julietirw

TW // abusive CW // mention of suicide, mention of dead, mention of cheating

Waktu menunjukkan pukul 12.15 tengah malam. Kosan Finn sudah mulai sepi seperti tidak ada kehidupan, hanya ada dua kemungkinan yaitu penghuninya telah terlelap atau sama sekali belum kembali ke hunian.

Finn menyibukkan dirinya dengan memutar-mutar handphone di genggamannya. Sibuk bertanya dan beradu dengan pikirannya, “gue pulang ke rumah atau ga ya?”.

Jujur saja rumah adalah tempat yang sangat dihindari Finn sejak kejadian ‘itu’. Kejadian yang membuat dia kehilangan 2 wanita yang sangat disayanginya. Itu juga yang membuat dia sangat bergantung pada sahabat perempuannya–sekarang mantan pacar.

Laki-laki dengan proporsi badan sempurna itu melirik sekali lagi pada jam dinding di kamar kosannya. Kali ini jam menunjukkan pukul 12.33, tekadnya untuk pulang ke rumah makin bulat.

“Pasti orang rumah udah pada tidur kan?” katanya meyakinkan diri sendiri.

Dengan gerakan cepat laki-laki itu menarik jaket yang tergantung di dalam lemari dan menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan perlahan di koridor kosan ditemani angin malam.


Finn telah sampai di rumahnya, tapi laki-laki itu bingung dengan keadaan rumah yang lampunya masih menyala. Merasa bahwa orang-orang di rumah itu belum terlelap, Finn memutuskan untuk balik ke kosan.

Tujuannya hari ini memang hanya untuk mengambil beberapa barang di kamarnya yang memungkin untuk dijual kembali. Agak gila, tapi hanya itu yang terlintas di pikirannya.

Tetapi, baru saja dia ingin menyalakan kembali mobilnya. Dia melihat Freya–adik perempuan Finn–keluar dari rumah digandeng ibunya sambil menangis.

Kenangan buruk Finn berjalan seperti film di kepalanya. Dengan cepat dia turun dari mobil dan menghampiri Freya.

“Freya kenapa sayang?” tanyanya pada anak 3 tahun itu.

“Pa-pa-papa, seram,” kata Freya sambil menangis sesenggukan. Finn menarik Freya ke pelukannya dan menggendong serta menepuk-nepuk punggung anak kecil itu.

“Ada apa sih, Tan?” Finn beralih bertanya kepada Ibunya Freya. Mungkin sedikit membingungkan, tetapi Finn dan Freya lahir dari rahim yang berbeda. Sampai sekarang Finn belum mau memanggil ibu sambungnya itu dengan sebutan mama atau sejenisnya.

Belum sempat Tante Emily–nama ibunya Freya–menjawab pertanyaan tersebut, Papa Alvan keluar dari rumah dengan wajah emosi. Membawa tongkat golf yang Finn tebak telah digunakan untuk memukul perabotan di dalam rumah yang terlihat sangat berantakan.

Papa Alvan terkejut melihat Finn yang ada di depan rumahnya saat ini, “kamu ngapain pulang? Saya pikir sudah tidak ingat rumah lagi,” ucap pria tua itu sinis.

Finn tidak menjawab dan memilih merampas tongkat golf tersebut. “Ga pernah berubah ya, Pa?” Finn tak mau kalah dengan menjawab sinis. Dia bersyukur telah memberikan Freya kepada Tante Emily dan menyuruh kedua perempuan itu ke mobilnya.

“Jaga omonganmu, Finn Cavan. Kamu itu cuma bocah kecil yang ga tau apa-apa.” Papa Alvan berusaha merebut kembali tongkat itu.

“Pa, cukup. Sekarang apa lagi masalahnya? Mau ngejodohin Freya kaya Kak Ica? Ga mungkin lah, Freya masih bayi. Jadi apa lagi?” tanyanya frustasi. “Udah cukup Kakak dan Mama, cukup mereka aja yang Papa ambil nyawanya.”

Ica aka Falisha Cavan adalah kakak perempuan Finn yang meninggal karena kecelakaan 6 tahun lalu. Falisha yang saat itu baru saja lulus SMA dipaksa menikahi anak dari partner bisnis Papa Alvan. Alasannya karena anak itu adalah anak tunggal, maka kekayaannya akan semua diberikan kepadanya.

Hal itu yang membuat Finn yang masih SMP sangat jijik dengan pemikiran Papa Alvan. Hingga, suatu hari rasa jijik itu berubah menjadi rasa benci. Di mana Kak Ica memutuskan kabur dari rumah dan berakhir dengan kecelakaan yang merenggut nyawanya. Membuat Mamanya menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu berbuat apa-apa. Memutuskan merenggut nyawanya dengan tali yang digantung di dalam kamar.

Finn yang masih berusia 14 tahun memutuskan menaruh rasa benci pada sang Papa. Apalagi saat Papa Alvan memilih move on dan menikahi Tante Emily.

Orang yang benar-benar ada untuk Finn saat itu hanya Beka dan mungkin juga Yordan–keduanya merupakan tetangga dan teman kecil.

“Kamu diam saja. Saya mau ngasih pelajaran ke Emily. Beraninya dia berselingkuh.” Papa Alvan merebut tongkat golf dengan kasar dari tangan Finn.

Finn yang mendengar itu hanya terpaku diam. Kacau.

POV Yordan

Disclaimer: I've never been there, so correct me if I was wrong. Thank you

Akhirnya gue sampai. Sampai di salah satu kota kecil di Jerman. Tujuan gue di sini cuma satu, ketemu sama Griza. Gue butuh penjelasan dan juga butuh jelasin sesuatu ke dia. Gue punya tujuan lain ada di Jerman, tapi bukan di kota ini.

Gue ambil handphone di saku kanan celana jeans gue. Jari gue dengan cepat membuka kolom chat milik Elvina. Gue nyari alamat yang dia kirim 2 hari lalu. Alamat flat Grizella. Sepertinya gue ada di tempat yang tepat.

Gue ngeliat sekeliling nyari di mana taman yang dimaksud Griza. Ketemu satu. Semoga aja bener yang itu.

Gue duduk di sana, sambil melihat-lihat orang-orang sekitar. Mungkin gue datangnya kepagian. Gue jadi keinget gimana buru-burunya gue dari hotel ke sini. Gue ga datang ke sini pas sampai semalam sih, soalnya gue ga segila itu buat gangguin Griza tengah malam.

Bosan dengan pemandangan di hadapan gue—ga sih sebenernya gue ga begitu bosen—gue milih buat mainin handphone. Gue buka kolom chat teratas gue. Kontak Griza masih sama seperti terakhir kali dia ngeblock gue.

Pesan terakhir yang dia kirim adalah “lo jahat”. Gue ga paham maksudnya, tapi bisa saja gue paham. Tapi, gue bingung gue ga mau nebak-nebak mending langsung tanyain ke dia langsung. Biar gue bisa jelasin semuanya.

Gue kaget, tiba-tiba ada perempuan yang duduk di samping kursi taman tersebut. Kayanya dia abis lari pagi deh, dilihat dari pakaian dan cara dia minum dari botol. Kaya ga pernah minum seminggu.

Tanpa sadar gue terus merhatiin perempuan yang duduk di sebelah gue ini. Sampai di detik dia jauhin botol dari mukanya baru gue sadar kalau perempuan ini adalah orang yang gue cari dari tadi, Grizella Asha.

Gue reflek manggil dia, “Griza?”

Dia langsung muncratin minumnya dan nengok ke gue. “Ha?” itu respon pertama yang keluar dari mulutnya. Dari ekspresinya gue bisa tebak dia kaget banget karna kaya abis ngeliat hantu. Gue senyum liat ekspresi cengonya.

And I think she's a little offended by that, her facial expresion changes. “Kamu ngapain di sini?” Setidaknya dia masih manggil gue 'kamu'.

I miss you,” kata gue. Apalagi selain itu? Karena alasan gue di sini juga karena rindu dia kan?

I ain't hearing bullshit.” Dengan kasar dia nutup botol minumnya. Gue kaget.

Gue merubah posisi duduk, tidak sesantai tadi. “Griz, I'm here cause I want to tell you everything and ask why you block me on every social media. That's the only way for me to talk to you, you know that.”

Dia narik napas panjang. Kebiasaannya tiap mau ngejelasin sesuatu panjang lebar, I miss it. “Now I ask you, Dan. Kamu ada ngerasa salah ke aku ga? Just to clarify, not about that airport thing.”

Gue nelan ludah, tiba-tiba rasanya kering aja ni tenggorakan. Dia ngingetin tentang bandara. Gue langsung nunduk, inget gimana begonya gue dulu.

“Griz, you know what happened that day.” Rasanya gue harus tetep ngejelasinnya over and over.

That's why I told you it's not about that. I understand. Aku paham kenapa kamu ga nganterin aku ke bandara waktu itu. Karena ditahan orang tua kamu kan. Aku paham, Dan.” Griza masih menolak buat nengok ke arah gue, jadi gue natap dia sedangkan dia natap ke arah depan, ngeliat pohon-pohon yang ada di taman ini.

cw // abusive

Gue inget gimana gue ditahan sama mami dan papi waktu gue berontak dan nolak perjodohan itu. Gue ditampar. Bener-bener orang yang ga pernah kasar ke gue tiba-tiba pertama kalinya sekasar itu. Jelas gue kaget.

Semua barang gue disita. Bahkan, HP gue. Padahal pagi itu gue udah siap-siap buat pergi nganterin Griza ke bandara. Bener-bener ga ada ampun dari orang tua gue.

Gimana caranya gue kabur? Untung aja gue selalu nyimpen handphone lama gue di kamar. Gue charge dan ngehubungin Finn dan Jauzan buat bantu gue kabur. Gue kabur dengan bekal duit yang sedikit banget untuk hidup lama.

“Gimana, Dan?” Pertanyaan Griza memecah ingatan gue ke waktu itu.

“Aku,” jujur saja gue bingung. “Aku ga tau salah aku apa, Griz.” Untuk sekarang itu yang bisa gue katakan. Gue takut kalau yang gue khawatirin itu berbeda dengan maksudnya dan bakalan nimbulin masalah lain.

“Kamu ga datang nganterin aku, aku pahamin. Terus abis itu kamu mulai susah banget buat aku hubungin. Fine, I don’t mind it. Tapi abis itu apa? Aku denger kamu beneran datang ke perjodohan itu kan?”

Shit. Ternyata yang gue khawatirin bener. Gue nelan ludah lagi.

I can explain it, Griz.” In my opinion it's the safest answer I can give to her.

Then explain it.” Masih dengan posisinya yang tadi, sama sekali tidak mau melihat ke arah gue sedikit pun. Gue denger suara kecilnya ngomong, “After 4 months,” kemudian dia tertawa meremehkan.

Gue masih diem. Bingung harus mulai dari mana.

“Mau ngomong ga? Aku udah diem loh.”

“Ok. Jangan potong sama skali ya. Aku ditahan waktu itu, ga bisa anterin kamu ke bandara, hpku diambil. Semuanya disita. Abis itu aku bisa kabur karna bantuan Finn dan Jauzan. Thanks to them.” Gue liat Griza muterin bola matanya, muak mungkin denger cerita ini berulang-ulang. Tapi, gue tetep lanjutin ngomong.

“Tapi hidup aku ga seenak dulu, Griz. I was so impulsive to do that without any plans.” Gue ngeliat Griza pengen motong. “Don't cut me. Aku coba bertahan, aku cari cara. Untung aja waktu itu aku sempat bawa kabur hp dan beberapa uang yang ga seberapa. It’s hard for me, Griz. Tapi aku ga mau cerita ke kamu, karena kamu jauh, ga mau buat kamu kepikiran. Aku nahan mereka semua buat cerita gimana susahnya aku ngejalanin hidup. Gimana aku tinggal sama Finn. Gimana akhirnya kita mutusin buat buka usaha, tapi kekurangan modal.”

“Dan, I can't understand you, for real. Kamu sendiri kan yang minta buat kita bertahan? Buat kita komunikasiin semuanya. Tapi, kamu juga yang ga mau jujur ke aku. Untuk apa sih dan kita kaya gini? Aku ga minta kamu buat impulsif kaya gitu. Kamu sendiri kan yang milih. Bilang aku egois, Dan. Tapi, lebih baik kita ga bertahan waktu itu kalau kaya gini.”

“Aku minta maaf, Griza.” Gue ga ada pembelaan lagi. Gue sadar kesalahan gue.


POV Grizella

“Dan, kemarin aku rewatched '10 Things I Hate About You'.” Yordan nengok ke arah gue dengan tatapan itu. Tatapan yang diberikan Patrick ke Kat.

Gue natap matanya dan dia nunduk lagi. “And you know what? At this moment I realized something. Now I can see your eyes, the way you look at me was the way Pat look at Kat when she read the poem. I realized that the stare are not only about the way he loves Kat, but about how he felt sorry about what happened to them. Because of how stupid he is. Or maybe it’s all about the wrong time. Maybe we are on the wrong time, Dan.”

Gue tau gue egois. Gue sadar banget. Tapi, gue cuma berharap yang terbaik buat diri gue sendiri. Gue udah terlalu sering sakit. Udah cukup.

Yordan masih milih diam setelah minta maaf itu. Gue juga pengen minta maaf, but blame my ego. Terlalu tinggi buat minta maaf. I know that's wrong of me.

Terlalu lama diam buat gue cape, akhirnya gue ngomong lagi. Nanyain hal yang buat gue dengan terpaksa ngeblock semua media sosial teman-teman gue. Termasuk dia.

“Tentang kamu datang ke perjodohan itu. Aku belum dengerin penjelasannya sama skali loh.” Gue narik napas dalam, kebiasaan. Gue liat wajah herannya, mungkin kaget kenapa gue bisa tahu itu.

Gue ngelanjutin penjelasan gue. “Pasti kamu bingung kan aku tau dari mana. Aku tau karena Kak Lio ngeliat kamu makan sama cewe lain di mall. Kamu kan tau gimana aku dan Kak Lio benci banget sama pengkhianat? Apalagi tukang selingkuh? Kak Lio otomatis langsung nyuruh aku mutusin kamu. Detik itu juga.” Shit. Gue masih lemah. Buktinya air mata gue netes lagi.

Dengan kasar gue hapusin air mata di pipi. Gue sedikit ngelirik ke Yordan, gue liat tangannya yang mau ngedekatin pipi gue. “Tapi, aku ga bisa, Dan. Aku ga bisa mutusin kamu. Satu-satunya cara yang kupikir ya ngeblock kamu.” Gue ambil botol minum di samping kanan gue. Buka tutupnya dan gue minum. Mungkin itu cara gue buat mengalihkan tangis.

“Aku bertahan. Tapi apa? Kabar dari kamu makin berkurang tiap harinya. Sehari sekali cukup kok buat aku, tapi udah too much tau, Dan. Pernah sampai seminggu aku nunggu. Padahal beda 6 jam doang loh. It’s not a big deal.” Gue jelasin semuanya secara perlahan, tidak butuh teriakan amarah itu yang gue pikirin.

“Aku terpaksa, aku bener-bener butuh uang Griz. Buat modal dan ngembangin usaha aku, Jauzan, dan Finn. Mami dan papi mau bantuin dengan syarat aku ketemu perempuan itu setidaknya sekali aja. Aku turutin biar bisnis kita ga jatuh. Aku sama sekali ga nerima perjodohan itu, cuma sekali itu aja aku ketemu. Aku tau aku bodoh, aku tau Griz. And please stop saying it’s not a big deal, it was a big deal. Terutama buat aku. It’s not easy for me.”

Gue ngeliat lagi ke arah Yordan. Terlihat wajah frustasinya. Sepertinya kita berdua udah terlalu cape.

“Dan, setidaknya kamu bisa hubungi aku. 6 bulan itu bakalan panjang banget tau ga tanpa komunikasi sama sekali.” Gue benar-benar natap dia. Yordan mulai ngangkat kepalanya, dia tersenyum pahit. “Dan, aku cuma butuh denger kabar kamu aja. Perlu denger cerita kamu sehari-hari.”

“Bukannya ga mau hubungin kamu, tapi aku bener-bener sibuk, Griz. Aku selalu coba buat hubungin kamu, tapi aku takut ganggu kamu. Waktu free aku pengen nelpon kamu, tapi aku inget kamu kuliah sampai sore. Aku ga bisa sesering dulu main handphone. Aku juga bingung, Griz. Aku bingung harus cerita apa ke kamu, cerita keadaan aku yang kacau? Nope, I'll never tell you that.” Dia nundukin kepalanya lagi. Giliran gue udah milih natap dia, dia milih natap sepatu lusuhnya itu. Wait, gue baru sadar. Yordan yang rapi banget dulu udah ga ada.

Gue terlalu fokus merhatiin keadaannya sekarang, tanpa sadar lupa ngejawab pertanyaannya. Merasa ga mendapatkan jawaban sepertinya dia kembali dengan pertanyaan retoris lain, “tapi akhirnya kamu yang mutusin komunikasi kan, Griz?”

Fokus gue kembali dan akhirnya gue jawab sebisanya, entah kenapa gue mulai merasa bersalah. “Ya karna aku ga kuat.” Tapi, rasa ego gue yang tinggi hilang kendali, rasa ingin melindungi diri sendiri dan merasa bahwa gue benar dan ingin menyalahkan orang lain. Tanpa sadar gue sedikit membentak “Kamu mikir ga sih, Dan?” Kacau. Gue ngacauin semuanya.

Terlihat Yordan sedikit terkejut dengan respon itu, tapi dia tetap berusaha menjawab. “Aku mikir, mikir banget.” Dia menghembuskan napas kasar. “Kenapa sih susah banget buat kita mau bareng.”

Ga ini ga bener. Kita ga bisa ngomong dengan emosi yang udah tersulut gini. Gue berdiri dari duduk. Menatap ke arah Yordan yang masih duduk dengan kedua tangan yang saling terpaut. Reflek yang selalu keluar tiap dia merasa bingung.

“Aku capek, mau istirahat.” Cuma itu yang gue katakan dan ninggalin dia duduk sendirian di sana. We need time.


POV Yordan

Gue paham kenapa Griza ninggalin gue sendirian di sini. Dia ga pernah mau berdebat kalau udah mulai kebawa emosi. Tapi, gue harus selesain semua masalah hari ini. Cuma hari ini waktu buat gue ada di kota ini. Besok gue harus pergi ke kota lain.

Gue narik napas panjang dan nyenderin badan gue ke sandaran kursi taman. Sekarang pikiran gue cuma nyari tempat buat istirahat. Jujur tadi rasa capek gue hilang waktu ngeliat Griza. Ditinggalin gini rasa capeknya langsung 2 kali lipat.

15 menit gue masih bingung harus pergi ke mana. Akhirnya gue mutusin buat tetep duduk di situ. Mungkin orang-orang yang lewat bakalan mikir gue homeless, mereka ga salah sih. Gue emang udah ga punya rumah lagi.

Gue nutup mata, memikirkan segalanya dengan kepala dingin.

Terlalu sayang. Gue terlalu sayang untuk ngelepasin dia. Semua yang gue lakuin sekarang, pengorbanan ini buat dia.


POV Grizella

Gue milih lari lagi. Salahin gue, goblok-goblokin aja gapapa. Gue sadar itu. Gue baru sadar kalau ga mudah buat Yordan yang selama ini hidup dengan kelimpahan tiba-tiba dipertemukan dengan masalah besar seperti ini, yang buat dia terpaksa milih antara gue dan keluarganya. Gue bener-bener egois.

Yordan milih gue, tapi gue milih trust issue yang selama ini ada di gue. I'm trying my best to not hurt my self and I think I'm not hurting him too. But, in the end we both hurt. Karena gue goblok.

Tiba-tiba gue keinget keadaan dia tadi. Dia masih sama, tapi tidak begitu sama dengan dulu. Bukan Yordan yang selalu tampil rapi dengan pakaian yang mungkin cuma sekali seumur hidup aja dipake. Atau dengan sepatu yang tiap hari selalu diganti, padahal harganya bisa buat jajan gue 3 bulan.

Tadi dia beda, gue bisa tebak sepatu itu terus dia pake selama 6 bulan ini. Terlihat banget sepatu itu udah lusuh.

Gue milih untuk mandi, walaupun rasanya keringat gue udah kering karena kelamaan duduk tadi. Setidaknya, gue bisa sedikit dinginin kepala. Hilangin beban-beban tadi dan mikirin jalan keluar buat kita berdua.

Ga butuh waktu lama buat gue mandi habis olahraga, cuma sekitar 15 menitan. Hari ini gue rencananya bermalas-malasan dan main di taman. Tapi, gue rasa bukan ide yang bagus setelah kejadian tadi.

Makanan di kulkas gue habis, termasuk cemilan-cemilan. What a perfect time. Niatan gue buat movie marathon pupus begitu saja. Akhirnya gue ambil jaket dan mutusin buat pergi ke supermarket terdekat.

Jalan ke supermarket itu ngelewatin taman tadi dan gue kaget ngelihat Yordan masih duduk di situ. Tapi, dengan mata tertutup. Gue panik dan berlari ke dekatnya.

“DAN,” gue teriak. Panik. Ga tau kenapa pikiran gue emang lagi ga beres hari ini. Dia kaget, entah kenapa gue malah bersyukur liat dia kaget.

“Kamu kenapa, Griza?” Lah dia malah nanya, harusnya kan gue yang nanya.

“Aku dong yang nanya kamu ngapain masih di sini?” Gue beneran heran.

“Aku nungguin kamu mau bicara lagi.” Dia senyum. Selalu manis.

“Kan kamu bisa balik ke hotel kamu dulu, nanti aja kita ngomongnya.”

No, harus sekarang.”

Waktu 20 menit tadi cukup buat gue menjernihkan otak. Gue duduk di tempat tadi. Kali ini kita berdua memilih untuk berhadap-hadapan.

“Griza,” dia ngambil tangan gue. “Kita coba lagi ya, aku yakin kita bisa.”

“Aku juga udah mikir and I still think that we need time.” Genggaman tangan Yordan makin kuat. “Tapi, setelah aku pikir lagi 6 bulan itu udah terlalu lama. Setelah semua penjelasan kamu tadi, aku bisa paham.”

Yordan menangis. Lucu. “Thank you, Griza.” Dia ngambil tangan gue buat dicium berulang kali. Gue ketawa.

“Lagian kamu itu aneh tau ga, Dan. Aku balik ga sampe seminggu lagi.” Gue bohong. Setidaknya yang tau gue bakalan tetap di Jerman baru Kak Lio dan Elka. “Kamu buang-buang duit tau.”

Stop lying, you're not coming back.” Shit, Elvina Kaia lo pengkhianat. Baru gue berpikir seperti itu dia langsung lanjutin perkataannya. “Bukan Elvina yang bocorin. Aku tau karena denger dari salah satu dosen. Dia tanya ke aku, kenapa aku ga ikut daftar juga padahal kamu perpanjang program.”

Gue lupa Yordan termasuk mahasiswa kesayangan dosen. Sialnya, gue ketahuan bohong dong.

“Ya, ok kalau kamu udah tau.” Cuma itu yang bisa gue katakan pas udah ketahuan basah bohong kan? Gue sedikit meremas jari-jari tangan gue sendiri.

Yordan ketawa, “aku ikut program student exchange juga, kamu tau kan kalau semua biayanya udah ditanggung. Aku cukup bawa uang buat jajan aja. Aku ga perlu begitu khawatir masalah uang dan aku bisa lebih gampang ketemu kamu.”

Bukan Yordan kalau ga buat gue cengo. Asli gue diem.

“Aku belajar untuk lebih planning segala hal, Griz. Aku belajar hal selama jauh dari kamu dan juga lepas dari keluarga.”

Rasa bersalah gue kembali lagi. “Dan, aku minta maaf.”

Dia ketawa. “Gapapa.” Gapapa? Berarti dia sadar dong ya kalau gue juga salah.

“Ok.” Gue bingung harus jawab apa lagi. Selama pacaran kita ga pernah berantem dan nyelesaiin masalah kaya gini. Gue ga tau harus ngapain.

“Menurut kamu kita masih ga bisa bertahan lagi? Karena menurut aku, kita pasti bakalan bisa ngelewatin semuanya.”

Gue cuma bisa diam karena perkataannya sama sekali ga salah. Dengan segala efforts yang dia berikan, gue rasa hubungan kita bisa bertahan. Tapi, percuma kalau cuma dia yang ngeluarin efforts sedangkan gue diem aja.

“Dan, kali ini biarin aku yang berjuang ya. Kamu udah terlalu banyak berjuang buat aku.” Kata gue sok-sokan nawarin diri dan sok kuat. Tapi, balasannya bener-bener buat gue ga habis pikir.

Nope, kamu juga berjuang, Griz. Ngelawan trauma kamu, ngelawan trust issues kamu, ngelawan segala hal itu. Itu ga mudah. Dengan segala itu kamu masih mau terima aku buat tetep jadi pacar kamu. Kamu juga udah ngeluarin effort yang sangat besar. Lagian kita pacaran bukan untuk bahas untung dan rugi kan?”

Gue terharu, bangga, and feels like shit at the same time. Campur aduk. Gimana bisa seorang kaya gue dapetin Yordan. And see? I keep questioning my worth. Kalau Yordan tau mungkin dia bakalan marah.

Gue senyum. It’s such a bless to have him.

“Sekarang kamu mau unblock aku kan?”

Gue ketawa dengar pertanyaan itu dan nganggukin kepala sambil membuka handphone. “Udah.”

Dengan cepat dia mengambil handphone di kantong celananya. Notif handphone gue bunyi berulang kali, udah jelas dari dia. Senyumnya sangat lebar. Benar-benar bahagia.

Can I hug you?

Yes


POV orang ketiga

By the way, kamu mau kemana?” tanya Yordan. Laki-laki itu masih memeluk Grizella erat. Terlalu bahagia, setelah 6 bulan lamanya dia bisa ngerasain pelukan yang sangat disukainya.

“Mau ke supermarket aja sih, beli makanan. Kamu abis ini kemana?” balas Grizella.

“Ke kota sebelah, aku ga sekampus sama kamu.” Yordan sedikit berhati-hati mengatakan itu, takut dengan respon yang akan diberikan Grizella.

“Oh gitu.” Yordan bingung dengan respon itu, kemudian dia melepaskan pelukannya.

“Oh gitu doang?” tanyanya.

“Habis aku bingung harus seneng atau sedih, gapapa kok kita jauh. Tiap weekend tetep bisa ketemu. Karena ga sejauh Indonesia.”

“Bener sih,” kata Yordan kembali memeluk Grizella.

“Kamu mau langsung balik sekarang?” tanya Grizella.

“Iya, setidaknya masalah kita udah selesai. Jadi, aku bisa fokus ngurus berkas.” kata Yordan. Yordan membuat sedikit jarak dari pelukkannya dan menatap wajah Grizella dalam. “Can I kiss you?” salah satu tangannya berada di pipi Grizella, mengelus pipi perempuan itu lembut.

Grizella menutup matanya dan mempersilahkan Yordan untuk menciumnya. Secara perlahan dan lembut. They both knows to play, well because it's not their first time. They've been doing this since their relationship worth 1 weeks.

They kissed till both of them gasped for air.

You really wanna go back to your hotel now?” ask Grizella. Yordan raised his eyebrows. “I mean you can sleep over at my flat, I don't mind. It's just like I slept on your studio.

Yordan get his head closer to Grizella ears and whispered to hers. “It's not the same if I spend a night, Griz.”

Well, I'm ok with it.” It's a green light.

Their kiss continued more agressive than before and for many rounds. But, not in the park. Now they spend their time in Grizella's flat.

Both of them focus on exploring each other mouth, count the teeth, the tongue is busy.

Yordan pecked her lips for a couple times, then moved to her cheeks, ears, eyes, nose, and go lower to her neck.

They just too happy to finally get together, unite, and become one. It will be their first night together in Germany.”


The story of us does not stop here. We still have so much to go through. It is not all about love, and love is not always about give and take. But, it’s about how much you suffer and how far you will suffer. It’s not always about happiness, but it's about pain. We’ve been through all the fun about love and now we’ll go through the sad part. Together.

POV Yordan

Disclaimer: I've never been there, so correct me if I was wrong. Thank you

Akhirnya gue sampai. Sampai di salah satu kota kecil di Jerman. Tujuan gue di sini cuma satu, ketemu sama Griza. Gue butuh penjelasan dan juga butuh jelasin sesuatu ke dia. Gue punya tujuan lain ada di Jerman, tapi bukan di kota ini.

Gue ambil handphone di saku kanan celana jeans gue. Jari gue dengan cepat membuka kolom chat milik Elvina. Gue nyari alamat yang dia kirim 2 hari lalu. Alamat flat Grizella. Sepertinya gue ada di tempat yang tepat.

Gue ngeliat sekeliling nyari di mana taman yang dimaksud Griza. Ketemu satu. Semoga aja bener yang itu.

Gue duduk di sana, sambil melihat-lihat orang-orang sekitar. Mungkin gue datangnya kepagian. Gue jadi keinget gimana buru-burunya gue dari hotel ke sini. Gue ga datang ke sini pas sampai semalam sih, soalnya gue ga segila itu buat gangguin Griza tengah malam.

Bosan dengan pemandangan di hadapan gue—ga sih sebenernya gue ga begitu bosen—gue milih buat mainin handphone. Gue buka kolom chat teratas gue. Kontak Griza masih sama seperti terakhir kali dia ngeblock gue.

Pesan terakhir yang dia kirim adalah “lo jahat”. Gue ga paham maksudnya, tapi bisa saja gue paham. Tapi, gue bingung gue ga mau nebak-nebak mending langsung tanyain ke dia langsung. Biar gue bisa jelasin semuanya.

Gue kaget, tiba-tiba ada perempuan yang duduk di samping kursi taman tersebut. Kayanya dia abis lari pagi deh, dilihat dari pakaian dan cara dia minum dari botol. Kaya ga pernah minum seminggu.

Tanpa sadar gue terus merhatiin perempuan yang duduk di sebelah gue ini. Sampai di detik dia jauhin botol dari mukanya baru gue sadar kalau perempuan ini adalah orang yang gue cari dari tadi, Grizella Asha.

Gue reflek manggil dia, “Griza?”

Dia langsung muncratin minumnya dan nengok ke gue. “Ha?” itu respon pertama yang keluar dari mulutnya. Dari ekspresinya gue bisa tebak dia kaget banget karna kaya abis ngeliat hantu. Gue senyum liat ekspresi cengonya.

And I think she's a little offended by that, her facial expresion changes. “Kamu ngapain di sini?” Setidaknya dia masih manggil gue 'kamu'.

I miss you,” kata gue. Apalagi selain itu? Karena alasan gue di sini juga karena rindu dia kan?

I ain't hearing bullshit.” Dengan kasar dia nutup botol minumnya. Gue kaget.

Gue merubah posisi duduk, tidak sesantai tadi. “Griz, I'm here cause I want to tell you everything and ask why you block me on every social media. That's the only way for me to talk to you, you know that.”

Dia narik napas panjang. Kebiasaannya tiap mau ngejelasin sesuatu panjang lebar, I miss it. “Now I ask you, Dan. Kamu ada ngerasa salah ke aku ga? Just to clarify, not about that airport thing.”

Gue nelan ludah, tiba-tiba rasanya kering aja ni tenggorakan. Dia ngingetin tentang bandara. Gue langsung nunduk, inget gimana begonya gue dulu.

“Griz, you know what happened that day.” Rasanya gue harus tetep ngejelasinnya over and over.

That's why I told you it's not about that. I understand. Aku paham kenapa kamu ga nganterin aku ke bandara waktu itu. Karena ditahan orang tua kamu kan. Aku paham, Dan.” Griza masih menolak buat nengok ke arah gue, jadi gue natap dia sedangkan dia natap ke arah depan, ngeliat pohon-pohon yang ada di taman ini.

cw // abusive

Gue inget gimana gue ditahan sama mami dan papi waktu gue berontak dan nolak perjodohan itu. Gue ditampar. Bener-bener orang yang ga pernah kasar ke gue tiba-tiba pertama kalinya sekasar itu. Jelas gue kaget.

Semua barang gue disita. Bahkan, HP gue. Padahal pagi itu gue udah siap-siap buat pergi nganterin Griza ke bandara. Bener-bener ga ada ampun dari orang tua gue.

Gimana caranya gue kabur? Untung aja gue selalu nyimpen handphone lama gue di kamar. Gue charge dan ngehubungin Finn dan Jauzan buat bantu gue kabur. Gue kabur dengan bekal duit yang sedikit banget untuk hidup lama.

“Gimana, Dan?” Pertanyaan Griza memecah ingatan gue ke waktu itu.

“Aku,” jujur saja gue bingung. “Aku ga tau salah aku apa, Griz.” Untuk sekarang itu yang bisa gue katakan. Gue takut kalau yang gue khawatirin itu berbeda dengan maksudnya dan bakalan nimbulin masalah lain.

“Kamu ga datang nganterin aku, aku pahamin. Terus abis itu kamu mulai susah banget buat aku hubungin. Fine, I don’t mind it. Tapi abis itu apa? Aku denger kamu beneran datang ke perjodohan itu kan?”

Shit. Ternyata yang gue khawatirin bener. Gue nelan ludah lagi.

I can explain it, Griz.” In my opinion it's the safest answer I can give to her.

Then explain it.” Masih dengan posisinya yang tadi, sama sekali tidak mau melihat ke arah gue sedikit pun. Gue denger suara kecilnya ngomong, “After 4 months,” kemudian dia tertawa meremehkan.

Gue masih diem. Bingung harus mulai dari mana.

“Mau ngomong ga? Aku udah diem loh.”

“Ok. Jangan potong sama skali ya. Aku ditahan waktu itu, ga bisa anterin kamu ke bandara, hpku diambil. Semuanya disita. Abis itu aku bisa kabur karna bantuan Finn dan Jauzan. Thanks to them.” Gue liat Griza muterin bola matanya, muak mungkin denger cerita ini berulang-ulang. Tapi, gue tetep lanjutin ngomong.

“Tapi hidup aku ga seenak dulu, Griz. I was so impulsive to do that without any plans.” Gue ngeliat Griza pengen motong. “Don't cut me. Aku coba bertahan, aku cari cara. Untung aja waktu itu aku sempat bawa kabur hp dan beberapa uang yang ga seberapa. It’s hard for me, Griz. Tapi aku ga mau cerita ke kamu, karena kamu jauh, ga mau buat kamu kepikiran. Aku nahan mereka semua buat cerita gimana susahnya aku ngejalanin hidup. Gimana aku tinggal sama Finn. Gimana akhirnya kita mutusin buat buka usaha, tapi kekurangan modal.”

“Dan, I can't understand you, for real. Kamu sendiri kan yang minta buat kita bertahan? Buat kita komunikasiin semuanya. Tapi, kamu juga yang ga mau jujur ke aku. Untuk apa sih dan kita kaya gini? Aku ga minta kamu buat impulsif kaya gitu. Kamu sendiri kan yang milih. Bilang aku egois, Dan. Tapi, lebih baik kita ga bertahan waktu itu kalau kaya gini.”

“Aku minta maaf, Griza.” Gue ga ada pembelaan lagi. Gue sadar kesalahan gue.


POV Grizella

“Dan, kemarin aku rewatched '10 Things I Hate About You'.” Yordan nengok ke arah gue dengan tatapan itu. Tatapan yang diberikan Patrick ke Kat.

Gue natap matanya dan dia nunduk lagi. “And you know what? At this moment I realized something. Now I can see your eyes, the way you look at me was the way Pat look at Kat when she read the poem. I realized that the stare are not only about the way he loves Kat, but about how he felt sorry about what happened to them. Because of how stupid he is. Or maybe it’s all about the wrong time. Maybe we are on the wrong time, Dan.”

Gue tau gue egois. Gue sadar banget. Tapi, gue cuma berharap yang terbaik buat diri gue sendiri. Gue udah terlalu sering sakit. Udah cukup.

Yordan masih milih diam setelah minta maaf itu. Gue juga pengen minta maaf, but blame my ego. Terlalu tinggi buat minta maaf. I know that's wrong of me.

Terlalu lama diam buat gue cape, akhirnya gue ngomong lagi. Nanyain hal yang buat gue dengan terpaksa ngeblock semua media sosial teman-teman gue. Termasuk dia.

“Tentang kamu datang ke perjodohan itu. Aku belum dengerin penjelasannya sama skali loh.” Gue narik napas dalam, kebiasaan. Gue liat wajah herannya, mungkin kaget kenapa gue bisa tahu itu.

Gue ngelanjutin penjelasan gue. “Pasti kamu bingung kan aku tau dari mana. Aku tau karena Kak Lio ngeliat kamu makan sama cewe lain di mall. Kamu kan tau gimana aku dan Kak Lio benci banget sama pengkhianat? Apalagi tukang selingkuh? Kak Lio otomatis langsung nyuruh aku mutusin kamu. Detik itu juga.” Shit. Gue masih lemah. Buktinya air mata gue netes lagi.

Dengan kasar gue hapusin air mata di pipi. Gue sedikit ngelirik ke Yordan, gue liat tangannya yang mau ngedekatin pipi gue. “Tapi, aku ga bisa, Dan. Aku ga bisa mutusin kamu. Satu-satunya cara yang kupikir ya ngeblock kamu.” Gue ambil botol minum di samping kanan gue. Buka tutupnya dan gue minum. Mungkin itu cara gue buat mengalihkan tangis.

“Aku bertahan. Tapi apa? Kabar dari kamu makin berkurang tiap harinya. Sehari sekali cukup kok buat aku, tapi udah too much tau, Dan. Pernah sampai seminggu aku nunggu. Padahal beda 6 jam doang loh. It’s not a big deal.” Gue jelasin semuanya secara perlahan, tidak butuh teriakan amarah itu yang gue pikirin.

“Aku terpaksa, aku bener-bener butuh uang Griz. Buat modal dan ngembangin usaha aku, Jauzan, dan Finn. Mami dan papi mau bantuin dengan syarat aku ketemu perempuan itu setidaknya sekali aja. Aku turutin biar bisnis kita ga jatuh. Aku sama sekali ga nerima perjodohan itu, cuma sekali itu aja aku ketemu. Aku tau aku bodoh, aku tau Griz. And please stop saying it’s not a big deal, it was a big deal. Terutama buat aku. It’s not easy for me.”

Gue ngeliat lagi ke arah Yordan. Terlihat wajah frustasinya. Sepertinya kita berdua udah terlalu cape.

“Dan, setidaknya kamu bisa hubungi aku. 6 bulan itu bakalan panjang banget tau ga tanpa komunikasi sama sekali.” Gue benar-benar natap dia. Yordan mulai ngangkat kepalanya, dia tersenyum pahit. “Dan, aku cuma butuh denger kabar kamu aja. Perlu denger cerita kamu sehari-hari.”

“Bukannya ga mau hubungin kamu, tapi aku bener-bener sibuk, Griz. Aku selalu coba buat hubungin kamu, tapi aku takut ganggu kamu. Waktu free aku pengen nelpon kamu, tapi aku inget kamu kuliah sampai sore. Aku ga bisa sesering dulu main handphone. Aku juga bingung, Griz. Aku bingung harus cerita apa ke kamu, cerita keadaan aku yang kacau? Nope, I'll never tell you that.” Dia nundukin kepalanya lagi. Giliran gue udah milih natap dia, dia milih natap sepatu lusuhnya itu. Wait, gue baru sadar. Yordan yang rapi banget dulu udah ga ada.

Gue terlalu fokus merhatiin keadaannya sekarang, tanpa sadar lupa ngejawab pertanyaannya. Merasa ga mendapatkan jawaban sepertinya dia kembali dengan pertanyaan retoris lain, “tapi akhirnya kamu yang mutusin komunikasi kan, Griz?”

Fokus gue kembali dan akhirnya gue jawab sebisanya, entah kenapa gue mulai merasa bersalah. “Ya karna aku ga kuat.” Tapi, rasa ego gue yang tinggi hilang kendali, rasa ingin melindungi diri sendiri dan merasa bahwa gue benar dan ingin menyalahkan orang lain. Tanpa sadar gue sedikit membentak “Kamu mikir ga sih, Dan?” Kacau. Gue ngacauin semuanya.

Terlihat Yordan sedikit terkejut dengan respon itu, tapi dia tetap berusaha menjawab. “Aku mikir, mikir banget.” Dia menghembuskan napas kasar. “Kenapa sih susah banget buat kita mau bareng.”

Ga ini ga bener. Kita ga bisa ngomong dengan emosi yang udah tersulut gini. Gue berdiri dari duduk. Menatap ke arah Yordan yang masih duduk dengan kedua tangan yang saling terpaut. Reflek yang selalu keluar tiap dia merasa bingung.

“Aku capek, mau istirahat.” Cuma itu yang gue katakan dan ninggalin dia duduk sendirian di sana. We need time.


POV Yordan

Gue paham kenapa Griza ninggalin gue sendirian di sini. Dia ga pernah mau berdebat kalau udah mulai kebawa emosi. Tapi, gue harus selesain semua masalah hari ini. Cuma hari ini waktu buat gue ada di kota ini. Besok gue harus pergi ke kota lain.

Gue narik napas panjang dan nyenderin badan gue ke sandaran kursi taman. Sekarang pikiran gue cuma nyari tempat buat istirahat. Jujur tadi rasa capek gue hilang waktu ngeliat Griza. Ditinggalin gini rasa capeknya langsung 2 kali lipat.

15 menit gue masih bingung harus pergi ke mana. Akhirnya gue mutusin buat tetep duduk di situ. Mungkin orang-orang yang lewat bakalan mikir gue homeless, mereka ga salah sih. Gue emang udah ga punya rumah lagi.

Gue nutup mata, memikirkan segalanya dengan kepala dingin.

Terlalu sayang. Gue terlalu sayang untuk ngelepasin dia. Semua yang gue lakuin sekarang, pengorbanan ini buat dia.


POV Grizella

Gue milih lari lagi. Salahin gue, goblok-goblokin aja gapapa. Gue sadar itu. Gue baru sadar kalau ga mudah buat Yordan yang selama ini hidup dengan kelimpahan tiba-tiba dipertemukan dengan masalah besar seperti ini, yang buat dia terpaksa milih antara gue dan keluarganya. Gue bener-bener egois.

Yordan milih gue, tapi gue milih trust issue yang selama ini ada di gue. I'm trying my best to not hurt my self and I think I'm not hurting him too. But, in the end we both hurt. Karena gue goblok.

Tiba-tiba gue keinget keadaan dia tadi. Dia masih sama, tapi tidak begitu sama dengan dulu. Bukan Yordan yang selalu tampil rapi dengan pakaian yang mungkin cuma sekali seumur hidup aja dipake. Atau dengan sepatu yang tiap hari selalu diganti, padahal harganya bisa buat jajan gue 3 bulan.

Tadi dia beda, gue bisa tebak sepatu itu terus dia pake selama 6 bulan ini. Terlihat banget sepatu itu udah lusuh.

Gue milih untuk mandi, walaupun rasanya keringat gue udah kering karena kelamaan duduk tadi. Setidaknya, gue bisa sedikit dinginin kepala. Hilangin beban-beban tadi dan mikirin jalan keluar buat kita berdua.

Ga butuh waktu lama buat gue mandi habis olahraga, cuma sekitar 15 menitan. Hari ini gue rencananya bermalas-malasan dan main di taman. Tapi, gue rasa bukan ide yang bagus setelah kejadian tadi.

Makanan di kulkas gue habis, termasuk cemilan-cemilan. What a perfect time. Niatan gue buat movie marathon pupus begitu saja. Akhirnya gue ambil jaket dan mutusin buat pergi ke supermarket terdekat.

Jalan ke supermarket itu ngelewatin taman tadi dan gue kaget ngelihat Yordan masih duduk di situ. Tapi, dengan mata tertutup. Gue panik dan berlari ke dekatnya.

“DAN,” gue teriak. Panik. Ga tau kenapa pikiran gue emang lagi ga beres hari ini. Dia kaget, entah kenapa gue malah bersyukur liat dia kaget.

“Kamu kenapa, Griza?” Lah dia malah nanya, harusnya kan gue yang nanya.

“Aku dong yang nanya kamu ngapain masih di sini?” Gue beneran heran.

“Aku nungguin kamu mau bicara lagi.” Dia senyum. Selalu manis.

“Kan kamu bisa balik ke hotel kamu dulu, nanti aja kita ngomongnya.”

No, harus sekarang.”

Waktu 20 menit tadi cukup buat gue menjernihkan otak. Gue duduk di tempat tadi. Kali ini kita berdua memilih untuk berhadap-hadapan.

“Griza,” dia ngambil tangan gue. “Kita coba lagi ya, aku yakin kita bisa.”

“Aku juga udah mikir and I still think that we need time.” Genggaman tangan Yordan makin kuat. “Tapi, setelah aku pikir lagi 6 bulan itu udah terlalu lama. Setelah semua penjelasan kamu tadi, aku bisa paham.”

Yordan menangis. Lucu. “Thank you, Griza.” Dia ngambil tangan gue buat dicium berulang kali. Gue ketawa.

“Lagian kamu itu aneh tau ga, Dan. Aku balik ga sampe seminggu lagi.” Gue bohong. Setidaknya yang tau gue bakalan tetap di Jerman baru Kak Lio dan Elka. “Kamu buang-buang duit tau.”

Stop lying, you're not coming back.” Shit, Elvina Kaia lo pengkhianat. Baru gue berpikir seperti itu dia langsung lanjutin perkataannya. “Bukan Elvina yang bocorin. Aku tau karena denger dari salah satu dosen. Dia tanya ke aku, kenapa aku ga ikut daftar juga padahal kamu perpanjang program.”

Gue lupa Yordan termasuk mahasiswa kesayangan dosen. Sialnya, gue ketahuan bohong dong.

“Ya, ok kalau kamu udah tau.” Cuma itu yang bisa gue katakan pas udah ketahuan basah bohong kan? Gue sedikit meremas jari-jari tangan gue sendiri.

Yordan ketawa, “aku ikut program student exchange juga, kamu tau kan kalau semua biayanya udah ditanggung. Aku cukup bawa uang buat jajan aja. Aku ga perlu begitu khawatir masalah uang dan aku bisa lebih gampang ketemu kamu.”

Bukan Yordan kalau ga buat gue cengo. Asli gue diem.

“Aku belajar untuk lebih planning segala hal, Griz. Aku belajar hal selama jauh dari kamu dan juga lepas dari keluarga.”

Rasa bersalah gue kembali lagi. “Dan, aku minta maaf.”

Dia ketawa. “Gapapa.” Gapapa? Berarti dia sadar dong ya kalau gue juga salah.

“Ok.” Gue bingung harus jawab apa lagi. Selama pacaran kita ga pernah berantem dan nyelesaiin masalah kaya gini. Gue ga tau harus ngapain.

“Menurut kamu kita masih ga bisa bertahan lagi? Karena menurut aku, kita pasti bakalan bisa ngelewatin semuanya.”

Gue cuma bisa diam karena perkataannya sama sekali ga salah. Dengan segala efforts yang dia berikan, gue rasa hubungan kita bisa bertahan. Tapi, percuma kalau cuma dia yang ngeluarin efforts sedangkan gue diem aja.

“Dan, kali ini biarin aku yang berjuang ya. Kamu udah terlalu banyak berjuang buat aku.” Kata gue sok-sokan nawarin diri dan sok kuat. Tapi, balasannya bener-bener buat gue ga habis pikir.

Nope, kamu juga berjuang, Griz. Ngelawan trauma kamu, ngelawan trust issues kamu, ngelawan segala hal itu. Itu ga mudah. Dengan segala itu kamu masih mau terima aku buat tetep jadi pacar kamu. Kamu juga udah ngeluarin effort yang sangat besar. Lagian kita pacaran bukan untuk bahas untung dan rugi kan?”

Gue terharu, bangga, and feels like shit at the same time. Campur aduk. Gimana bisa seorang kaya gue dapetin Yordan. And see? I keep questioning my worth. Kalau Yordan tau mungkin dia bakalan marah.

Gue senyum. It’s such a bless to have him.

“Sekarang kamu mau unblock aku kan?”

Gue ketawa dengar pertanyaan itu dan nganggukin kepala sambil membuka handphone. “Udah.”

Dengan cepat dia mengambil handphone di kantong celananya. Notif handphone gue bunyi berulang kali, udah jelas dari dia. Senyumnya sangat lebar. Benar-benar bahagia.

Can I hug you?

Yes

The story of us does not stop here. We still have so much to go through. It is not all about love, and love is not always about give and take. But, it’s about how much you suffer and how far you will suffer. It’s not always about happiness, but it's about pain. We’ve been through all the fun about love and now we’ll go through the sad part. Together.

POV Grizella

Seharusnya seminggu lagi gue balik ke Jakarta, tapi sebulan lalu gue mutusin buat lanjutin program student exchange ini. Keputusan tepat atau salah, gue sendiri ga tau. 4 bulan lalu gue mutusin semua koneksi dengan orang-orang di Indonesia. Termasuk pacar gue, Yordan.

Alasannya? Gue belum mau jelasin.

Ah iya ada satu orang yang koneksinya masih lancar sama gue. Kak Grelio. Cuma dia aja.

Gue sekarang lagi di luar flat, nyari sarapan. Jerman dan Jakarta bedanya cuma 6 jam. Di Jakarta saat ini mungkin sekitar jam 4 sore. Gue milih buat duduk di salah satu taman dekat flat tempat gue tinggal.

Gue mainin handphone yang daritadi gue anggurin dalam kantong jaket. Tangan gue bergulir buat buka salah satu aplikasi chatting yang sering banget gue pake di Indonesia.

Ada satu kontak yang ga pernah gue lepas dari pinned contact. Kangen. Tapi, gue mutusin buat menggulir layar dan melihat satu nama kontak lain ‘Elka’.

Unblock ga ya? Pertanyaan itu terus gue tanyakan. Tapi, akhirnya gue mutusin buat membuka blokiran tersebut dan langsung mengetikkan sesuatu. Terlihat tulisan typing di bawah nama Elka. Responnya marah. Gue ketawa, respon yang sangat tertebak dari seorang Elvina Kaia.

Gue mutusin buat nelpon dia untuk jelasin semuanya. Alasan kenapa gue nge-block mereka semua di seluruh media sosial. Dia diam. Mungkin ini pertama kali juga dia mendengar tentang itu.

Setelah itu gue ngasih tau ke dia kalau gue perpanjang program student exchange dan keterima lagi. Secara ga langsung gue berharap dia bisa nyampein ini ke Yordan. Dia marah, katanya “Emang lo ga kangen sama gue, Griz? Lo kok jahat banget sih. Gue ga punya temen tau di kampus.” Gue ketawa kencang banget sampai ga sadar pipi gue mulai basah.

Jelas gue kangen. Gue kangen Indonesia. Gue kangen teman-teman gue. Gue kangen Kak Lio. Dan gue kangen Yordan.

Gue mutusin telpon dengan alasan gue udah mau balik ke flat. Sepanjang telpon tadi gue sama sekali ga nanyain tentang Yordan. Gue takut dengan apa yang bakalan gue denger. Gue takut kalau ternyata cuma gue aja yang anggap kita masih pacaran.

Karena pada dasarnya tidak ada kata putus sama sekali di antara kita. Tapi, kadang takdir sejahat itu. Gue masuk ke kamar, ganti baju yang tadi gue pake keluar. Saat ini Jerman sudah mulai memasuk musim panas. Akhirnya, gue mutusin pake tank top dan jogger pants.

Gue ngambil selimut dan laptop, kemudian duduk di sofa sambil nonton salah satu film favorite yang ga tau udah berapa puluh kali gue rewatch. Kalau gue nonton ini tandanya gue lagi rindu sama seseorang.

Iya, gue lagi nonton '10 Things I Hate About You'. Kalian pasti tau ya gue lagi rindu siapa? Hahahaha.

Gue beneran kangen banget sama dia. Tiap hari.

Gue mulai menguap. Ngantuk banget sih, padahal belum lama gue bangun tidur. Hari ini paling gue bersih-bersih flat aja. Mata gue bener-bener ketutup saat adegan yang selalu gue suka keputar. Adegan saat Kat bacain puisi untuk Pat. And then I realized something. About that scene.

Johnny memakirkan mobilnya tepat di sebelah mobil keluarga Pamela. Kemudian laki-laki itu turun dan mengetuk pintu rumah, yang disambut oleh Mama Tari dengan senyuman tipis.

“Masuk, John.”

Johnny tersenyum, tak lupa memberikan salamnya kepada Mama Tari. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah seperti rumahnya sendiri.

“Pamela di kamar kan, Ma?” tanya Johnny.

“Iya di kamar, ga mau keluar dari kemarin pas pulang itu. Belum makan-makan juga. Makanya Mama mikir kalian itu berantem,” jelas Mama Tari.

“Anak kamu itu emang masih kekanakan banget, selalu dibilangin buat istirahat dulu dari kerjanya. Dia itu kan bukan anak kekurangan yang harus nyari duit berlebihan,” sambung Papa Dion.

“Pa, dia kan gila kerja karena ngeliat Papanya juga gitu,” kata Mama Tari.

Tidak ingin mendengarkan kedua calon mertuanya itu adu mulut, Johnny memilih pamit ke kamar Pamela.

“Pam?” Johnny mengetuk pintu kamar Pamela. Tak kunjung mendapat sautan dari empunya kamar, Johnny kembali mengetuk pintu kamar tersebut. Tapi, masih tidak mendapat respon apapun.

“Pam, aku masuk ya?” Johnny membuka pintu kamar tersebut. Dilihatnya Pamela yang sedang sibuk memainkan handphone-nya.

“Makan dulu ayo,” kata Johnny. “Abis itu kita berangkat ke hotel, udah siap kan?” lanjutnya.

Pamela hanya memberikan respon berupa gelengan kepala. Tidak jelas apa maksudnya.

“Apa yang ga? Makan dulu ayo sini,” kata Johnny sekali lagi. Terdengar terlalu sabar.

Pamela menghembuskan napas panjang. “Males makan dan aku juga belum packing sama sekali.”

“Yaudah nanti aku bantuin, tapi makan dulu ya?” bujuk Johnny.

Setelah beberapa kali bujukan baru Pamela setuju dengan permintaan Johnny.

“Maafin aku ya, Ka Jo.” Johnny yang sedang memasukkan barang-barang yang ditunjuk Pamela berpaling menatap wanita itu dan mengangkat alisnya.

“Kayanya kemarin aku keterlaluan deh,” kata Pamela.

It's ok,” Johhny tersenyum dan melanjutkan kegiatannya.

Pamela kembali menyendokkan bubur yang masih di dalam wadah styrofoam tersebut.

“Menurut kamu kita siap ga sih, Ka Jo? Rasanya akhir-akhir ini aku makin sering kepikiran.” cicit Pamela.

“Kita siap kok, Pam. Mungkin karena harinya makin dekat kamu jadi sering kepikiran.” Johnny berdiri dari duduknya. “Ini aja kan? Aku bawa ke mobil ya.” Pamela menganggukan kepalanya.

Johnny menarik 2 koper besar milik Pamela ke luar. Berjalan menuju mobilnya. Pikirannya sibuk. Dia jadi ikut bertanya-tanya apakah dia benar-benar siap dengan kehidupan pernikahan.

Pamela masih duduk manis di sebelah Mama Agni. Tidak ingin terlihat gelisah. Tetapi, tangannya sibuk menghubungi sang tunangan.

“Pamela umurnya masuk 25 tahun ya?” Pertanyaan tersebut dilontarkan salah satu teman Mama Agni yang bernama Maya.

“Iya, Tan. Tahun ini 25.” Pamela membalas pertanyaan tersebut sambil memberikan senyumnya.

“Masih muda, ga mau nunda buat punya anak kan?” Tante Maya kembali melontarkan pertanyaan.

“Aku ikut jalan Tuhan aja, Tan. Kalau udah dikasih kepercayaan pasti terima.” jawab Pamela.

“Bener-bener harus gitu, ga kaya calon menantuku dulu katanya mau nunda punya anak. Ya langsung kusuruh putusin aja. Untuk apa menikah kalau ga mau punya anak.”

“Tap-“ Pamela sangat ingin menyela perkataan itu. Tetapi, Mami Agni berbica terlebih dulu.

“Yang namanya Dina itu ya, Jeng? Tapi, kelihatan anaknya baik.”

“Baik sih,” balas Tante Maya dengan raut muka tidak senang. “Tapi, ga suka aja loh, Jeng. Aku itu kan pengen cepet punya cucu. Kamu pasti paham kan, waktu dulu aja kamu pengen jodohin anak perempuanku dengan Johnny. Karena pengen cepet punya cucu.”

Pamela terkaget mendengar itu dan terlihat juga Mama Agni memasang ekspresi kaget. “Itu kan dulu, sekarang Johnny udah mau nikah sama Pamela.” kata Mama Agni.

“Ya cuma ngingetin aja sih, Jeng. Padahal dulu aku seneng loh.” kata Tante Maya melirik Pamela. Mama Agni tidak merespon perkataan itu.

“Pamela, denger-denger kamu punya bakery ya?” Pertanyaan tersebut muncul dari Tante Siska yang duduk tepat di seberangnya.

“Iya, Tan. Ark Bakery. Awalnya aku punya Cafe, terus aku kembangin jadi bakery gitu.” Pamela senang akhirnya ada yang tertarik dengan kehidupan pribadinya. Terutama terkait bisnisnya.

“Kamu masih sibuk ngurusin itu ya?” tanya Tante Siska sekali lagi.

“Iya, Tan. Kalau mau mampir nanti hubungi aku aja. Aku selalu di bakery kok.” Pamela tersenyum sembari menjawab.

“Kamu sampai nikah masih mau jagain bakery itu? Harusnya di rumah aja loh kalau udah nikah. Johnny penghasilannya juga bagus kok.” kata Tante Siska.

Seketika raut wajah Pamela berubah. Melihat Pamela tidak menjawab sama sekali, Tante Nona yang duduk di sebelah Tante Siska membuka suara.

“Ya gapapa kali, Sis. Emang salah ya kalau perempuan mau punya usaha sendiri? Kamu tuh ga boleh samakan dirimu sama Pamela. Kamu kok kaya ga seneng ngeliat perempuan muda sukses berbisnis.” sindir Tante Nona.

“Aku hanya ngasih saran aja, Na. Kita kan udah nikah pasti lebih tau dong.” jawab Tante Siska tidak terima ditegur seperti itu oleh Tante Nona.

“Sis, Pamela itu emang wanita karir. Aku suka kok punya menantu wanita karir. Kok kamu yang ribet.” ucap Mama Agni.

Suasana sedikit mendingin, tetapi Tante Siska dan Tante Maya serasa tidak peduli dengan kata-kata meraka. Begitu juga dengan Tante Nona dan Mama Agni yang seperti sudah terbiasa dengan situasi ini.

“Halo, tante-tante,” suara tersebut memecah keheningan di meja yang hanya diisi suara sumpit beradu. Itu Johnny.

“Eh Johnny, maaf ya kita pinjem calon istrimu sebentar.” Ucapan-ucapan basa-basi dilontarkan oleh para tante itu.

“Gapapa, kalau Pamela senang-senang aja,” jawab Johnny dengan senyuman yang sangat dalam. “Kalau boleh Pamela balik sama aku sekarang ya, Tan. Dia ga boleh terlalu capek, acara kita juga udah dekat. Permisi ya, Tan.” Johnny berpamitan kepada semua orang di meja itu termasuk Mamanya. Diikuti Pamela yang juga ikut berpamitan.

“Kok ga ngomong sih kalau diajakin Mama gini?” tanya Johnny saat sampai di mobil.

“Mama bilangnya ga bakalan lama, Ka Jo. Jadi aku ikut aja.” kata Pamela melipat tangannya di dada.

“Mereka ngomong apa aja sama kamu?” tanya Johnny. Pria itu menghadap ke Pamela dan mengelus rambut Pamela.

“Ya banyak.” singkat Pamela.

“Jangan juteknya ke aku dong, Pam.” Johnny sedikit tertawa.

“Kok kamu malah ketawa sih? Aku ngorbanin waktu aku loh buat ke sini. Bukan buat dapat kata-kata yang ga aku suka. Iya itu emang bukan salah kamu, tapi kamu harusnya ga ketawa gitu.” Pamela membalas Johnny dengan sangat sinis.

“Oh, shit. My bad. Aku salah, aku ga mikir kalau kamu bakalan seemosional ini, Pam.”

“Emosional kamu bilang? Ka Jo, kamu pasti udah tau kan gimana mulut mereka kalau kamu langsung nanya aku kaya tadi. Harusnya kamu ga gitu responnya.” kata Pamela.

Johnny sedikit memutar matanya. Tidak disengaja. “Iya, aku salah, Pam. Udah ya? Kita pulang.” ajak Johnny.

“Kamu ga seneng?” tanya Pamela.

“Pam, kok kita jadi berantem sih? Kalau ngomongin ngorbanin waktu. Aku juga ngorbanin waktu loh buat ke sini.” ujar Johnny.

“Jadi kamu ga ikhlas? Aku cape, Ka Jo. Aku ngerasa dapat tekanan tiap saat.” kata Pamela.

“Ga gitu. Kamu jangan langsung nyimpulin semuanya gitu dong,” jawab Johnny. “Aku tahu kamu cape, makanya aku ke sini kan? Jemput kamu.”

Pamela diam.

“Pam?”

Wanita itu masih terus diam. Dia merasa akan mengeluarkan air mata juga berusaha membalas perkataan Johnny.

“Yaudah kalau kamu ga mau ngomong. Aku minta maaf kalau tadi salah ngomong. Tapi, jangan diemin aku ya.” tutup Johnny.

Pria itu memasang seatbelt Pamela dan juga miliknya sendiri. Kemudian menjalankan mobil keluar dari parkiran Mall.

Puas berjalan dan membagikan banyak video dan foto di media sosial. Keduanya memutuskan untuk pergi ke studio. Perjalanan kali ini hanya dipenuhi suara dari radio dan suara Yordan dan Grizella yang bersenandung mengikuti lagu yang terputar.

Ketika sampai ke tempat tujuan, mereka tidak langsung masuk ke dalam Studio. Menyempatkan untuk membeli beberapa minuman dan cemilan di warung depan. Setelahnya mereka masuk dan duduk dengan manis di sofa.

Yordan mengambil kaleng minuman soda dan dibukanya. Dia memberikan botol yang telah terbuka itu kepada Grizella. “Thanks, Dan.” Yordan hanya tersenyum.

Mereka sibuk dengan minuman masing-masing. Terlalu banyak hal yang ada di kepala. Hingga satu suara memecah keheningan.

“Dan, aku mau ngomong.” Grizella yang memecah keheningan tersebut.

“Aku juga,” balas Yordan.

“Kamu aja dulu kalau gitu,” Grizella tersenyum dan mempersilahkan Yordan untuk bercerita terlebih dahulu.

Yordan meneguk air dalam kemasan yang dipegangnya sejak tadi. Menimbang-nimbang kalimat yang harus diucapkan.

“Kenapa, sayang?” tanya Grizella mengelus tangan Yordan. Perasaannya mulai tidak enak. Grizella mulai menebak-nebak apa yang akan disampaikan Yordan.

“Aku dijodohin, Griza.” Yordan mengatakan itu dengan kalimat lantang seraya menutup matanya. Kemudian menundukan kepala, pasrah.

Grizella tersenyum. Perempuan itu diam tanpa memberikan jawaban, membuat Yordan membuka mata dan menoleh ke sang puan.

“Kamu beneran udah tau?” tanya Yordan yang direspon anggukan kepala dari Grizella.

“Kenapa ga cerita?” Grizella diam. Bingung. Yordan menatap sang kekasih dengan tatapan sayang dan mata berkaca.

“Susah, Dan. Waktu itu aku sempat tanya kamu dan kamu milih buat ngikutin orang tua kam-”

Omongan Grizella dipotong oleh Yordan. “Iya, tapi kalau waktu itu kamu ngomong ke aku. Aku pasti bakalan ngomongin semuanya sama Mami. Pasti Mami bakalan dengerin aku, sayang.” Kalimat Yordan penuh dengan penekanan walaupun dia tetap berusaha menyampaikannya dengan halus.

“Dan.” Grizella menakan nama Yordan, membuat laki-laki itu terdiam. “Dengerin aku dulu. Ga gampang buat aku ngomong ke kamu. Kamu tau ga gimana perasaan aku waktu dengerin itu? Ga tau, Dan. Kamu ga tau. Aku sayang sama kamu dan ga mungkin aku bakalan berusaha buat ngerusakin hubungan kamu sama mami kamu itu.”

Grizella menarik napas. “Aku juga ga yakin kamu bakalan percaya kata-kata aku. Kamu udah terlalu menempel tau ga sama kehidupan serba ada kamu itu. Kelihatan banget kalau kamu ga bakalan bisa lepasin semuanya. Aku denger, Dan. Aku denger mami kamu bilang bakalan ngapain aja kalau kamu ga nerima perjodohan itu. Jadi jangan salahin aku.”

Kedua lovebirds itu terdiam. Sibuk berputar dalam pikirannya masing-masing.

“Kita bicarain lagi nanti ya, Griza.” Putus Yordan. “Kita butuh kepala dingin,” lanjutnya. Yordan meraih tangan Grizella yang ditepis perempuan itu.

“Ga bisa, Dan.”

“Maksud kamu?” tanya Yordan heran.

“Aku bakalan berangkat besok,” kata Grizella dingin.

“Maksud kamu?” Yordan mengulangi pertanyaannya. Takut dia salah tangkap atau salah dengar.

“Aku bakalan berangkat besok, ke Jerman. Aku lolos program student exchange.” Perempuan itu menyandarkan badannya ke sofa.

“Griz, maksudnya apa sih? Aku ga pernah dengar loh.” Yordan memutar badannya agar dapat melihat Grizella dengan baik.

“Iya, karena aku ga pernah cerita,” jawab Grizella. Perempuan itu menatap mata Yordan.

Terpancar dari tatapan itu rasa sakit. Dua-duanya sama-sama sakit. Tidak ada yang lebih atau kurang. Rasa sakit yang dirasakan sama.

“Griz, kita beneran pacaran ga sih?” Entah kenapa pertanyaan itu timbul dari mulut Yordan.

Kemudian dia melanjutkan. “Aku ngerasa kita ga pernah tau satu sama lain. Kita belum kenal satu sama lain, Griz.” Yordan menunduk. Pusing.

I’m sorry, Dan. Aku ga mungkin bisa nyuruh kamu milih aku atau masa depan kamu kan. Jadi, menurut aku ini keputusan tepat buat aku pergi.”

“Griz, I’m begging you to not leave me. I can’t live if it’s not with you.

You can, Dan. Sebelum sama aku kamu juga baik-baik saja kan?”

No, I’m not.” Air mata Yordan mulai berjatuhan. “How’d you know?”

I just know you will.


30 menit berlalu dengan keduanya berdiam diri.

“Udah? Kamu ga mau ngomong lagi kan? Aku pulang aja ya, besok aku harus berangkat, Dan.”

“Ga, diem. Biarin aku mikir dulu,” jawab Yordan. Dia menahan tangan Grizella.

“Kamu mau ngapain sih? Dan, kamu tau ga gimana kamu mudah banget ngeluarin uang? Kamu yakin bisa lepasin semua itu? Lagian aku juga bakalan berangkat,” kata Grizella.

“Kamu ga bakalan selamanya di sana, Grizella Asha.” Untuk pertama kalinya semenjak pacaran Yordan memanggil nama Grizella dengan lengkap.

Please, let me think. Aku harus ketemu cara buat bisa pertahanin hubungan kita. Kamu ga mau lagi sama aku?”

Grizella memilih diam. Dia juga tidak ingin hubungan percintaannya gagal lagi. Terutama dengan seorang Yordan Ward.

I’ll leave my house.

“Dan, are you insane?” Grizella tentu kaget dnegan keputusan Yordan.

Of course, I am.

“Ga, lo gila.”

I choose you, Griza.”

I’m not proud about it, Dan. Kamu ga mikir kedepannya?”

“Aku udah mikirin semuanya, Griza. Just believe in me.”

“Kamu bakalan tinggal di mana?”

“Kosan Finn,” jawab Yordan tanpa pikir panjang.

“Emang diizinin?”

“Udah urusan gampang.”

“Aneh,” kata Grizella.

Yordan tertawa.

“Ga ada yang nyuruh ketawa,” kata Grizella.

I’m just happy. Setidaknya hubungan kita baik. And I’ll wait for you. Aku bakalan buktiin aku bisa hidup tanpa semua itu ke kamu, terutama ke Mami.”

“Kamu jadi anak durhaka tau ga, Dan.”

Well, mereka yang ngeremehin aku.” Yordan mengeratkan genggaman tangannya di tangan Grizella. “You really have to go?

Like you said, I’m not stuck there forever.”

“Tapi, kamu tetep pergi.” Kata Yordan memeluk Grizella erat.

Just for 6 months from now.” Grizella membalas pelukan Yordan, tightly.

“Griza, I really love you. Kalau ada apa-apa cerita ke aku. Kita pacaran loh.”

I will, you please do the same. And I love you too.”

I will.”

“Ok, Mr. Basic.”

No, I’m anti basic.”

They laugh while hugging each other. Don't care about what will happen next. As long as they are still together, it's enough for them.

fin

Grizella duduk di satu-satunya sofa di studio milik kekasihnya itu. Perempuan itu selalu membawa pakaian ganti, karena keadaan yang tidak begitu memungkinkan untuk mandi.

“Kamu mau ngapain?” tanya perempuan itu kepada si laki-laki yang baru saja masuk ke dalam studio.

“Pengen ngobrol aja,” katanya. Yordan mengambil posisi tepat di samping Grizella.

Perempuan itu tidak membiarkan kesempatan terbuang percuma. “Can I hug you?” tanya Grizella.

“Tumben nanya,” Yordan tertawa dan juga bingung harus merespon apa. Bukannya ingin menolak, tapi laki-laki itu sudah siap tanpa perlu disodorkan pertanyaan retoris seperti itu.

“Kali aja kamu kaget lagi,” goda Grizella.

Merasa sedikit diremehkan, Yordan perlahan menarik Grizella ke pelukannya. Membuat wajah perempuan itu berhadapan langsung dengan dadanya.

“Beneran kamu gapapa?” tanya Yordan sekali lagi. Tangannya membelai lembut helai-helai rambut milik Grizella.

“Iya, Dan.”

“Aku ga percaya,” ucap Yordan menolak percaya.

“Yaudah ga usah percaya,” kata Grizella. Perempuan itu mengeratkan pelukannya pada Yordan.

“Grizaaa,” rengek Yordan. “You really fine, uh?” tanyanya sekali lagi memastikan.

“Iya, Yordannnn,” jawab Grizella sedikit tidak terdengar karena wajahnya yang dibenamkan di dada Yordan. “Diem dulu, aku mau tidur,” lanjutnya.

Yordan diam, memilih untuk melanjutkan kegiatannya tadi. Membelai rambut Grizella. Perempuan itu benar-benar jatuh tertidur di pelukan Yordan.


Grizella bangun dari tidurnya menemukan selimut yang menutupi badannya.

“Dan?” panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Perempuan itu mengambil telepon yang ada di atas meja. Kemudian menghubungi Yordan. Tetapi, belum berdering sebanyak tiga kali telepon itu dimatikan.

Pintu terbuka.

“Aku keluar tadi beli minum di warung depan.” Suara itu terdengar ketika pintu dibuka.

“Kirain kamu ninggalin aku,” ucap Grizella.

“Ga mungkin lah, sayang. Ini minum.” Yordan menyodorkan botol air mineral yang baru saja dibelinya.

Grizella mengambil botol itu dan langsung meneguk isinya.

“Beneran ga ada yang mau diceritain?” Yordan masih kekeh bertanya soal itu.

“Aku mau nanya deh, Dan.”

“Kan aku yang nanya duluan,” kata Yordan dengan wajah cemberut.

“Nanti aku jawab, tapi kamu jawab aku dulu.”

Yordan mengangguk.

“Kamu nanti pengen kerja apa?” tanya Grizella.

Sedikit berharap Yordan memiliki cita-cita yang jelas diinginkan laki-laki itu.

“Aku pengen jadi entrepeneur sih, sayang.” Grizella tersenyum senang. “Tapi, aku udah diwajibin nerusin perusahaan.” Grizella menelan saliva.

“Kamu mau?” tanya Grizella.

“Nerusin perusahaan? Mau aja. Soalnya aku juga udah janji,” kata Yordan tersenyum dan mengelus kepala Grizella. “Kenapa nanya gini?” tanya Yordan sekali lagi.

“Penasaran aja,” katanya tersenyum pahit. Harapannya pupus.

“Sekarang jawab aku, kamu kenapa?”

“Ga tau juga. Lagi ga enak badan kali ya.”

“Kamu ga panas sih tadi,” kata Yordan. Laki-laki itu kembali memeriksa suhu badan sang puan.

“Mau pulang aja?” tanya Yordan.

“Di sini aja dulu,” tolak Grizella.

Perempuan itu kembali menarik Yordan. Memeluknya erat. Dia sedikit khawatir apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi, memilih untuk menikmati saat-saat ini.

Rumah dengan pagar putih tinggi yang di sekitarnya terdapat tanaman hijau menjuntai yang terlihat sangat cantik. Sekali lihat pun orang akan tahu bahwa rumah ini benar-benar terawat dengan baik.

Pagar tersebut terbuka secara otomatis, sehingga mempermudah Yordan untuk memasukan mobilnya. Rumah dengan gaya semi modern berwarna putih tulang tersebut terlihat sangat mewah.

Setelah mendapatkan posisi parkir yang pas Yordan mengajak Grizella untuk turun dari mobil dan memasuki rumahnya. Rasa gugup kembali melanda Grizella.

Saat akan memasuki rumah terlihat satpam yang disapa Yordan dengan sebutan Pak Asep yang berdiri tersenyum kepada Yordan dan Grizella. Grizella menukar senyumnya dengan sangat ramah.

“Silahkan masuk, Neng. Cantik banget pacarnya, Le” goda Pak Asep dengan sopan.

“Pak Asep bisa aja,” kata Yordan tertawa. “Aku masuk dulu ya, Pak. Permisi,” pamitnya dengan sopan.

Grizella ikut tersenyum dan sedikit menunduk ke arah Pak Asep. “Permisi, Pak.” Pak Asep tersenyum dan mempersilahkan keduanya masuk.


Keduanya sampai di ruangan yang Grizella tebak adalah ruang keluarga. Ruangan tersebut terlihat sangat rapih dan hangat.

“Mi, ini ada yang mau kenalan,” kata Yordan sedikit bercanda.

Wanita hampir paruh baya yang dipanggil menoleh ke arah keduanya. Dari wajahnya tersirat kehangatan. Tidak terlihat mengintimidasi sama sekali. Grizella bernapas lega.

Wanita tersebut menghampir si puan yang dibawa oleh putranya. “Halo, Grizella bener?” tanya wanita itu tersenyum.

“Iya, bener tante,” jawab Grizella.

“Mi, Grizella diajakin duduk ya. Aku ke toilet dulu bentar,” pamit Yordan. Grizella sedikit panik akan ditinggalkan berdua dengan Mama sang kekasih.

“Udah gapapa, kamu sama mami aku aja. Ga lama kok, aku kebelet.” Belum sempat Grizella menjawab Yordan sudah melangkah jauh.

“Sini duduk,” wanita tersebut mengajak Grizella masih dengan senyuman yang tidak luntur sejak tadi. Mami Ghina sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri yang calon mertua galak yang ditakutkan Grizella.

Grizella mendudukkan dirinya dengan nyaman. Sedangkan, tanpa disadarinya Mami Ghina memperhatikannya dari atas sampai ke bawah dan balik lagi dari bawah ke atas.

“Kamu udah lama sama Yordan?” Mami Ghina membuka sesi pertanyaan dengan pertanyaan umum yang ditanyakan oleh orang tua kepada pasangan anaknya.

“Masih baru, Tan,” jawab Grizella tersenyum.

“Oh, masih baru.” Grizella hanya dapat tersenyum mendengar tanggapan Mami Ghina. “Kamu itu pacar pertama Yordan dong ya?” lanjut Mami Ghina.

“Iya, Tan. Kata Yordan sih gitu.”

“Bener kok. Dia tuh belum pernah pacaran sama sekali, makanya tante tuh udah cariin dia pasangan.” Mami Ghina melirik ke arah Grizella yang perlahan kehilangan senyumannya.

“Eh, tapi kamu ga perlu takut. Tante ga nyuruh kalian putus kok. Gapapa banget Yordan pacaran dulu sama kamu. Namanya kan juga anak muda ya.”

Grizella terdiam dan hanya bisa menanggapi dengan kekehan yang dipaksa perempuan itu.

“Kamu harus ngerti, Yordan itu anak tante satu-satunya. Tante dan Om butuh dia buat nerusin perusahaan. Mungkin setelah dia lulus, masih ada sekitar 2 tahun lagi kan. Kalian boleh pacaran aja dulu, tapi setelah itu lepasin Yordan ya?” Mami Ghina mengatakan semua itu dengan senyuman dan nada lembut.

Grizella bingung harus memberikan respon seperti apa. Dia hanya diam.

Yordan datang dan memecahkan keheningan, “Maaf lama, udah ngomongin apa aja?” tanya Yordan. Laki-laki itu mengambil duduk di sebelah Grizella.

“Mami cuma nanya-nanya aja sih, Dan. Kalian udah makan? Udah lapar belum?” tanya Mami Ghina.

“Kamu udah lapar belum, Griza?” Yordan meneruskan pertanyaan tersebut ke Grizella.

“Aku masih kenyang, Dan.”

“Yaudah, ntar agak maleman aja ya kita makan barengnya.” Mami Ghina berdiri dari duduknya. “Mami ke kamar dulu ya, nanti kalau udah mau makan panggil Mami ya, Dan,” lanjutnya.

“Iya, Mi.”

Sejak semalam Grizella sudah menyiapkan sesuatu yang menarik untuk kencan mereka di studio kali ini. Walaupun dia sedikit skeptis apa Yordan akan tertarik dengan idenya ini.

Pulang dari kampus keduanya melesat ke studio milik Yordan. Awalnya Yordan berencana untuk movie marathon bersama kekasihnya itu. Tetapi, saat dia bertanya kepada perempuan itu, ternyata telah ada ide di kepala cantiknya.

Yordan yang kepalanya hanya diisi oleh Grizella tentu akan mengikuti apapun keinginan perempuan itu.

“Kamu mau ngapain emangnya?” tanya Yordan setelah menghempaskan bokongnya ke sofa. Kemudian, membuka tangannya mengisyaratkan agar Grizella mendekat ke arahnya.

Grizella mendekat dan langsung masuk ke pelukan Yordan. Padahal, Yordan bermaksud untuk menyuruh Grizella duduk di sampingnya.

Speechless.

Yordan bingung harus merespon seperti apa, sedangkan Grizella dengan santainya berada di pelukan Yordan.

Bahkan, tangan Yordan masih belum bergerak dari posisinya tadi. Masih terbuka.

Grizella menarik badannya untuk melihat Yordan. “Kamu kenapa?” tanya perempuan itu tanpa rasa berdosa.

“Ga-gapapa kok,” kata Yordan tersenyum.

“Eh, kamu tadi nanya aku mau ngapain kan?” Yordan mengangguk kaku.

“Aku pengen,” kata Grizella menggantung perkataannya.

“Pengen apa Griza?” tanyanya.

Jujur Yordan masih bingung harus melakukan apa. Laki-laki itu masih kebingungan harus meletakkan tangannya di mana. Ini pertama kali perempuan di luar keluarga memeluknya. Bahkan, dengan posisi yang sedikit sensual.

“Aku mau makeup-in kamu,” kata Grizella tersenyum polos.

“Oh, makeup,” balas Yordan. “Ha?” kagetnya ketika sadar maksud dari Grizella. “Aku yang dimakeup?” tanya Yordan sekali lagi.

“Heem,” gumam Grizella. Perempuan itu tersenyum dengan sangat lebar membuat Yordan merasa sakit hati jika harus menolaknya.

“Yaudah, ayo.”

“Yey, thank you, Dan.”

Grizella bangkit dari posisinya, Yordan merasa sedikit lega, tetapi juga kecewa. Laki-laki itu menghembuskan napasnya. Grizella sedikit sadar dan melirik Yordan.

Kemudian, dia mengambil tangan Yordan. “Kok tangan kamu dingin banget?” Ingin rasanya Yordan berteriak mengatakan bahwa ini semua karena perbuatan perempuan itu.

Nope, dingin banget di sini.”

Grizella tertawa, “I’m sorry, Dan. It’s your first time? I mean a gitl hug you like that?” ucap Grizella.

Yordan menundukkan kepalanya malu.

“Hahaha, no need to be embarrassed. You can hug me every time you need it.” kata Grizella.

“Griz, I’m really bad, uh?” tanya Yordan.

“Kata siapa? Aku seneng deh, biasanya aku doang yang malu. Kali ini aku bisa liat muka kamu merah,” kata Grizella puas. Wajah Yordan makin memerah.

“Kamu pake parfum apasih?” Grizella masih lanjut bertanya sambil mengambil peralatan yang telah disiapkannya sejak semalam.

“Kenapa? Ga enak ya baunya,” Yordan panik dan mulai mencium kemeja denim yang dipakainya.

“Kok kamu negative thinking mulu sih? I love it. Bau kamu enak. Aku jadi pengen sering-sering cuddling,” Grizella mengeluarkan smirk-nya kemudian berjalan mendekat ke arah Yordan membawa 2 pouch besar makeup.

“Griza,” kata Yordan menghembuskan napas panjang. “Udah ayo sini makeup-in aku aja.”

“Tapi, habis ini cuddle lagi ya,” goda Grizella.

Yordan bingung, tapi jauh di lubuk hatinya dia juga mau. Akhirnya, dia memilih mengiyakan permintaan itu dengan malu-malu.

Both of them want to express their love to each other. Step by step. They know there is enough time for them.