julietirw

Hubungan gue dengan Kak Hart saat ini cocok disebut dengan “situationship”. Kita ada di sebuah garis. We’re not friends, but not lovers either. We’re in the middle of that. Bukan hitam, apalagi putih. Kita abu-abu.

Dia minta gue untuk nunggu. So I do it. I wait for him. I wait... Wait... and still waiting…

Sometimes it kinda irritates me. Gue ngerasa hubungan kita berjalan terlalu pelan, sampai di saat yang gue bingung apa dia bener-bener akan ngejar gue seperti janjinya? Belum lagi gue juga masih punya beberapa hal yang gue pendam. Hal yang buat gue bertanya-tanya, tapi gue terlalu cupu untuk bring that thing up. Salah satu dari yang paling penting adalah alasan kenapa dia milih untuk kembali ngehubungin gue. I know that I should just be happy that he finally ‘wants’ me. Whatever the reason is, I’m trying to understand him. But, I still want to know why. I deserve a proper answer and reason.

Seperti biasa gue naik ke mobilnya dengan penuh senyum. Gak ada bedanya dengan robot yang udah diatur dalam sebuah sistem, senyum gue selalu aktif secara otomatis setiap bersinggungan dengan Kak Hart. Rasanya gak bisa sedetik pun gue gak senyum tiap ngeliat wajahnya. Dia bales senyum itu dengan senyuman yang sama. Senyuman yang selalu dan gak pernah gagal ngebuat gue merasa ada yang ngelindungin.

“Mau jajan ke mana?” Tangan gue bergerak untuk mengatur suhu AC. Udara siang ini terlalu panas dan menyengat.

Wait.” Bukannya menjawab pertanyaan gue, Kak Hart malah mengulurkan tangannya ke arah kursi belakang. Kemudian kembali ke depan dengan satu buket bunga di tangannya. Tadinya gue pikir dia lupa untuk bawain gue bunga. As he always do.

Buket bunga itu berpindah ke tangan gue. “Flowers,” katanya.

Another flower for no reason?” Buket tersebut gue peluk dengan erat setelah membauinya. Dia senyum, maybe more like giggling.

Where do you think we are going?” tanyanya setelah memakai sabuk pengaman untuk dia dan tentu juga untuk gue. Mungkin karena dia punya Haira dan Bunda, he knows how to treat woman. Gak pernah sehari pun dia ngebiarin gue repot. Inisiatif bisa jadi nama tengah dari Kak Hart.

Hal-hal yang mungkin sepele dia lakukan buat gue, seperti contohnya bawain tas, ngelap sendok dan garpu pakai tisu, bukain botol air mineral, ngecilin volume ac tiap gue mulai rapetin jaket, dan terlalu banyak hal kecil lainnya yang mungkin gue sendiri pun ga notice untuk gue jabarin. But, he always wanted to make sure that I was comfortable ‘being’ with him.

“Jajan?” Gue sengaja balik bertanya ke dia karena gue beneran gak tau kita bakalan ke mana, yang gue tahu dia ngajak gue buat jajan.

Dia ketawa. “Iya jajan. Mau ke mana dulu?” tanyanya.

Dia nungguin gue buat ngasih jawaban, sedangkan gue malah ngeluarin wajah bingung.

“Aku tau kamu punya note yang isinya ‘place to go with Kak Hart’ di hape kamu.” Gak lupa dengan kedua tangannya yang memperagakan tanda kutip seakan judul dari note gue itu hal yang harus ditekankan dalam kalimatnya.

“Ih kamu tau dari mana?” Note yang gue rahasiain dan cuma cerita ke Haira doang–oh udah jelas kalau ini Haira pelakunya. “Pasti Haira kan?”

More giggling came from him.

“Ok. We’re going there. The first place on your notes.”

Shit, he must be planning this. Dia udah nentuin bakalan ke mana, tapi dia nanya gue untuk ngasih kesempatan godain gue tentang note itu. Kesel.


Tempat pertama yang gue dan Kak Hart datengin itu tempat jualan dessert. Gue tahu tempat ini dari salah satu tiktok ‘kamus makanan online’ katanya sih disini bisa dessert date dan bonusnya ada photobox.

“Kak, I will give you a thumbs up.” Gue ngomong dengan sendok di mulut dan dua jempol ke atas. “Kamu tau gak sih kalau hari ini tuh panas banget. Aku seneng kita bisa makan es keyim.” I always said es keyim instead of ice cream in front of him. I love it and I know he loves it too. So, I’ll do it over and over again.

He’s muttering a thank you. “Coba kamu hadap sana deh.” Dia nunjuk ke arah depannya, tepatnya ke belakang gue. Karena kita berdua lagi duduk berhadap-hadapan.

“Hadap mana?” Gue menyerngitkan jidat heran.

“Ke belakang kamu, Anulika.” Gue menuruti arahannya dan duduk berbalik membelakanginya.

Kak Hart berdiri dari tempatnya duduk, gue tahu dari suara kursi yang bergesekan dengan lantai. Kemudian suara langkah kakinya berhenti tepat di belakang dan perlahan gue bisa ngerasain tangannya yang menyisir tiap bagian rambut di kepala gue. Sempat kaget karena gerakan tiba-tiba dari dia, gue berusaha untuk stay calm. Tapi, sepertinya kak Hart sadar, melihat gimana dia langsung mengeluarkan suaranya, “Ini aku kok. Tunggu bentar.”

Tangannya masih sibuk bermain di atas kepala gue sepersekian menit. Setelahnya yang gue tahu rambut panjang gue yang terurai berantakan sudah terikat menjadi satu ikatan tinggi.

“Cantik.” katanya setelah menarik tangannya dari atas kepala gue yang otomatis membuat gue beralih melihat dia.

“Kamu ngikatnya pakai apa?” Dia jalan dan duduk kembali di tempatnya. Sedangkan gue masih duduk seperti tadi dengan tubuh yang berputar melihat ke belakang. Kalau saja pinggang gue sakit pulang dari sini, itu salahnya Kak Hart.

Yours.” Dia menunjuk pergelangan tangannya yang selalu berhiaskan ikat rambut hitam gue. Ikat rambut yang sejak di Bandung dibawa kabur oleh laki-laki di hadapan gue. “Iket rambut item kamu.” Dia ketawa.

I know. I know that his small actions always caught me off guard. Tapi, gue gak mau salting di hadapan dia. Terlalu banyak salting yang gue tunjukin, takut dia capek dengan kelakuan gue. Akhirnya, gue ngealihin percakapan setelah ngucapin terima kasih dan duduk dengan baik biar pinggang gue gak patah. “Aku pengen take away red velvet bronie-nya deh, Kak. Rasanya kurang puas cuma makan di es keyim doang.”

“Boleh aja. Tapi inget kan list place to go kita masih panjang?” I love how he said 'kita' instead of 'kamu', padahal yang buat list itu gue. Tanpa seijin dia lagi. But, it turns out he loves it more than me. He’s just too excited about it and I'm excited about going to these places with him.

“Hehe, masa mau diselesain hari ini juga semuanya? Ntar aku ga punya ide lagi dong ngerecokin kamu buat ngajak ke sana dan ke sini.”

“Gapapa, kan gantian aku lagi yang ngerecokin kamu.” Dia ngangkat sendok miliknya. “Punya kamu enak banget ya? Can I try it?” Dia nyendokin sendoknya ke es krim gue setelah menerima anggukan izin dari gue. Gue ngeliatin ekspresi dan juga respon seperti apa yang bakal dia keluarin. Dia ngeliat gue. “Manis.” Mata kita berdua saling menarik, tanpa ada satupun yang mau memutuskannya.

Rasa panas yang tadi hilang karena bantuan Kak Hart dengan ngiketin rambut gue–juga AC di cafe ini–tidak cukup kuat menghilangkan rasa panas akibat tatapan matanya.

I wish I could freeze this moment forever. I wish.

Getaran handphone di meja menjadi alasan kita berdua berhenti dengan adegan tatap-tatapan yang mungkin di mata orang lain ini cringe. But, I know for sure, if they are in my shoes. I can guarantee they can’t take it. Or maybe the correct answer is they want to take Kak Hart only for themselves. Gue gak mau Kak Hart dilihat banyak orang, because 'he’s mine'. But, at the same time gue pengen orang-orang ngeliat, I want to show off to people that 'he’s mine'. Gue kayanya udah gila karena udah jatuh sedalam ini.

Gue ngelirik dia, matanya melotot kaget. “Kak, what’s wrong?” Rasa panik dan khawatir menjelajah di seluruh tubuh gue.

“Anulika,” panggilnya pelan.

“Iya, Kak?” Gue gak bisa nyembunyiin rasa panik.

No, don’t panic. It’s not something bad, rather it's something great.” Gue bisa bernapas lega. “Gue dapet offer,” dia mengatakan satu per satu dari kalimatnya dengan pelan. “Dari salah satu agensi. The one that I’ve told you.” Ah, it's the model things.

Panik gue berubah jadi tenang dan mungkin haru. Gue tahu seberapa sering dia ngobrolin tentang keinginannya join di salah satu agensi. Keinginan yang muncul semenjak dia nyaman dengan dunianya. Alasan dia masih bertahan untuk mix and match outfit di tiktok pun karena berharap dapat di-notice dengan mudah. Finally he got it.

“Terima kasih, Anulika.” Gue diem. Bingung harus ngerespon seperti apa. I don’t know why he’s thanking me for this.

“Kok ke aku makasih nya?”

“Kalau bukan sama kamu aku gak tahu harus sama-sama sama siapa?” Gue bingung dengan jawabannya. “No, I’m just being grateful, Anulika.” Dia senyum dan mendekatkan tangannya, mengacak rambut gue dengan sesuka hati. “Thank you.

Gue sedikit mengeluh, tapi tidak menyingkirkan tangannya dari kepala. “You deserve it, I'm happy for you. Kamu pasti bakalan jadi model yang keren.” I mean it.

“Tetep temenin aku ya.” He said.

Gue mungkin lupa cerita, Kak Hart udah dapet beberapa offer jadi model photo shoot beberapa kali sebelum ini for a few brands. Tapi, dengan join agensi kesempatannya untuk become the real models–to clarify I’m not saying that others is not a real models–is getting closer. Dia selalu ceritain about his dreams to become a model. So I was happy. Yes. I was happy. But, it means he will get bigger.

Wow, he’s getting bigger.

“I will,” I answered.*

He smiles. But, those smiles didn’t make me calm. Some anxiety comes to hit me.

Apa gue bener-bener bisa bertahan tanpa status yang jelas dengan dia yang bakal semakin banyak dikenal orang? I know that he's already well known now. But... I don’t know what happened to me. Insecurity was never in my dictionary. That’s not my problem… or maybe I tend to ignore it and don’t recognize it as a problem.

My head is starting to make a noise. So noisy.

When will I have the courage to tell him about all my worries? When? When will I have the courage to ask him why he called me again? When? When will I have the courage to ask him what we are? When? When will I proudly say ‘he’s mine’? When? When will I stop thinking about this stupid things?

Too much stalling.

I wish one day I could say that, ‘loving him was hard, but it’s worth my lifetime.’ I don’t want all of this to be in vain. I can’t deceive myself for too long. I want to ask him. Now. What he aims to do. With me.

“Aku pikir kamu masih di jalan tau.” Gue dengan tergesa keluar dari pintu rumah dan berjalan mendekat ke arah dua laki-laki yang umurnya terpaut jauh tersebut. Keduanya tengah asyik bercengkrama gak tau membahas apa. Semakin sering Kak Hart datang berkunjung, semakin random juga obrolan mereka. Kadang gue sampai harus memisahkan diri karena tidak ingin mengganggu. Walaupun kenyataannya sih karena gue emang gak bisa masuk di antara cerita mereka. Gue jadi gak percaya kalau gue adalah cucu kesayangan opa atau perempuan yang katanya lagi “diperjuangkan” oleh laki-laki dengan jaket denim dan sepatu nike keluaran terbaru itu.

Banyak yang terjadi di antara gue dan Kak Hart yang kalau harus diceritakan secara detail dan mendalam mungkin bisa setebal Oxford English Dictionary. Tapi, untuk bilang kita berdua ada di hubungan yang resmi sepertinya belum tepat. We talk a lot. We spent time as much as possible. Banyak pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan yang kita bicarakan. Menurut gue, kita itu gak cuma hidup di masa kini, tapi kita juga hidup di masa lalu dan masa depan. Makanya, gue mencoba untuk komunikasikan semuanya dengan Kak Hart. Iya mencoba. Karena sejujurnya masih ada satu hal yang cukup mengganjal sejak satu dua bulan lalu di diri gue dan masih belum berani untuk gue tanyain ke dia. Why did he text me again?

Bohong kalau gue bilang gue gak loncat kesenangan waktu dia mulai nge-react instastory gue setelah sekian lamanya we’re not talking. Apalagi dilanjutin dengan dia nelpon gue–yang katanya kepencet–waktu itu. Then he finally texted me again. Setelah itu gue cukup bertanya-tanya alasan di balik itu semua. But, I’m not brave enough to bring myself in front of him and ask about it. Gue takut dengan jawabannya. But, oh to be in this situationship. What should I do? He always tells me that this is his turn to go after me. Eventually, he never said out loud about his feelings to me.

Gue tau dia care sama gue, gak mungkin pagi hari buta gini dia datang ke rumah opa oma gue tanpa bawa perasaan apa-apa kan? Datang untuk mastiin if I'm ok. But, sometimes what women need is the words. Words of certainty.

“Opa dicariin oma tuh di belakang.” Gue gak sepenuhnya bohong karena tadi oma beneran nanyain opa di mana. Iya cuma sekedar nanyain doang bukan nyari. But, I’m not lying ‘kan?

Setelah berpamitan dengan Kak Hart selama 5 menit, akhirnya opa meninggalkan gue dan Kak Hart berdua.

You look... good.” sapanya, tersenyum. Senyum yang gak pernah gagal buat gue jatuh cinta.

I do lah, Kak. Kan aku udah bilang aku gapapa. Kamu sih gak percayaan.” Gue mencoba untuk mengalihkan pandangan. Takut makin cinta. Tapi percuma sih karena cintanya udah terlalu dalam. Hehe.

Sorry.” Gue mendengus kesal.

“Ih stop saying that. Mending sekarang kita pergi cara sarapan. Aku pengen bubur ayam.” Gue menarik dia pergi dari teras rumah ke area parkir. Pagi ini dia datang dengan sepeda motornya. Untung saja waktu itu kita sempet beli helm untuk gue. Karena di rumah oma opa sama sekali gak ada helm yang layak untuk dipakai. Akhirnya, dia berinisiatif untuk beliin gue helm dengan warna merah muda. Warna yang terlalu melekat di gue. Sama seperti perangko.

Dia juga udah pakai helm dan duduk di atas motor, siap untuk pergi. “Tas.” Tak lupa meminta tas gue untuk diselempangkan di badannya.“Tapi, instagram kamu?” Sempatnya kembali khawatir.

“Bahasnya nanti aja.” balas gue. Kemudian naik ke atas motor dan juga memegang ujung-ujung jaket denimnya. Gue gak mau modus sok-sok gak sengaja peluk dia, walaupun rasanya magnet di dalam diri gue dan Kak Hart saling tarik-menarik dengan sangat kuat.

Perjalanan untuk sampai ke tempat bubur ayam yang katanya enak banget ini hanya butuh 10 menitan saja. Kita berdua memilih untuk duduk di bagian yang sedikit terbuka, bukan di bawah pohon karena tempat itu sudah ditempati oleh satu keluarga yang sepertinya habis berolahraga pagi.

“Kamu udah jarang lari pagi ya, Kak?”

“Masih kadang. Tergantung.” Dia ngebukain air mineral botol dan disodorkan ke gue. “Kamu?” Kali ini tangannya sibuk mengelap sendok dan garpu, setelah bubur pesanan kita diantarkan oleh mamangnya.

“Aku sih jalan pagi doang.” Tangan gue udah terjulur untuk ngambil sendok dan garpu dari tempatnya yang ada di dekat Kak Hart.

“Ini.” katanya memberikan sendok dan garpu yang dia lap tersebut ke gue. Setelahnya mengambil untuk dirinya sendiri. Gue berterima kasih dan memulai menyantap bubur tersebut setelah merapalkan doa.

Kita berdua hanyut di dalam kenikmatan bubur ayam ini dan memutuskan untuk fokus menikmatinya. Dia menandaskan mangkuknya dalam 5 menit dan gue butuh 3 kali lipat dari waktunya untuk membersihkan mangkuk sendiri.

“Ini bubur ayam terenak yang pernah aku datengin.” Cukup menggebu-gebu karena gue beneran jatuh hati dengan bubur ini.

“Setuju.”

Setelahnya kita berdua kembali mengobrolkan banyak hal, seperti hubungan Haira dan Kak Euan yang gue sendiri bingung harus deskripsiin seperti apa. Kemudian hal-hal random yang kita berdua liat di jalanan. Kali ini kita berdua berlomba untuk menemukan plat nomor kendaraan dengan angka yang awalnya telah kita sebutkan. Siapa yang pertama ketemu angka yang sama maka dia pemenangnya. Gue nyari nomor yang disebutkan Kak Hart dan sebaliknya.

Kali ini dewi fortuna ada di pihak gue karena 2 menit setelah Kak Hart nyebutin angka pilihan dia, mobil dengan plat nomor kendaraan yang sama melintas tepat di hadapan mata kita berdua. Menimbulkan gelak tawa dari gue dan Kak Hart. Karena jujur saja permainan ini tidak pernah berujung dengan adanya pemenang. Itu juga yang menjadi alasan kita selalu memainkannya. Karena dengan begitu kita berdua dapat terus menghabiskan waktu bersama. Untuk tertawa.

“Ini udah kan?” Tangannya menunjuk ke mangkok bubur yang telah kosong. Gue balas dengan anggukan. Kak Hart berdiri dan membawa mangkuk milik kita berdua untuk diberikan kembali ke abangnya, sekaligus membayar. Sedangkan, gue memilih untuk bermain handphone sembari menunggu Kak Hart manggil gue untuk balik. Gue terlalu begah kalau harus berdiri detik ini juga.

Saat melepaskan pandangan dari handphone, gue tidak nemuin Kak Hart di dekat gerobak bubur ayam. Mata gue akhirnya kembali mengedar dan akhirnya menemukan Kak Hart di dekat pohon yang tadi sempat gue sebut. Di sana dia berbicara dengan 2 orang perempuan. Karena penasaran akhirnya gue mencoba mendekat secara perlahan.

“Maaf, tapi tolong dihapus kalau cewek yang bareng gue masuk ke dalam fotonya, ya. Gue minta itu aja. Kalau mau foto sama gue boleh banget. Tapi, jangan cewek gue. Sorry ya. Bener-bener sorry.” Tangannya bersatu seperti saling menepuk, meminta tolong dengan sangat lembut ke kedua perempuan tersebut. Dari pembicaraannya sepertinya gue bisa menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Apalagi setelah apa yang terjadi semalam di media sosial. Hanya ada satu kemungkinan terbesar yaitu kedua perempuan itu mengambil foto atau video gue dan Kak Hart secara diam-diam. Sayangnya, Kak Hart peka dengan hal itu dan menegur mereka.

“Loh kapan kamu ke sini?” Raut wajahnya kaget waktu berbalik dan ngeliat gue udah berdiri tidak jauh dari dia. Sedangkan, dua perempuan tadi sudah menghilang ke kerumunan lainnya.

“Baru aja kok. Itu kenapa?” Gue bertanya dengan menunjuk menggunakan kedua alis mata.

Nothing. Mereka mau ngefoto aku tapi kamu ikut kefoto jadi aku minta hapus aja.” Dia berjalan mendekat dan berdiri tepat di samping gue. “Can I?” Mulai waktu itu, tiap Kak Hart mau genggam tangan gue, dia akan selalu izin dengan satu pertanyaan yang lain dan tak bukan adalah Can I?

Dia narik tangan gue ke dalam tangannya setelah mendapatkan izin dari gue. Menyelipkan jari-jari kita hingga tertaut dengan erat. Diangkatnya tangan gue dan kemudian diteliti dengan perlahan. “Your hands are so small.” Hampir saja gue marah karena berpikir itu adalah candaannya. “But, it looks perfectly fine in my hands.” Instead of being mad, I am blushing.

Mungkin cara dia untuk nunjukkin perasaannya ke gue adalah dengan tindakan-tindakan sederhana tersebut. Sesederhana bawain tas gue tiap ke mana-mana. Sesederhana bukain tutup botol minum gue waktu gue haus. Sesederhana ngelapin sendok dan garpu gue waktu mau makan. Sesederhana itu. Tetapi, dilakukan terus menerus tanpa henti. Sesederhana peduli dengan privasi gue. Akhirnya, gue paham kenapa dia tadi sekhawatir itu ke gue. Itu cara dia.

Suara bel yang kemudian diiringi ketukan pintu yang terdengar membuat gue berjalan dengan cepat untuk membukakan pintu dan menyambut seseorang yang sejak tadi sudah ditunggu-tunggu oleh ibu, oma, opa, dan tentu saja tak terlupakan gue sebagai bintang utama di rumah ini. Walaupun gue yakin gelar bintang utama tersebut akan segera tergantikan oleh Kak Hart. Opa dan oma selalu nunjukin ekspresi yang sama tiap denger kalau Kak Hart bakalan datang ke rumah. Kali ini ekspresi senang itu terpancar di wajah keriput keduanya.

Di hadapan gue saat ini berdiri seorang laki-laki dengan 1 buket bunga tangannya. Tangan gue udah siap untuk menerima buket itu waktu Kak Hart ngomong, “Hai. Ini buat Ibu kamu.”

“Oh… Masuk aja, Kak. Anggap rumah sendiri aja.” Jujur saja gue saat ini pengen teriak saking malunya. Kemudian karena tidak fokus dan juga ditambah dengan sedikit rasa kesal. Waktu ngenalin Kak Hart ke ibu gue malah ngomong, “Ibu ini kenalin calon suami aku.” Tanpa sadar gue kebawa candaan dengan Haira sejak kemarin malam.

Gue masih diam dan dengan santai menunggu respon dari ibu. Tetapi, situasi ruang tengah terasa terlalu senyap. Di saat itu gue baru sadar dengan apa yang gue ucapin. Tiba-tiba pipi gue terasa panas dan perasaan malu menjalar di tiap pembuluh darah. Dengan cepat gue lari ke dalam kamar, tanpa menghiraukan panggilan atau teriakan dari ibu. Gue terlalu malu untuk menghadapi Kak Hart detik ini juga. Dalam hati juga memaki Haira karena perkataannya tadi dengan cepat terkabulkan.

Sedikit walaupun samar-samar gue masih bisa mendengar obrolan dari mereka berdua sebelum menutup pintu kamar.

“Biarin aja, Tan. Nanti kalau udah gak malu pasti balik lagi.” You know me so well nih ceritanya?

“Tau banget kamu.” Nah kan ibu aja setuju sama gue.

Setelahnya gue udah gak bisa dengar apa-apa lagi, karena gue milih untuk masuk ke dalam kamar dan mendinginkan diri.

Di saat gue keluar dari kamar setelah proses “mendinginkan” diri, gue memilih untuk mengangkat topik apa saja yang terlintas di kepala dengan harapan mereka melupakan apa yang tadi gue katakan. “Ibu masak banyak banget, mending makan sekarang ayo sebelum dingin.”

“Banyak dong, kan buat calon suami kamu.” Ibu dan Kak Hart tertawa. Begitu juga dengan oma opa yang baru saja bergabung di ruang tamu.

“Aduh udah dong aku tuh malu tau.” Gue lupa kalau ibu bener-bener jahil.

Semuanya kembali tertawa menyisakan gue yang masih berpura-pura merajuk sebelum akhirnya ikut tertawa.

Makan malam kita berjalan dengan sangat lancar, obrolan-obrolan pun mengalir dengan baik. Sesuai dugaan gue, Kak Hart malam ini jadi bintang utamanya. But, I’m not complaining. Justru gue seneng. Bahkan, ibu memberitahukan sesuatu hal yang cukup mengejutkan buat gue dan awalnya juga gue pikir Kak Hart bakalan terkejut. Tetapi, dari ekspresinya yang biasa saja. Gue yakin dia udah tau tentang ini sebelumnya. Mungkin juga ibu yang ngasih tau tentang ini ke dia tadi waktu gue ninggalin mereka di ruang tamu.


Tak terasa jam udah nunjukin pukul 10 malam yang tentu saja mengharuskan Kak Hart untuk balik ke rumahnya. Sedangkan gue ditugaskan ibu untuk nganterin dia ke depan parkiran mobilnya. Walaupun kenyataannya tanpa disuruh pun gue pasti bakalan maju paling depan untuk nganterin Kak Hart.

“Anulika,” panggilnya membuat gue menoleh. “Thank you buat hari ini, ya.”

“Aku yang thank you, Kak.”

“Jam malam kamu masih jam 12 kan?” Dia melihat jam yang terbalut di pergelangan tangannya.

“He’em.”

“Mau jalan dulu gak?” Senyuman mengembang di kedua wajah gue. This is what I want.

“He’em.” kataku lebih bersemangat.

Gue masuk lagi ke dalam rumah untuk ngambil jaket dan mengunci rumah. Ibu, oma, dan opa sudah ada di dalam kamarnya masing-masing.

“Ayo, Kak.” Dia ketawa melihat tingkah gue yang terlalu bersemangat di tengah malam seperti ini.

Kebiasaan Kak Hart bukain pintu mobilnya untuk gue masih terus bertahan sampai detik ini, setelah dia memulainya beberapa hari ke belakang. Sehingga, gue pun sudah mulai terbiasa. Tapi, sepertinya laki-laki satu ini tidak puas hanya membuat gue kaget dengan sikapnya itu. Dia selalu mencari cara untuk membuat gue kembali kaget dan ingin pingsan dalam hitungan detik.

Kali ini dia memilih untuk bertingkah sedikit berbahaya. Gimana gak bahaya? Setelah gue duduk dengan manis di seat gue, Kak Hart mendekatkan tubuhnya hingga suara napasnya pun dapat gue dengar. Kemudian, dia narik seatbelt yang ada di samping gue dengan satu tangan menopang tubuhnya. Tanpa sadar gue berhenti bernapas ketika sadar betapa dekatnya jarak kita berdua.

Setelah memastikan seatbelt gue terpasang dengan baik, dia kembali ke seatnya. “Gimana nyaman?” tanyanya yang gue balas dengan dua jempol ke atas. Dia tertawa.

Perlahan mobil ini bergerak meninggalkan rumah gue. Setelah beberapa menit sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kak Hart yang merapikan spion tengah dan juga memencet beberapa tombol yang gue gak tau fungsinya. Gue yang sibuk dengan menyambungkan spotify dan speaker mobilnya. Akhirnya, kita berdua mulai ngobrol kembali dengan nyaman.

“Kamu kok ga kaget sih, Kak?” Pertanyaan gue membuatnya menolehkan pandangan ke gue. “Ih, liat depan aja. Lagi nyetir.”

“Oh, sebenernya aku udah sadar sedikit kalau kamu itu anak kecil nakal yang dulunya tinggal di samping rumah.” Gue mencubit lengan kirinya dan membuat dia sedikit berteriak, tetapi setelahnya malah tertawa. “Waktu kamu pindah aku sempat sedih tau. Tapi, namanya juga anak kecil.”

“Dih kamu bocil naksir aku duluan ya.” kata gue mengejek.

“Iya mungkin.” jawabnya.

Gue pengen banget teriak di telinganya untuk stop buat jantung gue berhenti berdetak 1 detik karena serangan-serangan kalimatnya yang tidak terduga.

“Kamu kesel ya?” tanyanya kembali.

“Karena apa?” Gue nengok ke dia yang masih fokus dengan jalan di depan.

“Gak aku bawain bunga tadi?” Gue ketawa mendengar pertanyaannya.

“Gak lah, Kak. Ngapain? Mahal.” kata gue mencoba mengikuti sound yang sedang trend di tiktok tersebut, termasuk juga dengan gerakan tangannya. Hal tersebut kembali memicu tawa dari Kak Hart.

“I like them.” katanya mengarah kepada duo content creator tiktok yang sedang ramai.

“Me too.”

“But, I think I like you more.” Sebelum gue bisa memberikan balasan, dia dengan cepat memutar topik kita. “Jadi kamu masih mau bunga gak?”

Seperti yang pernah gue bilang. Kali ini gue akan ngikutin permainan Kak Hart. “Of course, I do. Kamu kan tau how much I love flowers.”

Dia mengangguk. “I do know.” Kemudian kembali melanjutkan. Entah setan apa yang merasuki Kak Hart karena tiba-tiba dia berubah sangat-sangat talkative. “Kamu tau gak aku suka apa?”

Gue berpikir sejenak. “Lari pagi?” tebak gue.

“Iya, itu juga. Tapi, ada lagi yang lain.”

“He’em. Aku?” Dia ketawa. Lagi. Apakah gue seperti badut?

“Iya. Tapi, jawabannya yang bener kupu-kupu.” katanya membongkar kunci jawaban dari soal yang dia berikan ke gue. Bahkan, selama dia jadi tutor gue, gak pernah sekalipun dia ngasih gue kunci jawaban dengan mudah.

Seperti ada lampu di atas kepala. Gue mengingat obsesi laki-laki satu ini terhadap segala yang berbau kupu-kupu. Hal itu mirip dengan obsesi gue ke bunga dan stroberi. Roti dan selai. Bunga dan kumbang. Romeo—Ok gue mulai ngaco. “Ah, iya aku inget.”

“Good.”

Ekspresi penuh tanda tanya terpahat di wajah gue. Setelahnya gue bisa ngerasain mobil kita berhenti di suatu tempat.

“Kok berhenti?”

Dia gak menjawab dan memilih untuk turun dari mobil dan pergi ke bagian paling belakang mobil. Kemudian dari situ diambilnya satu buket bunga yang jauh lebih besar dari yang diberikan ke ibu. Kak Hart kembali masuk ke dalam mobil, duduk di posisi yang sama dengan keadaan yang berbeda yaitu membawa buket bunga tersebut.

“Ini apa?” Pertanyaan bodoh keluar dari mulut bodoh gue.

Dia ketawa. “Kamu.”

“Ha?”

“Iya kamu. Aku mau kamu terus jadi bunga, Anulika. Sedangkan, aku jadi kupu-kupu yang bakal datengin kamu. Bakal terus nyari kamu. Lebih menarik saat bareng kamu.” Dia mindahin buket bunga dari genggamannya ke genggaman gue. “Just be the flower and I’ll be the butterfly, Anulika. All you need to do is stay still and wait till the butterfly comes to you. I’ll come to you.”

Sejak kemarin sejujurnya gue udah bisa nebak sedikit apa yang ingin ditanyakan Kak Hart. Kata orang-orang sih itu namanya insting perempuan. Dari cara Kak Hart yang tiba-tiba datang ke parkiran kemarin dan respon teman-temannya yang ngeledek. Gue makin yakin. Yakin kalau sikap dia kemarin ada sedikit banyak hubungannya dengan Kak Warren. Kenapa gue bisa yakin? Gak tau. Sekali lagi insting perempuan.

Punggung lebar dan wangi semerbak yang selalu nyaman di hidung adalah dua hal pertama yang nyambut gue waktu ngebuka pintu. Orang yang saat ini ngebelakangin gue lagi sibuk dengan handphone-nya, mungkin juga gak sadar kalau gue udah berdiri di depan pintu. Gue bisa tebak siapa yang menjadi lawan bicaranya dari suara teriakan yang terdengar dari ujung telepon. Gak ada niatan untuk mengganggu, gue hanya berdiri di belakangnya sambil menutup pintu rumah. Menunggu panggilan yang sedang dia lakukan berakhir.

Belum selesai dengan teleponnya, laki-laki dengan hidung yang terukir sempurna di wajah itu menengok ke arah gue. Tersenyum dan tak lupa juga menunjuk ke arah telponnya. “Sorry, sebentar.” katanya tanpa suara yang gue balas dengan anggukan juga senyuman. Padahal gue udah berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sama sekali saat menutup pintu. Entah apa yang membuat dia bisa sangat peka dengan kehadiran gue.

Detik selanjutnya dia alias Kak Hart sudah berjalan mendekat–masih dengan telepon di telinga juga omelan dari Haira yang masih terdengar jelas–ke arah gue. Mengulurkan tangannya dengan posisi terbuka. “Tas.” katanya masih tanpa suara.

“Kenapa?” Entah kenapa gue juga ikut bicara tanpa suara.

“Sini aja.” Tangannya lebih mendekat. “Sorry ya.” ucapnya seraya ngambil alih tas gue. Sikapnya pagi ini otomatis ngebuat gue terdiam seribu bahasa. Walaupun gue cuma bisa 2 bahasa doang. Rasanya napas gue sempat tercekat sekitar 2 menit lamanya.

“Thank you.” Dia nganggukin kepalanya sambil tersenyum. Bagian kiri tubuhnya cukup sibuk, di mana tangannya masih sibuk menahan handphone di telinga, ditambah lagi tas selempang gue yang seperti kantong ajaib itu tersampir di bahu kirinya. “Can I?” Dia ngulurin tangannya lagi. Gue gak tau apa maksudnya, tapi gue merasa itu masih ada urusan dengan tas gue yang ada di bahunya sekarang. Jadi, gue hanya menganggukan kepala. Tapi, apa yang dia lakukan selanjutnya ternyata bukan hanya ngebuat napas gue tercekat, tapi juga ngebuat gue ingin pingsan dibandingkan urusan tas. Alasannya karena dengan bagian kanan tubuh yang kosong melompong, otomatis ngebuat tangan kanannya tidak memiliki kerjaan lain. Akhirnya, dia manfaatkan situasi itu untuk narik tangan gue–tepatnya jari-jari–ke dalam genggaman tangannya.

“Oma opa mana?” Kali ini dia bertanya setelah mengakhiri telepon dengan Haira. Gue masih diam karena langkah tiba-tiba yang dilakukannya beberapa detik sebelumnya. “Anulika,” panggilnya menyadarkan.

“Eh, masih bobo, tapi semalam aku udah pamit kok, Kak.”

Setelah Kak Hart membalas jawaban gue, kita berdua hening. Gue sendiri sibuk mengatur debar jantung yang sejak tadi rasanya gak mau berhenti. Serem juga sih kalau berhenti.

Perjalanan dari teras rumah ke tempat dia markir mobil yang biasanya hanya butuh waktu2 menit, berasa seperti 15 menit lamanya.

“Kak Hart”

“Anulika”

Bersamaan kita manggil nama satu sama lain.

“Kamu aja dulu,” katanya.

“Gak penting sih, eh penting nanti dia ngambek lagi, itu Haira gimana?”

“Gapapa, aman. Gue udah minta tolong ke Euan kok.”

Gue cuma ber-oh ria mendengar jawaban dari dia.

“Anulika,” panggilnya. Gue natap wajahnya sebentar. “Kita ngobrol nanti kalau udah sampai kampus aja ya.”

Setelah dia ngomong itu, kita berdua sampai di depan mobil miliknya. Tepatnya di samping kiri mobil.

“Ok.” Gue senyum.

“Ok.” katanya membeo. Kemudian ngebukain pintu mobil tersebut. Nungguin gue masuk dan nutup pintu itu setelahnya.


Parkiran udah hampir penuh waktu kita berdua sampai dan kelihatannya rangkaian ospek sudah dimulai, tapi dia dengan santainya masih nemenin gue di dalam mobil. Dia cuma ngomong kalau posisinya gak begitu dibutuhkan di lapangan.

Dari 5 menit waktu yang kita habisin di dalam mobil di parkiran ini, pembicaraan utama kita belum tersenggol sama sekali. Karena gregetan, gue merasa harus kembali bertanya untuk memancing obrolan. Tapi, ternyata dia udah paham dengan gerak gerik gue atau mungkin bisa jadi dia dukun yang tau gue mau ngapain. Makanya, sebelum gue mulai ngomong dia udah lebih dulu ngomong.

“So, kemarin Warren ngechat aku.” Ok. It’s kinda shocking, tapi gue mencoba untuk santai.

“Dia ngajak kamu berantem?” Hello, welcome back. This is Anulika. Gue harus bercanda biar gak tegang. Walaupun gak lucu. Well, setidaknya Kak Hart ketawa.

“Ngapain juga? Hahaha.” Dia berhenti sebentar untuk menyelesaikan tawanya. “Gak. Dia cuma ya gitu deh.”

“Gitu gimana?”

“Pokoknya dia tuh. Gitu deh.”

“Apa sih kamu gak jelas banget mending kamu liatin aku chatnya.” Gue bercanda waktu minta dia ngeliatin chatnya. Karena kesal cara dia ngejelasin apa yang terjadi itu malah ngebuat makin rumit. Surprisingly, dia malah ngasih gue handphonenya dan nyuruh gue untuk ngeliat sendiri. Tapi, gue tolak dan nyuruh dia untuk tetep megang handphonenya.

“Gak. Kamu aja yang pegang, aku bisa liat kok dari sini.” Gue merapatkan diri ke arahnya.

Setelah membaca dan mengamati tiap kalimat di dalam ruang chat tersebut. Gue cuma bisa berharap kalau saja ada Kak Warren di hadapan gue lewat detik ini juga, gue pengen banget ngejambak kepala dia tapi juga ngucapin terima kasih. Gue malu dan kesal, tapi seneng. Tapi, gue malu.

“Terus kemarin mau nanyain apa? Tentang dia nembak kan udah aku tolak. Tentang aku yang milih kamu, kan emang bener?” Sikap tidak tahu malu gue rasanya selalu muncul di keadaan seperti ini. Tapi, ada 1 hal yang menarik perhatian gue, yaitu 3 baris chat terakhir dari Kak Hart “Tapi…”

Dia menaikkan satu alisnya dengan raut wajah bertanya.

“Kamu ngerasa lucky kenapa? Hehehe.”

Dia mengabaikan pertanyaan terakhir gue dan milih untuk ngejawab rentetan pertanyaan pertama. “Iya. Aku mau tau tentang itu. Aku mau tau perasaan asli kamu. Aku mau tau…” kalimatnya terputus. “Gak, kalau aku lanjutin kesannya aku gak bisa percaya sama kamu. Aku gak jadi nanyain itu kemarin pun karena aku mau percaya sama kamu.”

“But, now you sound like that. I mean, kamu kedengaran lebih gak percaya sama aku. Dengan cara kamu coba buat abaikan perasaan kamu sendiri.” Dia diam mendengarkan. “Kepercayaan kan juga bisa diraih dari bertanya, Kak. Gak ada salahnya. Itu malah nunjukin kalau kamu peduli.” Peduli dengan hubungan kita.

Dia terus diam. Dentingan dari handphone-nya lah yang memecah keheningan itu. Selanjutnya dia kembali bertanya, “Can I?” Pertanyaan yang sama dengan tujuan berbeda.

“Holding hands lagi?” Gue ngangkat tangan gue sejajar dengan wajah. Hal tersebut memecah tawanya. Kekhawatiran yang ada di wajahnya perlahan hilang, diikuti dengan suasana yang mencair.

“Itu boleh juga,” katanya masih dengan tawa yang tak henti. “Maksud aku, aku boleh selalu nanya ke kamu? Kamu gak bakal tersinggung dan ngerasa aku gak percaya ke kamu kan?”

“Of course not, Kak Hart. Malah aku seneng kalau kamu nanya. Hal sekecil apapun itu. Aku siap untuk jawab iya tiap waktu.”

“Jawab iya jangan tiap waktu. Tapi,” Dia terlihat ragu untuk ngelanjutinnya. “Ada satu waktu yang aku pengen banget kamu jawab dengan iya. Kalau nanti udah saatnya aku tanyain itu, aku harap jawaban itu masih available, Anulika.”

Sepertinya oksigen dalam mobil ini habis. Karena rasanya gue akan pingsan 5 detik lagi.

“Now, Can I?” Dia menjulurkan tangannya ke arah gue. “Holding hands?”

Ok. Sekarang gue udah beneran pingsan.

Kalau dihitung-hitung gue dan Anulika udah gak ketemu selama lebih dari enam bulan. Anehnya, waktu gue buka pintu rumah dan ngeliat sosoknya yang berdiri ngebelakangin gue, perasaan rindu yang besar tiba-tiba nyerang gue. Ditambah dengan waktu dia nengok ke gue dan senyum pas sadar gue udah berdiri di belakangnya. She’s still the same Anulika. She still radiates the smell of flowers in the morning. Six months? More like six years.

“Kak Hart?” panggilnya

“Hello, apa kabar?” I think I got a malfunction, because I can’t think about other things when she’s standing right in front of me. I can hear her deep breath. It makes me do the same. Deep breath.

A deep breath before deep talks? Karena sekarang gue dan Anulika udah misahin diri dari Haira dan Bunda–dan sebenernya juga ada Euan, tapi gue terlalu males buat nyebutin nama dia.

Kita berdua mutusin untuk pergi ke salah satu cafe terdekat, tepatnya yang gue asal pilih dengan alasan, “Di sini aja enak kok, gue biasanya di sini.” Padahal sekali pun gue gak pernah nginjakin kaki gue ke dalam cafe ini. Tapi, gue udah kepalang penasaran dengan apa yang perempuan di hadapan gue saat ini mau omongin.

Matanya fokus ngeliatin menu, sedangkan mata gue fokus ngeliatin dia yang lagi ngeliatin menu. “Kak, it’s weird.” katanya. Jidat gue otomatis berkerut heran.

“Apanya?” Dia ngelepas pandangannya dari menu dan balik natap gue.

“Kamu.” Tangannya terangkat lurus dengan jari telunjuk ke arah gue. “Weird.” lanjutnya sambil memamerkan gigi putih rapinya.

“Apanya?” Gue membeo pertanyaan yang udah gue keluarin tadi.

“Au ah.” Dia kembali sibuk membolak-balik menu makanan tadi.

I’m not weird, Anulika.” Kepalanya kembali terangkat. “I just realized something. That’s what makes me act like this.” Gue natap dia dengan dalam membuat dia semburan merah senada dengan stroberi muncul di pipinya. She’s a perfect example for human strawberry. Segera kepalanya menunduk, sibuk mengatur napas.

“Udah siap denger cerita aku gak?”

I’ve never been this ready and I'm always waiting to hear you talk about your stories, Anulika.” Gue bahkan gak nunggu dia untuk nyelesain kalimat. Dia senyum.

But, don’t be mad, yaa?” Gue diem. “Yaaa?” ulangnya. Gue narik napas dan nganggukin kepala setuju.

“Aku milih untuk gap year.” Well, I’ve been predicting this one. “That’s ok.” Gue mendekat dan ngusap rambutnya. “That’s fine, I know a lot of people that take gap year. Tapi mereka bisa survive dan bahkan mereka keren-keren semuanya. Lagian kuliah gak ngukur usia kok, Anulika. Kamu bisa kuliah kapan pun kamu mau, selama kamu jalaninnya dengan serius. Satu aja aku minta. Kamu jangan jadi ngerasa mundur atau tertinggal. Because, everyone has their own time. Masing-masing dari kita punya waktu untuk bersinar, punya alur hidup yang berbeda.”

“Tapi, Kak.” Gue masih mau ngelanjutin ceramah yang gak tau kenapa tiba-tiba bisa ngalir aja keluar dari mulut gue, sebelum Anulika motong omongan gue. Tangan gue berhenti bergerak di kepalanya.

“Tapi…?” tanya gue dengan nada rendah. Perlahan kembali mengusap kepalanya.

“Aku juga mutusin buat gak kuliah.” Kali ini tangan gue berhenti lagi dan rasanya susah untuk bergerak. Freeze. Gue nge-freeze.

“Strawberry Pearl Ice Cream dan Choco Ice Cream? Di sini ya?” Seorang pegawai sudah berdiri di samping meja gue dan Anulika.

“Iya bener, Mba. Terima kasih, ya.” kata gue sambil mengambil ice cream tersebut.

“Terima kasih, Mba.”

Distraksi tadi membuat kita berdua diam.

“Makan aja dulu.” kata gue sengaja biar gue bisa mencerna maksud dari perkataannya. Gue gak marah, gue mungkin cuma kaget, bingung, heran, atau sejenisnya.

“Kata kamu kan I will shine better in other places.” Tangan gue otomatis berhenti bergerak nyendokin ice cream. So, is it because of me? Masa karena gue dia harus ngebuang mimpinya.

“Anulika, that’s not what I mean. Aku gak mau kamu buang mimpi kamu karena perkataan aku. You totally get it wrong.” Gue membuang napas frustasi.

“Mimpi aku yang mana? I never had a dream, Kak. Malahan kamu yang buat aku punya mimpi. Punya mimpi untuk kuliah di kampus kamu. Sebelumnya? Aku cuma pengen bisa kuliah di Jakarta aja, nepatin janji ke Oma Opa.”

Kita berdua diam dengan pikiran masing-masing. Tetapi, akhirnya gue mutusin untuk mecahin keheningan itu.

“Jadi kamu mau kaya gimana?”

“Kak, aku tahu kamu sadar kalau aku ga pinter belajar.”

Gue ragu untuk ngangguk, tapi better be honest. Jadi, gue ngangguk setuju.

“Dih setuju lagi. Aku jadi kesel.” katanya dengan tatapan sinis buatan yang ngebuat dia makin lucu.

Gue ketawa dan ngacak rambutnya.

Sorry yaaa, jadi kamu mau gimana, Anulika?” Gue ngambil salah satu tangannya kemudian mengusap dan membentuk pola kecil di atasnya. Dia sempat nunjukin raut wajah terkejut, bahkan wajahnya memerah. Lagi-lagi seperti stroberi.

“Aduh jadi ga fokus kan,” komentarnya.

Kalian pasti bisa tebak gue ngapain sekarang? Bener, gue ketawa. Celetukan Anulika itu selalu lucu di telinga gue. It’s refreshing to be around her. It feels like I can rest all the pain and all the tiredness.

Sebelum gue menarik tangan yang gue pake untuk menggenggam tangannya, Anulika ngelanjutin kalimatnya.

“Aku pengen nyari tahu kesukaanku, Kak. Aku punya banyak hal yang aku suka and there’s more I love to try. Dari awal kamu tau kan I love try new things. Kayak kamu tau aku belajar ngelukis, aku belajar baking, aku belajar masak, I even learn photography hehehe. Tapi, aku gak bisa handal, aku bisa semuanya tapi gak jago. Semuanya standar. I only know the basic things.” Dia diam untuk narik napas.

“Makanya aku pengen nyari tau apa sih yang aku suka banget.”

Gue diam. Bener, Anulika sadar dengan kemampuannya. Tapi, warna merah yang masih ada di wajahnya, bibirnya yang dibentuk kerucut, dan matanya yang melihat ke sana kemari–lebih sering ke arah lantai–karena tangan gue yang masih duduk manis di atas tangannya, ngebuat gue pengen banget ngerjain dia.

“Aku?” Gue ngomong dengan nada menggoda.

Benar. Wajahnya bahkan lebih merah dari tadi, dalam hitungan detik gue gak akan kaget kalau asap keluar dari puncak kepalanya.

“BERCANDA MULU SIH.”

Gue terbahak. “Hahahaha kan biasanya kamu yang bercanda.”

“Ih aku kesel.” Dia narik tangannya yang tadinya gue genggam. Tanpa sengaja nyenggol gelas ice cream-nya, membuat seisi cafe menengok ke arah kita. Reflek anulika berdiri dan berteriak dengan volume sedang untuk meminta maaf. Kemudian berniat berjongkok untuk mengambil pecahan gelas tersebut dengan tangan kosong.

Sayangnya, Anulika kalah cepat dari gue. Karena sebelum dia merendahkan tubuhnya, gue udah lebih dulu berjongkong menghadap kakinya. Menghalangi agar dia tidak menyentuh pecahan kaca itu dengan tangan kosong dan juga merhatiin kakinya kalau saja ada pecahan yang terlempar ke sana.

“Jangan gerak. Jangan ngeyel. Duduk aja.” Awalnya dia gak mau duduk dengan alasan dia harus ngebersihin sendiri karena dia yang mecahin. Well, I’m sorry but I would never let you.

“Permisi, Mas. Saya minta sapu dan serok sampahnya juga yaa.” Mas-mas nya datang membawa sapu dan serok sampah, tetapi gak ngizinin gue untuk pake.

“Gapapa mas, ini cewek saya kok yang jatuhin. Nanti saya ganti juga ya, Mas. Di kasir kan?”

Anulika duduk diam, gue gak bisa nebak ekspresi campur aduk yang ada di wajahnya saat ini. Setelah gue ngebersihin semuanya, gue ngasih sampah pecahan itu ke mas-mas tadi dan bergerak ke kasir untuk ganti biaya gelasnya. Kemudian gue balik ke tempat duduk kita. Tapi, gak langsung duduk.

“Ehem. Sejak kapan aku ganti nama jadi ‘cewek saya’ hehe?” tanyanya menggoda waktu gue berdiri tepat di hadapannya.

Gue ga nanggepin godaannya, masih celingak celinguk mencari pecahan. Mata gue nemuin 1 pecahan yang sangat dekat dengan kaki Anulika. Bisa-bisanya pecahan itu terlewat dari mata gue. Akhirnya gue berlutut dengan 1 kaki di hadapan Anulika. Lagi. Matanya melebar. Lagi. Gue ambil dan letakin di atas tissue.

Gue nguluruin tangan ke depan dengan posisi terbuka. “Tangan.” Dia bingung. “Tangan kamu, aku mau liat.”

“Oh…” dia naruh tangannya di atas tangan gue. Mata dan tangan gue sibuk mencari serpihan gelas yang mungkin menempel di tangannya.

Next time jangan impulsif kaya tadi. Untung aku lebih cepet geraknya. Kalau aku telat gimana?” Dia mengerucutkan bibirnya.

“Iya.” jawabnya masih cemberut.

“Apanya iya?” Ternyata dia lucu kalau lagi dimarahin gini.

“Iya gak.” nadanya lesu.

“Gak apa? Coba ulangi.” Lucu. Anulika lucu banget.

“Ih ngapain diulangi, kamu ga lagi ngajar kali, Kak. Udah ah ga mau.”

Gue sejak tadi berusaha untuk gak ketawa, tapi sayangnya susah untuk tidak meloloskan tawa tiap bareng Anulika. Hal itu membuat dia makin cemberut.

“Ok.” jawab gue masih dengan sisa tawa.

Pantat gue udah kembali nyentuh kursi lagi. Siap untuk memulai kembali obrolan.

“Kita tadi tuh ngobrol apaan ya?” tanyanya.

Gue ngeliatin ice cream gue yang udah meleleh jadi air. Mutusin untuk meminta air mineral ke pelayannya. “Yang kamu suka banget.” jawab gue.

“Kamu dong?”

Ok. She got me this time. Tahu kalo gue gak siap untuk godaannya dia tersenyum penuh kemenangan. Anulika itu suka flirting ke gue tapi kalo dibalikin dia bakalan merah banget. Gue ketawa. Dia ketawa. Kita berdua ketawa.

“Kali ini ayo serius, Anulika.”

“Jangan serius dulu kak aku masih kecil.”

“Ngobrolnya maksud aku.” See?

“Oh kirain.”

Pelayan nganterin 2 air mineral yang gue minta. Gue ngebuka botol pertama dan ngasih botol yang terbuka itu ke Anulika. “Nih, minum dulu. Kirain apaan sih kamu tuh.”

Dia ngambil botol itu setelah ngucapin terima kasih dan langsung meminumnya. “Ya intunya gitu deh, Kak.”

“Kamu ke Jakarta bukan buat ngomongin ini doang kan?”

“Dih pede banget, tapi lima puluh persen bener sih, sisanya kan aku udah pernah ceritain ih masa lupa.” Gue mencoba menggali ingatan. “Tadi aja aku mention.” Ting.

“Ah Oma Opa kamu ya?” Gue mengingat cerita dia tentang keluarganya yang minta dia setelah selesai SMA untuk kembali ke Jakarta.

“Betul, plus Ibu juga. Makanya aku balik sini.”

“Rumah kamu di Bandung?”

“Mau aku sewain aja kali ya, kan asik passive income. Setidaknya aku udah sempet ngerasain tinggal di rumah masa kecil aku itu.”

Gue ngangguk-nganggukin kepala.

Good idea. So what's new?

Nothing. Semuanya aku ceritain ke Kak Hart kok. Kecuali soal yang barusan aku omongin hehehe.”

“Tapi dengerin kamu nyeritain langsung rasanya pasti beda.”

“Ihhh gombal.” katanya. Gue ketawa.

“Ga gombal. Emang bener kok karena udah lama gak denger kamu cerita langsung.”

“Hahaha iya juga, it’s been 6 months?”

I don’t know. It feels more like 6 years.” Gue kembali neguk air mineral di tangan. Dia juga ngelakuin hal yang sama untuk nutupin senyumnya.

I miss you, Anulika. I really do.” She’s not responding to all of my sentences. But a bright smile blossomed on her cheeks. This time she’s not trying to hide it.

“Anulika?” Satu suara dari belakang gue terdengar manggil nama Anulika. Gue noleh dan ngeliat Warren. Wow. What a perfect time?

Semoga Kak Hart gak tau kalau gue masih dengan handuk di badan pas ngebales chat dia. Gue baru aja selesai mandi waktu dia ngirimin bubble panjang ngomongin tentang dia yang merasa seperti pecundang. Padahal gue tau dia bukan dan gak pernah jadi pecundang. Gak tau setan apa yang masuk ke otaknya dan nanemin kata-kata itu. Karena buat gue dia sama sekali bukan pecundang. Dia berani ngakuin dirinya. Berani jujur dengan perasaannya sendiri. Dia bukan pecundang.

Terlalu capek buat ngetik semua isi pikiran, akhirnya gue nyerah dan nyuruh dia buat nelpon gue. Karena dari awal emang tujuannya nge-reach gue lagi karena pengen ngobrolin sesuatu kan. Pikiran tentang apa yang bakalan dia sampein udah gak berkeliaran lagi di kepala gue. Gak sama kayak waktu gue masih di cafe bareng Kak Warren. Isi kepala gue hanya sibuk mikirin apa yang bakalan laki-laki 19 tahun ini omongin ke gue. Karena terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bahkan ada yang gak bisa gue sebutin karena gue takut terlalu berharap. Rasanya omongan gue jadi omong kosong karena gue reflek lompat dari kasur waktu dia ngirimin bubble yang berisi ‘tapi gue bohong tentang perasaan gue ke lo’. Bahkan, handuk yang tadinya ngebalut tubuh gue sekarang kelihatan lebih nyaman di lantai. Speechless.

Pikiran memalukan yang gak berani gue sampein makin maksain untuk keluar. Pikiran kalau ternyata Kak Hart punya perasaan yang sama ke gue. Tapi, dengan buru-buru gue tepis pikiran itu. Gak mungkin lah. Gue mencoba untuk mengingat-ingat pembicaraan kita waktu itu. Waktu terakhir kali kita ngobrol. Tapi, otak gue terlalu kecil dan short term memory gue kumat lagi. Kuku jari gue bisa abis karena gue gigit-gigitin cuma buat mikirin maksud dari kalimat yang Kak Hart kirim itu. Ujung-ujungnya pasti balik lagi ke pikiran tentang Kak Hart punya perasaan yang sama ke gue. Gue milih untuk pakai baju gue dengan cepet. Karena gue tahu sedetik lagi pasti Kak Hart bakalan nelpon gue.

Layar handphone gue muncul nama kontak Whatsapp kak hart. Dia nelpon gue. Ada sedikit perdebatan batin yang ngebuat gue telat buat ngangkat telponnya. Gue ngerasa bego karena sekarang gue gak tau harus ngeluarin ekspresi atau emosi kayak apa. Nama dia muncul lagi dan akhirnya gue angkat telpon kedua dari dia. Beberapa detik di awal kita berdua diam. Dia diam. Gue diam. Gue gak tau kenapa dia diam, tapi gue diem karena gue pengen ngompol detik ini juga. Gak bisa. Gue gak tahan diam-diaman dan cuma dengerin deru napas satu sama lain. Kecuali kita lagi ada di posisi diam-diaman karena gak mampu untuk nutup telpon satu sama lain saat sleep call. Ok, pikiran gue kembali jadi liar. Sejak kapan gue dan Kak Hart sleep call?

This is awkward. Mungkin karena udah lama banget kita gak saling tegur sapa. Tapi, anehnya gue ngerasa fine aja dengan chat kita berdua tadi. Giliran telpon alias harus ngomong dan dengerin suara satu sama lain tiba-tiba rasanya aneh banget. Mau nelan ludah sendiri pun gue takut kalau kedengaran di seberang sana. Kok jadi gini ya?

Gue ngambil step pertama dengan pura-pura berdeham. Berharap bisa nyairin suasana yang kaku kaya keset kering. Dia ketawa. Kak Hart ketawa. Suara ketawanya langsung ngebawa gue ke masa-masa dia jadi tutor gue. Masa-masa di mana dia bakalan ketawa dengan tingkah konyol gue yang menurut gue sendiri sih gak ada lucunya. Tapi, dia selalu ketawa. Itu yang buat gue sadar kalau ternyata 6 bulan itu lama ya. Gue hebat juga. For not talking to him in that long time. But, his laugh still remain the same. That’s adorable. “Kok ketawa?” kata gue dengan nada yang gak terima dengan responnya. Nyatanya gue seneng denger ketawa dia.

“Hahahaha sorry. Gak maksud aneh kok. Cuma pas denger lo batuk gue malah buyar dan baru sadar kita udah lama gak ngobrol.” Exactly. Bukan gue doang yang ngerasain itu ternyata. “And I think I miss you. For real.” Suaranya gak jelas tapi gue denger. Rasanya jantung gue berhenti. Gue pengen teriak. Benar-benar teriak. Walaupun kenyataannya terbalik karena jangankan teriak, buat ngerespon kalimatnya aja gue udah gak mampu.

Sorry,” lanjutnya setelah beberapa detik diam. Kayaknya dia malu karena nyatain rasa rindunya out of nowhere. Apalagi gue gak ngerespon sama sekali. Bukan gak mau ngerespon, tapi gue gak bisa dan gak tau harus respon apa karena gue lagi gigit jari biar gak salting.

“Kamu minta maaf mulu, Kak. Kayak lagi lebaran aja.” Kalimat itu yang berhasil keluar dari mulut gue setelah berhasil mengambil napas dan juga ngumpulin kekuatan buat ngomong. “Emangnya kamu gak sibuk?” Gue nanyain itu untuk basa-basi, pure basa-basi. Tapi sepertinya Kak Hart ngambil itu seperti sebuah sarkas. Karena gue bisa denger dia ngeluarin rasa frustasinya.

“Eh, maksud aku—aduh maksud aku gak gitu.”

Dia ketawa. “Gapapa, kan emang gue yang selalu pake alasan sibuk tiap sama lo.”

Gue cuma bisa ikut ketawa. “Tapi, kamu pengen ngomong apa, Kak?” kata gue. Jujur aja gue udah penasaran banget.

Bukannya menjawab, dia malah ngalihin topik. “Lo hari ini ke mana aja?” Satu kebiasaan Kak Hart yang gue tahu adalah dia suka dengerin gue cerita. Tapi, buat nanyain gue untuk pertama kali itu bener-bener momen langkah. So, mungkin gue ikutin aja kali ya alur dia.

“Cie kangen denger aku cerita ya?”

“Mungkin.”

Tiga kali. Ini ketiga kalinya gue deg-degan karena Kak Hart.

“Aku lagi ngabisin waktu aja sambil nungguin pengumuman SBMPTN. Kak, doain aku lolos yaaa… Biar aku bisa, ah kamu tau lah. Oh sama aku belakangan ini bantuin Kak Warr–” Kalimat gue terputus karena suara batuknya. Gue langsung diem.

Sorry sorry. Lanjut aja. Bantuin siapa tadi?” Hell, gue baru inget kalau mereka saling kenal. Apa emang Kak Hart sengaja biar gue ngomongin ini? Ah, gak mungkin lah.

“Ada ituuuu, kakak kelas aku waktu SMA hehehe. Namanya Warren. Dia minta tolong bantuan aku gitu.” Gue ketawa. Tapi, tidak ada sautan dari ujung telepon yang ngebuat gue bimbang harus lanjutin cerita atau gak. It feels like I was walking on eggshells. Tapi, kan dia minta gue cerita, jadi gue cerita aja kan? I don’t need to be lying. Jadi gue ceritain semuanya, hari-hari gue tanpa dia.

Dari 15 menit total telpon kita, 10 menitnya diisi oleh cerita gue, sisanya diam-diaman awkward. “Aku mulu yang ngomong. Kak Hart lagi dong!”

Dia ketawa garing. Tau gak sih? Ketawa yang dipaksa gitu. “Kalian deket? Lo sama Warren.” Kok malah ini... I can feel my heart drop to the floor. Ternyata dari semua cerita gue, bahkan cerita tentang gue yang jadi third wheel Haira dan Kak Euan di Zoom. Pikiran dia cuma berputar di cerita pertama gue, cerita tentang gue dan Kak Warren.

Bukan Anulika kalau gak ngegodain lawan bicaranya terlebih dahulu sebelum ngejawab dengan serius. “Kepo banget? Coba jelasin dong sekepo apaaa?”

“Anulika.” Nadanya datar. “Shit, sorry.” Ok. Ini first time gue dengerin Kak Hart swearing. “Penasaran aja.” lanjutnya.

Gak tau kenapa gue jadi pengen marah. I mean gue daritadi cerita panjang lebar, tapi dia cuma nanggapin itu. Kenapa gak dari awal aja? Tapi, di sisi lain gue juga seneng. Seneng karena menurut gue artinya dia cemburu gak sih? Kalau cemburu berarti dia punya perasaan gue. Oh, apa perasaan yang dia maksud itu sama dengan perasaan yang ada di kepala gue sekarang?

Saatnya gue yang balikin keadaan. Tadi dia ngebalikin pertanyaan gue dengan pertanyaan lain. Sekarang giliran gue untuk ngelakuin itu. “Kak Hart... Cemburu?” Gue nahan napas setelah pertanyaan itu keluar. Dia diam. Gue jadi pengen teriak ke Kak Hart untuk please jawab sebelum napas gue habis karena gue gak mau napas sebelum lo jawab.

“Iya.” jawabnya singkat.

Gue langsung narik napas sepanjang mungkin setelah dia jawab pertanyaan itu. But, the minute I realized about his answer, I gasped.

Pikiran gue gak salah. Pikiran gue bener. Pikiran tentang Kak Hart yang punya perasaan yang sama ke gue. Untuk apa dia cemburu kalau dia gak punya perasaan yang sama ke gue kan?

Gue ingin mancing jawaban yang lebih jelas. “Kak Hart suka sama aku?” Kali ini gue milih untuk duduk. Sejak tadi ngejawab telponnya gue udah ngelilingin kamar sebanyak 30 kali. Karena jujur saja gue kehilangan kontrol kaki sendiri. Kayaknya kaki gue udah berubah jadi jelly. Apalagi kalau gue denger jawabannya dia tentang pertanyaan terakhir gue ini. Bisa-bisa bukan kaki gue aja yang berubah jadi jelly. But, the whole existence of myself.

“Anulika.” Gue diem. Deg-degan banget. Bantal yang ada di pelukan gue udah gak berbentuk saking kuatnya remasan gue.

“Anulika,” panggilnya lagi. Kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Nada suaranya udah berubah lebih gentle, iya mungkin gentle, gue gak pinter buat ngedeskripsiinnya. All I can say is suaranya lembut banget kayak pengen lo ajakin buat ngeteh bareng di sore hari. Efeknya ngebuat bantal gue yang tadinya cuma ada satu di pelukan, berubah jadi dua. Well, bantal-bantal ini harus ngerasain gimana rasa deg-degan majikannya saat ini. Panik dan mules yang gue rasain nungguin jawaban dari Kak Hart. Jawaban iya maupun tidak, dua-duanya bakalan ngasih efek yang sama.

“Anulika, gue nelpon lo bukan untuk ditanyain-tanyain sama lo kaya gini.” Kayaknya Kak Hart pengen gue mati mendadak. Dari tadi jawabannya kalau gak buat jantung gue berdegup kencang, pasti buat jantung gue tiba-tiba berhenti berdetak satu detik. Soalnya gue udah siap dengerin kata “Iya” terdengar dari ujung sana. Gue udah percaya diri banget kalau Kak Hart suka. Suka sama gue. Tapi, dia malah jawab dengan jawaban yang sama sekali gak terlintas di kepala gue. Gue udah mau ngelempar bantal gue sebelum dia lanjutin kalimatnya. “But, I guess lo udah bisa nebak. Jawabannya iya, Anulika.”

I gasped again. He really caught me off guard. Mungkin jawabannya gak buat gue lempar bantal. Tapi, bantal itu cukup buat ngeredam suara teriakan gue. Teriakan yang sejak awal telepon gue tahan beneran keluar semuanya. Kak Hart yang nungguin respon gue diujung sana pun gak gue peduliin karena gue sibuk teriak. Semoga aja teriakan gue gak kedengaran rumah sebelah karena yang ada gue dikira kesurupan sama Haira dan Bunda.

Gue ngambil handphone gue lagi dan pura-pura membersihkan tenggorokan dengan, “Ehem, ehem.” yang disambut tawa oleh Kak Hart.

“Udah selesai teriaknya?” Kak Hart denger. Dia denger. Ok google tell me how to disappear now?

“Kata siapa aku teriak? Aku tuh tadi, hmm, aku–-aku ke toilet.”

Dia ketawa. “Teriaknya di toilet gitu?” Gue mau ngebantah tapi dia langsung ngelanjutin kalimatnya lagi. “Tapi, Anulika.” Oh no. Biasanya kalau ada kata 'tapi' pasti gak bakalan enak. Tapi, seperti kata gue tadi. Gue bakalan ikut alur yang Kak Hart kasih ke gue. “Gue belum bisa janjiin lo sesuatu. Gue mau gue berubah sendiri, gue mau gue sendiri yang ngebuat gue percaya lagi dengan orang lain. Percaya untuk berkomitmen lagi. Give me time, Anulika.” Gue ngangguk walaupun gue tau dia gak bakalan bisa ngeliat. “We can talk again, but let me heal myself first. Ok?”

Gue ngangguk, tapi kali ini diiringi dengan jawaban. “Iya.”

Thank you. Thank you for your faith in me.

“Tapi, aku juga punya satu syarat.” Sejujurnya janji gue udah patah sejak dia ngechat gue tadi sore. Tapi, gue mau anggap ini sebagai pengecualian. “Aku mau kita mulai lagi nanti setelah aku pengumuman SBMPTN. Deal?”

Dia diam. “Berapa hari lagi pengumumannya?”

Gue senyum, “tiga!”

Gue bisa ngerasain kalau dia juga senyum di ujung sana, “Talk to you in three days, Anulika.” Gue matiin telponnya. 3 hari. 3 hari itu cepet kok. 6 bulan aja gue tahan. Apalagi 3 hari doang.

Sekarang gue bingung harus ngapain, tapi yang jelas senyuman gak luntur di wajah gue dan gue harap Kak Hart juga ngerasain yang sama. Dengan cepat gue beralih ke meja belajar dan nandain kalender gue dengan gambar love dan tulisan permohonan agar hari itu bisa jadi hari bahagia untuk gue. Semoga. Gue ngucapin kata semoga sebanyak-banyak mungkin. Karena gue percaya kata “semoga” itu adalah manifest yang baik. Apalagi diiringi dengan doa-doa baik. Semoga.

cw // sexual tension

We both always like this. It’s like a routine for us. We fought. We scream. We cry. We apologize. We hug. We kiss. We. Coitus.

Ketukan di pintu kamar kosan gue tiap dini hari itu selalu nandain kedatangan Garett. No one other than him. It always be him.

“Bee.” Sayup-sayup suaranya terdengar manggilin nama gue. “Aku minta maaf, Bee.” lanjutnya. I know that he’s not sorry for taking a picture with that whore, but he’s sorry because of the way he ended our text.

Kaki gue berjalan mendekat ke pintu. Selalu. Selalu seperti itu. Gue gak bisa marah ke dia dengan lama dan dia juga seperti itu. Tapi, sebelum gue ngeraih daun pintu dan memberikan jalan untuk Garett menguasai kamar gue dengan penuh. Gue berhenti. Mengubah ekspresi wajah gue. Berharap dia tidak sadar apa yang terjadi sebelum dia datang.

“Can’t find other girls, so you come here?” Yes. That’s how I treat our conversation. He rolled up his eyes. I know what he’s going to say.

Not this again, Bee.” My turn to roll my eyes up.

Tubuh kirinya bertumpu di pintu. Kemejanya basah. Di situ gue baru sadar kalau di luar hujan.

“Kamu naik apa ke sini?” Dia diam. “Jangan bilang motor?” Dia gak perlu ngejawab untuk gue tahu kalau jawabannya adalah iya. Dari wajahnya yang merah pun sudah sangat menjawab.

Dalam keadaann kaya gini I will be the most bad girlfriend ever if I let him freeze to death. Tanpa basa-basi gue langsung narik dia dan nutup pintu dengan tangan lainnya. Nyuruh dia untuk duduk di atas karpet. Sedangkan gue pergi ke pantry untuk nyiapin hot chocolate. Untuk gue dan dia. I handed one cup of hot chocolate to him.

Talks about hot chocolate. It’s like part of my life. If someone tries to take it from me, it's like taking my breath away. I always drink it. Almost every night. Especially the night with Garett. I just get satisfaction from that because I feel like I can breathe twice as much.

“Buka baju kamu.” perintah gue. But, he’s not listening.

“Bee, maafin aku.” If I could kill him right now it would be amazing. Gue ngangguk dengan malas ngebales permintaan maafnya yang ga ada henti sejak tadi. Sekarang fokus gue berpindah lagi ke kemeja Garett.

“Buka atau aku yang bukain?” Kalimat pertanyaan dari gue sontak ngerubah ekspresi sedih Garett. Oh fuck I know that sounds hella weird, didn’t considere that I talk to Garett. Karena gue tahu iblis dalam dirinya yang akan bereaksi. Senyuman licik timbul di wajahnya. I wish I could take back my words. Because we always end up lying in my bed. Without any clothes.

He looks at me without a single word out. Smile. Or. Smirk. Grab his first button off while stare at me. I stare back, trying hard to act like I’m not invaded by him. I grip my hand tight at my cup. It’s hot. But, Garett is more.

He’s at his second button now. Our eyes remain locked. I held my breath, he couldn't hear anything. But, not with my throat. I know he heard that I gulped hard. At this moment I want to cut it so bad! Are you that thirsty?

Great. Now he’s smiling ear to ear. He calls me to get closer. Actually, he whispered. I don’t know when he's done with his clothes. All I see is it all over the floor now.

He grabbed me by my waist. Kissed it and looked up at me.

Wanna talk?” he says.

Fuck him.

I mean literally fuck him.

“Cantik ya?” Anulika berdiri tepat di hadapan gue dengan senyum tertahannya. Gue ngangkat satu alis buat nunjukin kalau gue gak ngerti maksud dari pertanyaan atau pernyataannya.

“Ngeliatin aku gitu amat sih.” Gue gak respon protesnya, tapi gue juga gak ngelepas mata gue dari dia. Hal itu ngebuat dia merasa tertantang dan balik natap mata gue sambil memiringkan kepalanya. Mata kita saling beradu saling menunggu siapa yang bakalan kalah terlebih dulu. She’s brave. She’s not me. I’m not brave.

Gue kalah. Gue mutusin pandangan kita berdua.

“Halo?” Anulika melambaikan tangannya tepat di depan wajah gue, beberapa kali. Parfum stroberi miliknya kembali masuk menyerbu masuk dan menempel di tubuh gue. I think I will miss this scent. Her scent.

“Kenapa, Anulika?” Gue nangkap tangannya biar berhenti gerak. Wajahnya memerah. It’s a good sight to see.

“Kirain Kak Hart kerasukan. Aku ngomong gak direspon.” Dia narik tangannya dari genggaman gue. Kemudian ngeliatin ujung sepatunya. Lucu. Dia lucu waktu nunjukin wajahnya yang lagi pura-pura marah, tapi sebenarnya salting. Beneran lucu sampe ngebuat gue pengen jadi egois. Egois karena pengen sikapnya itu cuma buat gue. Because the idea that another person will see it too kinda makes me upset.

Gue mukul jidatnya pelan dan kembali ngebuat dia protes, sama seperti tadi protesnya gak gue hiraukan. Kemudian gue ngajak dia masuk ke dalam mobil. “Udah tau kan kita mau ke mana, Anulika?” Gue gak nengok ke dia, tapi gue bisa ngerasain tatapan matanya yang nusuk gue dari belakang. Akhirnya gue sedikit melirik ke arah samping kiri gue. Dia berdiri di situ, sedikit ke belakang. Tangan gue bergerak untuk dorong dia biar jalan tepat di samping gue. I’m not allowing her to stand behind me. She should be beside me or atleast in front of me.

Matanya membesar. She loves it when I pay attention to her. “Udah. Kemarin fyp aku ada studio foto lucu tau, Kak. Aku pengen ke sana.” Matanya nunjukin kalau dia bener-bener excited dan pengen datang ke studio tersebut.

“Bukannya lo mau foto untuk LTMPT? Formal?” kata gue seiring dengan tangan gue ngebuka pintu mobil.

Terlihat jelas telinga kucingnya langsung turun dilanjutkan muncul ekspresi sedih di wajahnya. Dia menganggukan kepalanya setuju. Tapi, gue bisa liat ekspresi kecewanya. Persoalan kecil ini aja bisa buat dia sesedih ini, then what if I tell her the reason behind today appointment? What will she do? Upset? Angry? Mad? or maybe Cry? But, I don’t intend to make her cry today.

*I don’t.

But, what if she cries?*


“Hasilnya bagus banget. Pengen foto lucu-lucuannya juga atuh.” Kita berdua udah ada di dalam mobil. Sekali lagi gue bisa ngerasain tatapan tajam matanya. Tatapan memohon untuk gue ngerespon kalimatnya. Tapi, gue masih sibuk ngebalasin beberapa chat yang ada di handphone gue. “Cih, padahal besok balik.” bisiknya pelan yang masih terdengar di telinga gue. Gue ngunci handphone dan masukin ke kantong celana.

Gue kalah lagi. Gue nerima ajakan dia.

I take a deep breath. “Yaudah ayo.” Tangan gue sibuk ngelepasin seat belt yang udah kepasang sejak beberapa menit lalu.

Anulika gampang ditebak. Senyuman yang tadinya ilang kembali terukir dengan baik di wajahnya. Matanya melebar. If earlier she’s a kitty, now she’s a puppy. “Serius?” tanyanya.

“Iya, Anulika.” Gue nengok ke arahnya dan natap matanya yang berbinar. She’s happy and I hope will always be happy.

“Yaps.” Gue buka pintu mobil dan ngasih pandangan ke dia untuk ikut turun. Dengan tergesa-gesa dia juga ikut turun. Gue ngunci mobil dan ngajak dia jalan untuk masuk lagi ke studio foto tadi.


Dia ngambil beberapa kostum yang disediakan, ngasih kostum itu dan nyuruh gue buat milih satu yang paling cocok. Begitu juga dengan dia yang ngambil beberapa pilihan kostum dan nantinya bakalan dia pake yang paling cocok. Dia pergi lebih dulu ke ruang ganti, ninggalin gue yang masih ngeliat beberapa pilihan kostum dari dia. Anulika bilang buat milih kostumnya secara random aja, biar lucu.

Akhirnya gue milih pakai yang kelihatan paling normal di antara semua pilihannya. Onesie sapi. Paling normal dan paling gak ribet menurut gue.

Gue keluar dari ruang ganti lebih dulu dibandingkan dia, balikin kostum yang gak jadi gue pake ke tempatnya. Gue nungguin dia sambil mainin handphone dan ngebales chat-chat yang mulai numpuk lagi. Gue bersumpah semester depan gak akan ngikut kepanitian atau kegiatan kampus. Gue lelah banget.

Setelah sekian menit, akhirnya dia juga keluar dari ruang gantinya. “Lah, Kak. Kok sama sih sama aku?” pekiknya. Otomatis ngebuat gue nengok ke dia. Anulika juga pakai onesie sapi. Sama kaya gue. Tapi, keliatan lebih lucu di dia.

“Ini yang paling gampang,”

“Ini yang paling lucu,”

Kita berdua ngomong secara bersamaan yang berakhir dengan gue dan Anulika saling liat-liatan. Dia ngegigit bibir bawahnya nahan supaya ketawanya gak keluar sampai wajahnya merah. Tapi, gue jadi ketawa karena ngeliat wajahnya dan dia jadi ketawa karena ngeliat gue ketawa.

Selama sesi foto dilakukan, gue bisa ngerasain energi bahagia yang keluar dari Anulika. I know right away that I will be the bad man when I break her heart later. But, I am already bad. I’m bad because I don’t know about my own feelings. I’m bad because I ignore her feelings. I’m bad because I don’t trust romantic relationships anymore. I’m bad because I gave her false hope. I’m bad because I know that she’s going to get hurt. I’m bad. I am.

But,

“Kak Hart,” panggil Anulika ngelunturin khayalan gue. “Ngelamun mulu ga takut kesambet apa? Aku takut beneran.” Gue ketawa dan ngacak rambutnya. Kita berdua keluar dari studio dan masuk ke dalam mobil lagi. Kali ini dengan suasana yang berbeda.


Senyuman gak luntur dari wajahnya dan gue berharap terus seperti itu. Tapi, apa yang gue lakuin selanjutnya sangat bertolak belakang dari keinginan gue. I’m going to hurt her. Kalimat itu terus berputar di kepala gue seperti sebuah reminder dengan alarm yang terus muncul buat ngingetin betapa jahatnya gue. Gue narik napas panjang lagi. Entah hari ini sudah berapa kali gue ngelakuin ini. Tapi, gue harus. Karena gak mudah untuk gue ngelakuin hal selanjutnya.

“Anulika,” She looks at me now, smiling. “Can we talk now?” I drop my voice. Dia kaget. Senyumnya luntur. Sekali lagi, Anulika gampang ditebak. Mungkin dia kaget karena intonasi nada gue yang berbeda. Tapi, dengan cepat dia ngubah ekspresinya.

“Ah aku sampe lupa kalo Kak Hart pengen ngajak aku ngomong.”

“Tadinya gue mau ngajak di taman, tapi udah terlalu malam. Jadi di rumah aja, ok?” Dia gak ngejawab, hanya menganggukan kepalanya.

Perjalanan pulang ini dia lebih banyak diam dan juga terlihat gelisah dari caranya mainin jari-jarinya. Dia gak pernah sediam ini tiap ada di mobil berdua dengan gue. Gak pernah sekalipun. Gak pernah sama sekali. Bahkan, sampai mobil gue berhenti di depan rumah pun dia masih ngunci mulutnya. Gue gak yakin pikirannya pun ada di dalam mobil ini.

“Anulika,” gue panggil namanya sekali. Tapi, gak ada sautan.

Gue narik napas dan coba manggil namanya lagi. “Anulika,” masih gak ada sautan. Dia masih nundukin kepalanya.

Kali ini gue panggil lagi untuk ketiga kalinya dengan lebih lembut dan mungkin terdengar berbisik. “Anulika.” Dia terkesiap. Merasa mendapatkan perhatiannya gue ngelanjutin kalimat gue.

“Dengerin gue sampai selesai, ok?” Dia gak menjawab hanya kembali menganggukan kepala. I hate it. I hate silent Anulika. I love it when she’s talking. Talks about everything.

I’m sorry, I’m so sorry. Don’t forgive me.

“Anulika,” dia negakin badannya dengan tatapan yang masih jatuh ke bawah. “Karena besok gue harus pergi ada dua hal yang pengen gue sampein.” I can’t tell what she feels. Dia gak mau nengok ke gue. Kayaknya sneakers yang dia pake lebih menarik di matanya.

“Pertama, gue makasih karna lo udah mau jadi temennya Haira dan Bunda, makasih juga udah banyak nemenin gue selama di sini, makasih udah sering banget buatin gue cookies, I love it so much, ada banyak hal yang buat gue makasih ke lo. Terutama makasih karna lo udah ngasih gue kesempatan yang hebat.” Dia ngelirik gue sekilas. Gue senyum. “Kesempatan buat disukai orang seperti lo. It’s such a big honor for me.” Dia ngalihin kepalanya ke sebelah kiri. Mencari cara agar tidak bertatapan langsung dengan gue.

Kali ini gue yang nundukin kepala. “Tapi, Anulika.” Gue ngelirik dia. Tatapannya masih pada jendela luar, entah apa yang dilihatnya. “Sorry,” Gue narik bahunya agar ngehadap ke gue. Waktu matanya ketemu dengan mata gue, perasaan sadar dengan apa yang akan gue lakuin selanjutnya bakalan nyakitin dia menjalar di tiap pembuluh darah gue.

I’m sorry, I’m so sorry. Don’t forgive me.

Dengan satu tarikan napas gue ngomong, “Untuk beberapa hari ini nyuekin lo. Tolong jangan maafin gue. Gue sadar itu jahat banget. Jangan maafin gue, Anulika.”

Dia diam. Bingung.

“Gue tau tentang perasaan lo. I mean that’s obvious and I’m thankful for that. But, if you continue to like me, you will get nothing but hurt. And I do not wish you to get hurt. I’m not ready for a relationship dan gak tau kapan gue bakalan siap untuk itu. You deserve someone better than me. You deserve it.” Gue ngelepas tangan gue dari kedua bahunya. Tapi, tangan kanan gue bergerak untuk ngelus rambutnya.

Dia ngegigit bibir bawahnya lagi sampai wajahnya merah, tapi kali ini dengan alasan berbeda. Bukan karena menahan agar tawanya gak keluar. Tapi, karena menahan agar tangisnya gak keluar. Ada rasa sakit di dada gue waktu ngeliat wajahnya seperti itu. But, there’s nothing I can do. Gue senyum. Senyum untuk nyembunyiin kalau gue juga sakit. Kalau tadi dia ngikut gue ketawa, gue takut dia bakalan ngikut gue sedih kalau gue nunjukin itu. Jadi, gue milih senyum dengan harapan dia juga bakal senyum. Tapi, dia sama sekali gak senyum.

“So, I guess, see you when I see you?”

Dia diam. Sedangkan, gue bergerak untuk turun dari mobil. Tiba-tiba tangan gue seperti ditahan. Anulika. Anulika nahan tangan gue. Nahan biar gue gak turun dari mobil.

“Tapi, Kak.” Dia bersaut. Ada hening yang tercipta. Sepertinya, Anulika masih merangkai kata-katanya. Kemudian ketika dirasa kata-katanya sudah terangkai dia melanjutkan. “Aku gak pernah berharap kamu balikin perasaan aku, Kak. Sama sekali.” Dia diam lagi. “Just, let me try it. Biarin aku berjuang dan biarin aku yang mutusin kapan akan berhenti. It's up to me to decide. Not you. It’s my feelings, Kak. Let me decide it. Please.” A single tear dropped from her eyes.

Meanwhile, I drop my head to my hands. “But, you will only get hurt. It’s not worth it, Anulika. Fight for someone that’s uncertain like me.” I run my fingers through my hair.

“I know. I’ll take a risk.” She wipes her tears.

No, I don’t want you to take a risk. I'm sorry to make you cry.

“Aku bakalan masuk ke kampus yang sama dengan Kak Hart. Kita ketemu nanti lagi.” Dia diam sekian detik. “I will make you fall in love with me. I promise.” She grab my hand. But, get too embarrassed so she released it. Did I say that she’s brave? Because she's brave and that’s so attractive.

*The moment she grabbed my hand, my heart beat hard.

Poorly, you’re late,* Anulika. Because, I think I’ve already fallen.

Gue kalah untuk ketiga kalinya. Tapi, kali ini rasanya seperti menang.

Awalnya gue emang udah punya niat buat jelasin semuanya ke Anulika. Ngejelasin bahwa semua sikap gue ke dia selama ini karena gue nganggep dia sebagai adek perempuan gue—selain Haira—dan gak bisa ngeliat dia as a woman. Gue beneran yakin gak bakalan pernah bisa ngeliat dia lebih dari itu. Gue juga mau minta maaf for did her wrong, gue dengan sengaja nyuekin dan diemin dia. Sejujurnya gue juga gak nyaman harus diemin dia kaya gini, but I’m not lying when I said that I’m busy. Walau gak sesibuk sampai gak bisa ngobrol sama dia. Karena gue yang ngulur waktu. Entah karena permintaan temen-temen gue (especially Garett) atau emang karena gue takut keyakinan yang gue pegang itu salah. I still don’t know if it's the former or the latter. Still can't figure it out.

Sabtu pagi besok gue bakalan ninggalin rumah ini lagi untuk waktu yang gue gak tau tepatnya sampai kapan. Baru ngebayanginnya aja gue udah sedih dan pengen masang rantai di kaki gue biar gue gak bisa pergi dan tetep ada di sini. Gue gak pernah balik Bandung bukan karena gue gak pernah kangen rumah, hanya saja ini yang gue takutin. Gue takut gak mau lagi untuk balik ke tempat gue tinggal sekarang, gue takut gue gak mau ninggalin rumah ini. Kenapa gak bolak balik aja? That’s easier said than done and I will be too exhausted. Kenapa malah milih gak balik? I don’t know myself. Gue cuma ngerasa itu lebih baik aja. Makanya, sebelum gue pergi ninggalin rumah gue mau ngajak Anulika ngomong. Butuh persiapan yang lama untuk gue siap ngomongin semuanya ke dia. Tapi, siap gak siap gue harus segera ngambil keputusan kan?

Bunda duduk di kursi samping–terpisahkan meja kecil–sambil ngeliatin gue yang lagi ngiket tali sepatu, dia senyum. “Mau kemana, Kak?” Gue ngangkat kepala gue dan nengok ke bunda membalas senyumannya. Her smile always puts me at ease. Gue berdiri dari duduk, sedikit merapikan baju dan denim yang gue padukan biar gak kusut. Kemudian gue jalan 3 langkah untuk berdiri di hadapan bunda, ngambil tangannya untuk salim dan izin pamit.

“Nemenin anak angkat Bunda.” Gue selalu bercanda seperti itu tiap mau jalan sama Anulika ke bunda. Setiap gue bilang itu bunda langsung tahu kalau gue ngomongin Anulika. Kayanya bunda nganggep Anulika anak sendiri, pertama kali ketemu Anulika dan ngeliat interaksinya sama bunda gue bisa liat ketulusan bunda. Makanya gue jadi godain bunda dan nyebut Anulika anak angkat bunda.

“Kirain anak mantu.” Gue ngasih tatapan aneh ke bunda setelah nyium tangannya. Panggilan anak mantu itu udah jelas ditujukan bunda untuk siapa.

“Bun, kan udah gak. Hart udah ngomong banyak kali loh, Bun.” Gue narik handphone di saku jeans, ngeliat notifikasi whatsapp dari Anulika yang isinya dia ngomong bakalan ke luar 2 menit lagi dari rumahnya.

“Apa yang ga?” tanya Bunda dengan raut wajah heran.

Gue ngelirik ke samping kiri, ke arah rumah Anulika–gue bisa liat dia lagi ngunci pintu rumahnya–dan nutup kembali handphone gue. “Eila, Bun.” Gue ngambil dompet dan kunci mobil yang ada di meja dan nyelipin dompet di saku jeans yang senggang.

“Kata siapa Bunda ngomongin Eila? Lagian waktu acara tahun baruan kemarin Eila cerita lagi deket sama kating kalian. Bunda juga gak mau maksa perasaan kalian, Nak.” Bunda berdiri dari duduknya dan jalan nyamperin Anulika yang udah berdiri di depan pagar. Ninggalin gue yang bingung dengan apa maksud dari kalimat bunda yang baru saja masuk ke telinga gue.

Dari tempat gue berdiri gue bisa ngeliat wajah ceria Anulika. Cara dia bercanda dengan bunda, cara dia tersenyum, cara dia nutupin setengah wajahnya dengan kedua tangannya tiap dia malu. Semuanya ngingetin gue dengan temen cewek Haira yang tiga tahun lalu buat gue penasaran. Temen cewek yang pindah ke sebelah rumah dan satu SMA dengan dia. Temen cewek yang gak pernah absen untuk muncul di instastory-nya. Temen cewek Haira yang pertama kali buat gue penasaran. Tapi, selalu gue abaikan rasa penasaran gue yang mau tahu lebih jauh itu. Karena waktu itu gue masih pacaran dengan Eila dan setelah putus gue nutup semua kemungkinan untuk mulai dekat dengan perempuan lain. Otomatis rasa penasaran gue kepada Anulika pun menghilang.

Iya bener, gue tahu Anulika udah dari lama. Walaupun, gak pernah ada obrolan tentang Anulika di antara gue dan Haira. Gue tahu siapa Anulika sejak lama. Alasan gue bisa semudah itu untuk nge-follback dia waktu itu juga karena gue tahu dia siapa. Gue agak kaget sama sifatnya, but in a good way. Segala hal tentang Anulika itu menyenangkan dan gue selalu seneng dengerin dia cerita dengan nada cerianya. Tapi, gue juga ikut ngerasain gimana rasa sedihnya tiap dengerin beberapa cerita hidupnya. Walaupun dia selalu ngeakhirin ceritanya dengan candaan. Gue suka semua kue, roti, atau apapun yang dia buat dengan tangannya.

Oh... Gue barus sadar... Baru sadar kalau ternyata... Ternyata gue suka semua hal tentang Anulika. Tapi, gue gak yakin dengan semua itu gue bisa balikin perasaan yang udah sangat melimpah dia berikan ke gue. I feel like she deserves someone that will appreciate her feelings more. More than me. More than someone that is still unsure about his own feelings.

Dengan satu hentakan kaki dia lompat di hadapan gue. Muncul dengan senyumannya yang sesejuk udara pagi hari. Wajah cerah, secerah matahari. Wangi segar, sesegar bunga. Yes, she’s so pretty that bees can mistake her as a flower. She’s like a sunshine fairy that smells like morning dew and a flower. It’s refreshing. But, she doesn’t know that a horror night will come to her. And I’m the one that brings that to her.

2029

cw // kissing

Waktu berlalu dengan sangat cepat, gue baru sadar akan hal itu waktu Finn pertama kali nawarin dirinya untuk jadi model gue lagi setelah tiga tahun tidak bertemu. Akhirnya kita berdua janjian untuk ketemu di studio gue. Seinget gue, dia sama sekali gak pernah masuk di studio ini. Tapi, ternyata studio gue berdekatan dengan studio milik temennya dulu. Jadi, dia dengan mudah masuk dan ngetuk pintu gue. Satu hal yang bisa gue katakan pas gue buka pintu dan ngeliat dia adalah kaget. Gue kaget karena dia dateng dengan look yang lebih rapi, senyuman yang masih sama, dan wangi yang buat gue reminisce masa-masa awal perkenalan kita, kata pertama yang gue keluarin setelah tiga tahun adalah, “Hoodie lo mana?” dengan nada heran dan sedikit bergurau.

Hidupnya gak pernah lepas dari hoodie, tiap ketemu atau jemput gue. Tapi, kala itu beda. Dia ketawa dan nyisirin rambutnya yang masih bertahan di warna yang sama dengan jari-jarinya. Kemeja putih dan celana hitam yang dia gunain waktu itu ngingetin gue dengan pakaian dia waktu jadi model mv pertama gue. He feels familiar and unfamiliar at the same time.

Empat tahun telah berlalu sejak saat itu, makanya gue bilang waktu itu cepat berlalu. Sekarang kita berdua udah lebih dewasa dan sadar dengan perasaan kita masing-masing. Gue berhasil ngeraih mimpi gue sebagai seorang produser dan dia berhasil jadi seorang model terkenal. Gue masih gak percaya dengan kenyataan bahwa tujuh tahun udah berlalu sejak gue ngeliat dia pertama kali di club malam yang katanya sekarang udah tutup dan berubah jadi restoran cepat saji. Dalam tujuh tahun itu kita ngelewatin banyak hal. Satu tahun pertama kita kenal, tiga tahun selanjutnya kita lost contact, setahun berikutnya kita ketemu lagi, dan sekarang kita udah masuk tahun ketiga pacaran. Gue hanya berharap tahun depan status kita gak berubah ke arah negatif aja. Lucu juga kalau diinget-inget.

Dari jauh Finn dateng sambil ngegendong satu anak perempuan dengan tangan kirinya dan tangan kanannya nenteng tas anak tersebut. Anak itu ngeliat gue dengan senyuman lebar yang nunjukin deretan giginya yang ada ompong di beberapa bagian. Dengan cepat dan sedikit mengagetkan Finn dia turun dari pelukan dan gendongan laki-laki tinggi itu untuk lari ke pelukan gue. Nyawa–nama anak perempuan itu–nabrakin dirinya ke gue yang udah jongkok untuk nerima pelukannya. Gue selalu suka pelukan anak kecil, terutama Nyawa. Pelukannya ngasih efek luar biasa ke gue, karena gue berasa jadi seorang Ibu. Walaupun, gue sama sekali belum jadi Ibu.

“Tanteeee, Nyawa kangen banget,” katanya nyiumin pipi gue. “Bosen ngeliat muka om Finn mulu.” Dia sengaja berteriak biar Finn bisa denger dan merasa diejek.

“Ye, gak gue jemput lagi lo.” kata Finn dengan nada kesal. Nyawa malah makin gak gentar buat ngejekin Finn. Mirip banget emang sama Daddynya.

“Finn, ngomongnya.” tegur gue. Finn cuma senyum sok manis aja ke gue. Ngebuat Nyawa nunjukin muka jijiknya ngeliat respon Finn.

Nyawa itu panggilan kesayangan dari Nyaja Wagma. Nyawa anak dari Jauzan, temen Finn yang katanya ngefans sama gue dulu. Jadi, Nyawa bukan anak gue atau anak Finn, apalagi anak kita berdua. Gue dan Finn belum nikah dan belum pernah dengan serius ngomongin tentang pernikahan. Kita baru resmi berpacaran selama tiga tahun, gue gak yakin dia bakalan ngelamar gue dalam waktu dekat. Obrolan tentang pernikahan yang kita lakukan juga selalu diselingi dengan bercanda. Gue masih nyaman banget dengan hidup gue sebagai seorang produser, bahkan sekarang gue punya label sendiri dan lagi nge-trainee beberapa calon musisi muda. Finn masih setia dengan profesinya sebagai model, tapi dia juga ikut gabung ngebantu gue ngebangun label gue.

“Tan, aku laper. Om Finn kejam tau, Tan. Aku ga dibolehin jajan mekdi.” Nyawa nunjukin wajah paling melas yang dia miliki ke gue yang gak pernah buat gue gagal ketawa. Finn udah geleng-geleng ngeliat tingkah anak ini dan dia milih kabur pergi ke kamar.

Alasan Nyawa dijemput oleh Finn adalah karena Jauzan minta tolong ke Finn karena orang di rumahnya gak bisa ngejemput anaknya itu. Tapi, gak selalu Finn yang dimintai bantuan. Kadang juga sepupu Jauzan–yang gue baru tahu kalau Finn pernah hampir berpacaran sama dia. Jauzan sibuk banget, dia kerja sebagai data engineer di salah satu anak perusahaan besar di Indonesia. Dulu memang mereka bertiga–Finn, Jauzan, dan Yordan–sempet ngebangun satu usaha, tapi itu gak berjalan lancar. Namanya juga usaha yang dibangun bareng temen-temen, gak semuanya bisa berhasil. Seinget gue sih karena Yordan akhirnya pindah dan lanjutin studinya di luar negeri–ngejar pacarnya. Kalau Finn emang dari awal gak ada niatan buat ikut usaha itu, tapi dia ngerti situasinya saat itu lagi gak bagus jadi dia ngikut untuk modalin usaha itu. Kemudian, Jauzan satu-satunya yang mempertahankan bisnis itu, tapi ada satu hal yang buat dia terpuruk. Semenjak itu, untuk ngejalanin hidupnya aja Jauzan bingung, apalagi mau jalanin usaha. Dia butuh waktu lama untuk bangkit dari waktu terpuruknya semenjak ditinggal oleh mama dari Nyawa. Terpaksa, usaha yang waktu itu lagi di masa jaya dan di atas, pelan-pelan meleset jatuh. Stop tentang kisah masa lalu Finn dan teman-temannya, karena harusnya ini cerita tentang gue dan Finn.

“Ayoo sini tante masakin. Nyawa mau makan apa emangnya?” tanya gue.

“Mau apa aja asal Tante Retta yang masakin.” godanya.

“Bisa aja kamu. Yaudah kamu mau bantuin tante atau mau duduk manis bareng Om Finn?” Tangan gue nunjuk ke arah Finn yang udah balik dari kamar dengan pakaian lebih nyaman, dia senyum berpangku tangan di atas meja makan.

“Mending aku bantuin tante aja.” Dia ngelirik sinis ke Finn yang buat gue ketawa saking lucunya.

Nyawa bantuin gue masak, setalah itu dia tidur siang di rumah kita. Rumah ini gue beli bareng Finn tiga bulan yang lalu, tapi kalau kalian lihat surat-suratnya rumah ini full atas nama gue. Jelas gue udah gak ngontrak bareng Ony, Monic, dan Prisa lagi. Masing-masing dari kita udah ketemu jalan hidup masing-masing. Semenjak itu gue kembali tinggal sama orang tua gue. Tapi, karena satu dua pertimbangan termasuk karena rumah orang tua gue terlalu jauh dari studio, jadi gue nyewa apartemen yang ada di dekat studio. Ngomongin rumah orang tua gue, Finn udah keluar dari rumah orang tuanya–tepatnya bokap dia. Gue ikut berbahagia waktu dia ceritain itu.

Satu tahun pertama sejak kita kembali dekat lagi, kita lebih banyak nyeritain hidup kita selama tiga tahun terakhir kita putus hubungan. Dia nyeritain ke gue gimana susahnya dia buat ngelupain gue. Well, I know what it feels like. Because, I never got rid of him from my brain. It’s hard and painful for both of us. But we can manage and overcome it. Kita mulai pendekatan lagi dari awal, lebih jujur dari sebelumnya tentang segala perasaan sekecil apapun perasaan itu ke satu sama lain. Gue bisa ngerasain gimana dia berubah lebih baik dan terus baik seiring berjalannya waktu. Like I said three years ago, we finally bury the hatchet and for sure build a home. Well, actually we “buy” the home. But, isn’t it our happy relationship is the one that we called home. Because, when I’m with him it feels like home.

Finn udah ketemu orang tua gue. They loved him. Setelah tiap hari datang dan ketemu orang tua gue buat minta izin ngajak gue jalan. Akhirnya Finn ketemu orang tua gue buat ngajakin gue pacaran. Pacaran doang, tapi dia minta izin ke orang tua gue. A gentleman indeed. Itu bukti pertama yang buat gue yakin dia serius sama gue, walaupun waktu itu gue belum 100% yakin. Masih 30% yakin. So, I tested him a lot. But, giving him a chance was not a mistake. We improved a lot, especially him and I’m proud about it.

Waktu kita berdua anniversary untuk pertama kalinya, dia gak yang ngasih gue barang branded atau ngasih gue bucket duit berjuta-juta. Dia cuma masakin gue di apartemennya waktu itu dengan ala-ala candle light dinner. Gue gak kecewa dan jujur aja gue suka hal itu. Dia nanya banyak hal–tentu sambil bercanda–seperti lamaran ideal gue kaya gimana. Jujur gue gak butuh lamaran yang heboh-hebohan. Jadi waktu itu gue jawab, selama ada kita berdua gue udah ngerasa cukup dengan lamaran itu dan yang akhirnya dicengin sama dia. Katanya gini, “Waduh lo udah gak bisa lepas dari gue banget ya, Ret? Kalau gue kabur gimana?” yang gue balas dengan nabok dan nutup mulutnya yang gak berhenti ngoceh dan ngecengin gue. Setelah itu dia berubah sedikit serius dan ngomong kalau dia udah ngebuka rekening untuk biaya pernikahan kita, termasuk juga biaya hidup kita nanti. Tapi, abis itu dia becanda lagi, “Makanya makan malam anniv kita cuma di apart aja kan gue lagi nabung.” Waktu itu gue udah mau serius juga, tapi karena dia ngelanjutin kaya gitu yaudah gue jawab dengan bercanda juga, “Mulai dari nol banget mas kaya P3rtamina.” Dia ikut ketawa sih waktu itu, tapi pas dia ngeliatin buku rekeningnya ke gue, mata gue kayak mau copot. Ternyata dia udah buka rekening itu sejak dia jadi model dan punya penghasilan yang lebih. Dia udah yakin kalau dia bakalan ketemu gue lagi, dia yakin dengan perasaannya ke gue, bahkan sebelum kita kembali bertemu. Bahkan, di saat dia gak tau apakah gue udah move on atau belum. Dia punya tekad yang kuat untuk merjuangin hubungan dengan gue. Dari situ gue yakin 60% kalau dia serius.

Anniversary kedua kita dia ngajak gue candle light dinner, tapi kali ini bukan di apartemennya melainkan di rumah orang tua gue. Agak unik emang. Kayanya dia emang sengaja pengen ditanya-tanyain orang tua gue tentang rencananya bersama anak mereka–alias gue. Tapi, sayangnya orang tua gue tipe yang nyerahin semuanya ke gue, jadi mereka gak begitu banyak nanya. Orang tua gue tahu kalau gue udah bisa ngambil keputusan sendiri. Jadi, mereka nungguin gue yang cerita atau nanyain pendapat ke mereka. Selama makan malam, orang tua gue cuma nanyain tentang pekerjaan kita berdua, gimana makan kita, apakah kita sehat, pertanyaan basic lah ya. Gue yakin Finn pasti bingung karena rencananya gagal. Tapi, gue jadi tambah yakin kalau dia serius. Setidaknya, sekarang naik jadi 75% keyakinan gue sama Finn. Apalagi setelah gue tahu dari nyokap kalau keesokan harinya, Finn dateng lagi ke rumah orang tua gue dan jelasin rencana dia kedepannya. Nyokap sama sekali gak ngebocorin itu ke gue. Finn juga gak mau ngasih tahu, katanya dia berubah pikiran buat ngomongin rencananya dia di depan gue. Walaupun, gue ngambek dan ngomong, “Rencana kamu kan ada aku di dalamnya. Masa aku gak boleh tahu? Aku gak mau ngomong sama kamu sampe kamu mau ngasih tau aku.” Tapi, sampai detik ini gue gak tau apa rencana yang dia omongin dengan orang tua gue.

Di anniversary kita yang ketiga, itu adalah saat di mana Finn beliin gue rumah ini. Tapi, gue gak terima walaupun dia ngomong ini bakalan jadi rumah kita tinggal nanti setelah menikah. Gue gak terima karena gue sama sekali gak ambil andil di dalamnya. Awalnya gue mau bayar setengah rumah ini ke dia, tapi dia ngasih solusi lain yaitu gue bantu beliin furniture untuk rumah ini aja. Gue setuju. Karena rumah ini masih perlu banyak furniture untuk keliatan lebih hidup. Tapi, ini gak berarti kita sekarang tinggal bareng loh. Gue emang sering tidur di sini bareng dia. Tapi, gue masih sering balik ke rumah orang tua gue. Karena, semenjak ada rumah ini gue gak ngelanjutin sewa apartemen. Itu permintaan orang tua gue, mereka tahu kalau Finn udah beli rumah untuk kita berdua. Jadi, kata mereka gue bisa nginep di Finn atau balik ke rumah. Dibandingkan nyewa apartemen yang gak murah. Gue iyain karena menurut gue juga ngapain gue buang-buang uang padahal rumah ini punya banyak kamar. Walaupun gue dan Finn tidurnya di kamar yang sama. Hehe.

“Hi.” Finn datang sambil meluk pinggang gue dari belakang. Dia balik dari kamar tidur kecil yang emang jadi tempat Nyawa tidur setiap anak itu di sini. Tadi setelah kekenyangan anak itu minta Finn buat gendong dia ke kamarnya.

“Hi, babe.” Gue miringin kepala biar bisa nyium dia dan balik lagi nyuci piring-piring kotor bekas kita bertiga makan tadi.

“Makin cocok aja sih.” ucapnya tiba-tiba. Dagunya dia letakkan di sela leher gue.

“Cocok apaan?” tanya gue. “Finn, jauh-jauh ih geli.” Gue berusaha ngusir dia dengan gerakin bahu dan kepala gue.

Dia ketawa. “Jadi istri orang hehehe.” Kan sesuai dengan kalimat gue jauh di atas sana. Dia selalu ngomongin hal-hal kaya gini dengan intensi bercanda. Jadi, gue gak tau kapan dia bakalan serius ngelamar gue.

“Bercanda mulu, deh.” Gue ngeringin tangan dan ngelepasin tangannya dari pinggang gue. Gue balikin badan biar bisa natap dia. “Kapan seriusnya?”

“Mau seriusnya sekarang?” tanya dia. Tangannya dijulurkan buat nangkup pipi gue.

“Mana bisa?” gue julurin lidah dan nantang dia.

“Kenapa gak bisa?” Dia lepasin tangannya dari pipi gue. Tindakan dia selanjutnya bisa dikatakan ngebuat gue speechless dan kaku. Dia ngambil kotak beludru dari kantong belakangnya. Ngebuka kotak itu dan senyum, sedangkan gue bisa yakin muka gue udah kaya maling ketangkap basah.

Cincin dengan satu mata berlian di atasnya terselip dengan manis di kotak tersebut. Gue pernah bercandain cincin ini empat bulan yang lalu waktu kita lagi jalan-jalan di salah satu Mall gede di Jakarta. Sekarang cincin itu ada di depan mata gue. Di dalam kotak yang dipegang sama pacar gue.

“Tadinya gue mau lebih romantis lagi. Tapi, kata lo pengennya dilamar sama gue aja. Yaudah gini aja boleh kan?” Dia nyengir tanpa rasa bersalah karena udah ngebuat gue speechless.

“Varetta,” panggilnya. Kali ini lebih serius.

Gue gak jawab. Cuma ngeliat mata dia yang serius natap gue dengan dalam.

“Aku berharap kita selamanya, Ret. Aku ngerasa lengkap dengan adanya kamu di sisi aku. Aku berjanji akan terus berjuang dan berusaha untuk kita. Aku tahu aku gak sempurna, aku tau mungkin ada yang bisa ngasih untuk kamu lebih dari aku.” Gue geleng waktu dia ngomong itu. “Tapi, aku berharap kamu ngeliat keseriusan aku, Ret.” Dia ngeliat serius di mata gue.

“Ret,” panggilnya lagi.

Gue menjawab di bawah napas, seperti bergumam. “Hmm.”

“Gue lupa lanjutannya apa.” Dia ngegaruk kepalanya dan ngasih gue senyuman jailnya. Gue ketawa, tapi air mata gue keluar perlahan. Gue narik dia ke pelukan. Kemudian di balas pelukan gue.

“Tunggu Retta belum selesai.” Dia lepasin pelukan kita berdua setelah nyium puncak kepala gue. Tangan kanannya dia gunain buat ngehapus air mata gue. Setelah itu, dia ngambil cincin itu dari dalam kotaknya dan nanya ke gue. “So, because we finally reached the best of our life. We’re not miserable nor vulnerable anymore. Universe lets us find each other. We fell deeply in love again. Will you welcome me to be your other half?”

Percuma dia ngapusin air mata gue, karena yang ada gue malah makin nangis. Kata-kata yang bisa gue keluarin cuma, “Yes, I do.” Dia masukin cincin tadi ke jari gue dan nyium gue. Ciuman ini ngalahin semua ciuman yang pernah gue lakuin dengan dia. We felt each other.

“Daddyyy…” Suara panggilan dan langkah kaki Nyawa yang mendekat ngebuat kita berhenti, kemudian ngeliat satu sama lain sambil tertawa. His hands still on my cheeks and my hands still on his cheeks. We laughed together with our foreheads bumping each one.

Finally we can fall in love again with no more pain. We will start a new story next year. Being miserable and vulnerable is part of our love life. But, we can overcome it. We can be stronger than that. We’re complete with each other.