julietirw

Hari minggu seperti ini taman tujuan mereka berlima cukup ramai dengan keluarga, muda-mudi, bahkan lansia. Akhir pekan selalu digunakan untuk berkumpul dengan yang terkasih.

Lovebirds—panggilan Elvina untuk Yordan dan Grizella yang baru jadian—itu telah sampai dengan selamat ke taman. Si perempuan menghubungi salah satu dari mereka untuk meminta bantuan. Jelas mereka membutuhkan bantuan, barang yang dibawa tidak sedikit.

“Jozan, lo ke sini dong. Ini banyak banget makanannya, ajak Finn juga,” kata Grizella berbicara ke telepon genggam yang ada di telinganya.

2 menit kemudian datang 2 laki-laki tinggi yang siap membantu.

“Banyak banget njing,” kata Finn terkejut melihat banyaknya makanan yang ada di mobil.

“Kan lo yang minta,” kesal Grizella.

“Bangsat,” Jauzan tertawa. “Ini sih bisa ngasih makan satu taman,” lanjutnya.

“Gapapa, ntar bagi-bagi aja. Daripada mubazir,” ucap Yordan menenteng 4 plastik—2 di tangan kanan dan 2 di tangan kiri.

“Ini kita harus bolak-balik ga sih?” tanya Finn.

“Harusnya iya,” jawab Grizella. “Mobilnya dikunci aja, ntar balik lagi,” kata Grizella bersiap untuk mengambil kantongan yang berisikan susu.

“Griz, kamu nunggu di sini aja mau ga?” kata Yordan. Laki-laki itu tidak ingin Grizella bolak-balik mengangkat beberapa kantong makanan tersebut.

“Ga usah, aku ikut aja,” tolaknya.

Kedua laki-laki yang juga berasa di situ menunjukkan wajah aneh mereka.

“Gue masih ga percaya lo berdua jadian. Gila keren juga si Yordan bocah kupret,” ledek Finn.

“Iya bangsat. Aneh banget,” kata Jauzan.

“Sirik aja lo pada,” kata Grizella tidak terima. Sedangkan, Yordan tertawa kecil.

“Gapapa deh kamu ikut, tapi abis itu ga usah balik lagi ya. Nanti aku, Jauzan, Finn aja yang balik buat ngambil lagi. Gimana?” tanya Yordan.

Grizella sedikit berpikir.

“Udah ikut aja kata Yordan, ayo buru ntar kemalaman,” ucap Jauzan.

Akhirnya, Grizell mengikuti perkataan sang pacar untuk duduk menunggu bersama Elvina. Keduanya membahas banyak hal terutama mengenai kisah asmara Grizella yang baru saja mulai.


Sore itu merupakan impian Grizella sejak lama. Rasanya ia ingin menangis terharu dan bahagia. Tetapi, dibandingkan menangis dia memilih untuk tertawa dengan lepas karena kebahagiannya.

Piknik di taman mungkin terdengar remeh jika disebut sebagai impian sejak kecil. Tetapi, itu kenyataan yang ada pada Grizella.

Benar-benar menyenangkan baginya. Hari-harinya terlalu bahagia sampai dia bingung dan mempertanyakan kenyataan hari ini.

“Kita beneran piknik ya?” tanpa sadar pertanyaan itu lolos darj mulut Grizella. Ketiga teman dan pacarnya tertawa mendengar perkataan spontan itu.

“Iyaaa, Griz,” jawab Elvina. “Ini dimakan dulu buahnya.”

Kelima teman dan 1 pasangan itu menikmati berbagai jenis makanan, minuman, dan cemilan yang ada di atas kain yang juga mereka duduki.

Satu-persatu mulai kehilangan rasa laparnya. Digantikan perut yang sedikit membuncit. Ternyata makanan yang mereka bawa benar-benar terlalu banyak. Sehingga, mereka memutuskan untuk membagi-baginya. Terutama kepada para homeless yang ada di dekat taman.

Setelah itu, mereka lanjut bermain bersama. Ada banyak games yang dimainkan untuk menghabiskan waktu. Mereka memutuskan untuk tidak menyentuh handphone sampai piknik selesai. Alasannya sangat sederhana, yaitu quality time.

Sebelum hari benar-benar berakhir mereka memutuskan untuk sedikit berfoto-foto di sekitar situ. Tetapi, Yordan terlihat sedikit panik saat memerikaa handphone-nya.

“Gue mau nelpon ya. Ga lama kok,” katanya kepada teman-temannya itu. “Aku ga lama ya,” pamit Yordan ke Grizella.

Selepas mengangkat telepon, Yordan kembali berkumpul dengan mereka. Tersenyum.

“Siapa, Dan?” tanya Grizella penasaran.

“Mami aja,” jawab Yordan santai.

“Kamu ga dimarahin kan?” tanya Grizella takut.

“Enggak, sayang.” Grizella kaget dengan pernyataan Yordan itu dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi.

“Aku ke sana bentar ya,” Grizella izin untuk bermain dengan anjing milik salah satu pengunjung.

Yordan menghembuskan napasnya panjang. Pikirannya berat setelah mendengarkan telepon dari sang mama. Bingung. Tetapi, dia memutuskan fokus pada hari ini.

Yordan dan Grizella saat ini tengah berada di dalam mobil. Siang tadi Yordan menjemput perempuan itu dan dibawanya keliling, mengitari kota. Tak lupa Yordan mengajak Grizella untuk makan siang.

Keduanya menghabiskan waktu di jalanan, menikmati keadaan tersebut. Yordan sempat berpikir bahwa mereka akan canggung karena emoticon yang dikirimnya semalam, tetapi ternyata dia salah besar. Mereka sudah terlalu nyaman satu sama lain, hingga tidak ada rasa canggung.

Waktu telah menunjukkan pukul 6 sore, terlihat juga dari matahari yang telah hilang sejak tadi.

“Sekarang mau kemana?” tanya Grizella.

“Mau ke studio gue aja gak?” ajak Yordan.

“Boleh, tapi gue mau pizza, Dan.” Yordan terkekeh mendengar itu, ini pertama kalinya Grizella yang pertama kali mengajukan bahwa dia ingin makanan tanpa Yordan bertanya.

“Kok ketawa sih?” heran Grizella.

“Gak. Lo lucu aja.” Grizella tersipu.

“Lucu apaan sih?” katanya malu.

“Ini pertama kalinya lo minta gue buat beliin sesuatu tau. Jadi gue rasa lucu aja,” ungkap Yordan.

“Dih, ga mau lagi deh kalo gitu.” Grizella berpura-pura seperti merajuk yang dibalas Yordan dengan tertawa.


Keduanya sampai di studio milik Yordan. Sebelumnya, Grizella belum sempat menjelajahi satu studio itu. Sehingga kali ini dia memilih untuk meneliti semua barang-barang di ruangan kecil itu.

“Griz, ada yang mau gue sampein,” ucap Yordan.

Grizella menelan salivanya. “Boleh gue dulu ga, Dan?” tanyanya.

Yordan menganggukan kepalanya.

“Gue ga yakin lo bakalan ngeliat gue sama seperti dulu atau ga. Tapi, gue harus cerita ini. Gue harap lo mau dengerin ya.” Yordan kembali menganggukan kepalanya.

Grizella menarik napasnya panjang mulai bercerita. “Orang tua gue itu bukan orang tua yang baik, Dan. Dari umur gue 4 tahun gue udah sering ngeliat bentuk pengkhianatan dalam hubungan. Mereka masih sama-sama. Statusnya masih suami-istri, tapi punya pasangan masing-masing. Lo inget waktu gue bilang ada orang tua gue di rumah itu dan gue minta lo jemput gue?”

Tentu saja Yordan ingat, jadi dia menganggukan kepalanya.

“Gue mau minta maaf lagi ya waktu itu kayanya gue kasar banget. Tapi, gue beneran lagi kalang kabut banget. Orang tua gue datang dengan pasangannya masing-masing. Setelah 4 tahun mereka ninggalin rumah, mereka selalu balik setahun sekali. Tapi, selalu bawa pasangannya masing-masing.” Grizella sedikit menarik napasnya.

“Kak Lio juga pernah bilang kalau pasangan mereka selalu gonta-ganti.” Perempuan itu menghembuskan napasnya dan terkekeh. “Kacau banget kan? Ga kaya keluarga lo, Dan.”

Yordan refleks menggelengkan kepalanya, “ga-“ Grizella langsung memotong kata-kata Yordan.

Please, dengerin gue dulu ya, Dan,” mohonnya.

“Ok.”

“Kemarin gue ketemu mereka, gue mau sembuhin diri gue dulu. Sebelum gue yakin buat buka hati dan mulai hubungan lagi. Tapi, ga berjalan baik, Dan.”

Jantung Yordan langsung berdegup kencang. Pikiran-pikiran buruk langsung menghampirinya. Dia tidak yakin bahwa hari ini akan berhasil.

“Tapi,” lanjut Grizella.

Yordan langsung mengembalikan fokusnya. Kembali mendengar tutur kata Grizella.

“Gue sedikit lega. Gue juga sadar bahwa semua itu karena orang tua gue yang egois. Sepertinya gue udah siap, Dan.” Kalimat terakhir dari Grizella sedikit ambigu di telinga Yordan.

“Siap?”

“Iya. Gue siap buat mulai hubungan sama lo,” ucap Grizella yakin.

Wait, lo nembak gue?”

“Eh, bukannya lo yang nembak gue di chat lalu ya?”

“HA? Kapan?” tanga Yordan panik.

“Lo nanya gue udah yakin belum sama lo. Iya, kan?” tanya Grizella.

“Belum, Griz. Gue malah mau nembak lo hari ini. Tunggu. Kok jadi gini sih.” Yordan sedikit kalang kabut dan panik. Grizella langsung tertawa keras.

“Griz, jangan ketawa dong. Duh, tunggu gue harus ngasih tanggapan dulu.” Kata Yordan makin panik. Sedangkan, tawa Grizella makin kencang.

“Hahahaha, iya iyaaa,” katanya berusaha berhenti tertawa.

“Griz, buat gue lo hebat, kuat, dan berani. Gue yakin butuh waktu lama buat lo niatin semua ini. Dari ngomong ke orang tua lo. Mencoba buka hati buat gue. Pasti ga mudah ya?” kata Yordan mengambil tangan Grizella dan mengelusnya.

“Jangan merasa bahwa lo ga cukup baik, cuma karena keluarga lo seperti itu. Yang penting buat gue itu cuma lo. Bukan keluarga lo.”

Grizella terdiam kaget dengan respon itu. Pikirnya Yordan akan merasa tidak nyaman dengan keluarganya yang seperti itu.

“Pokonya percaya gue ya, Griz?”

“Iya, Dan.”

“Sekarang giliran gue ga sih? Lo udah siap belum?” tanya Yordan.

Sebenarnya sejak tadi tangannya dipegang oleh Yordan jantung Grizella sudah berdetak tidak karuan. Tetapi, perempuan itu menganggukan kepalanya mantap.

“Kita nonton dulu ya?” ajak Yordan.

“Kok nonton sih?” Grizella heran.

“Udah nonton aja ya.”

Yordan memutarkan salah satu film—mungkin bisa lebih cocok dikatakan video singkat—yang dibuatnya. Film berdurasi 2 menit itu diberi judul ‘10 Things I love About You’.

Sepanjang menonton video tersebut Grizella menahan air matanya. Dia terharu dan kagum. Ternyata ada seseorang yang bisa mencintai dia sedalam itu.

Grizella sedikit tertawa dengan tulisan penutupan dari Yordan di video tersebut. Yordan ikut tersenyum.

“Griz, gue beneran serius sama lo dan semua yang gue omongin di film itu benar-benar serius. Gue ga maksa lo buat jawab sesuai yang gue mau. Tapi, kayanya gue udah tahu jawabannya,” kata Yordan sedikit menggoda Grizella.

“Jadi gue jawab ga nih?” kata Grizella ikut menggoda, tak mau kalah.

“Hahahahaha, jawab dong.”

“Eh, kayanya tadi lo pake ‘aku’ deh. Kok tiba-tiba gue lo lagi,” goda Grizella.

Yordan panik, “eh itu,” katanya.

“Hahahahaha, iya aku mau, Dan,” kata Grizella.

Mendengar jawaban Grizella membuat jantung Yordan seperti jatuh ke kaki. “God, thank you so much, Griz.” Tanpa disadarinya air matanya menetes.

“Kok kamu nangis sih, Dan?”

“Griz, jangan gitu gue malu.”

“Oh masih mau gue lo nih?”

“Eh ga, maksud gue, eh maksud aku,” kata Yordan panik.

Grizella langsung memeluk pacarnya tersebut. Iya, pacarnya. Keduanya sekarang telah resmi berpacaran.

“Aku sayang kamu, Griz.”

“Aku juga sayang kamu, Dan.”

Hari ini resmi menjadi hari bahagia mereka berdua. Kesampingkan seluruh masalah yang ada. Sabtu ini cukup untuk mereka berdua. Hari sabtu bahagia untuk Yordan dan Grizella.

Grelio menjemput Grizella di rumah yang keduanya tinggal—walau Grizella lebih sering sendiri di rumah itu. Rumah yang telah lama ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Perjalanan menuju ke salah satu hotel besar di kota itu memakan waktu sekitar 20 menit. Beruntung mereka berangkat lebih awal, sehingga jam baru menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit.

Grizella telah duduk manis di salah satu meja yang berada di samping jendela restoran. Tangannya dingin. Panic attack yang dimilikinya perlahan menyerang. Grelio yang paham akan hal itu, langsung mengenggam tangan milik adiknya tersebut.

“Tarik napas, Griz.”

“Kak, gue ga siap.” Grizella bersiap untuk berdiri, tetapi Mamanya telah berada di hadapan mereka.

Perlahan Grizella melihat ke atas, melihat sosok yang melahirkannya dan juga sosok yang menyakitinya. Bukan secara fisik, tetapi secara mental. Grizella merasakan napasnya tercekat. Rasa bencinya kembali memuncah.

Beberapa detik hanya saling bertatapan, Grelio mempersilahkan Mama Andin untuk duduk. Sedangkan, Grizella memilih untuk menatap ke luar jendela.

Hening.

Tidak lama dari keheningan tersebut Papa Mandala datang menghampiri meja mereka dengan tersenyum. “Apa kabar, Griz?” sapanya. Yang ditanya hanya diam.

“Kamu itu kenapa sih? Berhenti bertindak kekanakan seperti itu, Grizella.” Grizella terkejut dengan bentakan dari Papanya.

“Dad,” tegur Grelio.

“Kenapa Grelio? Berhenti bela adik kamu ini. Dia udah besar gini, sudah cukup saya memahami tindakannya. Kali ini dia kan yang minta ketemu,” ucap Papa Mandala.

“Tapi, kamu bisa lebih halus sama anak kamu sendiri,” sindir Mama Andin.

“Ah sudahlah. Sekarang kamu ngomong ada apa?” tanya Papa Mandala. Tentu pertanyaan tersebut ditujukkan untuk Grizella.

Grizella yang sedari tadi menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis mulai menarik napasnya dalam.

“Aku ingin minta permintaan maaf dari Mom dan Dad,” tegasnya.

“Maksud kamu apa, Griz?” tanya Mama Andin. Sedangkan, Papa Mandala hanya melengos.

“Minta maaf karena kalian aku sakit. Hati aku sakit. Mental aku sakit. Aku ga percaya sama cinta lagi,” kata Grizella menangan tangis.

“Itu bodohmu,” desis Papa Mandala.

“Dad, jangan gitu lah. Katanya mau bicara yang baik sama Griz.” Grelio tidak terima dengan tanggapan Papa Mandala.

“Kalian ga tau gimana menderitanya Grizella selama ini. Dia-“ belum sempat Grelio menyelesaikan kalimatnya Grizella menahan lengan Kakaknya itu.

“Aku harus minum obat karena kalian. Tau ga? Umur 4 tahun aku harus ngeliat Mom yang bawa laki-laki lain ke rumah. Bukan hanya itu, aku harus ngeliat Dad ciuman dengan perempuan yang masih cukup untuk aku panggil kakak. Tau ga kalian buat aku trauma kaya gimana?” Grizella mengatakan semua itu tanpa terputus walaupun dia sangat ingin menangis saat ini.

Tidak semudah itu untuk menahan tangis, buktinya air matanya telah lolos dari pertahanan.

“Kalian egois, demi kesenangan kalian sendiri 13 tahun aku harus mikir bahwa itu hal normal. Harusnya kalian ga perlu ngelahirin aku.” Grizella mulai menangis.

“Kak Lio terluka, tapi juga harus tetap ngurusin aku. Kalian tau ga? Dari aku umur 4 tahun cuma Kak Lio yang ada buat aku. Kalian?” Grizella terkekeh.

“Sibuk dengan hidup masing-masing kan? Kalau pun di rumah kalian cuma bertengkar, bertengkar, dan bertengkar. Ga ada hal baik yang bisa aku ambil dari kalian. Apa sih mau kalian?”

“Bahkan, dengan mudahnya kalian bawa pasangan kalian ke rumah aku dan Kak Lio. Apa yang kalian harapin? Aku nerima itu? Gak akan pernah.” Grizella menarik napas.

“Kenapa kalian ga cerai aja? Egois,” teriak Grizella lantang, tapi tetap menahan amarahnya. Hal itu cukup menarik perhatian banyak orang di restoran.

“Griz, udah ya. Kamu belum siap. Kita balik aja,” ajak Grelio.

“Kamu itu ga tau gimana beratnya jadi orang tua,” balas Papa Mandala.

“Kalian berdua bukan orang tua. Jangan merasa seperti pernah menjadi salah satunya. Kalian patah hati pertama dan terbesar yang aku dan Kak Lio punya. Aku cuma minta permohonan maaf dari kalian dan juga buat kalian segera cerai. Untuk apa kalian masih sama-sama kalau sudah punya pasangan lain,” ucap Grizella.

“Ga usah ikut campur kamu,” balas Papa Mandala acuh tak acuh.

“Kamu ga tau apa-apa, Griz,” kata Mama Andin sangat pelan.

“Kalau gitu jelasin ke aku. Jelasin alasannya. Jelasin.” Grizella kembali histeris yang mengakibatkan perhatian dari semua orang di ruangan tersebut ke arah mereka. Grelio meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.

“Udah ya, kita balik aja ayo.” Kali ini Grelio langsung menarik Grizella dari tempatnya duduk.

Keduanya meninggalkan orang tua mereka yang hanya diam saja di tempat itu.

Sepanjang jalan dihabiskan Grizella dengan tangisan. Grelio memberikan minum dan obat yang telah dia siapkan. Dia tahu bahwa Grizella tidak akan mampu menghadapi orang tua mereka. Dia percaya bahwa Grizella perempuan yang kuat, tetapi dia tidak percaya kepada orang tuanya.

TW // Mentall Illness CW // Panic Attack

Yordan tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Memikirkan cara untuk menyatakan perasaannya. Walaupun sudah tidak terhitung berapa kali dia menyatakan dan jujur akan perasaannya terhadap Grizella. Mungkin maksudnya menyatakan perasaan secara resmi.

Saat ini fokusnya tidak berada di kelas. Pikirannya sibuk berlarian ke sana kemari. Tepatnya pada jam dinding yang ada di depan ruangan. Berharap kelas siang ini segera selesai.

“Sekian hari ini, jangan lupa tugas-tugasnya dikumpulkan lewat situs kuliah,” kata penutup dari dosen mata kuliah Pengantar Teknik Industri. Mendengar itu Yordan langsung segera keluar dari kelas, mengabaikan Jauzan dan Finn yang menatapnya heran.

Yordan segera pergi ke falkutas Grizella dengan mobilnya. Menghubungi dan menunggu perempuan itu datang.

“Dan,” panggil seseorang dari arah belakang Yordan.

“Griz, udah siap?” tanyanya.

Grizella menarik napas panjang. “Iya udah.” Dia menarik pintu mobil dan langsung masuk. Yordan mengikuti Grizella masuk ke dalam mobil.

“Lo gapapa kan?”

“Gapapa gapapa.” Kata Grizella tertawa.

“Mau langsung pergi? Bang Keenan udah di cafe katanya.”

“Iya,” jawab Grizella. Perempuan itu memberikan alamat dan mengarahkan Yordan ke tempat tujuan mereka.

Atmosfer di dalam mobil tenang, keduanya sibuk larut dengan pikirannya masing-masing. Tanpa sadar telah sampai di tujuan.


“Hey, udah sampe lo berdua?” sapa Keenan. Dia tengah asik mencicipi minumannya.

“Griz, gue duduk di depan situ ya.” Yordan menunjuk salah satu meja yang berjarak 4 meja dari tempat Keenan sekarang.

“Ga kejauhan, Dan?” tanya Grizella.

“Gapapa, gue mau lo selesaian semuanya dengan tenang. Gue bakalan perhatiin kalau ada yang aneh,” ucap Yordan.

Grizella hanya mengangguk dan segera menduduki kursi di hadapan Keenan. Yordan berpamitan kepada keduanya dan duduk di tempat yang ditunjuknya tadi.

“Apa kabar, Zella?” kata Keenan memulai percakapan.

“Lebih baik,” jawab Grizella dengan ketus. Dia telah memantapkan diri agar tidak gampang luluh dengan apapun yang akan dikatakan oleh Keenan.

Keenan tersenyum pahit. “Aku mau jelasin tentang itu,” kata Keenan melirik Grizella yang hanya diam.

“Aku dijodohin Griz, sebulan setelah kita pacaran. Aku ga bisa nolak, kalau aku nolak perusahaan keluarga ga bakalan turun ke aku. Jadi aku nerima, tapi aku salah karena ga bisa jujur ke kamu.” Keenan berhenti untuk menarik napas.

“Ga lama dari perjodohan itu, aku langsung nikah dan dia hamil. Aku selalu pengen jujur ke kamu, tapi aku ga bisa Griz. Maaf aku jadi nyakitin kamu.” Keenan tertunduk.

Hening.

“Lo dulu beneran sayang ga sih sama gue?” tanya Grizella.

Keenan mengangkat kepalanya menatap lurus ke Grizella. “Sayang. Gue sayang banget sama lo, Zella,” ungkap Keenan. Dia menekan kata ‘gue’ dan ‘lo’ yang terdengar asing di telinganya saat Grizella yang menyebutkan.

“Gue beneran sayang sama lo dan ga ada niatan gue buat nyakitin lo, Zella.”

Grizella hanya diam, jujur dia merasa cukup sakit mendengar perkataan Keenan.

“Tapi, ternyata pada akhirnya gue tetep nyakitin lo. Padahal gue tau gimana susahnya buat lo nerima gue dulu.” Keenan menunduk dalam terlihat menyesal.

Grizella menarik napas dalam. “Setidaknya lo sadar. Gue pikir lo bakal nyangkal kalau udah nyakitin gue,” lirih Grizella.

“Gue sakit banget, kak.” Untuk pertama kali setelah sekian lama Grizella kembali memanggil Keenan menggunakan embel ‘kak’.

“Dari awal lo yakinin gue, lo yakinin gue kalau lo ga bakalan nyakitin gue seperti orang tua gue nyakitin gue. Lo tau ga betapa hancurnya gue waktu itu?” Dengan mata berkaca Grizella menatap lurus ke mata Keenan. Keenan menunduk.

“Gue harus bolak-balik psikiater karena panic attack. Gue-“ Grizella tidak mampu menyelesaikan perkataannya dan mulai menangis.

Yordan yang sedari tadi memerhatikan keduanya. Langsung berdiri bahkan hampir menjatuhkan kursi yang sedang didudukinya. Dia berjalan cepat menuju meja Keenan dan Grizella, tetapi baru 10 langkah dia melihat Grizella mengarahkan tangannya ke depan. Mengisyaratkan agar Yordan berhenti.

Yordan perlahan berhenti melangkah. Sedangkan, Grizella menatap Yordan dan menggelengkan kepalanya. Putus asa Yordan kembali ke mejanya.

“Gue sakit selama ini sampai gue susah untuk buka hati buat orang lain. Gue bingung. Gue pikir waktu itu semua salah gue. Gue salah milih orang, gue salah karena gue lahir.”

No, don’t,” bisik Keenan.

“Kak, I hope u live your happy life. Makasih udah mau jelasin ke gue. Setidaknya selama sama lo gue happy. Walaupun, sakitnya beneran sakit.” Keenan seperti tidak mampu mengangkat kepalanya.

“Udah ya. Kita udah selesai kan?” tanya Grizella tersenyum.

“Iya, Zella,” jawab Keenan.

“Panggil gue Griz aja ya, Kak,” ucapnya.

Well, if you insist.” senyum Keenan.

So, how’s your life, Kak? Are you happy?” tanya Grizella.

I am, Griz. And I hope you will be happy too,” jawab Keenan. “Gue udah punya anak laki-laki sekarang. Lo mau lihat fotonya ga?” lanjut Keenan.

“Boleh,” jawabnya. “Lucu banget.”

“Namanya Ken.”

“Ken, jangan jadi kaya Papa lo ya,” canda Grizella. Keenan ikut tertawa.

Di meja lain, Yordan cukup tenang melihat Grizella bisa tersenyum. Sedikit panik karena penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.

“Jadi lo sama Yordan gimana?” Keenan berani untuk bertanya hal yang membuatnya sangat penasaran. “Dia tau tentang orang tua lo?”

“Belum, Kak. Nanti gue bakalan ceritain. Gue pengen selesaiin juga masalah gue sama orang tua gue. Ya biar bisa lebih tenang lagi untuk mulai hubungan baru.”

Good. That’s really good. Good luck, ya. I’m rooting for you. Btw, lo udah kenal orang tua Yordan?” tanya Keenan.

“Belum sih. Ada apa emangnya?”

“Hati-hati aja ya, Griz. Gue bisa kenal sama Yordan juga karena mama kita satu tempat arisan. So, it’s just a little warning.

Grizella tampak sedikit bingung. Tetapi, memilih untuk tidak menampakkan kebingungannya.

“Gue balik duluan ya, Griz.” Keenan berdiri dan pamit untuk pergi duluan.

“Kak tunggu,” tahan Grizella. “Terima kasih tapi maaf untuk kedepannya aku harap kita berdua ga pernah ketemu lagi,” lanjutnya.

Keenan terdiam kemudian menghembuskan napasnya panjang. “Ok. Gue pergi ya, take care

Keenan berjalan ke ara pintu, tersenyum saat melewati Yordan. “Gue balik, jaga Griz dengan baik.” Katanya menepuk pundak Yordan.

Panggilan ‘Zella’ yang disematkan oleh Keenan telah hilang. Yordan sedikit lega. Dia memutuskan untum berjalan menghampiri Grizella.

“Gimana perasaannya?” tanyanya sedikit basa-basi. Terlihat jelas raut wajah lega pada Grizella.

Grizella tersenyum. “Better. Gue dapet apa yang gue mau.”

Yordan ikut tersenyum. “Ayo pulang,” ajaknya. Tanpa sadar menyodorkan tangannya kepada Grizella dan diterima oleh perempuan itu.

Grizella sangat puas hari ini. Menurutnya, salah satu masalah besar di hidupnya telah terselesaikan. Yordan ikut puas melihat wajaht bahagia Grizella. Bahkan, menerima genggaman tangan Grizella sampai ke parkiran.

Yordan menghampiri Grizella yang tengah berdiri di depan warung. Kegusaran terpampang di wajah perempuan itu, membuat Yordan heran.

Yordan mengagetkan Grizella, “Griz, udah beli minumnya?”

“Ha? Iya ini satunya buat lo.” Kata Grizella memberikan satu botol minuman isotonik kepada Yordan.

“Yaudah ayo masuk.” Ajak Yordan.

“Dikit lagi boleh ga?” Tolak Grizella.

Yordan menautkan alisnya dan bertanya, “kenapa emangnya? sumpek ya di dalem studio gue?”

“Ga gitu,” katanya terhenti, “gue cuma—“ Grizella kebingungan mencari kata-kata. Dia tidak ingin mengatakan sesuatu terkait mantan kekasihnya itu.

Masih dengan keadaan bingung, suara pintu depan studio yang dibuka terdengar. Membuat keduanya refleks menengok. Terlihat seorang laki-laki berpenampilan menarik dengan ripped jeans yang dikenakannya.

“Oi, Yordan.” Sapa laki-laki itu ke Yordan. Sedangkan, Grizella memilih untuk melihat ke arah jajanan di warung.

“Eh, apa kabar, Bang? Tumben lo kesini lagi, ada apa?” Tanyanya.

“Gue mau ngambil barang-barang di sini aja sih. Soalnya gue, istri, dan anak bakalan pindah ke luar kota.” Laki-laki itu menjelaskan. “Siapa, Dan? Gue kaya kenal” Dia melirik ke arah Grizella.

Grizella sontak terkejut mendengar perkataan itu.

“Oh ini temen gue, Bang Keenan. Kenalin Grizella. Griz kenalan dulu gih, temen gue.”

“Zella?” Panggilan refleks dari Keenan membuat Yordan terkejut.

“Lo kenal, Bang?” Tanya Yordan sangat penasaran.

“Mantan gue, Dan. Kita balik ke dalam aja yuk.” Grizella menjawab pertanyaan Yordan dan dengan cepat menarik tangannya masuk ke dalam studio.

“Griz, gue mau ngomong sama lo.” Teriak Keenan berusaha mengejar mereka berdua. Kaki Grizella terhenti.

“Ga sekarang, Keenan.” Katanya tanpa membalikkan badan. Kemudian kembali berjalan menarik Yordan.


Keduanya tengah duduk di unit studio milik Yordan. Diam.

Terdengar suara Yordan membersihkan tenggorokannya, “ehem.” Membuat Grizella menengok dan mengangkat kedua alisnya—seperti bertanya ada apa.

“Eh, ga Griz. Gue ngerasa aneh aja diem-dieman gini.” Yordan berusaha mencairkan suasana.

I’m sorry. Gue bakalan cerita ke lo.”

“Nanti aja. Kalo lo siap.” Tolak Yordan.

It’s not a big deal, lagian gue udah ga masalah,” kata Grizella, “I think,” lanjutnya tersenyum.

It’s ok, Griz. Nanti lo siap aja.”

No, gue mau cerita sekarang.” Kata Grizella, kemudian menarik napas dalam.

“Keenan itu pacar pertama aku di kampus. Gue bukannya sombong, tapi dari banyak cowok yang deketin gue dia yang paling bisa yakinin gue, Dan.” Yordan tersenyum mendengar itu, masih fokus mendengar Grizella.

“Hubungan kita seru, tapi dia selalu ngomon ga punya media sosial. Awalnya gue ga percaya, tapi kata temen-temennya emang iya. Emang ga punya?” Grizella melirik Yordan.

“Gue ga tau sih, Griz. But, I think iya Bang Keenan ga punya media sosial atau emang jarang pake.”

“Ah udahlah gue ga peduli dia boong itu ga tentang medsos. Gue langsung ke intinya aja. Jadi, waktu gue bantuin Kak Lio nge-handle Kipos, Btw, It’s my brother EO. Gue dapet DM dari customer, and guess who? Itu istri dia. Di mana posisi gue masih pacarnya.

Gue sakit hati, Dan. Kita janjian dan dia bener-bener kaget ngeliat gue. Dia minta waktu buat ngejelasin, but i don’t give it him. Gue ninggalin restoran itu dan ngebiarin karyawan Kak Lio yang ngurusin itu.”

Tangan Yordan mengepal keras. Kaget dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Dan hari ini hari pertama gue ketemu dia, setelah kejadian itu. Udah 6 bulanan sepertinya.” Kata Grizella tersenyum sendu.

You can cry,” Kata Yordan sedikit mendekat ke arah Grizella. “Sorry, but you have my shoulder to cry on.

Tangisan Grizella pecah seketika. Di bahu Yordan, tepatnya dipelukan laki-laki itu.

Tempat tujuan Yordan adalah sebuah dermaga yang di dekatnya ada sebuah taman. Taman itu dipenuhi oleh orang-orang dengan niat berolahraga—sama seperti mereka berdua.

“Gimana, Griz?” Tanya Yordan kepada Griz yang sedang menutup mata dan menarik napas dalam.

“Kaya kata lo. Menyegarkan.”

“Syukur deh,” kata Yordan tertawa. “Gue kalo lagi butuh udara segar, pasti kesini.”

“Gue juga mau kesini nanti. Kalau butuh udara segar lagi.” Grizella tersenyum.

Keduanya saling bertatapan dan menukar senyum. “Mau sepedaan ga?” Tanya Yordan.

“Jangan ketawain gue, tapi gue ga bisa naik sepeda.”

“Kan naik aja, Griz. Gue yang bonceng. Gue ga minta lo yang ngayuh kok.” Yordan tertawa.

“Yaudah, ayo,” ucap perempuan itu, wajahnya memerah.

Menghabiskan waktu bersama Yordan seperti menjadi kebiasaan baru Grizella. Rasanya dia bisa tersenyum lebih lepas dan melupakan masalahnya barang sejenak.


Matahari berada di arah barat menunjukkan tidak lama lagi dia akan tenggelam. Dua anak muda tadi—Yordan dan Grizella—sudah meninggalkan dermaga sejak tengah hari. Saat ini keduanya tengah duduk di salah satu restoran cepat saji. Posisi mereka berhadapan dengan piring kosong.

Thank you so much, Dan. Gue kenyang banget.” Ucap Grizella.

“Yaudah, kita duduk dulu ya. Kalau udah ga begah kita langsung ke studio gue aja.”

“Iya tungguin bentar. Eh, gue boleh nanya ga, Dan? Tapi, lo jangan tersinggung, gue cuma penasaran aja.”

“Ga kok, Griz. Tanya aja. Kenapa?” Kata Yordan tersenyum hangat.

“Lo anak satu-satunya? Maaf kalau ini sensitif buat lo.” Kata Grizella menunjukkan wajah penyesalan.

Yordan mengangguk, “ga sensitif kok. Iya gue anak satu-satunya dan kayanya gue ngerti deh arah pertanyaan lo kemana.” Jawab Yordan melihat tepat di mata Grizella.

Grizella terkekeh, “soalnya lo keliatan deket banget sama mama lo.”

“Iya, Griz. Gue emang deket banget sama mami. Mungkin karena gue anak satu-satunya dan kemana-mana sama mami. Papi juga sih.” Kata Yordan tertawa. “Mami itu suka-“ Yordan terus menceritakan tentang keluarganya.

Ekspresi Grizella berubah menjadi sendu. Keluarga bahagia. Entah sudah berapa lama dia tidak pernah merasakan hal itu. Bahkan, dia jadi bertanya. Apakah dia pernah sekali saja merasakan yang dinamakan dengan “keluarga bahagia”?

“Griz, Griz?” Panggil Yordan. Grizella memfokuskan tatapannya dan tersenyum. “You ok?” Tanya Yordan yang dijawab anggukan dan senyuman.

“Kita mau ke studio lo kan, Dan? Udah yuk gue udah bisa gerak lagi hehehe,” kata Grizella beranjak dari tempat duduknya.

“Iya, ayo,” jawab Yordan ikut beranjak dari tempat duduk itu. Dia tahu ada yang aneh dengan Grizella, tetapi Yordan tetap Yordan. Dia ingin membiarkan Grizella yang cerita padanya. Cukup sekali dia bertanya, tidak ingin memaksa pikirnya.

Grizella sedikit berlari menghampiri mobil yang entah sejak kapan sudah sangat akrab di hidupnya. Tanpa ragu membuka pintu di samping kiri kemudi.

“Langsung jalan aja, Dan.” Paksanya.

Yordan yang heran tidak bertanya satu kata pun. Masih takut dengan perubahan mood Grizella pagi ini.

5 menit pertama keduanya diselimuti keheningan. Walaupun, bukan sekali dua kali mereka berdua sering berada di situasi hening. Bedanya keheningan kali ini diiringi rasa canggung.

Tidak ingin memperpanjang keadaan hening. Yordan memulai pembicaraan secara perlahan, “rumah lo tumben rame banget lagi ada apa sih? atau emang tiap hari minggu rame?” Tanya Yordan ke perempuan yang tengah sibuk merapikan ikatan rambutnya.

“Jarang sih.” Grizella memberikan jawaban yang tidak menjawab keseluruhan pertanyaan Yordan.

“Kalau hari ini rame kenapa?” Tanyanya terus berusaha memastikan.

“Orang tua gue pulang.” Jawab Grizella singkat.

“Wah, seru dong ya akhirnya rame.” Kata Yordan senang yang dibalas dengan kekehan oleh Grizella. Seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Suasana diam lagi, sedikit lebih bernyawa dibandingkan sebelumnya. Tetapi, masih terhirup udara kecanggungan di dalam mobil.

Sadar ada yang tidak beres dengan Grizella, Yordan berusaha meningkatkan keberaniannya untuk bertanya. “You ok?” Ucap laki-laki itu, lebih terdengar seperti memastikan dibandingkan bertanya.

I’m not. Gue minta lo jangan tanya dulu kenapa ya, Dan. Gue juga ga tau, gue ga tau, gue bingung.” Kata Grizella terdengar isakan tertahan dari suaranya yang bergetar.

Yordan menghentikan mobilnya, walaupun hanya butuh waktu 5 menit lagi untuk sampai di tempat tujuan. Dia memerhatikan perempuan itu.

“Kenapa lo pake berhenti segala sih.” Katanya memalingkan wajahnya ke kiri, tidak ingin bertatapan dengan Yordan.

“Kita ganti plan aja ya.”

Yordan memutar mobilnya menjauhi taman tujuan awal mereka untuk berolahraga.

“Lo mau bawa gue kemana, Dan?” Tanya Grizella sedikit bingung.

“Udah ikut aja ya. Ga kalah menyegarkan kok dari olahraga. Malah lo bakalan lebih fresh, percaya gue.” Kata-kata Yordan terdengar sangat menjanjikan.

Grizella yang benar-benar tidak ada tujuan selain menjauhi rumahnya untuk saat ini menerima ajakan Yordan.

“Lo beneran mau seharian main sama gue?” Tanya Grizella tersenyum. Mood-nya membaik dibandingkan tadi.

“Gue bakalan temenin lo, Griz. Pulang dari tempat tujuan gue ini, kita ke salah satu tempat yang sering gue datengin juga mau ga?”

“Kemana emangnya?”

“Studio kecil gitu. Tempat gue ngelukis.” Katanya tersenyum pahit.

“Lo ngelukis juga? What a perfect man.” Ucap Grizella kagum. “Sumpah lo itu pinter belajar dan bisa ngelukis. Keren banget.”

Thanks, Griz. Setau gue lo juga pinter.”

“Ya tetep gak sepinter lo lah.” Jawabnya, sekarang Grizella santai yang sedikit pecicilan mulai kembali.

“Sama aja menurut gue. Padahal lo sering main, tapi nilai lo bagus banget dan katanya lo lumayan aktif si kelas.”

Grizella tertawa terbahak-bahak, “gila, siapa yang bohong ke lo?” Katanya tertawa lebih keras.

“Dosen, Griz.”

“Ha? Serius?” Grizella kaget, tetapi dia kembali tertawa lebih keras dibandingkan sebelumnya.

“Lucu banget bapak ibu dosen kita.” Grizella masih tertawa bahkan terlihat setirik air mata di ujung kelopaknya.

Yordan merasa puas melihat Grizella dapat tertawa seperti itu. Akhirnya, udara canggung tadi menghilang sepenuhnya. Mobil yang dikendarai Yordan terus melaju dengan kecepatan stabil menuju ke arah selatan.

Batang hidung Pamela mulai terlihat, Johnny mempercepat langkahnya untuk menghampiri perempuan itu.

“Pam,” katanya menarik Pamela ke pelukannya. “It’s gonna be ok. Kan kita udah sama-sama tau kalau kamu gampang kecapean. Nanti harus lebih sering istirahat lagi ya.” Johnny berusaha menenangkan Pamela.

Hasil yang mereka terima sebenarnya bagus mulai dari golongan darah yang cocok, tidak ada kelainan darah, tidak ada yang mengidap penyakit menular seksual, penyakit genetik yang dapat mempengaruhi keturanan pun bisa dikatakan tidak ada.

Hanya saja Pamela dapat dengan mudah lelah. Sehingga, harus dapat mengurangi stres yang dimilikinya dan lebih sering beristirahat. Karena kemungkinan Pamela memiliki rahim yang lemah.

Tetapi, dokter mengatakan bahwa hal itu bukanlah masalah besar. Bukan berarti bahwa mereka tidak akan memiliki keturunan. Ada banyak makanan yang dapat dikonsumsi untuk menguatkan rahim.

Pamela yang mendengar semua hasil yang dikatakan oleh dokter terdiam. Dia sadar bahwa dia akan memiliki rahim yang lemah. Tidak jauh berbeda dari sang mama. Hal itu yang menyebabkan Mama Tari dan Papa Dion hampir tidak memiliki Jenggala.

Did you cry?” tanya Johnny melihat mata merah Pamela.

Pamela mengiyakan pertanyaan tersebut. “Aku takut, Ka Jo.”

It’s ok, it’ll be ok. Ga ada yang perlu kamu takutin.” kata Johnny masih memeluk dan mengelus lembut kepala wanitanya.

Pamela mengeratkan pelukannya seperti tidak ingin lepas sedetik pun.

“Kamu mau makan ga? Kita ke apartment aku aja ya. Nanti bisa delivery makanan, sekalian kita nonton. Ok?” Pamela hanya menganggukan kepalanya dalam pelukan.


Perjalan dari rumah sakit ke apartemen milik Johnny tidak memakan waktu banyak. Setelah sampai keduanya segera masuk ke dalam unit.

Pamela langsung duduk di sofa—spot yang paling disukainya di apartemen Johnny. Sedangkan, Johnny pergi ke kamar kecil untuk mencuci kaki, tangan, dan wajahnya.

“Kamu pengen makan apa?” tanya Johnny berjalan mendekati Pamela yang sudah nyaman duduk memainkan handphone-nya.

“Aku ngikut kamu aja, tapi aku lagi pengen tom yam hehe.” Pamela terkekeh.

“Ok, tom yam aja ya. Aku pesen dulu.” Johnny tersenyum dan mengacak rambut Pamela pelan. Bahagia. Setidaknya senyum Pamela telah kembali.

“Kita nonton before midnight ‘kan?” Pamela memastikan.

“Iya, sayang. Kamu kan pengen nonton itu.” Johnny menjawab walaupun fokusnya sedang di handphone.

“Ok aku cariin.” jawab Pamela mengambil alih remot.

Pamela sibuk mencari bagian terkahir dari film trilogi kesukaan mereka berdua tersebut. Bagian yang menjadi penutup kisah cinta dua orang asing yang bertemu di kereta.

Di samping Pamela terlihat Johnny yang baru selesai memesan makanan untuk mereka berdua. “Aku ambilin minum ya, sayang.” kata Johnny yang dijawab Pamela dengan anggukan kepala. Johnny terlihat semakin lega melihat suasana hati Pamela lebih baik dari sebelumnya.


So, before midnight and tom yam.” Johnny meletakkan dua mangkuk tom yam di meja, sedikit mendorong mangkuk satunya ke arah Pamela.

Thank you, Ka Jo.” ucap Pamela menunjukkan deretan gigi rapinya.

“Kalau mau diurutin, menurut aku before midnight itu diurutan pertama tau ga.” Seperti biasa, keduanya selalu bertukar pendapat tiap menonton film atau series.

“Kok gitu? Kenapa?” Pamela langsung menyanggah tidak setuju pernyataan tunangannya.

“Cara mereka nyelesaiin masalah di sini lebih mature aja.”

’Mature’ or mature?” tanya Pamela.

“Ya, both of mature. Mereka berdua bener-bener ngomong dari hati ke hati. Kalau liat yang pertama dan kedua itu mereka bener-bener reckless tau ga. Terus yang kedua itu ga banget tau, Pam.” Wajah Johnny terlihat tidak nyaman.

“Aku setuju sih, tapi aku paling suka before sunrise. Walaupun emang agak bego aja ga tukeran kontak atau info apa gitu.” Pamela memberikan pendapatnya.

Well, I can tell. Dan kamu tau ga scene yang paling aku suka apa?” Johnny meletakkan mangkuk kosongnya.

“Apa?” Pamela menatap Johnny.

“Waktu mereka duduk ngeliat matahari terbenam. Banyak film yang nunjukin scene ngeliat matahari terbenam itu dengan duduk di pantai berdua. Tapi, itu beda aja mereka di tempat ramai.”

“Iya, sih. Walaupun di tempat ramai tetep sweet aja gitu. Dapet banget romantisnya.” Pamela setuju.

That’s what I say.” Johnny tersenyum kemudian berdiri dari duduknya. Sedikit menunduk mencium kening Pamela dan mengangkat 2 mangkuk yang telah kosong.

Secara perlahan Johnny pergi membawa mangkuk itu ke dapur. “Still there, still there, gone.” Pamela mengatakan itu sambil melihat Johnny pergi menjauh dan terhalangi tembok. Kalimat tersebut adalah kalimat yang digunakan Celine saat menatap matahari terbenam di film Before Midnight.

Saat kembali dari dapur Johnny melihat Pamela yang tersenyum dengan cerah. “Kenapa?” kata Johnny ikut tersenyum dan menghempaskan bokongnya pada sofa.

“Ga,” kata perempuan itu menyisir rambut Johnny. “Cuma aku baru sadar ternyata kamu sama kaya matahari waktu terbenam, ga hilang untuk waktu lama.”

“Kamu kenapa sih?” kata Johnny terkekeh, kembali mengacak rambut Pamela. Secara perlahan tangannya mulai bergerak jauh dari kepala dan jatuh ke pipi.

Suasana yang mendukung membuat keduanya menatap sangat dalam pada kedua bola mata masing-masing. “Makasih ya, Ka Jo. Kamu bener-bener buat aku kuat hadapin ini.”

“Pam, I always told you yang nikah kan kita berdua, udah jelas kalau aku bakalan selalu ada buat kamu, dampingin kamu. Jangan takut ya, kamu ga sendirian kok.” ucap Johnny mencium kening sang puan.

I love you so much. I do really love you.” Bulir-bulir air mulai mengalir dari mata si wanita.

Johnny merasa sakit melihat Pamela seperti itu. “Don’t cry,” katanya kemudian mulai mencium titik-titik wajah Pamela yang tertanda air mata. Perlahan isak Pamela mulai hilang. Tetapi, tidak membuat Johnny berhenti mencium wajah tunangannya itu.

Ciumannya diberikan di mata, hidung, pipi, kening, dan terakhir mendarat di bibir Pamela. Sedetik, dua detik, tiga detik dan seterusnya.

Kedua insan itu menghabiskan waktu bersama lagi. Saling bertukar perasaan dan rasa. Hingga lelap menghampiri.

Prosesi lamaran dan tunangan formal dilakukan pada saat yang bersamaan. Hal itu dilakukan hanya sebagai bentuk formalitas di hadapan banyak orang. Karena sebelumnya Johnny sudah melamar Pamela secara langsung. Bahkan, sudah meminta restu dari kedua orang tuanya.

Prosesi kali ini dihadiri keluarga, teman, dan rekan dari Johnny dan Pamela. Tidak begitu ramai. Keduanya tidak ingin acara yang terlalu ribet. Bukannya tidak ingin mendapatkan restu dari banyak orang. Tetapi, bagi keduanya yang harus selalu berhadapan dengan banyak orang merasa lelah jika harus mengundang lebih banyak lagi.

Pamela yang sedari tadi berada di kamar miliknya—bertiga dengan Kanista dan MUA—mulai merasa gelisah. Rasa gugup menyelimuti tubuhnya. Pamela menarik napas perlahan, berusaha menghilangkan rasa gugup tersebut.

“Pam, tenang aja. Gue yakin bakalan lancar.” kata Kanista menenangkan Pamela.

“Nis, gue takut banget. Ka Jo udah sampai belum ya?” tanya Pamela penasaran.

Mba make up artist yang dari tadi memperhatikan keduanya, perlahan meminta izin untuk keluar. Agar Pamela dapat lebih leluasa untuk mencurahkan perasaannya.

“Udah di jalan sih kata Oma. Tenang aja ya. Lo cantik banget sih, beneran secantik itu.” tutur Kanista menggoda Pamela.

Pamela mulai tersenyum lagi. Sedari tadi dia tidak ingin memainkan handphone miliknya. Dengan sengaja handphone itu diletakkan sangat jauh. Dia ingin menenangkan dirinya.

Selama 10 menit kamar tersebut hanya diisi dengan suara Pamela dan Kanista, walaupun lebih terdengar suara Kanista. Pintu kamar tiba-tiba diketuk dari luar. “Nak,” suara panggilan dari Mama Tari terdengar.

“Ya, Ma. Masuk aja. Kenapa?” saut Pamela sopan dari dalam kamar.

“Ini keluarga Johnny udah sampai, trus Kanista dipanggil sama Oma.” jawab Mama Tari membuka pintu kamar.

“Eh udah sampai ya, cepet juga. Gue ke depan ya, Pam. Lo jangan gugup gitu dong, santai aja.” ucap Kanista kepada Pamela sebelum meninggalkan sang bintang hari ini.

“Iya, bawel. Udah sana aja, Nis.” kata Pamela mengusir Kanista. “Mama nemenin aku kan?” lanjut Pamela bertanya.

“Iya, kamu kan juga mau ke depan sedikit lagi. Tunggu aja.” Mama Tari sedikit terkekeh.

“Ma, kok aku gugup banget ya?” Dengan wajah panik dan tangan dinginnya Pamela menarik kedua tangan Mama Tari.

“Maklum lah, Nak. Namanya juga hari istimewa.” Mama Tari menilik tiap jengkal wajah anak perempuannya. “Mama ga nyangka, anak mama udah ada yang pinang buat dijadiin istri.” Setetes air matanya turun.

“Ma… jangan nangis dong, nanti aku juga ikutan nangis. Make up-nya kan mahal.” kata Pamela mencairkan suasana agar Mama Tari tidak menangis dan juga agar dirinya sendiri tidak menangis.

Pamela keluar dari kamar dengan menggandeng Mama Tari. Perempuan itu tersenyum memancarkan bahwa hari ini adalah hari paling bahagia baginya. Di seberang, terlihat Johnny yang juga tersenyum melihat Pamela terlihat sangat cantik dengan kebaya berwarna hitam elegan senada dengan pakaian Johnny.

Keduanya duduk berhadapan dan prosesi lamaran mulai dari meminta restu, seserahan, dan pertukaran cincin dijalankan. Seluruh rangkaian acara berjalan dengan lancar seadanya. Para undangan pun ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Johnny dan Pamela sekeluarga.

Pamela dan Johnny saling bertukar pandangan. Keduanya merasakan kebahagiaan teramat dalam. Mereka tahu bahwa masih terlalu awal untuk berbahagia, tetapi keduanya juga tahu bahwa tidak ada yang salah dengan menikmati hari ini. Salah satu hari bersejarah bagi keduanya.

Extra:

Di sisi lain, Janu melihat prosesi pertukaran cincin tersebut dengan rasa iri. Kemudian, dia mulai mengajak teman yang duduk di sebelahnya berbicara.

“Dan, gue kapan ya nyusul si John?” tanya Janu kepada Danu atau Danurdara, Kakak dari perempuan yang disukainya.

“Mana gue tau.” jawab Danu singkat.

“Kok lo gitu sih, gue udah dapat restu kan buat deketin Kanis?” Janu sedikit merengek.

“Kanista atau Nissa, bukan Kanis.” tegas Danu.

“Kan itu panggilan sayang gue, Dan.” ucap Janu tidak berdosa. Kemudian mendapatkan tatapan sinis dari Danu.

“Becanda elah, Dan. Tapi, gue beneran iri deh. Lo ga mau nyusul gitu, Dan?” Kali ini pertanyaan yang diberikan Janu terdengar serius.

“Ga tau.” jawab Danu terdengar sedikit pilu.

“Lo masih suka Pamela ya?” kata Janu sedikit curiga dan berusaha berbisik di telinga Danu.

Danu mendorong Janu yang mendekat ke arahnya. Risih katanya. “Udah ga kok. Lo ngapain sih deket-deket kaya mau nyipok gue aja.”

“Kan biar ga ketahuan gue ngomong apa. Tapi btw, belum lama kan lo ga suka sama Pamela? Pas balik lo masih suka kan sama dia?” tebak Janu membuat Danu terdiam.

“Gila lo, emang lo selama di Australia sono ga ada cewe?” serbu Janu.

Danurdara terlihat sedikit berpikir dan mengingat. Dia sempat memiliki “teman” di sana. Tapi, “teman” itu kabur darinya. Bahkan, benar-benar menutup akses Danurdara untuk menghubunginya.

“Ga usah kepo.” tutup Danu. Kemudian pikirannya berputar-putar pada sosok perempuan di Australia itu.

Pagi itu Jauzan pergi mengunjungi kubur Fawnia sendirian. Saat ini dia sudah ada di semester 5 perkuliahannya. Semester yang berat.

“Halo, Awni. My beautiful Awni. Kamu apa kabar? Aku kangen. Banget.” Jauzan diam setelah selesai mengatakan itu. Tangannya bergerak mengambil air yang dibawanya dari rumah. Kemudian menyirami kubur milik Fawnia.

“Nyawa cantik banget loh, Awni. Ini fotonya. Cantik banget kan.” Kata Jauzan menunjukkan handphone-nya ke arah kubur.

“Aku udah mau UAS lagi, kamu ingat ga kita ketemu lagi di supermarket pas banget aku selesai UAS,” katanya berusaha tertawa.

“Aku rindu kamu, Awni.” Perlahan air matanya turun. Secara perlahan dan semakin deras. Isakannya semakin keras.

“Awni….” panggil Jauzan frustasi, dia sadar tidak akan mendapatkan jawaban.

“Kamu bisa bayangin ga sih kalau kita bertiga, Awni? Aku, kamu, Nyawa pasti lucu kan. Kita selalu dikeliling angka 3, tapi yang paling aku inginin sekarang kita bisa tinggal bertiga. 3 itu menggambarkan kita banget, tanpa kamu ga lengkap.”

Jauzan hanya diam. Suasana di kuburan sangat tenang. Dia mulai berdoa.

Saat doanya selesai, Jauzan mulai mengajak kubur Fawnia kembali bercerita. “Awni, coba setahun yang lalu kita ga ketemu di club. Kita ketemu di tempat yang lebih bagus.” Katanya tersenyum pahit, tiba-tiba dia meralat perkataannya. “Nope. Ga perlu tempat bagus, setidaknya bukan di club. Kata Finn pertemuan di club itu ga pernah berakhir indah. Aku ga percaya itu, tapi kenapa jadi kenyataan sih,” katanya mulai menangis lagi.

“Awni, ada yang belum pernah aku sampein ke kamu. 3 kata,” lirih Jauzan.

I love you,” kata itu merupakan kata terakhir Jauzan.

Keinginan Jauzan untuk menemui dan menyampaikan 3 kata untuk Fawnia hari ini terwujud.

-END-