POV Yordan
Disclaimer: I've never been there, so correct me if I was wrong. Thank you
Akhirnya gue sampai. Sampai di salah satu kota kecil di Jerman. Tujuan gue di sini cuma satu, ketemu sama Griza. Gue butuh penjelasan dan juga butuh jelasin sesuatu ke dia. Gue punya tujuan lain ada di Jerman, tapi bukan di kota ini.
Gue ambil handphone di saku kanan celana jeans gue. Jari gue dengan cepat membuka kolom chat milik Elvina. Gue nyari alamat yang dia kirim 2 hari lalu. Alamat flat Grizella. Sepertinya gue ada di tempat yang tepat.
Gue ngeliat sekeliling nyari di mana taman yang dimaksud Griza. Ketemu satu. Semoga aja bener yang itu.
Gue duduk di sana, sambil melihat-lihat orang-orang sekitar. Mungkin gue datangnya kepagian. Gue jadi keinget gimana buru-burunya gue dari hotel ke sini. Gue ga datang ke sini pas sampai semalam sih, soalnya gue ga segila itu buat gangguin Griza tengah malam.
Bosan dengan pemandangan di hadapan gue—ga sih sebenernya gue ga begitu bosen—gue milih buat mainin handphone. Gue buka kolom chat teratas gue. Kontak Griza masih sama seperti terakhir kali dia ngeblock gue.
Pesan terakhir yang dia kirim adalah “lo jahat”. Gue ga paham maksudnya, tapi bisa saja gue paham. Tapi, gue bingung gue ga mau nebak-nebak mending langsung tanyain ke dia langsung. Biar gue bisa jelasin semuanya.
Gue kaget, tiba-tiba ada perempuan yang duduk di samping kursi taman tersebut. Kayanya dia abis lari pagi deh, dilihat dari pakaian dan cara dia minum dari botol. Kaya ga pernah minum seminggu.
Tanpa sadar gue terus merhatiin perempuan yang duduk di sebelah gue ini. Sampai di detik dia jauhin botol dari mukanya baru gue sadar kalau perempuan ini adalah orang yang gue cari dari tadi, Grizella Asha.
Gue reflek manggil dia, “Griza?”
Dia langsung muncratin minumnya dan nengok ke gue. “Ha?” itu respon pertama yang keluar dari mulutnya. Dari ekspresinya gue bisa tebak dia kaget banget karna kaya abis ngeliat hantu. Gue senyum liat ekspresi cengonya.
And I think she's a little offended by that, her facial expresion changes. “Kamu ngapain di sini?” Setidaknya dia masih manggil gue 'kamu'.
“I miss you,” kata gue. Apalagi selain itu? Karena alasan gue di sini juga karena rindu dia kan?
“I ain't hearing bullshit.” Dengan kasar dia nutup botol minumnya. Gue kaget.
Gue merubah posisi duduk, tidak sesantai tadi. “Griz, I'm here cause I want to tell you everything and ask why you block me on every social media. That's the only way for me to talk to you, you know that.”
Dia narik napas panjang. Kebiasaannya tiap mau ngejelasin sesuatu panjang lebar, I miss it. “Now I ask you, Dan. Kamu ada ngerasa salah ke aku ga? Just to clarify, not about that airport thing.”
Gue nelan ludah, tiba-tiba rasanya kering aja ni tenggorakan. Dia ngingetin tentang bandara. Gue langsung nunduk, inget gimana begonya gue dulu.
“Griz, you know what happened that day.” Rasanya gue harus tetep ngejelasinnya over and over.
“That's why I told you it's not about that. I understand. Aku paham kenapa kamu ga nganterin aku ke bandara waktu itu. Karena ditahan orang tua kamu kan. Aku paham, Dan.” Griza masih menolak buat nengok ke arah gue, jadi gue natap dia sedangkan dia natap ke arah depan, ngeliat pohon-pohon yang ada di taman ini.
cw // abusive
Gue inget gimana gue ditahan sama mami dan papi waktu gue berontak dan nolak perjodohan itu. Gue ditampar. Bener-bener orang yang ga pernah kasar ke gue tiba-tiba pertama kalinya sekasar itu. Jelas gue kaget.
Semua barang gue disita. Bahkan, HP gue. Padahal pagi itu gue udah siap-siap buat pergi nganterin Griza ke bandara. Bener-bener ga ada ampun dari orang tua gue.
Gimana caranya gue kabur? Untung aja gue selalu nyimpen handphone lama gue di kamar. Gue charge dan ngehubungin Finn dan Jauzan buat bantu gue kabur. Gue kabur dengan bekal duit yang sedikit banget untuk hidup lama.
“Gimana, Dan?” Pertanyaan Griza memecah ingatan gue ke waktu itu.
“Aku,” jujur saja gue bingung. “Aku ga tau salah aku apa, Griz.” Untuk sekarang itu yang bisa gue katakan. Gue takut kalau yang gue khawatirin itu berbeda dengan maksudnya dan bakalan nimbulin masalah lain.
“Kamu ga datang nganterin aku, aku pahamin. Terus abis itu kamu mulai susah banget buat aku hubungin. Fine, I don’t mind it. Tapi abis itu apa? Aku denger kamu beneran datang ke perjodohan itu kan?”
Shit. Ternyata yang gue khawatirin bener. Gue nelan ludah lagi.
“I can explain it, Griz.” In my opinion it's the safest answer I can give to her.
“Then explain it.” Masih dengan posisinya yang tadi, sama sekali tidak mau melihat ke arah gue sedikit pun. Gue denger suara kecilnya ngomong, “After 4 months,” kemudian dia tertawa meremehkan.
Gue masih diem. Bingung harus mulai dari mana.
“Mau ngomong ga? Aku udah diem loh.”
“Ok. Jangan potong sama skali ya. Aku ditahan waktu itu, ga bisa anterin kamu ke bandara, hpku diambil. Semuanya disita. Abis itu aku bisa kabur karna bantuan Finn dan Jauzan. Thanks to them.” Gue liat Griza muterin bola matanya, muak mungkin denger cerita ini berulang-ulang. Tapi, gue tetep lanjutin ngomong.
“Tapi hidup aku ga seenak dulu, Griz. I was so impulsive to do that without any plans.” Gue ngeliat Griza pengen motong. “Don't cut me. Aku coba bertahan, aku cari cara. Untung aja waktu itu aku sempat bawa kabur hp dan beberapa uang yang ga seberapa. It’s hard for me, Griz. Tapi aku ga mau cerita ke kamu, karena kamu jauh, ga mau buat kamu kepikiran. Aku nahan mereka semua buat cerita gimana susahnya aku ngejalanin hidup. Gimana aku tinggal sama Finn. Gimana akhirnya kita mutusin buat buka usaha, tapi kekurangan modal.”
“Dan, I can't understand you, for real. Kamu sendiri kan yang minta buat kita bertahan? Buat kita komunikasiin semuanya. Tapi, kamu juga yang ga mau jujur ke aku. Untuk apa sih dan kita kaya gini? Aku ga minta kamu buat impulsif kaya gitu. Kamu sendiri kan yang milih. Bilang aku egois, Dan. Tapi, lebih baik kita ga bertahan waktu itu kalau kaya gini.”
“Aku minta maaf, Griza.” Gue ga ada pembelaan lagi. Gue sadar kesalahan gue.
POV Grizella
“Dan, kemarin aku rewatched '10 Things I Hate About You'.” Yordan nengok ke arah gue dengan tatapan itu. Tatapan yang diberikan Patrick ke Kat.
Gue natap matanya dan dia nunduk lagi. “And you know what? At this moment I realized something. Now I can see your eyes, the way you look at me was the way Pat look at Kat when she read the poem. I realized that the stare are not only about the way he loves Kat, but about how he felt sorry about what happened to them. Because of how stupid he is. Or maybe it’s all about the wrong time. Maybe we are on the wrong time, Dan.”
Gue tau gue egois. Gue sadar banget. Tapi, gue cuma berharap yang terbaik buat diri gue sendiri. Gue udah terlalu sering sakit. Udah cukup.
Yordan masih milih diam setelah minta maaf itu. Gue juga pengen minta maaf, but blame my ego. Terlalu tinggi buat minta maaf. I know that's wrong of me.
Terlalu lama diam buat gue cape, akhirnya gue ngomong lagi. Nanyain hal yang buat gue dengan terpaksa ngeblock semua media sosial teman-teman gue. Termasuk dia.
“Tentang kamu datang ke perjodohan itu. Aku belum dengerin penjelasannya sama skali loh.” Gue narik napas dalam, kebiasaan. Gue liat wajah herannya, mungkin kaget kenapa gue bisa tahu itu.
Gue ngelanjutin penjelasan gue. “Pasti kamu bingung kan aku tau dari mana. Aku tau karena Kak Lio ngeliat kamu makan sama cewe lain di mall. Kamu kan tau gimana aku dan Kak Lio benci banget sama pengkhianat? Apalagi tukang selingkuh? Kak Lio otomatis langsung nyuruh aku mutusin kamu. Detik itu juga.” Shit. Gue masih lemah. Buktinya air mata gue netes lagi.
Dengan kasar gue hapusin air mata di pipi. Gue sedikit ngelirik ke Yordan, gue liat tangannya yang mau ngedekatin pipi gue. “Tapi, aku ga bisa, Dan. Aku ga bisa mutusin kamu. Satu-satunya cara yang kupikir ya ngeblock kamu.” Gue ambil botol minum di samping kanan gue. Buka tutupnya dan gue minum. Mungkin itu cara gue buat mengalihkan tangis.
“Aku bertahan. Tapi apa? Kabar dari kamu makin berkurang tiap harinya. Sehari sekali cukup kok buat aku, tapi udah too much tau, Dan. Pernah sampai seminggu aku nunggu. Padahal beda 6 jam doang loh. It’s not a big deal.” Gue jelasin semuanya secara perlahan, tidak butuh teriakan amarah itu yang gue pikirin.
“Aku terpaksa, aku bener-bener butuh uang Griz. Buat modal dan ngembangin usaha aku, Jauzan, dan Finn. Mami dan papi mau bantuin dengan syarat aku ketemu perempuan itu setidaknya sekali aja. Aku turutin biar bisnis kita ga jatuh. Aku sama sekali ga nerima perjodohan itu, cuma sekali itu aja aku ketemu. Aku tau aku bodoh, aku tau Griz. And please stop saying it’s not a big deal, it was a big deal. Terutama buat aku. It’s not easy for me.”
Gue ngeliat lagi ke arah Yordan. Terlihat wajah frustasinya. Sepertinya kita berdua udah terlalu cape.
“Dan, setidaknya kamu bisa hubungi aku. 6 bulan itu bakalan panjang banget tau ga tanpa komunikasi sama sekali.” Gue benar-benar natap dia. Yordan mulai ngangkat kepalanya, dia tersenyum pahit. “Dan, aku cuma butuh denger kabar kamu aja. Perlu denger cerita kamu sehari-hari.”
“Bukannya ga mau hubungin kamu, tapi aku bener-bener sibuk, Griz. Aku selalu coba buat hubungin kamu, tapi aku takut ganggu kamu. Waktu free aku pengen nelpon kamu, tapi aku inget kamu kuliah sampai sore. Aku ga bisa sesering dulu main handphone. Aku juga bingung, Griz. Aku bingung harus cerita apa ke kamu, cerita keadaan aku yang kacau? Nope, I'll never tell you that.” Dia nundukin kepalanya lagi. Giliran gue udah milih natap dia, dia milih natap sepatu lusuhnya itu. Wait, gue baru sadar. Yordan yang rapi banget dulu udah ga ada.
Gue terlalu fokus merhatiin keadaannya sekarang, tanpa sadar lupa ngejawab pertanyaannya. Merasa ga mendapatkan jawaban sepertinya dia kembali dengan pertanyaan retoris lain, “tapi akhirnya kamu yang mutusin komunikasi kan, Griz?”
Fokus gue kembali dan akhirnya gue jawab sebisanya, entah kenapa gue mulai merasa bersalah. “Ya karna aku ga kuat.” Tapi, rasa ego gue yang tinggi hilang kendali, rasa ingin melindungi diri sendiri dan merasa bahwa gue benar dan ingin menyalahkan orang lain. Tanpa sadar gue sedikit membentak “Kamu mikir ga sih, Dan?” Kacau. Gue ngacauin semuanya.
Terlihat Yordan sedikit terkejut dengan respon itu, tapi dia tetap berusaha menjawab. “Aku mikir, mikir banget.” Dia menghembuskan napas kasar. “Kenapa sih susah banget buat kita mau bareng.”
Ga ini ga bener. Kita ga bisa ngomong dengan emosi yang udah tersulut gini. Gue berdiri dari duduk. Menatap ke arah Yordan yang masih duduk dengan kedua tangan yang saling terpaut. Reflek yang selalu keluar tiap dia merasa bingung.
“Aku capek, mau istirahat.” Cuma itu yang gue katakan dan ninggalin dia duduk sendirian di sana. We need time.
POV Yordan
Gue paham kenapa Griza ninggalin gue sendirian di sini. Dia ga pernah mau berdebat kalau udah mulai kebawa emosi. Tapi, gue harus selesain semua masalah hari ini. Cuma hari ini waktu buat gue ada di kota ini. Besok gue harus pergi ke kota lain.
Gue narik napas panjang dan nyenderin badan gue ke sandaran kursi taman. Sekarang pikiran gue cuma nyari tempat buat istirahat. Jujur tadi rasa capek gue hilang waktu ngeliat Griza. Ditinggalin gini rasa capeknya langsung 2 kali lipat.
15 menit gue masih bingung harus pergi ke mana. Akhirnya gue mutusin buat tetep duduk di situ. Mungkin orang-orang yang lewat bakalan mikir gue homeless, mereka ga salah sih. Gue emang udah ga punya rumah lagi.
Gue nutup mata, memikirkan segalanya dengan kepala dingin.
Terlalu sayang. Gue terlalu sayang untuk ngelepasin dia. Semua yang gue lakuin sekarang, pengorbanan ini buat dia.
POV Grizella
Gue milih lari lagi. Salahin gue, goblok-goblokin aja gapapa. Gue sadar itu. Gue baru sadar kalau ga mudah buat Yordan yang selama ini hidup dengan kelimpahan tiba-tiba dipertemukan dengan masalah besar seperti ini, yang buat dia terpaksa milih antara gue dan keluarganya. Gue bener-bener egois.
Yordan milih gue, tapi gue milih trust issue yang selama ini ada di gue. I'm trying my best to not hurt my self and I think I'm not hurting him too. But, in the end we both hurt. Karena gue goblok.
Tiba-tiba gue keinget keadaan dia tadi. Dia masih sama, tapi tidak begitu sama dengan dulu. Bukan Yordan yang selalu tampil rapi dengan pakaian yang mungkin cuma sekali seumur hidup aja dipake. Atau dengan sepatu yang tiap hari selalu diganti, padahal harganya bisa buat jajan gue 3 bulan.
Tadi dia beda, gue bisa tebak sepatu itu terus dia pake selama 6 bulan ini. Terlihat banget sepatu itu udah lusuh.
Gue milih untuk mandi, walaupun rasanya keringat gue udah kering karena kelamaan duduk tadi. Setidaknya, gue bisa sedikit dinginin kepala. Hilangin beban-beban tadi dan mikirin jalan keluar buat kita berdua.
Ga butuh waktu lama buat gue mandi habis olahraga, cuma sekitar 15 menitan. Hari ini gue rencananya bermalas-malasan dan main di taman. Tapi, gue rasa bukan ide yang bagus setelah kejadian tadi.
Makanan di kulkas gue habis, termasuk cemilan-cemilan. What a perfect time. Niatan gue buat movie marathon pupus begitu saja. Akhirnya gue ambil jaket dan mutusin buat pergi ke supermarket terdekat.
Jalan ke supermarket itu ngelewatin taman tadi dan gue kaget ngelihat Yordan masih duduk di situ. Tapi, dengan mata tertutup. Gue panik dan berlari ke dekatnya.
“DAN,” gue teriak. Panik. Ga tau kenapa pikiran gue emang lagi ga beres hari ini. Dia kaget, entah kenapa gue malah bersyukur liat dia kaget.
“Kamu kenapa, Griza?” Lah dia malah nanya, harusnya kan gue yang nanya.
“Aku dong yang nanya kamu ngapain masih di sini?” Gue beneran heran.
“Aku nungguin kamu mau bicara lagi.” Dia senyum. Selalu manis.
“Kan kamu bisa balik ke hotel kamu dulu, nanti aja kita ngomongnya.”
“No, harus sekarang.”
Waktu 20 menit tadi cukup buat gue menjernihkan otak. Gue duduk di tempat tadi. Kali ini kita berdua memilih untuk berhadap-hadapan.
“Griza,” dia ngambil tangan gue. “Kita coba lagi ya, aku yakin kita bisa.”
“Aku juga udah mikir and I still think that we need time.” Genggaman tangan Yordan makin kuat. “Tapi, setelah aku pikir lagi 6 bulan itu udah terlalu lama. Setelah semua penjelasan kamu tadi, aku bisa paham.”
Yordan menangis. Lucu. “Thank you, Griza.” Dia ngambil tangan gue buat dicium berulang kali. Gue ketawa.
“Lagian kamu itu aneh tau ga, Dan. Aku balik ga sampe seminggu lagi.” Gue bohong. Setidaknya yang tau gue bakalan tetap di Jerman baru Kak Lio dan Elka. “Kamu buang-buang duit tau.”
“Stop lying, you're not coming back.” Shit, Elvina Kaia lo pengkhianat. Baru gue berpikir seperti itu dia langsung lanjutin perkataannya. “Bukan Elvina yang bocorin. Aku tau karena denger dari salah satu dosen. Dia tanya ke aku, kenapa aku ga ikut daftar juga padahal kamu perpanjang program.”
Gue lupa Yordan termasuk mahasiswa kesayangan dosen. Sialnya, gue ketahuan bohong dong.
“Ya, ok kalau kamu udah tau.” Cuma itu yang bisa gue katakan pas udah ketahuan basah bohong kan? Gue sedikit meremas jari-jari tangan gue sendiri.
Yordan ketawa, “aku ikut program student exchange juga, kamu tau kan kalau semua biayanya udah ditanggung. Aku cukup bawa uang buat jajan aja. Aku ga perlu begitu khawatir masalah uang dan aku bisa lebih gampang ketemu kamu.”
Bukan Yordan kalau ga buat gue cengo. Asli gue diem.
“Aku belajar untuk lebih planning segala hal, Griz. Aku belajar hal selama jauh dari kamu dan juga lepas dari keluarga.”
Rasa bersalah gue kembali lagi. “Dan, aku minta maaf.”
Dia ketawa. “Gapapa.” Gapapa? Berarti dia sadar dong ya kalau gue juga salah.
“Ok.” Gue bingung harus jawab apa lagi. Selama pacaran kita ga pernah berantem dan nyelesaiin masalah kaya gini. Gue ga tau harus ngapain.
“Menurut kamu kita masih ga bisa bertahan lagi? Karena menurut aku, kita pasti bakalan bisa ngelewatin semuanya.”
Gue cuma bisa diam karena perkataannya sama sekali ga salah. Dengan segala efforts yang dia berikan, gue rasa hubungan kita bisa bertahan. Tapi, percuma kalau cuma dia yang ngeluarin efforts sedangkan gue diem aja.
“Dan, kali ini biarin aku yang berjuang ya. Kamu udah terlalu banyak berjuang buat aku.” Kata gue sok-sokan nawarin diri dan sok kuat. Tapi, balasannya bener-bener buat gue ga habis pikir.
“Nope, kamu juga berjuang, Griz. Ngelawan trauma kamu, ngelawan trust issues kamu, ngelawan segala hal itu. Itu ga mudah. Dengan segala itu kamu masih mau terima aku buat tetep jadi pacar kamu. Kamu juga udah ngeluarin effort yang sangat besar. Lagian kita pacaran bukan untuk bahas untung dan rugi kan?”
Gue terharu, bangga, and feels like shit at the same time. Campur aduk. Gimana bisa seorang kaya gue dapetin Yordan. And see? I keep questioning my worth. Kalau Yordan tau mungkin dia bakalan marah.
Gue senyum. It’s such a bless to have him.
“Sekarang kamu mau unblock aku kan?”
Gue ketawa dengar pertanyaan itu dan nganggukin kepala sambil membuka handphone. “Udah.”
Dengan cepat dia mengambil handphone di kantong celananya. Notif handphone gue bunyi berulang kali, udah jelas dari dia. Senyumnya sangat lebar. Benar-benar bahagia.
“Can I hug you?
“Yes“
POV orang ketiga
“By the way, kamu mau kemana?” tanya Yordan. Laki-laki itu masih memeluk Grizella erat. Terlalu bahagia, setelah 6 bulan lamanya dia bisa ngerasain pelukan yang sangat disukainya.
“Mau ke supermarket aja sih, beli makanan. Kamu abis ini kemana?” balas Grizella.
“Ke kota sebelah, aku ga sekampus sama kamu.” Yordan sedikit berhati-hati mengatakan itu, takut dengan respon yang akan diberikan Grizella.
“Oh gitu.” Yordan bingung dengan respon itu, kemudian dia melepaskan pelukannya.
“Oh gitu doang?” tanyanya.
“Habis aku bingung harus seneng atau sedih, gapapa kok kita jauh. Tiap weekend tetep bisa ketemu. Karena ga sejauh Indonesia.”
“Bener sih,” kata Yordan kembali memeluk Grizella.
“Kamu mau langsung balik sekarang?” tanya Grizella.
“Iya, setidaknya masalah kita udah selesai. Jadi, aku bisa fokus ngurus berkas.” kata Yordan. Yordan membuat sedikit jarak dari pelukkannya dan menatap wajah Grizella dalam. “Can I kiss you?” salah satu tangannya berada di pipi Grizella, mengelus pipi perempuan itu lembut.
Grizella menutup matanya dan mempersilahkan Yordan untuk menciumnya. Secara perlahan dan lembut. They both knows to play, well because it's not their first time. They've been doing this since their relationship worth 1 weeks.
They kissed till both of them gasped for air.
“You really wanna go back to your hotel now?” ask Grizella. Yordan raised his eyebrows. “I mean you can sleep over at my flat, I don't mind. It's just like I slept on your studio.“
Yordan get his head closer to Grizella ears and whispered to hers. “It's not the same if I spend a night, Griz.”
“Well, I'm ok with it.” It's a green light.
Their kiss continued more agressive than before and for many rounds. But, not in the park. Now they spend their time in Grizella's flat.
Both of them focus on exploring each other mouth, count the teeth, the tongue is busy.
Yordan pecked her lips for a couple times, then moved to her cheeks, ears, eyes, nose, and go lower to her neck.
They just too happy to finally get together, unite, and become one. It will be their first night together in Germany.”
The story of us does not stop here. We still have so much to go through. It is not all about love, and love is not always about give and take. But, it’s about how much you suffer and how far you will suffer. It’s not always about happiness, but it's about pain. We’ve been through all the fun about love and now we’ll go through the sad part. Together.