Disclaimer: I do my own research and ask my friends (she's a med student) for help about this topic. If there’s any wrong information, please tell me and I will try to fix it.
Johnny berlari ke arah mobil dengan tergesa-gesa. Bahkan, sempat menyenggol tukang parkir yang berdiri 5 meter dari mobilnya. Pamela yang menonton hal tersebut sejak awal hanya dapat tertawa. Sampai Johnny masuk ke dalam mobil pun Pamela masih tidak berhenti dengan tawanya.
“Kamu kenapa ketawa terus sih? Aku ngambek nih.” Johnny berpura-pura membuat wajah cemberut, tetapi hanya disambut tawa oleh Pamela. Tidak puas dengan reaksi Pamela, Johnny memilih untuk berhenti saja. “Ini makan dulu.” Johnny memberikan satu box makanan yang baru saja dibelinya tadi kepada Pamela. “Makan sendiri atau aku suapin?” lanjutnya menggoda.
“Aku bisa makan sendiri kali, Ka Jo.” jawab wanita itu masih tertawa. “Tapi, mau deh disuapin.” Pamela balik menggoda Johnny.
Johnny tertawa, tangannya bergerak mengacak rambut Pamela gemas. “Jangan gengsian gitu dong, Mamim. Yaudah sini boxnya.” Box yang tadi diberikan Johnny kepada Pamela kembali ke tangan Johnny lagi.
Keduanya menghabiskan waktu di dalam mobil, makan dan mengobrol banyak hal. Termasuk kejadian-kejadian apa saja yang terjadi di Surabaya. Salah satunya adalah Janu yang terus uring-uringan karena pesannya yang tidak dibalas oleh Kanista.
“Janji dokter jam berapa sih?” Johnny bertanya karena tujuan awal mereka pagi hari ini adalah untuk melakukan kontrol rutin.
“Jam sebelas sih. Masih ada sejam lagi.” jawab Pamela. Kemudian mengelus perutnya yang sudah sangat besar itu. Otomatis Johnny mengikuti gerakan yang dilakukan Pamela.
“Abey, ini papip.” Johnny mulai mengobrol dengan Abey. “Kamu kok akhir-akhir ini ga excited sih kalau dengar suara Papip?” tanyanya.
“Aku juga penasaran banget kenapa dia akhir-akhir ini jarang gerak. Awalnya kupikir karena Ka Jo jauh. Tapi, udah dua hari Ka Jo pulang Abey masih males-malesan aja.” Pamela mengatakan itu sambil memainkan tangannya di kepala Johnny, lebih tepatnya rambutnya.
“Gapapa, hari ini kita tanyain ke dokter ya.” kata Johnny. Kemudian, Johnny mencium perut Pamela sebelum akhirnya kembali duduk tegap dan menatap kedua manik mata Pamela.
“I love you.” Johnny mendeklarasikan cintanya secara tiba-tiba membuat Pamela membelalakkan matanya.
“Tiba-tiba banget?” Pamela heran dan mengerucutkan bibirnya.
“Kok tiba-tiba? Aku kan tiap hari cinta kamu.” Johnny menarik tubuh Pamela ke pelukkannya dan mencium seluruh bagian wajah Pamela. Keduanya tertawa dengan sangat bahagia.
“Halo, selamat siang Bu Pamela dan Pak Johnny,” sapa Dokter Anita ramah. “Ga lama lagi nih. Tinggal persiapan lahiran kan?”
“Iya, Dok. Ini perkiraannya last konsul seingat aku.” jawab Pamela.
“Hahaha, iya benar kok. Kira-kira ada keluhan tidak ya?” tanya Dokter Anita.
“Ada sih, Dok.” jawab Pamela. Dokter Anita memberikan respon untuk Pamela melanjutkan omongannya. “Akhir-akhir ini Abey jarang gerak gitu, Dok. Itu gapapa kan? Tapi, aku masih berasa kadang dia gerak. Perutku juga tadi sempat sakit dan kencang aja gitu rasanya. Aku mikirnya itu kontraksi-kontraksi palsu gitu, Dok.”
Wajah Dokter Anita berubah panik mendengar runtutan kata yang disampaikan oleh Pamela. “Bu Pamela boleh baring di sini dulu?” Dokter Anita menunjuk bed di sampingnya. Mimik wajah Dokter Anita membuat Johnny dan Pamela ikut panik.
“Ada apa ya, Dok?” Johnny bertanya. Ingin memastikan bahwa istri dan anaknya aman.
“Saya cek dulu ya, Pak.” singkat Dokter Anita. Kemudian langsung segera memeriksa perut Pamela. Setelah dapat memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dokter Anita dengan cepat memanggil perawat untuk menyiapkan ruangan bersalin.
Wajah Johnny berubah pucat pasi melihat keadaan yang tiba-tiba menjadi 180 derajat berbeda dengan tadi pagi. Sekarang dia terduduk di depan ruangan bersalin. Kata-kata dari Dokter Anita berputar seperti radio di kepalanya. Kenyataan bahwa Abey didiagnosis fetal distress (gawat janin), keadaan dimana janin terlilit tali pusarnya sendiri. Beberapa pemeriksaan telah dilakukan termasuk cardiotocography, pemeriksaan air ketuban, dan banyak lagi.
Saat ini di kepala Johnny hanya tertanam fakta bahwa kemungkinan Abey selamat hanya 50%. Yang dapat dilakukannya hanya menutup mata dan menyatukan kedua tangannya. Dalam diam Johnny terus merapalkan doanya. Sama sekali tidak terpikirkan untuk menghubungi keluarga yang lain.
Tidak betah hanya duduk berdiam diri, Johnny bangkit dari duduknya. Terus melihat ke dalam ruangan di mana istri dan anaknya sekarang berada. Tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Hembusan napas frustasi terus keluar dari mulutnya. Sudah berulang kali dia mengusap kasar wajahnya. Keadaannya saat ini sangat berantakan.
Malam tiba baru Johnny menyempatkan diri untuk memberi tahu kabar ini ke keluarga yang lain. Jenggala merupakan orang pertama yang dihubunginya dan setelah itu Jenggala lah yang menghubungi yang lain karena tidak ingin Johnny kewalahan. Johnny mematikan handphone-nya, kembali bersandar pada tembok dingin rumah sakit. Rasanya saat ini dia ingin merutuki satu bumi jika tidak menyelamatkan istri dan anaknya.
Suara derap langkah dari sebelah kanan semakin mendekat. Seluruh keluarga dan bahkan Janu ada di rumah sakit saat ini. Janu dan Danurdara mendekati Johnny yang terlihat terpuruk, hanya duduk di sampingnya dalam diam. Kedua orang tua Pamela bersama Mama dan Oma pergi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kanista terlihat menahan tangisnya di samping Jenggala yang berusaha menenangkan sahabat kakaknya itu. Walaupun pada kenyataannya dia pun ingin menangis.
Pintu kamar bersalin tempat Pamela berada akhirnya terbuka, memberikan harap kepada mereka semua. Dokter Anita dan beberapa suster keluar dengan wajah datar. Berat untuk mereka menyampaikan fakta yang baru saja terjadi.
“Dok anak saya gimana, Dok?” Mama Tari dengan nada panik bertanya. Jenggala yang berada di samping sang ibu hanya dapat memeluk dan mengusap lengan sang puan. Berusaha untuk menenangkannya.
“Saya mohon tenang ya. Mungkin yang akan saya sampaikan ini di luar ekspektasi dan keinginan kita semua. Tetapi, karena upaya yang kita lakukan cukup terlambat, ja–”
Belum sempat Dokter Anita menyelesaikan kalimatnya Johnny sudah tersungkur jatuh. Dia dapat merasakan apa yang terjadi. Dia yakin dengan apa yang ada di benaknya sekarang menjadi kenyataan. Segala firasat yang ditahannya sendiri sejak siang tadi berteriak di dalam kepalanya. Johnny yang tadinya hanya jatuh terduduk, jatuh pingsan dan mengagetkan seluruh orang di sana.