“Yaudah, yuk masuk.” Ajak Grizella menarik tangan Yordan. Sedangkan, yang ditarik tangannya menahan nafasnya.

Ketika keduanya masuk, percakapan yang dilakukan kedua laki-laki tadi terhenti. Salah satunya langsung menanyakan perihan laki-laki yang digandeng adik perempuannya itu. “Siapa Griz?” Tanyanya.

“Temen gue Kak Lio, temen kelas Jozan juga.” Jawabnya kepada kakaknya yang bernama Grelio itu.

“Kalian mau kemana?” Kali ini yang bertanya adalah Jenggala. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yordan yang sejal tadi hanya diam saja.

“Mau jalan buat cari makan, Kak.” Jawabnya sedikit gugup membuat Jenggala tertawa.

“Santai aja kali, kenalin gue Jenggala Kakak sepupu Griz. Kalau yang ini Kakak kandung Griz, namanya Grelio.” Yordan terkejut dengan perkenalan tersebut. Ternyata laki-laki yang dipikirnya saingan selama ini adalah kakak sepupu dari Grizella. Untung saja dia belum bertanya ke Jauzan, pikirnya.

“Mau makan dimana emang?” Grelio bertanya ke Yordan.

“Cari pizza sih, Kak. Soalnya Griz suka pizza katanya.” Kemudian, Yordan merutuki dirinya sendiri yang memberikan penjelasan tidak penting tersebut.

“Oh lo tau juga si babi ini suka pizza. Yaudah hati-hati aja ya. Kalau bisa bawain gue sama Jenggala juga.”

“Iya makasih, Kak. Griz-nya saya ajak jalan ga lama ya, Kak.” Tunduknya sopan meminta izin kepada kedua laki-laki tersebut.

“Eh nama lo dulu siapa? Udah mau pergi aja.” Celetuk Jenggala yang membuat Griz menahan tawanya. Sedari tadi dia tidak kuat melihat Yordan yang sangat gugup menjawab pertanyaan kakak-kakaknya itu.

“Gue Yordan, Kak. Yordan Ward.” Kemudian dia sedikit maju untuk berjabat tangan dengan keduanya.

“Oke Yordan. Hati-hati ya bawa kendaraannya. Awas aja Griz pulang ada yang lecet.” Bukan Grelio yang memperingatkan Yordan, tetapi Jenggela. Grelio sendiri sudah asik dengan handphonenya.

“Yaudah pergi deh lo berdua. Salim dulu Griz.” Canda Jenggala.

“Diem.” Katanya kepada Jenggala, kemudian perempuan itu menghampiri Grelio untuk salim. “Pergi dulu ya, Kak Lio.”

“Iya hati-hati.” Kata Grelio sambil mengusap puncak kepala adiknya itu.

“Gue ga, Griz?” Tentu saja Jenggala dengan segala kejailannya.

“Ga mau sama lo.”

“Durhaka lo.”

Grizella tidak memerdulikan kata-kata Jenggala dan segara menarik Yordan keluar. Yang ditarik dengan cepat menundukkan kepalanya ke Grelio dan Jenggala yang dibalas mereka juga dengan anggukan kepala.

Perjalanan di dalam mobil cukup hening. Sehingga, Grizella berinisiatif untuk memutar lagu dari handphonenya yang disambungkan ke mobil milik Yordan.

Tidak lama setelah itu terdengar alunan musik dari Men I Trust yang berjudul “Show Me How”. Grizella bersenandung dengan lagu tersebut yang tidak lama diikuti oleh Yordan.

“Lo tau lagu ini?!”Teriak perempuan itu kaget.

“Hahaha iya Griz, gue suka eksplor penyanyi-penyanyi gitu.” Yordan tertawa dengan respon yang dikeluarkan Grizella.

“Wah keren juga lo, nilai plus deh. 0,01 aja tapi.”

“Pelit banget lo ngasih nilainya.” Yordan terus-terusan tertawa dengan jawaban dan respon dari Grizella.

Percakapan mereka tentang penyanyi, lagu, film, dan masih banyak lagi berlangsung selama perjalanan menuju restoran pizza.

Pamela berlari dengan cepat ke depan rumahnya untuk membukakan pintu. Melihat Johnny berdiri tersenyum sambil memegang bunga, makanan, dan beberapa tas yang dia tidak tau apa isinya. Tanpa menghiraukan hal itu dia berlari ke dalam pelukan Johnny.

“Tunggu, Pam. Ini tangan aku penuh loh.” Pamela hanya merespon dengan gelengan kepala.

Melihat Pamela yang sama sekali tidak mau melepaskan pelukan tersebut membuat Johnny menyerah dan akhirnya berjalan dengan posisi membawa banyak bawaan termasuk Pamela yang masih setia memeluknya. “Jump.” Perintah Johnny.

Secara cepat Pamela melompat dan melingkarkan kakinya di pinggang Johnny.

“Tumben banget kamu manja gini, mau menstruasi ya?” tanya Johnny kepada Pamela masih berjalan ke dalam rumah.

“Ha iya kali ya. Makanya aku cape banget. Aku lupa deh kapan terak-.”

“Udah hampir sebulan sih, Pam. Kayanya iya deh mau menstruasi.”

“Kamu ngitungin?” Pamela sedikit melonggarkan pelukannya dan menjauhkan dirinya dari Johnny.

“Eh awas jatuh nanti. Iya aku pakai aplikasi gitu jadi tau kapan kamu menstruasinya.”

“Kok bisa sih kepikiran.” Merasa sangat diperhatikan seperti itu membuat mood Pamela sedikit lebih baik. Perempuan itu kembali mempererat pelukannya dan menyelipkan kepalanya di antara leher Johnny.

“Soalnya aku tau kamu kalo pms pasti mood-nya gampang rusak dan cepet capek juga. Jadi aku antisipasi aja.”

Setelah mengatakan hal itu Johnny menghentikan langkahnya. “Sekarang ayo turun, udah di ruang tengah nih.”

Pamela kembali menggelengkan kepalanya. “Ga mau, ke kamar aja ayo, kita lanjutin peaky blinders season 2. Aku mau ngobrol juga, kangen banget.”

“Kita kan sering telponan, Pam.” Johnny melanjutkan jalannya setelah menjatuhkan beberapa barang dari tangannya seperti bunga dan tas-tas berisi makanan yang dibawanya. Tangan yang lebih sedikit lega dari sebelumnya digunakan Johnny untuk memeluk Pamela.

“Iya, tapi aku ga puas aja,” rengek Pamela.


Johnny mengatur televisi yang ada di kamar Pamela agar mereka berdua dapat menonton netflix. “Mau ngomongin apa sih sayang?”

“Nikah.”

Ucapan yang keluar dari mulut Pamela itu terasa tidak nyata. Sehingga, Johnny dengan cepat membalikkan badannya untuk melihat apakah benar Pamela yang baru saja mengatakan itu. Dia mengangkat salah satu alisnya menuntut penjelasan.

“Aku mau kita ngomongin tentang pernikahan. Aku mau tau pandangan kamu tentang pernikahan itu gimana dan aku ingin kamu tau pernikahan di pandangan aku itu kaya gimana.”

“Ok.” Johhny tersenyum sangat hangat dan menatap Pamela dengan pandangan cinta.

I’ll go first ya, Ka Jo?” Mendapatkan anggukan dari Johnny, Pamela melanjutkan ucapannya. “I want a marriage based on the will of me and my partner. I want to be financially and mentally stable before marriage. I don’t mind if I don’t have a child. Because there’s a lot children out there that me and my partner can adopt. I really hate when someone cheating on me. Don’t ever betrayed me. Let me do everything I want especially related to my business.”

Pamela berhenti sejenak untuk melihat ekspresi Johnny. Tetapi, Johnny masih sama tidak berubah sedikit pun. Laki-laki itu tetap menatap Pamela dengan senyum hangat dan tatapan cintanya.

“Aku ga mau ditekan, Ka Jo. I have feelings. I know what I want. I deserve the world.”

I know you deserve it.” kata Johnny. Tangannya membawa Pamela ke dalam pelukan. “It’s my turn now?” tanya Johnny. Pamela hanya mengangguk walaupun sebenarnya masih sangat banyak yang ingin dia sampaikan.

I want a marriage with you as my partner. That is it. Nothing more and nothing less.”

Pamela terkejut mendengar itu dan langsung menatap mata Johnny dalam. Sedangkan, yang ditatap mengeluarkan senyum manis.

I know there’s a lot things we need to discuss first. Karena, pernikahan hanya untuk sekali. Aku selalu setuju dengan semua yang kamu inginkan. I respect your decision. Sekali lagi yang penting buat aku itu kamu. Aku ga janji setiap hari bakalan bahagiain kamu. Tapi, I’ll try my best not to hurt you.”

Jelas pernyataan tersebut membuat Pamela terdiam dan menitikan air matanya lagi. Laki-laki ini benar-benar pintar bermain dengan kata-kata. Di mana kata-kata adalah kelemahannya.

“Ka Jo. Am I deserve you?”

I’ll be the world for you. You deserve the world right? So you deserve it, you deserve me.”

Mereka melanjutkan percakapan yang lebih santai seperti konsep pernikahan seperti apa yang diinginkan dan banyak lagi. Tetapi, mereka memutuskan untuk melanjutkannya nanti karena ada series yang harus mereka saksikan bersama. 1 episode telah berjalan sia-sia karena mereka sibuk dengan dunianya sendiri.

Setelah menghabiskan 6 episode dalam satu malam. Mereka akhirnya tertidur pada saat jarum pendek telah menunjukkan angka 3 dan jarum panjang tepat di angka 12.

Johnny telah berpakaian rapi untuk makan malam bersama keluarga Pamela, walaupun pada kenyataannya tidak pernah sehari pun dia tidak berpakaian rapi. Laki-laki itu turun dari mobil dan menghampiri Pamela yang telah menunggu di depan pintu masuk rumahnya.

“Hi, you look great.” sapanya kepada Pamela kemudian memberikan satu kecupan singkat di puncak kepala wanita itu. Padahal baru saja tadi pagi mereka berdua berpisah setelah Pamela menginap di apartment milik Johnny.

Thanks. You too, but you always look great.” Senyum wanita itu terlihat sangat tulus.

“Ah harusnya aku ngomong gitu juga ya.”

Pamela tertawa dan berkata, “Ga penting banget sih. We both look incredible.” Kemudian menautkan jari-jarinya dalam genggaman tangan Johnny. “Ayo masuk, Papa Mama udah nungguin.”

“Ayo,” jawab Johnny menerima ajakan dan tautan jari Pamela.

Mereka berdua berjalan bersama menuju ke dalam rumah Pamela. “Mama itu nanyain kamu mulu. Padahal aku udah ngomong kamu sibuk.”

Johnny tersenyum. “Ohya serius? Udah dicariin camer mulu nih aku.”

“Pede banget sih.” Pamela merasa perkataan Johnny terdengar lucu, tapi dalam lubuk hatinya dia sangat bahagia.

“Loh Johnny udah sampe aja.” Kali ini yang mengeluarkan suara adalah ibu dari Pamela atau yang akrab dipanggil Mama oleh semua kenalan anaknya. Bahkan, Johnny yang awalnya merasa canggung memanggil orang lain selain Mamanya sendiri dengan sebutan “Mama” akhirnya juga ikut dengan panggilan tersebut.

“Iya, Ma. Baru aja sampe kok. Papa kemana ya, Ma?” Tentu saja akan canggung rasanya jika Johnny hanya memanggil mama tanpa memanggil Papa ke Ayah Pamela.

“Lagi di ruangannya tuh. Tunggu ya Mama panggil biar langsung aja ke ruang makan. Kalian langsung aja ke sana. Sayang banget ga ada si Gala.” ucap sang Mama sebelum berjalan pergi meninggalkan dua sejoli itu.

“Yaudah yuk Ka Jo kita langsung aja.” ujar Pamela.

Makan malam berjalan dengan sangat damai. Hingga kemudian sang ayah mengeluarkan sebuah pertanyaan.

“Gimana kerjaan kamu, John?” Pertanyaan yang selalu ditanyakan pertama kali oleh Papa. Karena, menurutnya seorang laki-laki harus memiliki pekerjaan yang stabil untuk dapat membahagiakan anaknya.

“Baik banget, Pa. Kemarin kita dapet client besar juga,” jawab Johnny dengan sopan.

Kemudian, Pamela menyambung jawaban Johnny. “Papa tau good coffee ga? Mereka yang jadi client Arshkan. Keren kan, Pa?”

Papa hanya menganggukkan kepalanya dan berdeham. “Bagus-bagus kalo gitu.” Mereka masih melanjutkan makannya saat papa meneruskan ucapannya. “Kalau gitu kalian kapan nikahnya?”

Tentu saja hal itu membuat keduanya tersedak. Mama langsung saja menegur Papa dengan sedikit memukul lengan kirinya.

“Ih, Papa apaan sih? Kan kita baru aja pacaran.”

“Ga ada salahnya juga, menurut Papa Johnny sudah cukup matang dan siap. Bagaimana, John?” tanya Papa ke Johnny. Yang ditanya tentu saja terkejut dan bingung untuk memberikan respon seperti apa.

“Kalau saya tergantung dari Pamela saja, Pa. Nanti kita bicarakan lagi. Untuk sekarang kita masih butuh mengenal satu sama lain lagi.”

“Kalian bisa kenalan kok selama menikah ya kan, Ma?” Papa mencoba meyakinkan keduanya dengan meminta bantuan kepada Mama.

“Pa, anak sekarang itu beda. Jangan dipaksain dong. Kalau emang mereka udah mau ya pasti bakalan ngomong juga ke kita. Bener kan, Pam, John?”

Pamela dan Johnny menganggukkan kepala menyetujui hal tersebut.

“Padahal kalau kalian emang udah mau niat menikah. Papa udah mau berhenti keluar kota buat ngurus bisnis, udah mau ngasih ke orang lain buat handle. Biar bisa main sama cucu juga.”

“Pa, nikah aja belum udah cucu-cucu aja. Emang harus nungguin aku nikah? Kan bisa dari sekarang ngasih tanggung jawab ke orang lainnya?” Pamela mengatakan itu dengan ekspresi cemberutnya yang membuat Johnny merasa gemas dengan wanitanya tersebut, tetapi juga sedikit takut mood perempuan itu akan rusak.

“Lagian kalaupun aku nikah, belum tentu langsung hamil juga.”

“Hus, ga boleh ngomong gitu. Ngomongnya yang baik biar berkah.” Mama menegur Pamela yang dirasanya cukup ceroboh dalam berkata.

“Yasudah, Papa kan cuma menyampaikan keinginan Papa saja. Tapi, Papa serius loh. Apa lagi yang kalian tunggu? Menurut Papa kalian berdua sudah siap secara financial. Kalian juga saling cinta kan.”

“Pa, financial itu ga cukup. Banyak banget yang harus dipertimbangkan kalau mau menikah. Bukan cuma cinta dan financial aja. Aku sama Ka Jo butuh nyiapin mental. Pernikahan itu untuk seumur hidup. Belum lagi kalau Tuhan kasih titipan anak. Itu tanggung jawabnya besar, Pa. Kita berdua juga baru jalan 3 bulan kenal. Itu singkat loh, Pa. Aku ga mau kalau kita menikah karna tuntutan.”

Tentu saja Pamela mengatakan hal itu dengan menggebu-gebu. Prinsip yang selama ini dipegangnya hampir saja dipatahkan oleh ayahnya sendiri. Johnny yang melihat perubahan pada nada bicara Pamela perlahan membawa tangan wanitanya itu ke bawah meja dan mengelusnya berusaha menenangkan.

Setelah hening sepersekian detik Johnny mengeluarkan suaranya, “Aku setuju sama Papa.” Yang membuat Pamela menatap tajam dan heran ke arah Johnny yang berkata seperti itu.

“Tapi, aku lebih setuju sama Pamela. Kita butuh kesiapan, Pa. Seperti yang juga Mama bilang tadi, kalau kita udah siap pasti bakalan ngomong ke Mama dan Papa kok. Jadi tenang aja.” Johnny mengakhiri kalimat dengan senyum.

Pamela cukup lega dengan itu. Suasana makan malam yang diawali dengan damai ternyata hampir berakhir cukup panas. Sebelum acara makan malam itu benar-benar berakhir muncul Jenggala dari arah ruang tamu.

Hi, kok pada tegang sih. Anak ganteng kalian baru pulang loh. Eh, ada Bang Johnny.” Untung saja kedatangan Jenggala dapat sedikit mencairkan suasana makan malam tersebut.

“Apa kabar, Bang? Aduh gue belum minta pj nih.” kata Gala mendekat ke meja makan.

“Gala, kamu tuh ya yang sopan datang-datang langsung nyelonong aja. Sana cuci muka, cuci kaki dulu.” Mama dengan segala kebersihannya.

“Hehe iyaaa Mama sayang.” kata Jenggala kemudian berjalan pergi. Tapi, dia tak lupa mencomot salah satu ayam yang ada di meja makan.

Berkat Jenggala makan malam tersebut tidak berakhir dengan buruk. Walaupun, Pamela masih sangat kesal dengan pola pikir papanya tersebut.

Pamela dan Johnny sampai ke bakery milik Pamela tersebut. Tetapi sebelum turun dari mobil, Johnny menyuruh Pamela untuk menghabiskan makanan yang telah dibelinya. Johnny membiarkan Pamela menghabiskan makanannya, sedangkan dia sibuk bermain dengan hpnya.

Melihat Pamela telah selesai makan, Johnny mengajaknya untuk berbicara “Mama papa kamu ga masalah kan ga bareng kita?” cemasnya.

“Gapapa kok, aku tadi udah ngomong juga kalo kita ga langsung pulang. Jadi ya harusnya ga masalah sih. Udah yuk turun.”


Acara opening bakery tersebut berjalan dengan sangat lancar. Pamela sibuk mondar-mandir menghampiri teman, kerabat, dan orang-orang yang datang ke acara ini.

Johnny yang hanya berdiri sendiri akhirnya menghampiri kedua orang tua dari Pamela. “Om, tan.” sapanya.

“Halo, John. Gimana ntar malam jadi kan? Tante seneng loh akhirnya Pamela mau pacaran. Dia itu dari dulu ga pernah pacaran. Beda banget sama Gala yang selalu gonta-ganti cewe.” Mama Pamela ini tipe-tipe ibu heboh di antara geng arisan.

Johnny ingin mengatakan bahwa Pamela pernah berpacaran, tetapi hal itu diurungkannya. Dia ingat Pamela mengatakan bahwa dia dan Danu backstreet, sampai putus pun tidak banyak yang tahu.

“Iya tante doain lancar yaa.” katanya sambil tersenyum hangat.

“Kerjaan kamu lancar John?” pertanyaan tersebut keluar dari mulut Ayahnya Pamela.

“Puji Tuhan lancar-lancar aja om. Kemarin sempat hectic banget tapi udah lumayan santai sekarang.”

Ayahnya Pamela yang mendengar jawaban memuaskan tersebut hanya dapat menganggukkan kepalanya.

“Ya semoga lancar ya nanti malam.”

“Terima kasih, Om.” Jelas Johnny tersenyum dengan sangat bahagia. Pasalnya dia telah memegang restu dari kedua orang tua Pamela. Johnny berniat untuk mengungkapkan perasaannya dan juga mengajak Pamela berkencan secara resmi.

Terlihat dari jauh Pamela sedang berjalan mendekat ke arah mereka bertiga. “Halo, ngapain disini aja? Ada Ka Janu loh tadi bareng Nisa sama Ka Danu.” tanya perempuan itu ke Johnny, kemudian beralih melihat orang tuanya, “Mama, papa mau pulang jam berapa?” lanjut perempuan itu bertanya.

Johnny tersenyum ke arah Pamela dan melihat ke arah orang tua Pamela memberikan isyarat agar mereka dapat menjawab pertanyaan Pamela terlebih dahulu.

“Mama dan papa paling ga lama lagi pulang. Kamu sama Johnny mau pergi kan abis ini?”

“Iya, Ma. Yaudah nanti hati-hati ya. Mau dianterin ga?” tanya Pamela sekali lagi.

“Ga usahlah. Udah gampang kok.” ujar Mamanya.

“Okey deh hehe.” sahut Pamela dan beralih ke Johnny “Ka Jo?”

“Iya biarin aja nanti aku temuin. Kamu udah ketemu sama semua undangan?” jawab Johnny.

“Iya udah kok.” jawab Pamela kemudian dia melanjutkan, “tunggu selesai ya baru kita pergi.” Johnny hanya tersenyum manis.

Alasan Johnny lebih banyak tersenyum dan diam di dekat Pamela adalah untuk menutupi kegugupannya. 30 menit kemudian teman, kenalan dan kerabat dari Pamela mulai pulang satu persatu. Hari ini Pamela banyak mendapatkan pujian dan ucapan selamat sehingga senyum tidak pernah luntur dari wajahnya.

“Ka Jo, udah nih. Udah mau tutup juga udah abis semuanya. Sumpah aku seneng banget. Bener-bener sesukses itu. Aku ga nyangka.”

“Aku sih udah nyangka. I mean your effort is really amazing. So I can expect it.”

“Thank you. I can feel all the loved from people here. Terharu banget.”

“How about my love?” tanya Johnny jail.

“Yes, especially the love from you.

Mereka sampai ke tempat mobil Johnny di parkir dan segera masuk untuk berpindah tempat.

Btw, kita mau kemana sih sebenarnya?”

You will know soon.


Sekitar 20 menit berlalu dan mereka sampai ke sebuah restoran yang cukup mewah dan memiliki pemandangan yang indah.

“Mau dinner ya?” tanya Pamela

“Ehem.”

“Yaudah yuk masuk.”

Mereka berdua berjalan berdampingan ke dalam restoran tersebut. “Reservasi atas nama Johnny, Mba.”

“Baik silahkan langsung ke meja di pojok ya.” balas resepsionis tersebut.

Setelah sampai ke kursi yang telah direservasi. Mereka memesan makanan seperti biasa. Pamela tidak memiliki pikiran lain karena Johnny pun sudah beberapa kali mengajaknya makan di restoran mahal seperti ini.

“Aku baru tau loh restoran ini. Lucu banget.” kata Pamela sambil memerhatikan sekitar.

“Pamela.” Johnny tidak membalas perkataan dari Pamela tadi, tetapi memulai percakapan dengan serius.

“Ha kenapa ka? Kok tiba-tiba tegang gitu sih?” balas Pamela sambil tertawa

“Aku mau bicara dulu boleh ga?”

Pamela hanya memberikan respon sebuah anggukan kepada Johnny.

“Pam, kamu pasti nunggu lama ya? Maaf banget aku nyuruh kamu nunggu lama. Aku pengen minta restu ke orang tua kamu dulu sebelum bener-bener ngajakin kamu pacaran. Karena aku ga mau yang pacaran-pacaran aja, aku bener-bener serius sama kamu. Kemarin waktu ke rumah kamu, aku sekalian minta izin. Aku bilang mau ngajakin kamu pacaran dan mereka pikir kita itu udah pacaran.” katanya sedikit tertawa berusaha mencairkan suasana.

“Jadi, sekarang di hari bahagia ini aku mau buat kamu lebih bahagia. Ini juga bakal jadi janjiku. Di saat kamu bahagia aku bakalan buat kamu lebih bahagia lagi, tapi di saat kamu sedih aku akan berusaha buat kamu bisa bahagia. Kamu mau bantu aku buat bisa nepatin janji itu ga? Kamu mau bantu aku biar bisa buat kamu bahagia ga? Kamu terima ga kalau aku yang mungkin masih banyak kekurangan ini jadi pacar kamu?”

Pamela yang mendengar semua penuturan dari Johnny hanya dapat terdiam dengan mata berkaca.

“Kamu tau ga pam, aku selalu dihantui rasa takut. Rasa takut kamu ga mau nungguin aku, tapi aku selalu percaya kalau kamu bakalan nunggu aku. Rasa percaya yang aku dan kamu berikan ini yang buat aku yakin sama kita.”

Johnny masih terus melanjutkan perkataannya, “Aku selalu suka setiap ngeliat kamu bisa tersenyum karena hal-hal yang kamu usahakan. Aku selalu suka tiap ada di dekat kamu dan aku rasa itu cukup.” Johnny menarik napasnya panjang dan berkata secara pelan tapi pasti “Jadi aku mau tau keputusan kamu gimana?”

Bulir air mata jatuh dari pelupuk mata Pamela dan perempuan itu menggigit bibir bawahnya agar tidak terisak. Kemudian dia hanya dapat menganggukan kepalanya pelan pertanda bahwa iya menerima semua itu. Bahwa iya menerima Johnny sebagai kekasihnya.

Keduanya tersenyum bahagia merasa kebebasan dari dalam rongga dada mereka.

They fall in love quickly, but they sure it will be last forever. It only took 2 months for them to finally be official.