julietirw

Disclaimer; Tentang proses melahirkan aku cuma dekstop research dan juga bertanya pada teman yang sudah berpengalaman. Jadi, jika ada yang salah mohon diluruskan. Aku terima kritik dan sarannya. 🤍

TW // death CW // blood

Setelah mendapatkan pesan dari Fawnia, Jauzan segera mencuci mukanya agar lebih segar. Kemudian, tak lupa menelpon Mama Yani. Panik.

“Ma maaf nelpon pagi buta gini, katanya Fawnia udah berasa kontraksinya. Aku mau jemput dulu, terus ke rumah sakit. Mama nyusul ya.” Jauzan berbicara dengan cepat.

“Halo, Jan. Kamu yang tenang. Masih kontraksi kan, gapapa tenang aja. Ketubannya belum pecah kan?”

“Kayanya belum, Ma.”

“Yaudah, kamu hati-hati nyetirnya. Nanti Mama sama Papa ke sana. Rumah sakit biasa kan?”

“Iya, Ma. Ojan matiin ya. Hati-hati di jalan, Ma.”

Telepon itu berakhir dan Jauzan langsung bergegas ke rumah Fawnia, menjemput perempuan itu. Ketika sampai, dia langsung masuk begitu saja. Dilihatnya Fawnia sedang duduk di sofa meminum air putih.

“Awni?” panggil Jauzan.

“Eh, udah sampe, Zan,” kata Fawnia santai.

“Kamu ga kesakitan?” tanya Jauzan heran.

“Udah gak, Zan. Kayanya kontraksi palsu deh. Ayo ke rumah sakit. Tas-tas aku di mobil kamu kan, Zan?”

“Iya, udah siap. Kamu beneran gapapa?”

“Iya, gapapa. Ayo….”

Seperti dugaan Fawnia bahwa yang terjadi adalah kontraksi palsu. Dokter mengatakan bahwa saat ini, Fawnia sudah berada di pembukaan ketiga.

Mama Yani datang dan ikut menemani Fawnia dalam prosesnya. Rasa sakit yang dirasakan setiap pembukaan berpindah dari tiga ke empat, empat ke lima, dan seterusnya ditahan oleh Fawnia. Walaupun rasanya dia sudah tidak mampu menahan rasa sakit dari kontraksi rahim.

Semakin besar pembukaan lahiran serviks, semakin sakit juga rasa yang diberikan. Kontraksi terjadi lebih intens dan lebih lama. Rasa tidak nyaman pun meliputi Fawnia.

Fawnia telah masuk ke ruang bersalin, ditemani oleh Mama Yani. Sedangkan, Jauzan di luar sudah sangat pucat.

Tidak lama setelah proses pembukaan kesepuluh terjadi, terdengar suara bayi dari dalam ruang bersalin tersebut.

“Oek… o-oek….” Suara itu memenuhi ruangan bersalin.

Dokter dan suster keluar dari dalam ruangan dengan senyuman penuh. “Ibu dan bayi selamat ya. Dua-duanya sehat. Untuk ibunya ada masih kelelahan jadi gapapa biarin istirahat aja dulu. Nanti ketemu bayinya bisa setelah ibunya sudah sadar. Kalau bapak dan mas mau lihat bayinya, silahkan ke bagian sana ya.” Menunjuk ke arah ruangan dengan jendela kaca yang di dalamnya dipenuhi bayi. “Saya pamit dulu.”

“Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak. Terima kasih juga suster dan perawat lainnya,” kata Jauzan terharu.

Jam menunjukkan pukul 5 sore, Fawnia akhirnya bangun dari tidurnya. “Zan, Nyawa mana?” Yang pertama dicarinya adalah Nyawa, bayinya.

Jauzan yang sedang memainkan handphone-nya sadar kalau Fawnia sudah bangun. “Ada di kamar bayi, kamu mau ketemu?”

“Iya, aku mau ngeliat bayi aku,” kata Fawnia. Terlihat lelah dan juga excited dari wajah Fawnia.

“Yaudah aku ambilin kursi roda dulu ya. Katanya kamu belum bisa jalan.” Jauzan tersenyum.

“Iya, minta tolong ya, Zan.”

Not a problem. Tunggu ya,” kata Jauzan.

Tanpa keduanya sadari ada seseorang yang sedari tadi mengincar kamar milik Fawnia.

Jauzan kembali dari meminjam kursi roda. “Awni, ini kursi rodanya. Ayo sini aku bantu naik,” kata Jauzan mengulurkan tangannya.

“Mama sama Papa kamu ke mana, Zan?” tanya Fawnia yang saat ini sudah terduduk manis di kursi roda dan Jauzan yang mendorongnya pelan.

“Pulang ga lama, ngambil baju kayanya. Btw, kamu gapapa kan? It must be hard for you, you really doing great today. Congratulations for being a mom, Awni,” kata Jauzan mengacak perlahan rambut Fawnia.

Belum sampai di depan kamar bayi, handphone milik Jauzan berbunyi. Awalnya dia terus mengabaikannya, tetapi telpon dan pesan terus masuk.

“Awni, tunggu ya. Aku angkat telpon dulu,” kata Jauzan agak menjauh, takut jika suaranya mengganggu.

“Iya gapapa kok, Zan,” jawab Fawnia. Dengan manis dia menunggu Jauzan yang sedang mengangkat teleponnya.

Tiba-tiba dari arah belakang ada yang mendorong kursi roda milik Fawnia ke arah tangga. Membuat perempuan itu berteriak. Orang-orang di sekitar langsung menengok dan berlarian membantu. Termasuk Jauzan yang terkejut melihat hal itu di depan matanya. Dengan cepat dia melempar handphone-nya ke sembarang arah.

“AWNI.” Teriak laki-laki itu tidak peduli dirinya sedang berada di rumah sakit.

Tetapi karena jarak kursi roda dan tangga hanya sekitar 5 langkah. Fawnia langsung terjatuh bersama dengan kursi rodanya dari atas tangga. Terlihat darah bercucuran dari kepala Fawnia.

“Kalau gue ga bisa dapetin Jauzan, lo juga ga bisa selamanya sama Jauzan,” kata seseorang yang baru saja mendorong Fawnia.

“Lo gila ya? Tolong siapa pun telepon polisi.” Jauzan berteriak dan memohon kepada para perawat dan pengunjung rumah sakit lainnya. Beberapa orang telah menahan pelaku agar tidak kabur.

“Awni, jangan tidur ya. Ayo buka matanya kata Jauzan. Mau ketemu Nyawa kan? Awni kita di rumah sakit pasti kamu ga bakalan kenapa-napa.” Jauzan menangis, memeluk Fawnia yang terlentang di lantai.

“Mas, mbanya diangkat dulu. Biar bisa cepat diselamatkan,” kata seorang perawat.

Jauzan dengan cepat membantu mengangkat Fawnia, menaiki tangga dan meletakkan Fawnia ke atas brankar.

“Awni, kamu kuat kan. Aku tahu kamu kuat. Bertahan ya.”

Brankar tersebut didorong agar cepat sampai di IGD.

Dengan sisa-sisa kekuatannya Fawnia berkata ke Jauzan terbata-bata, “Zan, ja-jagain Nyawa ya. Makasih udah mau aku repotin.”

“Awni, ga boleh ngomong gitu ya. Kamu bisa selamat kok,” katanya memegang erat tangan Fawnia. Brankar berhenti tepat di depan pintu dan masuk ke dalam ruangan.

“Mas tunggu di sini,” kata salah seorang suster.

Dari arah yang berlawanan terlihat Mama Yani berlarian, sedangkan Papa Prima berjalan dengan cepat.

“Jan, ada apa? Kenapa kamu penuh darah gini.” Mama Yani panik.

“Ma,” tidak dapat mengatakan apa-apa, air mata Jauzan seketika pecah. “Ma, Awni ga bakalan ninggalin aku kan. Awni kuat kan, Ma?”

“Jan, kamu yang tenang, Nak. Ayo berdoa buat Awni ya,” kata Mama Yani memeluk anak satu-satunya.

Di sisi lain, Papa Prima sedang mengobrol dengan salah satu keluarga pasien yang ada waktu kejadian tersebut. Papa Prima sangat tercengang saat mendengar kebenaran dari kejadian. Mereka hanya dapat berdoa agar Fawnia dapat diselamatkan.

Operasi berjalan selama 3 jam lamanya. Dokter keluar dari ruangan operasi dengan wajah datar. “Operasi berhasil dilakukan, tapi pasien kehilangan sangat banyak darah. Ditambah dengan kondisi pasien yang baru saja melahirkan. Kemudian, sebelum didorong jatuh, pasien ditusuk dengan pisau. Kami hanya bisa berdoa agar pasien dapat cepat kembali sadar. Saya permisi,” jelas dokter.

Jauzan merasa dunianya runtuh, dia terduduk setelah mendengar penjelasan yang disampaikan oleh dokter. Tidak tau apa yang ada di pikirannya saat ini.

Dia masuk di kamar rawat Fawnia. Duduk di kursi yang terletak di samping kasur Fawnia. Menunduk. Berdoa. Tertidur.

Dalam mimpinya terlihat Fawnia tersenyum manis dan berkata. “Jaga Nyawa ya, Zan. Maaf dan aku sayang kamu.” Mimpi itu hanya berdurasi 3 detik. Membuat Jauzan dengan cepat membuka matanya. Kemudian terlihat dokter telah mencabut segala alat yang terpasang ditubuh Fawnia.

Ternyata mimpi Jauzan adalah sebuah perpisahan. Perpisahan yang dilakukan hanya 3 detik. Jauzan hancur. Dia ingin berteriak, tetapi tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Terdiam. Mematung. Menangis.

Waktu berlalu sangat cepat, tidak terasa telah memasuki bulan Juni. Usia kandungan milik Fawnia memasuki minggu ke-30 atau 7 bulanan.

Setiap 7 bulanan pasti ada acara-acara adat maupun keagamaan yang dilakukan. Tapi, Fawnia menolak hal-hal tersebut. Dia hanya mau mengadakan acara sederhana. Karena, dia tidak memiliki sanak saudara, tepatnya tidak ada lagi yang mengakuinya.

Keluarga Jauzan sudah menjadi keluarga bagi Fawnia. Perempuan cantik itu merasa sangat beruntung keluarga Jauzan mau menerimanya dengan rendah hati. Padahal kondisinya sedang hamil.

Syukuran tersebut diadakan hanya antara mereka saja. Hanya Papa Prima, Mama Yani, Jauzan, Fawnia, dan Elvina. Di mana pun itu, Elvina selalu ada di antara sepupunya dan Fawnia.

Acara syukuran pun berjalan dengan lancar sama sekali tidak ada permasalahan.

“Kalian nanti bakalan tinggal bertiga atau gimana?” tanya Papa Prima ke Jauzan dan Fawnia. Kondisi dari Papa Prima sudah lebih membaik, tetapi karena telah sakit Papa Prima sama sekali tidak dapat bekerja.

“Aku mau Jauzan selesain kuliahnya dulu, Om,” kata Fawnia malu.

“Bener-bener, mending Jauzan cepat lulus. Kamu ga mau nikah sama Fawnia?” tanya Papa Prima.

“Mau lah, Pa.”

Fawnia merasa malu mendengar jawaban dari Jauzan. “Aku maunya Jauzan abis lulus cari kerja dulu, Om. Aku mau dia tau prioritasnya.”

“Udah jelas kamu itu prioritasnya, Awni. Tapi, emang harus diingetin lagi dia. Agak keras kepala,” kata Papa Prima membongkar sifat anaknya itu.

“Kok anaknya digituin sih, Pa.” Jauzan tertawa mendengar jawaban dari Papanya tersebut.

Baru saja Papa Prima ingin membalas perkataan Jauzan. Suara dari depan rumah menghentikannya.

“Ada acara kok ga ngundang-ngundang sih.” Terdengar kalimat sindiran dari seseorang.

Setelah mendengar perkataan itu Jauzan, Fawnia, dan juga Papa Prima segera berjalan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.

“Kamu itu ngapain sih, Tia? Ga sopan banget dateng malah teriak gitu,” tegur Mama Yani.

“Loh, kamu itu kak ga becus ngurus anak. Kamu sama Mas sama aja, anaknya pada ga bener semua. Ngehamilin anak orang, mau jadi apa dia nanti. Perempuan ga bener gitu lagi, mau aja kamu punya menantu kaya begitu.” Kata-kata pedas yang dilontarkan oleh Tante Tia itu menyakiti kelima orang yang ada di sana.

Tidak tahan dengan kata-kata cacian dan hinaan yang dikeluarkan Tante Tia, membuat Papa Prima yang selama ini diam angkat bicara. “Kamu itu mau apa kesini, Tia? Ga tau diri, mending kamu bayar semua utang-utang kamu ke kita. Jangan sok hebat, waktu kerja dulu saya sering lihat anak kamu jalan sama teman-teman kantor saya. Tapi, tidak pernah saya menghina-hina anak kamu seperti itu. Kamu yang ga becus ngurus anak.”

“Denger suami kamu itu, Kak. Malah nuduh anak saya yang ga bener. Ngomongin uang mulu, kalo ga ikhlas ga usah minjemin. Saya kesini juga buat bayar utang.” Tante Tia tersulut emosinya, kemudian dia melempar tas yang berisi uang itu. Kemudian pergi dari sana.

Jauzan melihat ke arah Fawnia yang tertegun. “Ga usah didengerin Tante Tia. Kamu perempuan baik, Awni,” kata Jauzan. Tetapi, tidak cukup menenangkan hati Fawnia.

“Tante Tia itu kesurupan apaan sih? Ga sopan banget mulutnya, attitude-nya juga jelek. Beneran adik kandung Papa sama Tante ga sih?” marah Elvina.

“Hus, dia itu karena anak bungsu maunya dimanja sama kakak-kakaknya. Mana stress suaminya selingkuh di mana-mana. Tentang anaknya juga tante yakin dia tahu. Maklumin aja ya, Elv,” kata Mama Yani berusaha untuk memaklumi adiknya itu.

“Tetep ga membenarkan tau, Tan. Sinting. Dikira aku ga sakit hati kali tiap dia ngehina-hina aku,” kata Elvina. Jauzan yang tidak ingin Fawnia terus mendengar tentang Tante Tia, memotong pembicaraan Elvina dan Mamanya.

“Ma, maaf motong. Aku nganterin Awni pulang ya,” pamitnya. “Pa, aku anterin Awni pulang. Gue jalan dulu ya, Elv,” lanjut Jauzan.

Ketiga orang tersebut memberikan persetujuan.

Kedua sejoli itu telah berada di mobil. “Jangan dibawa stress, Awni. Aku ga mau kamu sakit. Ga lama lagi mau ketemu Nyawa kan?” kata Jauzan.

“Ga kok, Zan. Aku kaget aja. Padahal dulu juga udah pernah dikatain. Ga tau kenapa akhir-akhir ini mood-ku gampang jatuh,” katanya berusaha tertawa.

“Mau jalan-jalan dulu ga? Ke taman? Abis itu kita drive thru mcd?”

Senyum langsung muncul di wajah Fawnia. “Iyaa, mau.” Fawnia senang.

Jauzan merasa sedikit lega melihat Fawnia yang bisa kembali tersenyum.

Dokter mengatakan bahwa perkembangan ‘nyawa’ sangat bagus. Tetapi, Fawnia diminta agar tidak terlalu stres dan banyak pikiran. Setelah menyelesaikan pemeriksaan bulanan, keduanya langsung bepergian ke salah satu supermarket. Supermarket yang menyimpan kenangan pertemuan mereka.

“Aku udah tau siapa dibalik fake account itu. Nanti di kampus mau aku datengin,” kata Jauzan mendorong troli belanjaan mereka.

“Ga usah berlebihan ya, Zan. Udah lewat lama juga kok. Dia sekali itu aja.”

“Ga sekali, Awni. Tapi, beberapa kali,” bantah Jauzan.

“Iya aku tahu. Udah jangan emosi gitu dong.” Fawnia berusaha menenangkan Jauzan dengan mengelus lengannya.

Keduanya berjalan mengarah ke rak susu ibu hamil dan dari arah berlawanan ada seseorang yang dikenal Jauzan juga Fawnia. Orang itu adalah Tante Tia.

“Eh, Jauzan. Ngapain kalian di sini.” Sambil mata Tante Tia melirik ke arah susu-susu ibu hamil di rak. Kemudian dengan jelas melihat perut Fawnia. “Perasaan Tante belum dapet undangan dari kamu deh, Zan,” sindirnya.

“Tan, aku ga mau ribut ya di sini.” Kata Jauzan. “Aku sama Awni duluan.” lanjutnya, menarik tangan Fawnia untuk menjauh.

“Dasar anak muda, keliatan kok dari natal kemarin emang anak ga bener. Udah saya duga bakalan kejadian,” sindir Tante Tia lagi. Jauzan yang mendengar perkataan tersebut berbalik arah dia benar-benar murka. Dia hampir saja berbalik untuk adu mulut dengan tante kandungnya, sebelum Fawnia menahan tangannya.

“Udah, Zan. Biarin aja ya,” lerainya.

“Tapi, kamu dikatain kaya gitu, Awni. Aku ga masalah kalau dia ngatain aku. Udah biasa. Tapi, dia ngatain kamu.”

“Zan, dia itu tante kamu. Udah ya, gapapa kok. Mending kita ke kasir, bayar ini, trus pulang. Biar kamu juga bisa ke kampus. Ok?”

“Iya,” kata Jauzan pasrah.

Jauzan dan Fawnia bergegas pergi ke kasir untuk membayar belanjaan-belanjaan mereka, dominan milik Fawnia.

“Emang kamu gapapa sering cuti gini?” tanya Jauzan kepada Fawnia.

“Gapapa. Sebenarnya aku udah pengen resign juga. Simpanan aku udah lumayan banyak banget. Kayanya aku kalau udah masuk bulan keenam mau beneran resign. Habis itu mau jualan aja.”

“Asik, cewe aku business woman nih.”

“Emang iya cewe kamu?” kata Fawnia membuat ekspresi wajah Jauzan berubah murung. “Hahahahaha,” tawa Fawnia lepas.

“Iya deh iya, aku cewenya Jauzan.” Kata-kata itu membuat senyum kembali terukir di wajah Jauzan. Fawnia merangkulkan tangannya di sekitar lengan milik Jauzan. Keduanya berjalan ke parkiran mobil.

Jauzan yang telah mengantarkan Fawnia dengan selamat sampai ke rumahnya langsung berangkat ke kampus.

Dia tidak langsung pergi ke fakultasnya, melainkan ke FISIP terlebih dahulu. Tujuannya sudah jelas, untuk menemui orang dibalik akun bodong yang menebar hate kepada Fawnia.

Ditemuinya Elvina sedang duduk di kantin sendirian. “Elv,” panggilnya.

“Eh, Jan. Lo nyari tu anak ya? Ayo bareng, gue mau ikut.” Teriak Elvina sangat keras.

“Mulut lo bisa disumpel aja ga sih? Ribut bangsat.” Seperti yang pernah Jauzan katakan bahwa dia akan terus memaki kalau berbicara dengan teman-temannya, termasuk sepupunya. Karena menurutnya mereka semua menguji emosi Jauzan. “Lo boleh ikut kalau ga ikut campur. Awas aja bacot,” tambahnya.

“Iya, bawel. Ngata-ngatain orang bucin mulu. Mampus kan lo kena karma, jadi bucin Awni sampai mati lo.”

“Apa sih lo ngomongnya. Udah ayo,” ajak Jauzan.

Keduanya pergi dari kantin untuk mencari anak ilkom semester 2 itu. Sampai di taman tempat banyak maba mengerjakan tugasnya.

“Kayanya itu deh, Za-“ belum selesai Elvina berbicara, Jauzan telah berjalan menghampiri perempuan yang mirip dengan foto yang dikirimkan Finn.

“Lo orang yang dibalik fake account?” todong Jauzan.

“Bu-bukan gue Kak, gu-gue ga pernah nyebar fitnah tentang lo atau cewe lo itu,” jawabnya panik.

“Gue ga nyebutin sama sekali loh. Gue cuma nyebutin fake account aja.” Kata Jauzan memberikan isyarat tanda petik menggunakan dua jarinya saat mengatakan fake account.

Perempuan tersebut panik, tubuhnya gemetar hebat.

“Gue ga salah. Harusnya lo ngeliat gue, Kak. Gue lebih pantas buat bareng lo. Gue udah lama suka sama lo. Bukan perempuan kaya dia,” teriaknya. Jauzan dan Elvina yang mendengarkan hal itu bergidik ngeri.

Orang-orang di sekitar mulai berkumpul mendengar ada keributan.

“Lo gila ya? Jangan pernah ganggu gue atau Fawnia lagi. Selama ini gue diemin lo, tapi malah berulah. Ini kali ketiga gue ya buat ngingetin lo. Dua kali gue ingetin lewat twitter sama sekali ga lo peduliin. Gue ga mau lagi liat lo ngehina Fawnia pake akun apapun itu. Titik.” Jauzan berusaha menahan emosi. Jika saja yang dihapannya ini bukan perempuan, tidak tahu sudah berapa pukulan yang mendarat di wajahnya.

Selesai mengatakan itu Jauzan pergi meninggalkan perempuan yang terisak itu, “gue tau yang terbaik buat lo, kak. Gue suka sama lo udah dari SMA,” bisiknya pelan.

Jauzan dan Elvina sudah berjalan jauh di depan. Sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan perempuan itu. Bahkan, tidak peduli dengan keramaian yang mereka ciptakan.

“Gue ada kelas, lo gimana?” tanya jauzan.

“Gue juga masih ada kelas abis ini. Balik bareng ya, Jan.”

“Iya. Gue agak familiar sama tu cewek. Siapa sih?” kata Jauzan.

“Dia adik kelas lo dulu, njing. Gue baru sadar, yang pernah lo bilang itu loh. Stalker lo.”

“Bangsat, ngeri banget.”

“Iya kan, setelah gue perhatiin baru gue sadar. Udah ah sana lo pergi, telat lagi nanti,” usir Elvina.

“Bye, sepupu gue tercinta.”

“Jijik banget lo. Pergi sana.”

Jauzan tertawa dengan respon itu. Pikirnya masalah tentang fake account telah selesai. Sehingga, dia cukup lega.

Saat ini jam menunjukkan pukul 13.00 Jauzan dan Fawnia sedang menuju ke sebuah cafe. Fawnia sama sekali belum tahu apa yang sedang terjadi di twitter sekarang. Sedari tadi Jauzan terus mengajaknya bicara, agar tangannya terlepas dari handphone.

“Zan, sekarang aku udah ga sendiri lagi,” kata Fawnia sambil mengelus perutnya. “Tapi, masih rata banget ga sih. Apa aku kurang makan ya?”

“Masih kecil emang kan baru beberapa minggu, Awni,” jawab Jauzan. “Kita ke cafe aja atau mau cari tempat makan?” lanjutnya bertanya.

“Cafe aja, Zan. Aku belum pengen makan.”

“Katanya kurang makan, tapi ga pengen makan. Gimana sih, Awni?” kata Jauzan mengacak rambut Fawnia.

“Hehehe, ntar aja deh. Belum lapar. Nanti malem kita nyari makan ya. Aku pengen yang kuah-kuah gitu.”

“Iya, Awni.” Jauzan tersenyum. Keduanya menikmati percakapan-percakapan sederhana yang dilakukan. Kemudian, terlintas sesuatu di kepala cantik Fawnia.

“Zan, aku pengen namain dia deh. Apa ya? Aku masih kaget akhirnya ada nyawa lain di badan aku. Menurut kamu namain apa ya?”

“Nyawa?”

“Iya, nyawa. I mean selama ini di perutku isinya lemak doang,” kata Fawnia tertawa.

“Lucu aja kamu panggilnya nyawa. Biasa kan bayi atau janin gitu.”

Tiba-tiba Fawnia terpikir sesuatu, “gimana kalau aku namain nyawa aja, lucu ga?”

Jauzan menganggukan kepalanya semangat. “Iya, lucu kok, Awni.”

Mobil berhenti di sepetak parkiran, di samping parkiran tersebut ada sebuah cafe kecil.

“Ayo turun, Awni. Udah sampe nih,” kata Jauzan menengok ke arah Fawnia dan tersenyum.

“Ayooo.”

Keduanya turun dari mobil, berjalan dari parkiran dan masuk ke dalam cafe. Keduanya memilih untuk duduk di outdoor ingin mencari udara segar katanya.

“Ayo kita buat kenangan,” kata Fawnia.

“Mau aku fotoin?”

“Pasti mau dong.” Fawnia berkata sambil memamerkan deretan gigi rapinya.

“Yaudah, hp kamu sini.”

Merasa puas telah mengambil beberapa foto, keduanya kembali duduk tenang dan mengobrol seperti biasa. Saling bertukar informasi mengenai diri sendiri. Untuk lebih mengenal satu sama lain. Obrolan-obrolan kecil tidak berbobot pun mereka lakukan.

“Dari banyak foto tadi aku paling suka foto yang ini,” kata Fawnia menunjukkan salah satu foto yang diambil oleh Jauzan. “Aku upload ke twitter ya ntar malam.”

“Iya upload aja, Awni.”

“Udah jam 3 nih, Zan. Aku udah laper hehe.”

“Yaudah, ayo cari makan. Mau kemana?” ajak Jauzan.

“Bebas aja.” Fawnia tersenyum, entah kenapa hari ini dia banyak tersenyum.

Jam menunjukkan pukul 15.30 atau setengah 4. Terlalu gelap untuk makan siang, tetapi terlalu terang untuk makan malam. Keduanya makan di salah satu restoran, kali ini bukan fast food melainkan rumah makan chinese.

Hingga, tanpa sadar matahari mulai meninggalkan tempatnya dan melukiskan warna oranye pada langit.

Jauzan melirik jam tangannya yang garis panjang dan pendeknya di angka 6. “Ayo kita balik, nanti udah makin gelap lagi.”

“Biasanya juga sampe malam, Zan.”

“Iya, tapi hari ini kita jalannya dari pagi, Awni. Ayo pulang, biar kamu bisa istirahat.”

Keduanya berjalan pergi menuju mobil yang terparkir, “eh, aku labil deh mau upload foto. Menurut kamu 1 aja atau 2 foto ya?” tanya Fawnia sambil berjalan melewati dedaunan di sampingnya, tak lupa tangannya membelai dedaunan itu.

“1 aja nanti aku yang upload 1-nya lagi. Jadi 2 kan?”

“Hahahaha, Zan. Boleh deh, nanti aku retweet,” candanya.

Keduanya masuk ke dalam mobil, tanpa tahu bahwa sudah ada 1 foto Fawnia beredar di twitter. Foto yang entah diambil dari mana oleh orang tersebut. Bukan 2 foto Fawnia saja yang akan ada di twitter hari ini, tetapi 3 foto.

Setelah mengantarkan Fawnia, Jauzan mengecek handphone-nya. Melihat apa akun tadi masih berbuat sesuatu. Dia mencari akun dengan username @fansjauzan tersebut, tetapi yang ditemukannya adalah akun itu telah berganti nama. Kemudian mengunggah foto milik Fawnia. Jauzan turun dari mobil dan ingin memberi tahu Fawnia untuk tidak melihat handphone-nya. Tetapi, perempuan itu sepertinya sedang mandi. Karena, tidak ada respon yang diberikan dari dalam rumah.

Jauzan dengan cepat mengirimkan balasan pada tweet tersebut. Berharap tweet tersebut dihapus sebelum Fawnia melihatnya. Kemudian, dia pulang ke rumahnya. Selama libur ini dia memilih untuk tinggal di rumah. Dibandingkan, kosannya.

Elvina sampai di rumah Fawnia. Dia mengetuk pintu rumah itu, berharap segera dibuka. Pintu terbuka memperlihatkan laki-laki yang merupakan sepupunya. Matanya merah.

“Di mana Awni?” tanya Elvina. Pura-pura tidak peduli dengan Jauzan. Walaupun dia ingin memeluk sepupunya itu.

“Tidur, dia capek nangis kayanya,” kata Jauzan berusaha tertawa.

You ok?” Akhirnya Elvina menanyakan perasaan Jauzan.

Jauzan hanya menganggukan kepalanya.

Hari itu Elvina menemani Fawnia sampai tengah malam. Untung saja dia benar-benar tidak ada kerjaan. Kampus pun masih libur.

“Awni, Elv makan dulu ayo.” Jauzan mengetuk pintu kamar Fawnia yang di dalamnya ada dua perempuan tersebut.

“Makan apa, Jan?” tanya Elvina.

“Tadi gue delivery mcd,” jawab Jauzan.

“Ga sehat banget, ada bumil tau.”

“Ya, gue mana tau, Elv.”

Fawnia tertawa melihat interaksi kedua saudara sepupu itu.

“Gue nginep boleh ga, Awni?” tanya Elvina.

“Boleh kok, Elv,” jawab Fawnia.

“Kalau gue?” tanya Jauzan.

“Lo pulang, ngomong sama tante dan om. Orang gila,” kata Elvina sinis. “Eh, maksud gue gini Awni.” Kemudian sadar kalau Fawnia mendengar perkataannya.

“Nah, it’s ok. Gue paham kok, Elv.” Fawnia tersenyum. “Nanti lo mau tidur di kamar tamu? Atau kamar gue aja?” lanjutnya.

“Kamar lo aja boleh ga?”

“Boleh.”

Mereka bertiga melanjutkan makan dalam diam. Sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Sampai pada akhirnya selesai makan, Jauzan memutuskan untuk pamit pulang.

“Aku pulang ya, Awni.” Katanya kepada Fawnia. “Gue balik, jagain Awni. Awas lo macem-macem.” Jauzan memperingati Elvina.

“Dih, lo liat kan tingkah aslinya gimana? Kalau gue sih ga mau sama Ojan, mending putusin deh Awni.”

“Hahaha, kita belum pacaran kok, Elv.”

Membuat suasana mereka cukup canggung. Jauzan merasa puas melihat Elvina yang canggung seperti itu. Baru saja ingin pergi, tangan Jauzan ditahan oleh Fawnia.

“Aku boleh ngomong dulu ga?” tanya Fawnia. Merasa dirinya tidak dibutuhkan dalam percakapan, Elvina pergi ke ruang tamu.

“Boleh. Kenapa, Awni?”

“Aku punya 3 permintaan, Zan.” Kata Fawnia.

What?” tanya Jauzan pelan sambil merapikan anak rambut Fawnia.

“Pertama, kalau orang tua kamu ga setuju, aku mohon kamu dengerin mereka ya. Kedua, kalau mereka setuju aku mau kamu ga terlalu berlebihan, tetep ingat prioritas kamu. Ketiga, aku butuh kamu sebagai support system aku, sebagai orang yang bisa aku sandarin. Bisa ga kamu kabulin 3 permintaan itu?”

Jauzan berpikir sejenak kemudian mengiyakan ketiga permintaan Fawnia tersebut.

“Udah kamu tenang aja, aku pulang ya,” pamit Jauzan.

“Iya, hati-hati, Zan.” Fawnia melambaikan tangannya.

Sampai di rumahnya, Jauzan langsung bergegas menemui Mamanya berniat memberi tahu mengenai Fawnia. Tetapi, yang didapatkannya adalah Mamanya yang sedang menangis. Jauzan panik dan segera menghampiri Mamanya.

“Ma, kenapa?” tanya Jauzan panik.

“Ga kenapa kok, Nak. Mama cuma kesal sama tante kamu. Mama minta pengertiannya aja, kita juga butuh uang. Tapi, mama malah dimaki sama dia.” Mama Yani menjelaskan.

“Tante Tia lagi ya? Tante itu kenapa sih? Biar aku yang ngomong.” Jauzan bergegas berdiri untuk pergi, tetapi Mama Yani menahannya.

“Udah, ga usah ya, Jan. Kita tunggu aja dia mau ganti uang-uang itu. Mama sebenarnya ikhlas kok. Tapi, kan kita juga butuh.”

Jauzan tidak pernah suka dengan adik dari Mamanya tersebut. Mulutnya sangat suka nyinyir. Tidak jarang Jauzan dan Elvina mendapatkan hinaan dari tante mereka itu. Apalagi mengenai kebiasaan Jauzan dan Elvina yang sering pergi ke club malam.

“Ojan mau ngomong apa?”

“Ma, ini bakalan panjang dan mungkin Mama bakalan kaget. Juga mungkin Mama ga bakalan setuju. Tapi, dengerin Ojan selesai ngomong ya, Ma?”

Perkataan tersebut malah menimbulkan rasa panik dari Mamanya. “Kenapa, Nak? Kamu kenapa lagi? Ya Tuhan.”

“Ma tenang, Ma. Dengerin aku dulu.” Jauzan berusaha menenangkan Mama Yani. Kemudian menjelaskan semuanya. Menjelaskan mengenai Fawnia yang hamil.

Mama Yani yang mendengarkan terdiam. Bingung harus memberikan respon seperti apa.

“Mah?” panggil Jauzan.

“Beneran bukan anak kamu, Jan?”

“Iya, Ma.”

“Mama bingung, Nak. Kenapa kamu yakin banget?”

“Ma, aku juga bingung. Tapi, aku ngerasa kalau aku ninggalin Awni lagi. Aku bakalan nyesal, Ma.”

“Kamu udah dewasa, Jan. Kamu tau apa yang terbaik buat kamu. Nanti Mama bicara sama Papa kamu ya.”

“Mama ga masalah pacar Ojan hamil anak orang lain?” Benar, mereka memang belum berpacaran. Tetapi, Jauzan selalu mengatakan bahwa Fawnia adalah pacarnya ke kedua orang tuanya.

“Dia beneran dipaksa?” Mama Yani memastikan.

“Iya, Ma.”

“Mama ga tega dengarnya Jan. Kasihan banget anak manis kaya Fawnia harus ngalamin hal ini. Seharusnya mama bangga sama kamu, kamu masih mau terima pacar kamu. Di luar sana banyak laki-laki yang ninggalin pacarnya padahal pacarnya hamil anaknya sendiri. Mama ngerasa udah ngedidik anak dengan benar. Nanti ajak Fawnia kesini ya.”

Jauzan tersenyum dengan sangat lebar, “iya, Ma. Makasih ya, Ma.” Jauzan memeluk Mama Yani dengan erat.

Jauzan yakin dengan pilihannya dan merasa beruntung orang tuanya mau menerima keadaan Fawnia. Dia yakin dapat memenuhi 3 permintaan yang diberikan oleh Fawnia kepadanya. Sangat yakin sampai senyumnya tidak pudar dari wajahnya.

Tahun baru kali ini mereka habiskan berdua. Jauzan dan Fawnia masih berada dalam tahap pendeketan. Fawnia pernah mengatakan bahwa mereka tidak perlu terburu-buru. Jauzan pun setuju dengan hal itu, bisa bersama dengan Fawnia di akhir pekan sudah cukup baginya.

Keduanya menghitung mundur secara perlahan menanti pergantian tahun. “5, 4, 3, 2, 1. Happy new year, Awni.” Jauzan memeluk Fawnia erat.

Happy new year, Zan.” Fawnia membalas pelukan dari Jauzan.

Can I kiss you?” tanya Jauzan membuat Fawnia terkejut dan benar-benar bingung. “Awni?” tanya Jauzan sekali lagi. Fawnia bergumam dan menganggukan kepalanya isyarat setuju. Jauzan tersenyum kemudian menyentuh pelan pipi Fawnia dengan kedua tangannya, memajukan wajahnya membuat Fawnia menutup kedua matanya. Jauzan tersenyum kecil kemudian mencium kening Fawnia.

I will kiss your lips when you already mine.” Membuat Fawnia membuka matanya dan pipinya memerah. “Kok merah sih mukanya,” Jauzan menggoda Fawnia.

“Btw, kamu emang keliatan cape banget sih? Kerjaan banyak ya?” tanya Jauzan sambil mengelus pipi Fawnia.

“Ga juga kok, Zan. Ga tau kenapa berasa cape mulu akhir-akhir ini. Beberapa kali juga mual pengen muntah gitu.”

“Masuk angin kali?”

“Mungkin ya, tapi aku sering pake minyak-minyakkan kok.”

“Lagi datang bulan? Soalnya Elv kalau lagi datang bulan juga males kemana-mana katanya cape. Padahal emang dia yang pemalas,” kata Jauzan tertawa mengingat sepupunya itu.

CW // mention of rape

Fawnia terdiam, kemudian mencoba mengingat kapan terakhir kali dia datang bulan. Badannya mulai bergetar mengingat kejadian mantan kekasihnya yang memaksanya berhubungan badan. Fokusnya hilang, sama sekali tidak mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh Jauzan.

“Awni,” panggil Jauzan. “Ni, you ok? Awni? Hey, what’s wrong?” Jauzan berusaha menarik Fawnia kembali dari lamunannya. “Awni, kamu kenapa?” Terdengar nada panik dari suara Jauzan.

Fawnia kemudian melihat ke arah Jauzan, menangis. “Zan, aku takut. Takut banget.” Fawnia mengatakan itu dengan suara bergetar, bahkan seluruh badannya gemetar hebat.

“Takut kenapa, Awni? Jelasin jangan buat aku panik gini.” Jauzan ikut panik.

“Aku takut,” Fawnia terdiam beberapa detik, “hamil,” lanjutnya sangat pelan, tetapi terdengar oleh Jauzan.

Mendengar itu tubuh Jauzan langsung kaku. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa. Rasanya dunianya baru saja runtuh.

“Aku dipaksa, Zan. Aku dipaksa sama brengsek itu.” Tangis Fawnia histeris. Jauzan yang tadinya diam, berusaha untuk menenangkan Fawnia.

“Awni, kamu tenang dulu ya. Belum pasti kan? Kita test dulu ya.”

Fawnia masih terus menangis. Jauzan pun bingung apa yang harus dia lakukan.

“Awni, kalaupun kamu bener hamil. Aku ga bakal ninggalin kamu, kita sama-sama ya ngurus dia.”

Fawnia menggelengkan kepalanya masih terus menangis. “Ta-tapi,” dengan terbata dan isakan yang masih terdengar, Fawnia berusaha untuk berbicara. “Ini bukan anak kamu, Zan.”

“Aku tau, Awni. Kamu ingat ga kalau aku bilang aku pengen ngelindungin kamu? Anak ini kan juga bagian dari kamu. Pasti bakalan aku lindungin. Malam ini aku beliin testpack dulu. Kamu tunggu ya?” Fawnia hanya menganggukan kepalanya.

Jauzan keluar dari rumah tersebut berniat untuk membeli testpack. Tapi, pikirannya benar-benar kacau. Saat sampai di depan mobilnya, kakinya yang lemas langsung terjatuh. Tadi dia benar-benar berusaha tegar. Walaupun nyatanya berat untuk diterimanya jika ternyata perempuan yang disukainya sebulan terakhir ini mengandung anak dari laki-laki lain. Tetapi, dia bertekat untuk menerima apapun yang terjadi.

Jauzan menunduk dengan posisi berjongkok di samping mobilnya. Laki-laki itu menangis. “Gue harus apa bangsat?” teriaknya tertahan.

Jauzan segera bangkit dan memutuskan untuk pergi ke apotek terdekat. Walaupun jalanan sedang macet dan dia tidak yakin ada apotek yang buka pada tahun baru. Apalagi saat ini masih pukul 00.30.

Dia berkeliling sampai jam menunjukkan pukul 02.30. Tidak menemukan satu apotek pun yang buka. Dia memutuskan untuk kembali lagi ke rumah Fawnia.

Mengetuk pintu itu, terdengar larian dari dalam rumah. “Jauzan?” Fawnia langsung memeluk Jauzan. “I thought you left me alone, again. I’m so scared,” kata Fawnia.

Hey, sorry, Awni. Aku tadi keliling cari apotek yang buka. Ternyata ga ada. Besok aja ya?”

Fawnia menganggukan kepalanya di dada Jauzan, mereka masih dalam posisi berpelukan di depan pintu rumah. “Udah yuk, masuk dulu ya,” kata Jauzan mengajak Fawnia masuk ke dalam rumahnya.

Setelah sampai di ruang tamu, mereka berdua duduk di sofa yang sama seperti tadi. “Kamu bisa cerita ke aku?” Fawnia hanya menggeleng. Dia tidak mampu menceritakan hal-hal itu lagi. Sudah cukup trauma yang dimilikinya, dia belum kuat.

It’s ok. I will always by your side. Jangan takut ya.”

“Kalau orang tua kamu ga suka, Zan? Aku takut banget. Kamu tau kan konsekuensinya berat. Kamu bakalan dibicarin orang-orang, kalau kamu sama aku. Aku ga mau repotin kamu, tapi aku ga yakin bisa kuat kalau ga ada kamu.”

“Aku bakalan bicarain sama mama dan papa. Kamu tenang aja. Aku ga peduli omongan orang-orang, kamu yang paling penting.”

“Tapi, kamu masih kuliah, Zan. Kamu temenin aku aja ya. Jangan ada pikiran buat bertanggung jawab atas aku ataupun anak aku.”

“Tapi, Awni. Aku-“

“Ga, Zan. Aku ga mau jadi penghalang masa depan kamu. Aku udah pikirin semuanya waktu kamu pergi tadi.”

Jauzan diam dan akhirnya dia setuju. “Kalau emang kamu maunya gitu, aku setuju. Tapi, kamu sama sekali ga boleh pergi sama mantan kamu itu lagi.” Fawnia tersenyum pahit, sangat tidak mungkin dia kembali ke laki-laki yang membuatnya trauma itu.

Masalah terus saja datang di antara hubungan keduanya. Tanpa ampun. Dunia seperti puas menguji mereka tanpa henti.

Jauzan menjemput Fawnia jam 7 tepat. Dia ingin mengunjungi beberapa tempat bersama Fawnia di hari natal ini. Setelah sampai di depan rumah milik perempuan itu. Dia cepat-cepat turun mengetuk pintu rumah berwarna coklat itu.

“Iya, tunggu.” Terdengar sahutan dari dalam rumah. Fawnia keluar dengan pakaian yang sangat cantik. Gaun berwarna merah muda itu melekat cantik di badannya. “Kita mau kemana aja hari ini, Zan?” Tanya Fawnia.

Jauzan masih tertegun melihat perempuan yang saat ini berdiri di hadapannya. “Halo? Jauzan?” Kata Fawnia sambil menggerak-gerakan tangannya di depan wajah Jauzan.

“Eh, apa tadi? Aku ga denger, Awni.” Jauzan sadar dari khayalannya. Hal itu membuat Fawnia tertawa.

“Kita mau kemana aja, Zan?”

“Pertama kita ke rumahku dulu, abis itu kamu ikut aku aja. Tenang, ga aneh-aneh kok. Mau ya?”

Fawnia mengangguk, “iya boleh.”

Rumah Jauzan terlihat sangat ramai dari luar. Mereka berdua masuk ke dalam dan menemui beberapa orang anggota keluarga besar Jauzan, termasuk Elvina yang sedang memangku satu stoples berisi kue kering.

“Awniiii,” teriak Elvina. “Ih gue kangen banget sama lo. Ngapain deh lo sama sepupu gue yang ga jelas ini.” Elvina berkata sambil memutar bola matanya.

“Diem lo, tai.”

“Nah, lo denger kan? Dih kasar banget jadi cowo.” Elvina menepuk pelan bahu milik Fawnia.

Kemudian terlihat Mama Yani datang menghampiri mereka bertiga. “Halo temen Ojan ya, ayo masuk ke dalam kita makan.” Ajak Mama Yani.

“Iya, Tante. Nanti bareng Jauzan aja.” Jawab Fawnia canggung.

“Eh, ini sih calonnya Ojan, Tante.” Elvina memulai gosip. Mendengar sebuah gosip, salah satu tante mereka yaitu Tante Tia ikut mendekat.

“Ketemu di mana, Jan? Club malam ya? Cewe ga bener dong?” Jawaban itu membuat semua orang di ruangan terdiam. Fawnia terkejut dengan perkataan tersebut. Elvina yang sedari dulu sangat kesal dengan tingkah tantenya itu, langsung angkat suara.

“Apaan sih, Tan? Anak lo tuh urusin. Sok kaya banget, duit aja ngutang sama Tante Yani. Balikin kali, Tante Yani lebih butuh buat perawatan Om Prima.” Kata Elvina sinis. Sudah sangat lama dia menahan diri untuk berkata seperti itu. Tante Tia selalu saja mengomentari gaya hidupnya dan Jauzan. Mengatakan mereka anak-anak yang masa depannya akan hancur. Menyumpahi Elvina hamil di luar nikah. Masih sangat banyak perkataan menyakitkan yang dilontarkan oleh Tantenya itu.

“Ga usah ikut campur kamu anak kecil.” Tante Tia yang merasa malu mulai meninggikan suaranya.

“Lah? Tante yang ngapain ngurusin urusan anak kecil. Ga tau malu banget sih.” Balas Elvina.

“Mas, lihat anakmu kelakuannya kaya gitu. Ga becus banget sih didik anak.” Merasa kalah dari Elvina, Tante Tia beralih ke Kakaknya yang juga adalah Papa dari Elvina.

“Maksud kamu apa, Tia? Kurangajar skali mulutmu itu. Ini hari natal, harusnya jadi hari yang suka cita. Cuma karena nyinyiranmu malah jadi ngerusak hari bahagia.” Om Yusuf yang merupakan anak tertua dari keluarga itu murka. “Usir saja adikmu yang kurangajar itu, Yani.” Sindir Om Yusuf kepada Tante Tia.

“Zan, ini kok jadi ribut sih? Karena aku ya?” Fawnia berbisik ke Jauzan.

No, no. Emang Tante Tia suka bikin keributan. Ayo kita ke belakang aja, makan. Biarin nanti mereka yang selesain masalahnya.

Keduanya pergi ke meja makan yang ternyata di sana ada Papa Prima (Papa dari Jauzan). “Siapa itu, Jan?” Tanya Papanya.

“Cewek Ojan, Pa.” Mendengar jawaban dari Jauzan, Fawnia sontak menengok ke arah Jauzan. “Becanda, Pa. Walaupun pengennya sih serius.”

“Kamu itu jahil banget, Jan.” Kata Papa Prima paham dengan kelakuan anaknya. “Siapa nama kamu, Nak?” Tanya Papa Prima.

“Fawnia, Om.” Jawab perempuan itu pelan, dia masih malu dengan jawaban yang diberikan Jauzan tadi.

“Cantik kan, Pa?” Tanya Jauzan dengan nada sombong.

“Iya, cantik. Kok mau sih sama Ojan?”

“Dih, najis. Sama anak sendiri kaya gitu.” Kata Jauzan.

Fawnia merasa canggung berada dalam situasi ini. Dulu dia dengan orang tuanya tidak dapat bercanda seakrab ini.

“Udah ah, Pa. Kita makan dulu ya. Papa udah minum obat kan?” Jauzan memastikan.

“Iya, udah. Sana kalian makan yang banyak.” Usir Papa Prima.

“Permisi, Om.” Pamit Fawnia. Papa Prima hanya tersenyum dan menganggukan kepala sekali.

Keduanya mengambil makanan dan duduk di taman belakang rumah Jauzan. “Papa kamu sakit, Zan? Btw, nama panggilan kamu emang Ojan ya?”

“Eh iya sakit, tapi papa kuat kok orangnya. Btw iya nama panggilanku di keluarga emang Ojan. Lucu ga sih?” Katanya tertawa.

“Semoga cepat sembuh ya buat Papa kamu. Nama kamu lucu kok, bagus.”

“Amin, makasih doanya, Awni. Kalau namaku bagus kamu ambil aja.”

“Apasih,” kata Fawnia tertawa.

Kemudian keduanya diam dan menikmati makanan masing-masing.

“Abis ini kita mau kemana?”

“Aku punya 2 tempat lagi yang mau aku datangin sama kamu, Awni. Sebenarnya banyak sih, tapi hari ini 3 aja. Kamu mau ga?”

“Mau dong. Aku udah ngeiyain dari kemarin-kemarin tau, Zan.”

“Hahaha, iya juga.”

“Yaudah, abis makan kita pergi ya, Awni.”

“Iya….”

Keduanya menghabiskan makanan dan berpamitan kepada kedua orang tua Jauzan, termasuk ke beberapa anggota keluarga lain. Elvina sudah pulang lebih dulu, karena kejadian tadi. Tante Tia juga tidak terlihat, mungkin dia juga telah pulang karena menanggung malu.

Tempat kedua yang didatangi oleh mereka adalah gereja tua yang terawat. Mereka mengikuti ibadah, setelah itu keduanya berjalan di taman yang ada di sekitar gereja. Sekarang waktu menunjukkan pukul 3 lewat 30 sore. Matahari tidak begitu terik.

Beberapa kali mereka berfoto untuk diunggah ke media sosial. Setelah puas mereka melanjutkan perjalan ke tempat terakhir. Tempat terakhir adalah pasar malam. Pilihan yang tertebak. Tapi, di situ letak fun-nya. Di saat Fawnia memikirkan tempat-tempat unik dan berbeda untuk didatangi. Jauzan memilih tempat yang gampang ditebak.

Keduanya menghabiskan waktu dengan bahagia. Tiba-tiba Fawnia berkata, “kamu ga ketebak banget, Zan.”

“Emang aku kenapa?” Kata Jauzan tertawa.

“Ya ga ketebak. Eh kita naik komidi putar aja ya. Ayo, kita foto buat kenangan yang banyak.”

“Kenangan?” Jauzan memastikan.

“Iya, kenangan itu berharga tau, Zan. Kadang kita ga sadar kurang punya kenangan sama orang yang kita sayang. Nanti udah kehilangan deh baru sadar, kalau kenangan kita kurang. Makanya, aku pengen buat kenangan yang banyak.”

Jauzan tersenyum, dia bahagia. Dia mengartikan bahwa Fawnia menganggap dirinya termasuk dalam “orang yang kita sayang”.

“Ayo, Awni. Kita buat kenangan yang banyak.”

Keduanya, membuat kenangan untuk disimpan bersama. Sebagai penanda. Sebagai pengingat.

Sudah 3 minggu berlalu setelah Jauzan dan Fawnia memutuskan untuk tidak saling mengenal, walaupun kenyataannya mereka juga belum begitu mengenal satu sama lain.

Dalam kurun waktu 3 minggu sangat banyak hal terjadi pada mereka berdua. Jauzan sendiri baru saja menyelesaikan UAS-nya. Menandakan bahwa dia akan segera memasuki semester 4. Hal lain yang terjadi menyangkut keluarganya.

Ayahnya berhenti bekerja karena harus menjalani perawatan. Sedangkan, ibunya yang sejak awal adalah ibu rumah tangga harus memutar otak untuk mendapatkan uang.

Maka dari itu dengan modal nekat dia ingin membantu ekonomi keluarganya. Mengajak teman-temannya untuk membuka bisnis bersama.

Keluarga Jauzan bukan keluarga tidak mampu. Tapi, tidak mungkin mereka hanya akan bertumpu pada harta benda yang tersisa.

Di sisi lain, Fawnia benar-benar telah lepas dari kekasih brengseknya itu. Dia kembali menjalani hidupnya sendiri. Sama seperti sebelum bertemu dengan mantan kekasihnya.

Selama 4 tahun dia hidup sendiri, orang tuanya telah lama meninggalkannya. Tepatnya, meninggal dunia. Keluarga besar tidak ada yang ingin mengurusnya. Menurut, mereka Fawnia sudah ada di usia untuk hidup mandiri. Tetapi, semandiri apapun hidupnya Fawnia tetap membutuhkan sandaran.

Dia tidak kuliah, karena takut warisan yang ditinggalkan orang tua-nya akan habis begitu saja. Perempuan cantik itu memilih untuk bekerja di usianya yang baru menginjak 18 tahun. Kemudian, bertemu dengan mantan kekasihnya yang saat itu adalah seniornya di tempat kerja.

Fawnia bukanlah sosok perempuan yang sering pergi ke tempat malam. Dia memilih untuk menghabiskan waktu di rumah atau berjalan di taman. Malam itu (pertemuan pertama Fawnia dan Jauzan) dia pergi ke sana karena mendengar kabar kekasihnya yang sering pergi ke tempat itu. Hal itu membuatnya murka, terutama saat melihat kenyataan kekasihnya bercumbu dengan perempuan lain.

Bahkan, saat Fawnia melabrak mereka, kekasihnya itu tampak tidak peduli. Tetapi, saat pulang dari tempat itu. Laki-laki itu menampar Fawnia. Benar-benar menyiksanya dan mengancam akan membunuhnya jika berani datang lagi ke tempat malam itu. Fawnia merasa takut, tapi dia bingung bagaimana cara lepas dari kekasihnya itu. Ide gila muncul di kepalanya, ketika mengingat laki-laki (Jauzan) yang sempat bertatapan mata dengannya di club malam itu.

Itulah alasan dia memilih memeluk Jauzan saat kembali ke sana (pertemuan kedua Fawnia dan Jauzan). Ingin menunjukkan kepada kekasihnya. Dia sadar tingkahnya salah, tapi sama sekali tidak peduli. Dia terlanjur sakit hati. Fawnia tidak berani meminta putus, karena takut akan dipukuli lagi. Pikirnya, jika dia mengatakan memiliki kekasih lain, mantannya itu akan meninggalkannya. Tetapi, respon yang diberikan berbeda. Membuat Fawnia ketakutan dan sadar bahwa dia akan mendapat pukulan seperti minggu lalu.

Kemudian, di minggu ketiganya pergi ke tempat itu, saat itu juga penyiksaan paling parah terjadi (pertemuan ketiga Fawnia dan Jauzan). Membuat perempuan cantik itu hancur sehancur-hancurnya. Perasaan bahagia dan sakit bercampur aduk. Bahagia akhirnya lepas dari brengsek keji, sakit karena pukulan-pukulan yang diterimanya.

Selain itu, ada satu perasaan lain yang dirasakan Fawnia. Rasa sesal saat mengatakan untuk ‘tidak saling mengenal’ kepada Jauzan. Penyesalan menyelimutinya.

Sekarang, 3 minggu telah berlalu dan bagaimana pun dia harus tetap hidup. Dia bersyukur mantan kekasihnya itu telah dipecat karena kinerjanya yang terus turun. Sehingga, Fawnia tidak perlu takut dan canggung bekerja di kantornya sekarang.

Pulang kantor, Fawnia memutuskan untuk singgah sebentar ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Sampai di supermarket itu Fawnia berjalan tanpa memedulikan orang di sekitar. Tanpa sadar dia baru saja berpapasan dengan seseorang yang 3 minggu lalu membantunya.

Jauzan menelan salivanya dan napasnya tertahan saat melihat Fawnia melewatinya begitu saja. Jauzan semakin yakin bahwa Fawnia benar-benar tidak ingin mengenalnya. Merasa kecewa, Jauzan ingin segera pergi. Tetapi, matanya sekali lagi melirik ke arah Fawnia.

Hati dan otak Jauzan bertengkar, yang satu ingin mendatangi dan menyapa Fawnia. Sedangkan, satunya memilih untuk meninggalkan Fawnia sendiri. Kali ini hatinya yang menang. Jauzan pergi menghampiri Fawnia yang terkejut saat ditepuk bahunya. “Awni?” panggil Jauzan lembut.

“O-oh, hai Jauzan?” jawab Fawnia sedikit gugup. “Kamu ngapain di sini? Eh bad question udah jelas kamu pasti belanja.” Fawnia berusaha untuk mencairkan suasana, dia masih ingat betapa dingin perkataannya kepada Jauzan terakhir kali.

“Kamu?” tanya Jauzan heran karena Fawnia tiba-tiba menggunakan aku-kamu.

“Maaf, maksudnya lo.” Fawnia kalau gugup pasti keceplosan aku-kamu. Karena pada dasarnya dia hanya perempuan polos.

I’m fine with aku-kamu. If you don’t mind.” kata Jauzan tersenyum. Senyuman Jauzan membuat Fawnia menganggukan kepalanya.

“Kamu,” Jauzan sedikit menjeda pertanyaannya tidak yakin harus menanyakan hal tersebut. “Apa kabar, Awni?” tanya Jauzan sangat pelan.

“A-aku baik kok, Zan. Kamu apa kabar?“ Fawnia memaksakan senyumnya.

“Biasa aja hahaha.” Jauzan tertawa. “Awni, kamu beneran ga mau kita dekat ya?”

“Ga gitu, Zan. Tapi, aku takut bawa pengaruh buruk buat kamu,” bantah Fawnia.

Jauzan kembali bertengkar dengan otak dan hatinya. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan kali ini. Akhirnya, dia mengungkapkan perasaannya.

“Aku suka sama kamu, Awni. Dari pertama kali ngeliat kamu. Ga bisa ya kita kenalan dulu?” Jauzan bukan tipe yang akan memohon seperti itu. Berada di samping Fawnia menghilangkan tingkah jahil yang dimilikinya. “Kamu ga mau karna aku masih terlalu muda?” lanjutnya.

“Bukan gitu,” Fawnia tertawa. Sejujurnya dia bingung. Dia takut merepotkan Jauzan. Apalagi orang ini baru dikenalnya dan dia sudah 3 kali merepotkan Jauzan.

“Kita coba dulu, Awni.” Jauzan kembali memohon membuat Fawnia berpikir keras.

“Ok, kita coba. Kenalan aja kan?” Putus Fawnia.

Senyum merekah dari bibir Jauzan. “Beneran?” tanya Jauzan. Fawnia menganggukan kepalanya.

Thank you, Awni.” Jauzan sangat bahagia. “Kamu naik apa ke sini? Aku anterin pulang ya? Kamu tinggal di mana? Ngekos sendiri? Atau gimana?” Jauzan menyerbu Fawnia dengan pertanyaan.

“Satu-satu, Zan. Kita belanja dulu ya.”

“Ah iya, aku sampe lupa kita di supermarket.”

Jauzan dan Fawnia memutuskan untuk perlahan saling mengenal lebih dekat. Mungkin terdengar terlalu cepat, tapi Jauzan yang sejak awal memiliki ketertarikan pada Fawnia, tidak ingin kehilangan perempuan cantik ini sekali lagi. Sedangkan, Fawnia yang merasa berada di goa tergelap seperti baru saja melihat secercah cahaya terang di kegelapan itu. Dia tidak sendiri lagi.

Mama Tari: Mamanya Pamela Papa Dion: Papanya Pamela Mama Agni: Mamanya Johnny Oma Indri: Omanya Johnny

Pamela bersama dengan Papa Dion dan Mama Tari sampai ke restoran tempat mereka akan makan malam bersama. Sedangkan, Johnny bersama Oma Indri dan Mama Agni telah 5 menit lebih dulu sampai di restoran yang sama.

Pertemuan pertama itu tidak begitu canggung, seperti yang telah Pamela bayangkan. Keluarga mereka saling memperkenalkan diri dan juga berbincang banyak topik. Hingga topik mengenai pernikahan akhirnya mulai dibahas.

“Menurut saya mereka berdua sudah cocok banget.” kata Papa Dion. Yang kemudian dijawab oleh Oma Indri dengan semringah. “Iya, saya juga setuju. Pamela dari dulu anak yang baik. Saya suka.”

“Saya juga setuju, walaupun ini pertemuan pertama kali, tapi keliatan kok kalau Pamela dan Johnny sudah cocok dan sudah pas untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi.” Mama Agni ikut dalam pembicaraan.

“Ma,” Johnny berusaha untuk menegur Mama Agni.

“Saya berencana untuk berhenti mengurus bisnis di luar kota kalau memang Pamela dan Johnny jadi menikah. Capek juga saya harus pergi terus menerus. Sampai kita sekeluarga jarang berkumpul di rumah. Hanya beberapa hari dalam sebulan.” Papa Dion sangat dominan dalam pertemuan malam hari ini.

“Hehe, jadi begini karena kita berdua udah tua jadi pengen sedikit istirahat. Tapi, Papanya Pamela emang agak keras kepala. Dia mau Pamela menikah dulu baru mau berhenti ngurus bisnis.” Mama Tari berusaha menjelaskan.

“Begitu ya. Sebenarnya saya juga sudah lama minta John buat menikah. Tapi, ga didengerin sama dia. Pacaran sama Pamela saja tidak ngomong ke saya.” ucap Mama Agni.

Percakapan tersebut didominasi oleh orang tua mereka. Johnny yang merasa seharusnya percakapan ini melibatkan mereka mulai angkat bicara. “Maaf, tapi aku sama Pamela boleh bicara ga, Ma, Pa, Oma? Soalnya ini kan juga tentang kita berdua.” potongnya.

Keempat orang tua tersebut menghentikan obrolannya dan mempersilahkan Johnny berbicara.

Johnny menarik napasnya panjang kemudian mulai bicara. “Aku sama Pamela udah sepakat bakalan ngurus pernikahan mulai bulan depan. Itu bener-bener udah ngurus semuanya. Karna bakalan sedikit overwhelmed, nanti kita minta bantuan juga buat ngurus kaya gedung dan lainnya. Jadi aku sama Pamela minta restu aja kok. Semalam aku juga udah ngelamar Pamela dan diterima. Untuk lamaran resmi ke Papa dan Mama Tari bisa kita bicarain lagi.”

Johnny bernapas lega setelah selesai mengutarakan perasaannya. Sedangkan Pamela menahan napasnya, takut dengan jawaban yang akan diberikan para orang tua itu, terutama jawaban Ayahnya.

Hening.

Mungkin mereka masih mencerna apa yang dikatakan oleh Johnny.

“Masih tahun depan dong, John?” Oma Indri yang pertama kali memecah suasana hening tersebut.

“Iya, Oma.” jawab Johnny.

“Ga bisa 3 bulan aja persiapannya? Biar desember ini kalian bisa menikah.” Papa Dion masih kukuh pada keingannya.

“Pa, itu cepet banget, aku ga mau.” Pamela yang sedari tadi diam akhirnya mulai bicara. Walaupun, kali ini dia tidak menjawab dengan nada berapi-api. Papa Dion hanya memberikan respon dengan berdeham.

“Mama setuju, ikut keputusan kalian aja.” Mama Tari yang tidak ingin terlalu memaksa anaknya menyetujui hal tersebut dengan senyuman.

“Iya, kalau Oma juga setuju dengan keputusan kalian berdua.” Kali ini Oma yang memberikan restu untuk keduanya.

Sedangkan, Mama Agni masih diam sejak tadi. Selama ini dia ingin anaknya segera menikah, agar dirinya tidak merasa kesepian. Dia hanya hidup berdua dengan Ibunya (Oma Indri). Pikirnya jika dia cepat mendapatkan menantu atau bahkan cucu dia tidak akan begitu kesepian lagi.

“Ma?” Johnny memanggil Mama Agni penasaran dengan jawaban yang akan diberikannya.

“Mama setuju. Tapi, mama ada syarat boleh? Mama cuma minta kamu dan Pamela atau kalian sendiri-sendiri ga masalah, buat sering datang ke rumah. Gimana?” tanya Mama Agni.

Johnny dan Pamela tersenyum. “Boleh kok, Ma. Ya kan, Pam?” jawab Johnny kemudian berpaling ke Pamela.

“Iya boleh kok, Tante.” jawab Pamela.

“Kok kamu masing manggil Tante, panggil Mama aja.” ujar Mama Agni.

“Iya,” Pamela terkekeh, “Ma.” Kemudian, dia menengok ke arah Papa Dion. “Papa gimana?”

“Ya sudah, lagian Papa udah kalah suara. Jadi ikut kalian saja.” jawab Papa Dion sedikit tidak senang.

“Makasih, Pa.” ujar Pamela dan Johnny tulus.

“Tapi, untuk lamarannya harus dalam minggu ini.” sambung Papa Dion.

Johnny dan Pamela tau tidak ada gunanya berdebat lagi. Karena tidak mudah untuk Papa Dion mengalah. Maka, mereka berdua menyetujui permintaan itu.

Makan malam pertemuan keluarga mereka berjalan dengan cukup lancar, kendala-kendala dan sedikit perdebatan menjadi bumbu-bumbu pelengkap pada malam hari ini. Setelah, selesai mereka kembali ke rumah masing-masing. 7 bulan merupakan waktu yang panjang, tetapi juga dapat menjadi singkat untuk mereka lalui.

Pamela menyimpan benda kotak yang sedari tadi dimainkannya dan menengok ke arah kekasihnya yang ternyata sedari tadi tidak berhenti menatapnya. Pamela mengangkat kedua alisnya dan bertanya, “Kenapa ngeliatin gitu?”

I’m just looking at my pretty fiancé. Nothing more. Udah selesai bales-balesin reply-nya?” Johnny bertanya sambil mengarahkan tangannya ke kepala Pamela dan membelai sayang rambutnya.

Pamela mengangguk, “Iya udah kok, tadi Nisa juga wa aku nanyain.” katanya tertawa.

“Nanyain apa?” Tangan Johnny masih tidak berhenti membelai rambut Pamela.

“Cara Ka Jo ngelamar aku.” ujar Pamela.

Johnny menganggukan kepalanya paham. “Kamu suka ga sih, Pam? II mean romantis ga sih?”

“Suka banget ih. Romantis kok, pake banget malah.” Pamela masih menunjukkan wajah berseri bahagianya.

“Soalnya kamu kan pernah ngomong pengen dibuatin novel, kaya Jesse ke Celine. Maaf ya aku ga bisa buatin kamu novel.”

What do you mean?! Kamu buatin aku a whole album loh, Ka Jo. Dan aku ga ngomong pengen dibuatin novel juga, I said if I were Celine dan dibuatin novel gitu I would fall for him. Aku ga minta dibuatin novel ih.” Pamela sedikit mendorong lengan Johnny.

Johnny tersenyum dan mencium puncak kepala Pamela. “Thank you, ya Pam. For everything.”

Thanks juga, Ka Jo.” jawab Pamela.

They stare at each other for so long, straight up to their souls. But, before anything happens, Pamela looks away.

“Ayo sekarang kita nonton, selesain season 5 biar kita berdua tinggal nungguin season 6-nya.” kata Pamela mengalihkan pandangan dengan jantung berdebar.

Johnny seperti biasa hanya tersenyum merespon segala perkataan Pamela. “Yaudah ayo.”

TW // Spoiler Peaky Blinders Season 5

Pasangan yang baru saja mengikat janji itu menonton series yang keduanya ikuti, sambil mengobrol banyak hal. Bahkan, beberapa kali terpaksa berhenti menonton untuk berdebat. Bukan benar-benar berdebat, tapi ya seperti itu.

I don’t like Lizzie.” Pamela mengutarakan pendapatnya.

Why?” Johnny look at her.

I just don’t like her.” ujar Pamela dengan nada tidak senang.

Masih banyak perdebatan-perdebatan lain yang menemani waktu mereka.

Ketika sampai di episode terakhir mereka berdua terdiam.

“Gila banget, Ka Jo. Ada yang cepu rencana Tommy dong? Ih keren banget ga sabar season terakhir.”

“Menurut kamu yang cepuin siapa?”

“Ga tau, soalnya bener-bener banyak plot twist

“Hahahaha, iya kan banyak banget. Aku juga bingung deh siapa.”

“Coba liat Tommy sampai detik ini masih dibayangi Grace mulu ya, Ka Jo. It’s because he really loves her atau karena rasa bersalah or what?”

I don’t know. But, I think he really loves her.” Johnny memberikan jawaban sederhana.

How can a man really loves his wife, but still having sex with another woman. It’s such a disrespectful way to his wife. Even when his wife already dead.” Pamela benar-benar tidak bisa paham dengan sifat laki-laki yang seperti itu. “I hope you don’t act like that,” bisik Pamela pelan dan memeluk Johnny.

I would never, Pam. Don’t worry to much.” Johnny tertawa karena merasa kekhawatiran Pamela sangat tidak berdasar.

Everything is possible, Ka Jo. I just warn you.”

I got it and I promise you.” Kata Johnny, kemudian mencium kening Pamela.

Setelah cukup lelah berdebat dan membahas series tersebut, merek berdua memutuskan untuk tidur. Rutinitas mereka setiap akan tidur adalah melakukan deep talk atau bahkan random talk. Karena bagi keduanya segala hubungan akan berhasil jika komunikasi lancar.