julietirw

TW // abusive CW // mention of dead

Panggilan dan pesan bertubi-tubi dari papa ini bukan kali pertama gue terima. Sejujurnya gue benci banget panggil dia dengan sebutan itu, jadi gue bakalan ganti dengan si “bendera hitam”. Tiap gue terima panggilan dan pesan dari bendera hitam pasti besoknya badan gue berubah warna jadi biru keunguan. Tapi, gue gak bisa berbuat apa-apa selama gue gak menghasilkan uang sendiri. I still need him.

Itu juga yang menjadi alasan gue saat ini berdiri di depan rumah yang dipenuhi ribuan kenangan buruk. Dengan langkah hati-hati berjalan masuk ke dalam rumah. Gue merhatiin rumah ini seperti sedang menikmati karya-karya di museum. Mama dulu punya banyak koleksi vas hiasan lantai, gue gak tau namanya yang jelas bentuknya itu vas besar yang berdiri di sudut-sudut rumah. Tapi, yang gue tau tiap tahun vas-vas itu hilang satu persatu berganti menjadi pecahan-pecahan kecil yang kadang melukai tangan.

Gue selalu mencoba untuk kabur, pergi jauh dari dia dan mungkin dunia. Tapi, pada akhirnya gue harus balik lagi dan lagi. Gue benci itu. Gue selalu berpikir gue adalah satu dari sekian orang yang hidup tanpa pilihan. Padahal jelas semua orang punya pilihannya masing-masing. Mungkin juga sebenarnya gue udah tetapkan pilihan gue. Makanya usaha gue kabur tidak pernah berhasil.

Suara dari ruang keluarga memperlambat jalan gue untuk masuk lebih jauh ke dalam. Pergulatan batin terjadi, apa kali ini gue bisa punya pilihan lain. Tepatnya memilih pilihan lain. Gue ketawa mencemooh diri sendiri waktu dengar teriakan dari ruangan tadi. Teriakan memanggil nama gue. Pilihan apa sih yang gue harapin? Gak ada pilihan lain buat gue.

Terpaksa gue mendekati sumber suara tersebut dan seperti yang gue tebak, sekalinya gue tepat berdiri di depan si bendera hitam. Gue gak bisa dengar apa-apa selain dengungan di telinga dan pipi yang memerah seperti udang rebus. Awalnya sebelah kiri, beberapa detik kemudian warna merah itu merambat ke sebelah kanan. Setelah itu dinginnya tongkat golf mulai terasa saat bersentuhan dengan tangan, kaki, dan punggung gue. Mahakarya yang ditinggalkan si bendera hitam di tubuh gue kali ini sedikit mengeluarkan cairan berwarna merah.

Kali ini apalagi alasannya? Sudah jelas bukan hanya karena gue yang gak ngangkat telpon dan balas pesannya. Bendera hitam punya banyak alasan untuk berkarya di tubuh gue. Bahkan, hal-hal yang tidak memiliki hubungan dengan gue pun dia akan tetap melampiaskannya ke gue. Sedangkan gue hanya dapat berdiri–tepatnya berlutut–di hadapannya sembari menerima segala perlakuannya.

Gue bisa sedikit menebak satu alasannya, pasti salah satunya adalah alasan mengapa di dalam rumah besar ini hanya tinggal dia sendiri. Tante Emily dan Freya berhasil kabur. Gue ikut bahagia untuk mereka, lebih baik untuk hidup tanpa ayah dan suami dibandingkan harus hidup dengan bendera hitam. Pukulannya makin terasa sakit. Tandanya gue masih hidup.

Gue udah sering ngerasain ini, tapi kali ini gue sedikit khawatir. Gak tahu apa yang gue khawatirin, tapi mungkin gue takut mati. Kalau gue mati gimana dengan teman-teman gue? Gimana dengan adik gue? Gimana, gimana dengan Retta? Gue punya janji yang harus gue tepatin ke dia. Untuk kali ini aja gue ingin memilih. Gue ingin pilih hidup.

Gue gak begitu suka jalan-jalan tanpa tujuan seperti ini. Tapi, ternyata gue bisa nyaman juga untuk duduk di mobil berjam-jam, sambil nyetir tanpa tujuan. Gue dan Retta mutusin buat ngabisin waktu di jalan dan dimanapun posisi kita nantinya pas jam menunjukkan tepat pukul 12.00, di situ kita ngerayain tahun baru.

Pertama kita berdua memilih untuk mengisi perut dengan antre drive thru yang ternyata tidak kalah panjang antreannya. Setelah berhasil membeli beberapa makanan cepat saji, kita berdua melanjutkan perjalanan. Retta memilih untuk memutar radio. Lagu dari Dept featuring Will Jay dengan judul Next Year menemani malam tahun baru kita berdua.

Many nights overwhelmed By emotions couldn’t help myself, oh no Ooh That’s life

“Gue seneng bisa ketemu lo, Ret.” Kata-kata gue membuat perempuan di samping gue saat ini mengernyitkan dahinya. “Maksud gue, gue gak bakalan pernah tahu keliling-keliling jalan di malam hari tanpa tujuan gini ternyata enak.” Gue masih fokus melihat jalanan sambil menyetir.

Retta menganggukan kepalanya. “Kadang emang gitu, Finn. We need to try something new. Gimana bisa tahu kita bakalan suka kalau kita gak coba sama sekali.” jawabnya santai.

Faked a smile Not hard to tell Yeah it was a pretty long year, but oh well Ooh I’m alive

“Setidaknya sebelum tahun berakhir gue ketemu lo yang bisa ngenalin gue ka hal-hal baru kaya gini.” jawab gue.

“Gue masih ingat waktu pertama kali gue ngeliat lo.” Retta mengatakan itu sambil menengok ke arah gue dengan tertawa.

“Jangan diingat.”

Why not? I was mesmerized by your face and figure. But, your smile just…”

“Gue tau.” Gue sendiri sadar gimana hampanya gue waktu itu. Sampai senyum gue pun mungkin bisa terasa hampa bagi beberapa orang.

Now in hindsight looking back I’m wondering why I was so sad Maybe things weren’t half bad

I love it,” katanya. “Your smile. I mean.

“Thanks. Setidaknya gue bisa memukau lo.” Jawaban gue membuat wajah Retta berubah merah. Lucu. Gue senyum.

Next year won’t fly past me Finally be happy Take a good look at me now On to the next year

“Tanggal 4 jangan lupa ya. Lo siap gak buat kita shooting MV?” tanyanya tiba-tiba.

“Siap, Ret.” Gue melirik dia yang sekarang sudah memegang cola di tangan kiri dan french fries di tangan kanan. “Sebelum tanggal 4 datang gimana kita jalan tiap hari? Kalau lo bisa aja, kebetulan gue masih libur kuliah.”

Retta ngelirik gue. “Gue bakalan sibuk di studio sih, Finn.” jawabnya.

“Lo ke sana naik apa?”

“Bebas, ga pasti gitu.”

“Biar gue yang jemput.”

Next year will be better And one to remember Make myself forever proud On to the next year

“Serius gapapa? Tapi, kalau ga bisa better tell me maksimal sejam sebelumnya ya.” Mungkin dia sedikit hati-hati, apalagi gue udah berapa kali ngelanggar waktu janji kita. And that’s on me.

“Kali ini gue coba perbaiki kesalahan gue dulu, tapi kalau emang gue gak bisa. Gue bakal ngomong.”

Semoga, semoga tahun depan bakalan lebih baik. Gue harus ingat sekarang gue punya Retta sebagai orang penting dalam hidup. Gue gak boleh ngecewain diri gue sendiri. Tahun depan gue harus lebih baik.


Tidak banyak berharap, gue dan Retta terpaksa menikmati tahun baru di dalam mobil. Tapi, gue sangat puas. Tahun baru kali ini rasanya berbeda. Sama seperti kata Retta, kita harus berani untuk nyobain hal baru.

Kita berdua banyak cerita dan tertawa. Mungkin sampai berlebihan. Karena, sekarang satu bungkus french fries yang Retta pegang jatuh dari tangannya. Membuat kursi kita berdua dipenuhi kentang. Hal itu malah membuat kita berdua otomatis tertawa lagi dan tanpa sengaja membenturkan kepala satu sama lain.

Kedua mata kita saling menatap dalam, perlahan kepala kita pun saling mendekat seperti dua medan magnet yang berlawanan. Jarak di antara kita pun saling menipis. Hingga kita berdua dapat merasakan hembusan napas satu sama lain. Sebelum benar-benar menyatu, notifikasi handphone gue berbunyi berkali-kali. Kita berdua saling menarik diri ke tempat masing-masing.

Gue berpura-pura membersihkan kerongkongan, sedangkan Retta sibuk memperbaiki rambutnya. Dia diam saja mungkin mencoba meredam rasa panas di wajahnya. Karena gue juga merasakan hal yang sama. Setelah merasa lebih dingin, gue mengecek handphone dengan sedikit kesal. Tapi, rasa kesal itu tidak bertahan lama setelah membaca pesan yang masuk dan mengganggu tadi itu.

Selama dua puluh tahun gue hidup, perempuan yang bener-bener dekat sama gue itu bisa dihitung jari. Mama, Kak Ica, dan Beka. Tapi, semenjak Mama dan Kak Ica pergi ninggalin gue dan dunia, cuma ada Beka yang terus nemenin gue. Makanya waktu SMP kita mutusin buat pacaran.

Setelah pacaran dengan Beka, gue sama sekali gak bisa dekat dengan perempuan lain. Dia gak pernah suka hal itu. Walaupun itu hanya sekedar teman sekelas saja. Posesif? Iya. Tapi, waktu itu gue seneng-seneng aja dia posesifin gue. Menurut gue itu artinya dia beneran sayang kan sama gue?

Tapi, akhir-akhir ini gue merasa hidup gue mulai dipenuhi dengan perempuan-perempuan baru. Terutama semenjak gue putus dari Beka. Semua terima kasih kepada dua teman gue. Yordan dan Jauzan. Sejujurnya alasan gue putus dengan Beka bukan atas permintaan mereka berdua. Ada alasan lain, tapi gue lagi gak pengen ngomongin itu.

Alasan perempuan-perempuan mulai bermunculan di hidup gue itu dimulai oleh Yordan yang berniat deketin teman Jauzan, yaitu Griz. Dan kebetulan juga Jauzan punya sepupu yaitu si Elvina. Awalnya gue sempat tertarik buat deketin Elvina sebagai pelarian gue dari Beka. Gue sadar kalau pikiran gue terlalu jahat dan egois. Gue juga gak pengen ceritain ini karena sudah lewat. Sekarang dia bahagia dengan pacarnya, begitu juga dengan gue. Wait, begitu juga dengan gue?

Gue bahagia? Kok gue baru sadar?

Sebuah tangan menyentuh bahu gue dan mengembalikan gue ke dunia nyata. Mungkin karena sang empunya tangan melihat gue terlalu sibuk dengan dunia khayalan sendiri. Gue ngeliat ke arah tangan itu, kemudian menatap mata pemiliknya. Dia memaksa senyumnya, tapi tetap terlihat manis di mata gue. Gue terus menatap matanya, membuat perempuan di samping gue saat ini menurunkan tangannya dari bahu gue dan senyum terpaksa miliknya berubah menjadi senyum tulus. Hal itu memaksa kedua ujung bibir gue tertarik ke atas, mengukir senyum sepertinya.

Gue bahagia. Kok gue baru sadar.

Perempuan dengan rambut oval dan kulit sawo matang yang duduk di samping gue terlihat lebih menarik dibandingkan es jeruk yang baru saja dia berikan. Dia bertanya, “Jadi lo udah tau kita berdua harus kemana?” Sambil menghempaskan diri di samping gue, sedikit berjarak.

Gue ketawa dan menggaruk kepala yang aslinya sama sekali tidak gatal. Seperti yang gue katakan dari awal kalau gue gak pernah dekat sama perempuan lain selain Beka. Jadi, gue gak tahu apa yang perempuan lain suka. Semua tempat yang gue datangi itu tempat kesukaan Beka. Semua makanan yang gue beli itu kebanyakan makanan rekomendasi Beka. Bahkan, setiap sudut jalan yang gue lewati selalu ada bayang Beka.

“Gue nanya teman-teman gue aja kali ya?” Gue mencoba untuk jadi laki-laki yang punya solusi atas tindakan impulsif yang sebenarnya berasal dari gue sendiri. Ternyata emang bener gue seimpulsif itu. Kenapa hari ini gue jadi sadar banyak hal ya?

Retta yang saat ini di samping gue dan duduk lebih nyaman dari sebelumnya hanya menganggukkan kepala. Tadi gue sempat nanya dia pengen kemana. Tapi, kata dia kemana pun itu dia mau karena dia pengen coba suasana baru. Gue gak tau suasana baru buat dia seperti apa. Bodohnya gue gak memilih untuk bertanya lebih jauh.

Terlalu hening. Sebenarnya tidak ada atmosfer canggung yang gue rasain, tapi mungkin tidak dengan peremuan di samping gue. Terbukti dari bagaiman dia mencoba untuk mencari topik pembicaraan.

Retta memusatkan fokusnya ke gue. “Lo kenapa milih tahun baruan sama gue? I mean you have your family, friends–” Kata-katanya terputus sekian detik sebelum dia lanjutkan,”–or someone else.”

“Kalau gitu lo kenapa nerima ajakan gue?” Gue balik bertanya karena bingung harus menjawab pertanyaannya dengan jawaban seperti apa.

“Kok malah balik nanya sih? Lagian kan lo tau gue gak mau ke villanya Leony.” Dia cemberut mendengar gue yang malah membalikkan pertanyaannya.

“Penasaran aja. Keluarga lo?” Gue lanjut bertanya.

That’s just me and my Mom. Well, she’s busy as hell.” Badannya berubah menjadi lurus ke depan lagi, tidak menghadap ke gue seperti tadi. “Tapi, bukan berarti gue gak harmonis ya sama mama.” Dia menengok gue saat mengatakan itu.

Gue senyum, kemudian ikut menghadap lurus ke depan.

“Gue punya masalah keluarga, Ret. A long story. Lo bakalan bosen kalau gue cerita.”

Dia kembali mengarahkan tubuhnya ke gue, dari ujung mata gue bisa lihat wajah penasarannya. “We have all night and I’m here to listen.” katanya.

“Tapi, ini malam tahun baru. Kita buat cerita sendiri aja.”

Ini terlalu berharap, tapi kalau memang gue bisa buat cerita sama Varetta. Why not? Kita bisa buat cerita bersama di mana kita berdua yang jadi pemeran utamanya.

I still remember what he said the day before over the phone. That I can’t interfere in his life, unless it’s about love matters. It’s hurt me and I hate him for that. But, the moment I saw him dressed just like usual when I opened the door for him. I recall something I said to myself one day that it’s not easy for me to fallin in love. Well, it turns out to be such bullshit. Cause I think I like him a little bit.

He bit his lower lips and smiled at me. “Hi,” he said. On his left hand there’s a plastic bag filled with food. It’s easy. It's easy for him to make me fall.

“Gue boleh masuk ga sih?” tanyanya. Gue yang masih terpukau dengan wajahnya hanya mengangguk, dari ujung mata gue bisa lihat dia tersenyum. Dia masuk ke dalam rumah membawa kantongan plastik itu, menanyakan letak dapur, dan pergi untuk mengatur makanan sendiri.

Gue kembali bertanya-tanya tentang kejadian kemarin. Seperti tidak percaya segala pesan yang kemarin itu dikirim oleh Finn yang ada di depan gue sekarang. Dia nyodorin gue makanan yang dibawanya dari luar. Classic. Nasi uduk.

“Sorry ya, gue udah terlanjur beli dan belum sempet nanya lo suka atau ga.” Finn mengatakan itu setelah melihat gue yang hanya menatap nasi uduk yang disodorkannya.

Tersadar dari lamunan gue segera menjawab. “No, gue suka kok. I just daydream.” Gue mulai menyendokkan makanan yang ada di hadapan gue sekarang. Finn yang melihat itu juga mulai menyantap sarapannya.

Tenggorokan gue serak, bukan karena haus yang menyerang. Tapi, karena udara yang sangat canggung saat ini. Sama sekali tidak ada yang mengeluarkan suara. Bahkan, suara kunyahan pun terdengar sangat tipis.

Finn menghabiskan makanannya terlebih dahulu. Dia ngelirik gue yang belum selesai makan. Merasa tidak memiliki kewajiban untuk nungguin gue makan, dia duluan pergi ke dapur untuk mencuci piringnya. Kemudian, kembali dan duduk dengan canggung di hadapan gue.

Tatapannya terus menembus kepala, gue sama sekali ga berani untuk nengok matanya. Terdengar suara kecil merayap keluar dari bibir merah mudanya. Wow, gue baru sadar bibir Finn benar-benar cantik banget. Karena tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Finn. Akhirnya gue memberanikan diri untuk menatap dia. Berharap dengan itu gue bisa tahu apa yang dikatakannya.

Wajahnya putih bersih, hidungnya terukir dengan sempurna, bibirnya merah seperti delima. “Sorry, Ret.” katanya. Oh, ternyata itu yang dari tadi coba dikatakannya.

Gue bingung. Mungkin dia bisa tahu dari wajah gue yang saat ini penuh tanda tanya. “For what?” I asked him.

“Kata-kata gue kemarin. Gue nyakitin lo, Ret.” katanya. Menundukkan kepalanya, yang sekarang dapat gue tatap hanya puncak kepalanya.

Gue senyum. Ternyata dia sadar, dia sadar nyakitin gue. Walaupun, it takes one day.

Nah, don’t worry. We’re nothing from the start. Gue ga punya hak untuk tau semua tentang lo.” kata gue mencoba untuk menepis segala perasaan yang mungkin muncul.

“Jangan gitu, Ret. Gue mau kita temenan dengan baik dan juga saling membantu dengan baik. Gak seharusnya gue ngomong kaya gitu kemarin. Gak seharusnya gue ngelampiasin segala rasa kesal gue ke lo. Padahal gue yang pertama ngehubungin lo.” Rasanya saat ini juga gue pengen ngehapus kata “temenan” dari Bahasa Indonesia. I don’t want you to be just my friend, Finn.

Shit. It’s easy. So fucking easy.

Gue menarik napas dalam. “Ok, Finn teman Retta.” Gue menekankan kata teman. “Gue gapapa. Salah gue juga dari awal ga nanyain batasan kita. Dan ya lo salah lampiasin semua itu ke gue yang gatau apa-apa. Terutama lo marah ke gue yang mau cari tahu tentang itu.” lanjut gue.

“Iya gue tau gue salah. Gue sadar. Tapi, lo masih mau bantuin gue kan, Ret?” tanyanya.

Gue menutup mata dan menarik napas dalam. “Of course.” Of course you stupid. I just realized now that I have grown feelings toward you. Ga mungkin gue langsung cut out lo dari hidup gue. Gue manusia biasa. Gue bisa selfish.

Dia senyum. Manis banget. Gue balas senyumannya dan tiba-tiba dia narik gue ke pelukannya. Dari pelukan itu gue yakin, one hundred percent. He really needs that hug. Samar-samar gue mulai dengar isakan tangis dari dia. He tightens our hugs.

Kita berdua diam dalam posisi itu. Gue mulai menebak-nebak Finn ini orang seperti apa. He once told me that he’s broke and hurt. Gue ga tau dan ada kemungkinan ga bakalan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, gue sampe di conclusion kalau dia butuh seseorang untuk jadi rumahnya. He’s alone. Karena sekarang rumahnya hilang, yaitu Beka.

Beka was once his home. But, maybe, just maybe. It’s my time to bring him home.

I can guarantee that if all my close friends know about this. Especially Leony, Prisa, and Monic. They will kill me.

I’m not stupid, but I want to act stupid this time. I know that I can’t fix someone, if he doesn't want it. But, I can see Finn wants it. He wants to change and I’m here to help him.

He helps me too. Cause I slowly forget about Kak Sage. Well, from the start I don’t really long for him any more. Sage and Monic make a perfect combo. The problem was with me. It’s on me all the time.

Finn perlahan mulai melepaskan pelukannya. Gue lihat wajahnya yang berubah canggung, gue senyum menandakan bahwa tidak ada masalah yang terjadi. Setelahnya kita lebih memilih untuk membicarakan topik-topik lain. Karena kita sadar, kita saling membutuhkan satu sama lain. Walau mungkin kita akan saling menyakiti juga.

Tapi, gue udah meyakinkan diri untuk siap menjadi rumah Finn selanjutnya. Untuk itu pun gue siap untuk tersakiti. Sesakit apapun itu. Gue akan coba untuk terima. We’re not perfect and that makes us human.

Disclaimer: I do my own research and ask my friends (she's a med student) for help about this topic. If there’s any wrong information, please tell me and I will try to fix it.

Johnny berlari ke arah mobil dengan tergesa-gesa. Bahkan, sempat menyenggol tukang parkir yang berdiri 5 meter dari mobilnya. Pamela yang menonton hal tersebut sejak awal hanya dapat tertawa. Sampai Johnny masuk ke dalam mobil pun Pamela masih tidak berhenti dengan tawanya.

“Kamu kenapa ketawa terus sih? Aku ngambek nih.” Johnny berpura-pura membuat wajah cemberut, tetapi hanya disambut tawa oleh Pamela. Tidak puas dengan reaksi Pamela, Johnny memilih untuk berhenti saja. “Ini makan dulu.” Johnny memberikan satu box makanan yang baru saja dibelinya tadi kepada Pamela. “Makan sendiri atau aku suapin?” lanjutnya menggoda.

“Aku bisa makan sendiri kali, Ka Jo.” jawab wanita itu masih tertawa. “Tapi, mau deh disuapin.” Pamela balik menggoda Johnny.

Johnny tertawa, tangannya bergerak mengacak rambut Pamela gemas. “Jangan gengsian gitu dong, Mamim. Yaudah sini boxnya.” Box yang tadi diberikan Johnny kepada Pamela kembali ke tangan Johnny lagi.

Keduanya menghabiskan waktu di dalam mobil, makan dan mengobrol banyak hal. Termasuk kejadian-kejadian apa saja yang terjadi di Surabaya. Salah satunya adalah Janu yang terus uring-uringan karena pesannya yang tidak dibalas oleh Kanista.

“Janji dokter jam berapa sih?” Johnny bertanya karena tujuan awal mereka pagi hari ini adalah untuk melakukan kontrol rutin.

“Jam sebelas sih. Masih ada sejam lagi.” jawab Pamela. Kemudian mengelus perutnya yang sudah sangat besar itu. Otomatis Johnny mengikuti gerakan yang dilakukan Pamela.

“Abey, ini papip.” Johnny mulai mengobrol dengan Abey. “Kamu kok akhir-akhir ini ga excited sih kalau dengar suara Papip?” tanyanya.

“Aku juga penasaran banget kenapa dia akhir-akhir ini jarang gerak. Awalnya kupikir karena Ka Jo jauh. Tapi, udah dua hari Ka Jo pulang Abey masih males-malesan aja.” Pamela mengatakan itu sambil memainkan tangannya di kepala Johnny, lebih tepatnya rambutnya.

“Gapapa, hari ini kita tanyain ke dokter ya.” kata Johnny. Kemudian, Johnny mencium perut Pamela sebelum akhirnya kembali duduk tegap dan menatap kedua manik mata Pamela.

I love you.” Johnny mendeklarasikan cintanya secara tiba-tiba membuat Pamela membelalakkan matanya.

“Tiba-tiba banget?” Pamela heran dan mengerucutkan bibirnya.

“Kok tiba-tiba? Aku kan tiap hari cinta kamu.” Johnny menarik tubuh Pamela ke pelukkannya dan mencium seluruh bagian wajah Pamela. Keduanya tertawa dengan sangat bahagia.


“Halo, selamat siang Bu Pamela dan Pak Johnny,” sapa Dokter Anita ramah. “Ga lama lagi nih. Tinggal persiapan lahiran kan?”

“Iya, Dok. Ini perkiraannya last konsul seingat aku.” jawab Pamela.

“Hahaha, iya benar kok. Kira-kira ada keluhan tidak ya?” tanya Dokter Anita.

“Ada sih, Dok.” jawab Pamela. Dokter Anita memberikan respon untuk Pamela melanjutkan omongannya. “Akhir-akhir ini Abey jarang gerak gitu, Dok. Itu gapapa kan? Tapi, aku masih berasa kadang dia gerak. Perutku juga tadi sempat sakit dan kencang aja gitu rasanya. Aku mikirnya itu kontraksi-kontraksi palsu gitu, Dok.”

Wajah Dokter Anita berubah panik mendengar runtutan kata yang disampaikan oleh Pamela. “Bu Pamela boleh baring di sini dulu?” Dokter Anita menunjuk bed di sampingnya. Mimik wajah Dokter Anita membuat Johnny dan Pamela ikut panik.

“Ada apa ya, Dok?” Johnny bertanya. Ingin memastikan bahwa istri dan anaknya aman.

“Saya cek dulu ya, Pak.” singkat Dokter Anita. Kemudian langsung segera memeriksa perut Pamela. Setelah dapat memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dokter Anita dengan cepat memanggil perawat untuk menyiapkan ruangan bersalin.

Wajah Johnny berubah pucat pasi melihat keadaan yang tiba-tiba menjadi 180 derajat berbeda dengan tadi pagi. Sekarang dia terduduk di depan ruangan bersalin. Kata-kata dari Dokter Anita berputar seperti radio di kepalanya. Kenyataan bahwa Abey didiagnosis fetal distress (gawat janin), keadaan dimana janin terlilit tali pusarnya sendiri. Beberapa pemeriksaan telah dilakukan termasuk cardiotocography, pemeriksaan air ketuban, dan banyak lagi.

Saat ini di kepala Johnny hanya tertanam fakta bahwa kemungkinan Abey selamat hanya 50%. Yang dapat dilakukannya hanya menutup mata dan menyatukan kedua tangannya. Dalam diam Johnny terus merapalkan doanya. Sama sekali tidak terpikirkan untuk menghubungi keluarga yang lain.

Tidak betah hanya duduk berdiam diri, Johnny bangkit dari duduknya. Terus melihat ke dalam ruangan di mana istri dan anaknya sekarang berada. Tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Hembusan napas frustasi terus keluar dari mulutnya. Sudah berulang kali dia mengusap kasar wajahnya. Keadaannya saat ini sangat berantakan.

Malam tiba baru Johnny menyempatkan diri untuk memberi tahu kabar ini ke keluarga yang lain. Jenggala merupakan orang pertama yang dihubunginya dan setelah itu Jenggala lah yang menghubungi yang lain karena tidak ingin Johnny kewalahan. Johnny mematikan handphone-nya, kembali bersandar pada tembok dingin rumah sakit. Rasanya saat ini dia ingin merutuki satu bumi jika tidak menyelamatkan istri dan anaknya.

Suara derap langkah dari sebelah kanan semakin mendekat. Seluruh keluarga dan bahkan Janu ada di rumah sakit saat ini. Janu dan Danurdara mendekati Johnny yang terlihat terpuruk, hanya duduk di sampingnya dalam diam. Kedua orang tua Pamela bersama Mama dan Oma pergi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kanista terlihat menahan tangisnya di samping Jenggala yang berusaha menenangkan sahabat kakaknya itu. Walaupun pada kenyataannya dia pun ingin menangis.

Pintu kamar bersalin tempat Pamela berada akhirnya terbuka, memberikan harap kepada mereka semua. Dokter Anita dan beberapa suster keluar dengan wajah datar. Berat untuk mereka menyampaikan fakta yang baru saja terjadi.

“Dok anak saya gimana, Dok?” Mama Tari dengan nada panik bertanya. Jenggala yang berada di samping sang ibu hanya dapat memeluk dan mengusap lengan sang puan. Berusaha untuk menenangkannya.

“Saya mohon tenang ya. Mungkin yang akan saya sampaikan ini di luar ekspektasi dan keinginan kita semua. Tetapi, karena upaya yang kita lakukan cukup terlambat, ja–”

Belum sempat Dokter Anita menyelesaikan kalimatnya Johnny sudah tersungkur jatuh. Dia dapat merasakan apa yang terjadi. Dia yakin dengan apa yang ada di benaknya sekarang menjadi kenyataan. Segala firasat yang ditahannya sendiri sejak siang tadi berteriak di dalam kepalanya. Johnny yang tadinya hanya jatuh terduduk, jatuh pingsan dan mengagetkan seluruh orang di sana.

cw // slight sexual content

Selama masa kehamilan Pamela, Johnny paling tidak ingin pisah jauh dari sang istri. Jam kerja yang memakan banyak waktu pun sangat dibencinya. Tetapi, tuntutan pekerjaan tidak dapat dihindarinya. Panggilan kerja selama 3 hari di luar kota pun mendatanginya. Bukannya tidak ingin bersikap profesional, tetapi usia kehamilan Pamela sudah memasuki 38 minggu. Tinggal menghitung jari untuk sampai ke Hari Perkiraan Lahir atau HPL.

Tiba saat Johnny harus menjelaskan ke Pamela kondisi yang dibebankan kantor kepadanya. Sampai di rumah, Johnny tidak langsung masuk ke kamar tidur. Melainkan, laki-laki itu duduk di ruang tengah. Diam dan melamun. Johnny berdecak keras, dia benci keadaan ini. Dia ingin berada di sisi istrinya saat melahirkan.

Terlalu banyak perdebatan yang terjadi di kepalanya. Hingga, bunyi langkah kaki terdengar dari arah belakang. Memaksanya untuk menengok ke arah suara tersebut. Dilihatnya Pamela dengan wajah bantalnya, memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan.

“Kenapa keluar sayang?” tanya Johnny. Pria itu berdiri dan menghampiri Pamela dan melakukan rutinitasnya tiap pulang kerja yaitu mengecup kening sang puan. “Ayo masuk kamar lagi.”

“Aku keluar karena ga lihat kamu di samping aku. Kirain emang belum balik, tapi tadi aku udah denger suara mobil kamu masuk. Makanya aku heran.” Pamela menjelaskan alasannya. “Kamu lagi ada masalah?” lanjut Pamela bertanya.

“Gak, tapi…”

“Tapi apa Ka Jo? Aku ga mau loh kita ga jujur satu sama lain.”

I’m sorry. Aku ga maksud nutupin sesuatu. Ga mungkin juga aku ga ngomong ini sama kamu. Aku bingung aja ngomongnya gimana.” Johnny mendekat dan perlahan mendekap Pamela, menarik sang puan ke dalam pelukannya.

Pamela menarik dirinya dari Johnny. Kedua tangan Johnny berada di pinggang Pamela, sedangkan kedua tangan wanita tersebut bergerak meraih wajah Johnny.

“Ayo cerita, aku dengerin.”

Pamela mengajak Johnny untuk kembali duduk di tempatnya tadi agar mereka dapat mengobrol dengan nyaman. Johnny menceritakan kegelisahannya tentang pekerjaan yang harus, mau tidak mau, dilakukannya.

Pamela tersenyum. Dia paham betul kenapa Johnny yang termasuk gila kerja–sama sepertinya–tidak mau untuk pergi. Tidak lama lagi mereka akan menyambut Abey ke dunia. Walaupun, sebenarnya HPL mereka masih seminggu lagi. Tetapi, tidak ada yang tahu dengan masa depan.

It’s ok, you can go. Aku di sini banyak yang jaga dan due date-nya juga masih seminggu lagi, Abey mau kok nungguin Papipnya. Iya kan, sayang.” Pamela melihat perutnya dan mengusapnya gemas. Johnny menatap Pamela dengan mata sayu kelelahan, berharap Pamela sedikit memihaknya.

“Tapi,”

“Ga ada tapi tapi, Ka Jo. Pergi yaa.” Sekali lagi Pamela tersenyum, mengusap puncak kepala hingga pipi Johnny dan mencium kedua pipinya. Membuat pria itu memeluknya, meletakkan dagunya di bahu Pamela. Kemudian, menarik napas dalam di leher Pamela.

“*But, I will miss your smell so bad. You know that I love the way you smell, your body…” Johnny terus menarik napas di sekitar leher dan bahu Pamela. Secara perlahan berubah dari ciuman-ciuman kecil menjadi gigitan. Tercetak jelas bentuk gigitan berwarna merah di leher Pamela. Johnny tidak berhenti sampai disitu saja, pria itu mulai menjilati leher Pamela dan tangannya masuk ke dalam baju tidur Pamela.

Wait, stop.” Pamela berusaha menghentikan dan mendorong Johnny menjauh. Johnny tidak menjawab hanya memberikan tatapan bertanya kepada Pamela.

Can we at least do it in our room, not here.” Mendengar itu Johnny langsung mengangkat Pamela ke gendongannya. Bibirnya mengejar milik sang puan, bermain dengan lidahnya. Bahkan, tidak sadar dengan napas mereka yang saling berburu.

Johnny menurunkan Pamela ke kasur mereka secara perlahan. Bergerak melepas kemeja yang dikenakannya sekarang. Pamela memperhatikan tangan Johnny yang sedikit bergetar. Dia tertawa. Hal itu menarik perhatian Johnny.

What?” tanyanya.

“Tangan kamu gemetar,” Pamela tertawa. “Aku berat banget ya?”

Pertanyaan itu membuat Johnny ikut tertawa, “Of course, no. Aku kecapean kali ya?” Kemudian duduk di samping Pamela dengan bagian tubuh atas yang terbuka.

Cuddling aja ya? Mandi dulu sana.” kata Pamela mengusir Johnny.

Johnny bergegas pergi membersihkan tubuhnya. Keluar dari kamar mandi, pria itu mengenakan pakaian tidurnya. Dilihatnya Pamela yang telah nyaman di sisi kiri kasur mereka. Johnny masuk ke dalam selimut dan memeluk erat Pamela dari belakang. Wajahnya diletakkan di bahu Pamela. Kembali mencium leher Pamela, Johnny selalu merasa dimabukkan oleh wangi yang keluar dari tubuh Pamela. Kemudian berbisik tepat di telinga sang istri, “Good night, pretty.”

Indah. Itu kata pertama yang terlintas di otak gue waktu ngeliat pemandangan di tempat Finn membawa gue. Finn ngajakin gue buat duduk di salah satu taman yang cukup ramai ini. Tapi, tetap memberikan masing-masing personal space. Finn duduk di samping gue dalam diam. Gue pun juga ikut diam.

“Gue dulu punya janji.” Finn memulai cerita. “Kalau tiap natal gue bakalan nemenin Beka. Natal bukan hari yang bahagia buat dia. Gue pikir setelah putus, dia ga bakal butuh gue lagi untuk jadi teman dia.” Finn ngelirik gue yang masih dengan tenang mendengarkan.

“Jadi, gue minta maaf sekali lagi. Gue sama sekali ga punya tujuan untuk ngebatalin atau telat dalam janji gue. Tadinya, gue pikir bisa tepat waktu buat nyamperin lo. Tapi, ternyata gak” ucapnya. “Gue ngecewain lo lagi dan lagi kan. Maaf ya, Ret.” Gue senyum. At least he knows it.

“Jujur iya. Tapi, ga tau kenapa gue selalu pengen maafin lo.” Finn tertawa mendengar jawaban gue.

“Jangan baik-baik, Ret. Nanti orang jadi serakah kalau tau lo sebaik ini.” Gue senyum lagi. Dia menundukkan kepalanya mencabut beberapa rumput yang ada di sebelah kanannya. Hening lagi.

“Mau cerita-cerita kaya kemarin lagi ga?” tanya Finn dengan senyuman hangat.

Pikiran gue langsung pergi ke waktu dia ngejemput gue, waktu gimana gue menceritakan kisah gue, Kak Sage, dan Monic ke dia. Kisah tentang seorang Varetta yang merasa hidupnya akan baik-baik saja asalkan selalu ada Kak Sage di sampingnya. Tapi, semuanya hancur dengan kenyataan adanya Monic yang masuk ke dalam kehidupan Kak Sage. Gimana akhirnya Varetta terus mengejar Kak Sage yang pada waktu itu–sampai sekarang–fokusnya hanya pada Monic.

Gimana naif dan egoisnya seorang Varetta yang merasa lebih berhak untuk menjadi pasangan Kak Sage karena waktu yang dihabiskannya lebih banyak dari Monic. Sampai akhirnya dia sadar bahwa itu semua salah dan perlahan memperbaiki keadaan. Walaupun sampai sekarang masih sulit untuk berada di sekitar keduanya.

Gue sadar kalau kita ga bisa ngukur perasaan orang dengan indikator-indikator itu. Hanya karena waktu yang dihabiskan lebih lama, tidak menjamin menjadi pasangan yang ditakdirkan untuk satu sama lain.

“Boleh. Lo dulu. Kemarin lo cuma cerita kalau lo harus move on dari Beka karena temen-temen lo ga suka sama dia. But, I think it’s more than that.” ujar gue, berusaha menilik wajah Finn dan membuat lelaki dengan suara menawan itu tertawa.

“Gue ga bisa cerita masalah dia.” katanya.

I’m not talking about her. But, you.” Damn, ini orang ga bisa sekali aja ga bawa nama Beka.

“Iya, Ret. Gue tau. Tapi, cerita gue itu ada hubungannya dengan dia.” Dia menatap gue dan bertanya, “Jadi, boleh cerita?” Akhirnya gue hanya bisa menganggukan kepala.

“Kita berdua... gue dan Beka hancur, Ret. Kita berdua ga punya orang lain selain kita masing-masing.” Dia menjeda perkataannya, menari kata-kata yang pas. “Makanya, susah buat gue lepasin dan lupain dia... dan gue rasa hal yang sama juga terjadi ke dia.” Dia senyum walaupun matanya tidak bisa berbohong. Raut wajahnya sedih. Gue ga tau masalah apa yang sebenarnya ada. Tapi, gue bisa lihat gimana Finn berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Dia bukan Finn yang gue lihat di Guardian. Bukan Finn yang tiap gue lihat dari jauh selalu tertawa tanpa beban. Bukan Finn yang kadang atau mungkin sering bertingkah kikuk. Gue menarik napas.

You can be better. You will.” Gue memberikan tanggapan gue. Tangan kanan gue jatuh ke lengan kirinya. Ingin mengingatkan bahwa gue ada di sisinya saat ini.

“Tapi... Kapan ya, Ret?” tanyanya. Kali ini dia menatap gue dalam dan durasinya lebih lama dari sebelumnya.

We never know, Finn.” kata gue yang juga menatap mata dia dalam. Kembali hening.

Kemudian dia tertawa dan mengacak rambut gue dengan tangan kirinya. Otomatis sedikit menghempas tangan gue yang ada di atas lengannya tadi.

“Gue ga pernah tau kalau gue bisa cerita banyak sama lo. Maksud gue kita belum begitu kenal.” Dia berdiri dari duduknya, mengulurkan tangan ke gue. “Makan yuk,” ajaknya. “Perut lo tadi bunyi.”

Gue yakin kalau sekarang muka gue sudah sangat merah tidak tertolong. Tapi, gue beneran lapar. Jadi, gue ngambil tangannya dan ikut berdiri.

“Gue harap bisa terus temenan sama lo, Ret. Bahkan setelah urusan kita berdua selesai.” katanya. I wish the same, Finn.

Why? Why do we have the same thought? Gue juga berharap kita masih berteman, walaupun lebih banyak ga yakinnya.

Gue mengecek handphone gue lagi. Belum ada balasan sama sekali setelah gue membalas pesan Finn tadi dengan satu kata singkat. Ok.

Limat menit kemudian gue lihat mobil yang pernah jemput dan nganterin gue pulang itu. Dia datang. Setidaknya dia ga ngebatalin janji. Setidaknya, setidaknya dia sekarang ada di sini.

“Ret sorry banget.” Gue lihat Finn keluar dari mobilnya dan jalan ke teras kontrakan gue. Tangan kirinya sibuk memijat dahinya dan juga sedikit menarik rambut nya ke belakang. Walaupun pada akhirnya rambut itu jatuh dengan lembut kembali.

Oh to hear his apologies for a countless time. What should I do? Give him the warm smile I have. “Nah, don’t worry. It’s ok. Kenapa lo telat? Bocor ban? Or what?” Gue bertanya sambil ngerapihin anak-anak rambut di kepala gue dan mengambil tas selempang yang tadi gue geletakkan di kursi sebelah. “At least lo coba ngabarin gue, biar gue ga panik, Finn.”

Bukannya menjawab, dia hanya terus menerus melirik ke mobilnya. Gue yang penasaran juga ikut melirik ke mobilnya. Di situ gue sadar, he’s not alone. Mobilnya dia tinggalkan dalam keadaan nyala. “Are you with someone?” I simple ask him.

Dia menggaruk tengkuknya dan sedikit menggeram. “Iya, Ret. Gue minta maaf banget.” Dia ngeliat tepat di mata gue. “Bukannya ga mau ngabarin lo, tapi–pokoknya gue salah. Maafin gue, ya.” ucapnya.

Gue senyum dan menganggukkan kepala. Tawa sarkastik yang menyedihkan hampir saja keluar dari mulut, kalau saja gue ga langsung dengan cepat menggigit bagian dalam bibir gue. Sudah sangat jelas siapa orang itu. “Jadi kita batal ya?” Gue mencoba memastikan.

“Gak, Ret. Kita tetap jalan kalau lo bolehin gue buat nganter Beka dulu. Gimana?” tanyanya. Gue ngelirik wajahnya yang terlihat was-was menunggu jawaban gue. Terlihat dari kerutan di dahinya. Gue menutup mata dan menghembuskan napas cepat. Tidak membutuhkan waktu lebih dari semenit untuk gue memutuskan.

“Ayo,” kata gue. “Lain kali…” Gue diam. “...never mind.” It’s not like there will be another time, right?


Gue duduk di kursi penumpang di belakang. Kali ini Beka terlihat berbeda. Dia senyum dan nyapa gue waktu masuk ke dalam mobil. Bahkan, dia berusaha untuk ngajak gue ngobrol. Nanya-nanyain beberapa hal basic yang dilakukan orang untuk saling mengenal. Atmosfer kali ini lebih nyaman.

Mobil berhenti. Gue melihat sekeliling, gue tau wilayah ini. Ini salah satu perumahan elite di kota ini. Beka menengok ke belakang, tepatnya ke arah gue. “Retta, gue turun di sini ya. Maaf udah ganggu waktu lo berdua. Btw, gue boleh minta nomor lo ga, Ta?” Dia bertanya dengan posisi tangan kiri siap membuka pintu mobil.

“Boleh,” gue senyum. “Nanti minta ke Finn aja, Bek.” lanjut gue.

“Ok. Gue turun ya.” Dia ngelirik ke samping kanannya. “Thanks, Finn.” Itu yang dikatakan Beka sebelum benar-benar turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Terdengar hembusan napas kasar dari Finn setelah itu. Kemudian setelah merasa napasnya lebih teratur Finn menengok ke arah gue yang masih mengagumi rumah-rumah di perumahan ini. Dia bertanya, “Lo ga mau duduk di depan, Ret?”

Gue kaget. Hampir aja gue membuat seorang Finn Cavan jadi sopir gue. “Wait, gue pindah.” Dia tertawa, tertawa ringan untuk mencairkan suasana.

Gue nyalain Handphone untuk mengecek jam. Pukul delapan lewat dua puluh. Wow. This is the worst Christmas ever. Pikir gue sebelum Finn ngajakin gue ke suatu tempat. It’s a real new place, not like before. Not a place that is full of memories with him and his ex. A place for us. I realize that “us” sounds so odd for me and him.

Elvina keluar dari kosannya menggunakan daster tidur yang sangat tipis. Kedua tangannya sibuk memeluk dirinya sendiri. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri menunggu kedatangan seseorang.

Tepat 5 menit, Garett sampai di pelataran kosan Elvina. Déjà vu. Elvina dengan rambut hitam yang terurai dan posisi berdirinya saat ini sangat mirip dengan mimpinya. Garett tersenyum. Berjalan mendekati Elvina dan berdiri tepat di depan sang puan.

You really are my dream that came to reality, Kak Elv. The D and R” Garett mengarahkan satu tangannya untuk menyelipkan rambut Elvina yang menghalangi wajahnya. Kemudian melepaskan jaket yang dikenakannya dan menggantungnya di pundak Elvina.

“Wow,” ujar Elvina. Wajahnya memerah. “But, didn’t DNR means do not resuscitate?” Pertanyaan Elvina membuat Garett tertawa keras.

That’s good,” he laughed. “If you’re my DNR, then that’s mean I can’t die without you.”*

That’s not funny.

I’m not here to make you laugh. I’m here to make you my girlfriend. So, can I get an answer?”

Well…” Elvina menatap dalam mata Garett yang tersenyum. “You can and the answer is yes.”

Senyum tidak luntur dari wajah Garett, malah makin melebar. Garett menarik Elvina ke dalam pelukannya. “Thank you. Thank you so much.” Sekilas mengecup puncak kepala Elvina.


note: A do-not-resuscitate order, also known as Do Not Attempt Resuscitation, Do Not Attempt Cardiopulmonary Resuscitation, no code or allow natural death, is a medical order, written or oral depending on country, indicating that a person should not receive cardiopulmonary resuscitation if that person's heart stops beating.

So, what Garett actually means is that if Elvina is not around him when he loses consciousness then people can help him. But, if Elvina is there when he loses consciousness then people will not help him. In conclusion, he can die with Elvina on his side.

Suara mobil yang baru saja parkir terdengar jelas dari dalam kamar Elvina. Suara deruan knalpot itu kadang sangat mengganggu dirinya, tapi kali ini berbeda. Apalagi ketika dia menerima pesan dari Garett yang mengatakan bahwa laki-laki itu telah berad di depan kosan sang puan.

Deruan jantung yang berdegup kencang dapat didengarnya. Perempuan dengan rambut hitam legam panjang itu menarik napas panjang, jujur saja jalan berdua dengan laki-laki bukan hal pertama buatnya. Bahkan, bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan saking seringnya perempuan itu jalan dengan laki-laki yang berbeda tiap harinya.

Garett. Laki-laki itu tidak duduk dan main handphone seperti laki-laki lain. Tidak juga hanya menunggu dengan diam di dalam mobil seperti laki-laki lain. Garett. Laki-laki itu berdiri di depan pagar sambil mengobrol dengan satpam kompleks kosan Elvina. Lucunya mereka terlihat akrab.

“Halo, sore Pak.” Elvina menyusul Garett dan tak lupa menyapa Pak Satpam.

“Sore, Neng Elv. Ini temennya udah nungguin.” Pak Satpam menjawab dengan ramah.

“Haha iya, Pak. Aku pamit dulu ya, Pak.” Elvina pamit, kemudian dia melihat dengan ujung matanya bagaimana Garett tersenyum menatapnya saat ini.

“Yaudah, Pak. Saya juga harus ikut pamit nih, nanti kita lanjutin lagi ngobrolnya, Pak.” Garett mengikuti langkah Elvina untuk pamit.

“Hati-hati di jalan kalian berdua.”

“Terima kasih, Pak.” jawab Garett dan Elvina.

Kemudian keduanya masuk ke dalam mobil. Garett masih dengan senyumnya yang lebar. Sedangkan, Elvina menatapnya heran.

“Udah sering jemput cewek di kompleks sini ya lo? Akrab banget sama Pak Satpam.” Elvina bertanya sambil menarik seatbelt-nya.

“Jangan cemburu gitu dong, Kak.” Garett sengaja menggoda Elvina.

“Dih, pede banget lo. Udah jalan aja.” ujar Elvina.

Garett menundukkan kepalanya dan tertawa kecil. “Iya ini udah mau jalan kok, Kak. Ga sabar banget ya nge-date sama gue?”

“Kata siapa ini date?”

“Oh bukan ya. Berarti emang gue yang terlalu pede.” Garett berkata dengan nada meledek.

Elvina tidak menjawab hanya fokus untuk menyambungkan bluetooth handphone miliknya ke mobil milik Garett.


Dua sejoli itu saat ini sedang asik mengelilingi beberapa toko-toko. Sekaligus membunuh waktu karena film yang akan keduanya tonton masih sekitar satu jam lagi.

“Kak, jujur aja lo risih ga sih sebenernya gue deketin.” Dengan frontal Garett menanyakan hal tersebut.

Elvina dengan sikap acuh tak acuhnya, sambil sibuk melihat pernak-pernik lucu menjawab. “B aja sih lagian yang deketin gue banyak, ga lo doang.”

“Banyak dong saingan gue. Tapi, gapapa sih ga dapet Kak Elv yang mau sama gue tetep banyak.” Sontak Elvina langsung menoleh ke arah Garett, setelah mendengar jawaban laki-laki itu. Sedangkan, yang dilirik pura-pura sibuk memerhatikan pernak-pernik—persis seperti tingkah Elvina tadi.

“Yaudah gue tanya kenapa lo deketin gue?” Elvina menghentikan segala kegiatannya dan menatap lurus Garett.

Garett membalikkan badannya ke arah Elvina dan tersenyum. “Mimpi.” Kemudian berjalan ke arah berlawanan. “Kak, udah waktunya nih.” Garett sedikit berteriak karena Elvina yang telah berjarak 10 langkah darinya.

“Eh tungguin gue.” Elvina mengejar Garett dan menyesuaikan langkah dengan laki-laki itu.