julietirw

Kalau ada yang bertanya semenjak menikah hal apa yang paling Johnny benci, jelas jawabannya adalah lampu ruang tengah yang mati. Seperti saat ini, Johnny baru saja sampai di rumah setelah 45 menit yang lalu mengabari sang istri bahwa dia akan telat karena lembur. Laki-laki itu mendapati keadaan rumah yang telah gelap gulita. Alasannya cuma satu yaitu karena Pamela sudah tidur.

Tidak ada yang dapat dilakukannya selain masuk ke kamar dan bergegas mandi, kemudian ikut Pamela ke ruang mimpi. Sebelum pergi untuk mandi, Johnny meneliti wajah sang istri. Senyum timbul di wajahnya. Diberikannya usapan pada wajah wanita itu, juga beberapa kecupan. Kemudian dia beralih untuk sedikit “mengobrol” dengan Abey.

Keluar dari kamar mandi Johnny hanya menggunakan celana tidurnya, masih tidak menggunakan atasan apapun. Handuk kecilnya tergantung di pundak sebelah kiri. Pria itu membatalkan tujuannya untuk segera menyusul tidur. Dia lebih memilih untuk duduk di kursi yang ada di pojok ruangan. Bersandar dengan nyaman pada sandaran kursi itu dengan kaki yang terbuka lebar, tangan kirinya sibuk mengeringkan rambut, sedangkan matanya fokus memperhatikan Pamela yang tertidur.

“Ka Jo?” Panggilan tersebut menyadarkan Johnny, dilihatnya Pamela bangkit dari tempat tidur.

“Kok bangun? Tidur aja, ini udah jam berapa.” ujar Johnny.

Pamela menguap dan menggosok matanya dengan punggung tangan kanannya. “Maaf ya aku ketiduran.” Johnny tersenyum mendengar raspy voice yang Pamela keluarkan.

It’s ok. Lanjut tidur atau mau sama aku sini?” Johnny bertanya sambil membuka kedua tangannya, memanggil Pamela untuk masuk ke dalamnya.

Pamela tidak menjawab, tetapi sudah berjalan dengan langkah gontai membawa selimutnya mendekat Johnny. Wanita itu langsung duduk di antara kedua paha Johnny dengan posisi membelakangi pria itu. Pamela menyandarkan kepalanya di dada lebar Johnny. Kedua tangan Johnny melingkari perut wanita itu. Bibirnya tidak absen menjelajahi daerah tubuh yang dapat dijangkaunya.

If you… want it, I… can’t. Aku… lagi capek… banget.” ucap Pamela tersendat-sendat.

I’m not devouring you, love.” He marked her neck. “I just miss you.”

Actually, I have something to discuss, but it will be better for tomorrow cause I–” Pamela tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena wanita itu telah jatuh tidur.

Johnny tertawa dan mengangkat Pamela kembali ke tempat tidur. “Ah, shit I need to wash again.


Johnny terbangun sendiri di kamar tidurnya. Dia hanya dapat menebak bahwa Pamela pasti ada di dapur atau toilet. Tempat pertama yang ditujunya dengan masih setengah sadar dan rambut berantakan adalah dapur. Pamela yang sedang memasak selalu terlihat seksi di matanya, walau pada kenyataannya Pamela tidak pernah terlihat tidak menawan dan seksi di mata Johnny. “Good morning, love.” Johnny mencium kening Pamela, kemudian pindah ke perutnya. “Good morning, Abey.”

So what do you want to discuss?” Johnny berdiri tepat di samping Pamela melipat kedua tangannya dan bersandar menggunakan badan bagian kanan.

Pamela terlihat bingung, tangannya berhenti bergerak. “What do you mean?” Tidak berhasil menemukan jawaban dari kebingungannya membuat Pamela bertanya balik.

“Aku ga tau, semalam kamu ngomongnya dengan kesadaran 5 persen sih.” Cara Johnny bicara membuat Pamela tertawa.

“Yaudah kalau aku udah sadar 95 persen, nanti aku sampein ke kamu ya.” Pamela mengatakan itu tetapi perhatiannya jatuh kepada masakannya.

“Kayanya makanan lebih menarik ya dibandingkan ngeliat aku.” Johnny pura-pura merajuk membuat Pamela menghela napas panjang.

“Mulai deh, masih pagi. Udah mending kamu duduk aja nunggu sarapan atau mandi biar ga telat ya.” Pamela sengaja mengusir sang suami agar dapat fokus menyiapkan sarapan untuk keduanya–lebih tepat ketiganya.

Jalanan yang padat membuat Johnny sedikit telat sampai di rumah malam hari ini. 5 menit sebelumnya dia mendapatkan pesan dari sang istri yang mengatakan bahwa Yoel—teman SMA-nya—sudah sampai di rumah mereka. Johnny sebenarnya tidak terlalu khawatir membiarkan Yoel dan sang istri berdua. Malahan yang terlintas di pikirannya adalah apakah Pamela bisa mengobrol dengan Yoel yang notabenenya sejak SMA cenderung tidak banyak bicara.

Tetapi, pikiran dan kekhawatiran itu percuma karena yang didapati oleh Johnny saat sampai rumah adalah kenyataan bahwa Pamela dan Yoel tengah asik berbincang-bincang. Sedikit kaget dan cemburu melihat istrinya dapat membuat seorang Yoel tertawa seperti itu.

“Hi, sorry tadi macet banget,” sapa Johnny. Laki-laki itu langsung merangkul pundak Pamela. “Ke ruang tamu aja gimana?”

“Hi, John. Ga perlu, sorry gue langsung balik aja kali, ya. Lagian lo udah di rumah juga, tadi gue ga enak aja ninggalin istri lo sendirian. Lumpianya juga udah sama istri lo. Btw, sekali lagi selamat.” Yoel pamit karena menurutnya sudah terlalu malam untuk dia berada di rumah pasangan suami istri.

Well, gue yang harusnya makasih. Kalau nanti lo butuh sesuatu hubungi gue aja ya.” kata Johnny.

Yoel tersenyum. “I will.” Kemudian berpamitan sekali lagi kepada Johnny dan Pamela.


Melihat mobil Yoel yang telah menjauh membuat Johnny dan Pamela masuk ke dalam rumah. Baru saja menutup pintu depan, Johnny langsung memeluk Pamela dari belakang.

“Hmm, what happened?” Pamela bertanya kemudian membawa tangannya ke kepala Johnny dan mengelusnya.

Johnny meletakkan dagunya di pundak kiri Pamela, mencium pipinya. “Kamu ngobrol apa aja tadi sama Yoel kayanya asik banget?” tanya Johnny.

Pamela memicingkan matanya dan membalikkan badan agar dapat berhadapan dengan Johnny. “Ohhh, cemburu? I barely know him, sayang. Jadi aku harus ngobrol dong biar suasananya ga canggung.” Pamela menatap wajah Johnny dan mengelus pipi sang suami. Johnny menangkup tangan Pamela dan menutup matanya.

“Ga, cuma aneh aja.” katanya singkat.

Setelah beberapa saat mendung di wajah Johnny berubah, senyum kembali menghiasi wajahnya. Kemudian, Johnny sedikit merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan perut Pamela. “Abeynya Papip gimana hari ini?” Johnny bertanya sambil mengelus perut Pamela.

“Mamimnya ga ditanyain?” tanya Pamela. Johnny menonggakkan kepala dan mengerutkan jidat. “Kirain tadi udah,” Johnny berdiri dan menegakkan badannya, maju selangkah lebih rapat dengan Pamela dan mencium kening milik sang istri.

Pamela tertawa karena tingkah Johnny malam itu, tetapi tawanya terhenti ketika merasakan tendangan yang cukup kuat dari dalam perutnya. “Ah,” Pamela sedikit terperanjat dan memegang perutnya.

“Pam, sayang kenapa?” ucap Johnny panik. Tetapi, wanita itu malah mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Abey nendangnya kencang banget.” Senyumnya perlahan berubah menjadi haru.

“Serius? Kok dia curang banget sih tadi aku ngelus-ngelus dia ga mau gerak.” kata Johnny cemberut.

“Nanti pasti mau kok, Ka Jo.” hibur Pamela. “Ayo makan. Kamu belum makan kan?” tanya Pamela.

Johnny memasang senyumnya kembali. “Belum. Kamu udah makan? Lumpianya gimana?” tanya Johnny.

Pamela mengangguk. “Udah, aku sisain kamu 1 aja hehe. Ayo ke ruang makan.” Pamela menarik tangan Johnny untuk dibawanya ke ruang makan.

Keluar dari ruang makan, Johnny memeluk pinggang Pamela dengan tangan kirinya, membawa sang istri ke kamar. Setelah melihat Pamela sudah nyaman di atas kasurnya. Johnny pergi untuk mandi, sebelum menghempaskan tubuh di samping Pamela.

Gue duduk di seberang kursi Kak Sage. Ngeliat gimana asiknya dia ngobrol sama tongkrongannya. Ada Kak Sano, Kak Hemachandra, dan Kak keenan. Circle laki-laki pujaan wanita. Kak Sano itu mantannya si Onychan. Tapi, dari pengakuannya Ony sih dia ga pernah lagi ketemuan sama Kak Sano.

Dulu mungkin gue bisa nyaman aja duduk bareng mereka. Tapi, sekarang posisinya ga enak banget. Selesai makan dan ngobrol-ngobrol gue pengen cepat-cepat pergi rasanya. That’s why I called Finn. If you asked why I called him not others. I don’t know myself.

Gue ga bisa mikir dan langsung aja text him. Gilanya lagi dia mau jemput gue. He’s crazy. But, we are the same. Gue juga gila.

10 menit kemudian terdengar suara mobil parkir. Gue merhatiin dari dalam cafe. Itu dia. Finn turun dari mobil secara slow motion di mata gue dengan kaki panjangnya. He’s still attractive as far as I know.

Guys, I’m sorry but I gotta go.” Gue pamit dengan gagu. Jelek banget lo Varetta dalam hati gue memaki.

“Lah bareng siapa?” Kak Keenan dan Kak Hema otomatis nanya ke gue. Kak Sage dan Kak Sano juga ikutan nengok.

“Eh bareng,” gue langsung nengok ke arah pintu masuk. Ternyata dia udah ada tepat di samping gue.

“Bareng gue.” Itu Finn yang ngomong. Gue beneran panik.

“Cie Varetta udah ada cowok baru. Eh lo Finn ga sih anak tekdus?” Ini yang ngomong si paling bacot alias Kak Hema.

Finn kelihatan bingung tapi tetap dia jawab, “Hahaha iya tau aja lo.” Sumpah suasananya awkward banget. Kenapa semenjak ketemu Finn gue selalu ada di posisi tidak nyaman seperti ini?

“Gue langsung balik aja ya,” gue pamit untuk terakhir kalinya.

“Hati-hati, ta.” Seru-seruan itu terdengar dari mereka berempat.

Finn bawa gue masuk ke mobilnya. Kita berdua diam. “Well, gue ga tau kalau kita bakalan ketemu secepat ini.” I need to break the silence between us.

Dia ketawa. “Gue juga.” Kemudian Finn menyandarkan kepalanya di kemudi mobil, ngeliat gue. “Mau lanjut kemana nih?”

Gue bingung jadi ga jawab apa-apa.

“Mau ikut gue aja?” tanyanya.

If you’re ok with it then I’m ok. Let’s go.” Gue ketawa.

I love your laughs.” kata Finn yang masih ada di posisi tadi.

Gue speechless. Kemudian nengok ke dia, gue liat mukanya yang sedikit panik.

“Ehm.” Finn clears his throat and massages his neck. “Yaudah yuk.”

I bite my lips and smile a little. Me nodding myself. So now he brings me to new places I’ve never been to.

Waktu menunjukkan pukul 15.50, sejujurnya gue lebih memilih untuk diam di kosan dibandingkan harus pergi seperti ini. Tetapi, tiap gue buka dompet dan ngeliat gimana sepi penghuninya, gue bertekad untuk datang ke kosan Jauzan.

Seminggu lalu (sepertinya karena gue ga begitu ingat), Jauzan ngajakin gue dan Yordan buat memulai bisnis. Kalau kalian ga tahu, semenjak selesai UAS Yordan tinggal di kosan gue. Alasannya? Panjang.

Kita bertiga mutusin buat buka bisnis skateboard. Alasannya? Karena di hari terakhir perpisahan Yordan dan Grizella (pacarnya), mereka berdua main skateboard. Jadi, kalian semua bisa melihat jelas kan gimana bucinnya teman-teman gue.

Teman-teman? Iya, mereka berdua. Jauzan juga akhir-akhir ini mulai bucin. Semenjak ketemu cewek yang namanya Fawnia. Padahal, gue udah sempat ngelarang dia buat deket sama cewek itu. Tapi, namanya bucin ya bucin.

Kita kembali ke masa sekarang. Saat ini gue udah berdiri di depan pagar kosan. Bareng Jauzan. Tadi waktu baru sampai dia langsung ngajakin gue untuk keluar. Gue sama sekali ga punya pikiran apapun tentang apa yang bakal ditanyain orang ini ke gue.

Gue ngelirik rokoknya yang hampir habis. Kemudian, kembali menghisap batang rokok yang ada di jari gue sendiri. Kita berdua masih saling berdiam diri, sampai akhirnya gue penasaran dengan apa yang mau ditanyakan atau dikatakan Jauzan.

“Woy,” gue nyenggol tangannya. “Ada apaan sih?” Jauzan nengok ke gue dengan muka dingin. Shit, gue buat salah apa. Gue kan udah ga pernah godain Elvina (sepupu Jauzan) lagi.

“Lo jangan nyeremin gitu dong, Zan.” kata gue berusaha tertawa. Tapi, nihil. Jauzan sama sekali ga ketawa.

“Yordan masih di kosan lo kan?” Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Jauzan. Gue sama sekali ga paham dan ga tahu tujuan dari pertanyaan Jauzan.

Gue bingung, alis gue sampe nyatu saking bingungnya. “Ya masih lah. Kenapa sih?” Gue ga bermaksud untuk sensi, tapi cara ngeliat Jauzan itu ga enak banget.

Dia ngelirik gue dan habis itu nunduk ngeliat rokoknya, ketawa sarkastik. Ngeliat dia ketawa kaya gitu jelas emosi gue naik. “Apa sih—?”

“Terus lo ngomong apa ke Yordan tiap keluar makan sama Beka?” Shit. He got me. Dia tertawa sarkastik lagi, ngangkat satu alisnya. “Kenapa diem? Cat has your tongue?” Jauzan kalau ngomong emang setajam itu. Gue sampai ga tau harus balas apa.

Notifikasi handphone-nya menyelamatkan gue. Jauzan jalan menjauh dari gue, setelah itu muncul juga notifikasi di handphone gue. Dari “varetta (si penyanyi)”. Gue senyum ga tau juga kenapa, tapi gue seneng waktu ngeliat nama dia.

Memasuki minggu ke-10 kehamilan cukup melelahkan bagi Pamela. Badannya mulai terasa berat dan begah. Tetapi, semangat untuk bekerja yang dimiliki wanita itu terlalu kuat.

Ketika dokter mengatakan bahwa janin yang ada di perutnya sangat sehat dan kemungkinan bahwa tidak akan terjadi masalah apapun walaupun sang ibu aktif bergerak, membuat Pamela semakin yakin untuk kembali bekerja. Lebih tepatnya mengawasi pekerjaan karyawannya.

Johnny yang tahu betul tentang Pamela yang mudah kelelahan tentu saja tidak mengizinkan wanita itu untuk pergi bekerja. Terutama untuk trimester pertama ini. Setidaknya, Johnny ingin Pamela melewati trimester pertama dengan tidak begitu berat.

Johnny sadar dengan sifat sang istri yang workaholic dan keras kepala. Sehingga, larangan tersebut benar-benar dipaksakannya. Pamela tentu sering merasa bosan harus berdiam di dalam rumah sendirian.

Walaupun tidak sepenuhnya sendiri. Karena, Johnny selalu memanggil Kanista, Jenggala, atau yang lainnya untuk menemani Pamela.

Johnny pun tidak pernah luput untuk terus menelpon sang istri saat sedang break time di kantornya. Seperti yang saat ini dilakukannya.

“Halo sayang, di rumah lagi ramai ya?” Terdengar suara-suara berisik dari seberang telepon.

“Halo sayang, lagi break time, ya? Iya di rumah lagi ramai. Ada Jenggala bawa teman-temannya untuk bantu-bantu syukuran rumah baru katanya.” jawab Pamela dari ujung telepon.

Benar. Sejak mengetahui kehamilan Pamela, Johnny merasakan urgensi untuk membeli rumah. Banyak pertimbangan yang dilakukan, tetapi kebanyakan menyangkut kenyamanan Pamela.

Rumah yang saat ini ditempati keduanya sangat nyaman, tetapi Pamela merasakan rumah ini terlalu besar. Walaupun, tidak begitu jauh berbeda dari rumah orang tuanya. Tetapi, untuk dia yang saat ini lebih sering sendiri di rumah tentu rumah ini terlalu besar.

“Bagus deh kalau gitu. Setidaknya kamu ga sendirian. Kamu beneran ga mau ada ART yang bantu-bantu gitu, Pam? I mean yang live in.” tanya Johnny. Keduanya, memiliki ART yang datang seminggu 2 kali setiap pagi untuk bersih-bersih rumah.

“Ga perlu-perlu banget untuk sekarang. Lagian aku bosen tahu di rumah ga ngapa-ngapain. Jadi mending aku bersih-bersih sedikit. Johnny dapat membayangkan wajah sulky Pamela saat mengatakan ini.

“Kalau trimester ketiga udah selesai kamu boleh balik ke bakery lagi kok.” kata Johnny dengan sedikit tawa.

“Tapi, aku mau sekarang. Habis acara syukuran aja boleh ga? Kata dokter kan janinnya kuat dan yang penting aku ga kelelahan.” Pamela memohon agar permintaannya dikabulkan.

“Bumil ini bandel banget, ya.” kata Johnny. Diam semenit dan dia melanjutkan perkataannya, “Mulai minggu depan mau ga?” tanya Johnny. Mempertimbangkan bahwa sang istri juga tidak boleh stres berlebihan.

“Mau!” seru Pamela girang.


I’m home. Darling, where are you?” Semenjak menikah, kata-kata tersebut menjadi hal pertama yang dikatakan Johnny tiap pulang kantor.

Tidak kunjung mendapatkan respon, Johnny langsung mengecek kamar tidur mereka. Dilihatnya Pamela yang telah berbaring di atas tidur dengan selimut yang hanya menutup bagian perut ke bawah.

“Pam, udah mandi belum?” tanya Johnny.

Pamela terbangun dan sedikit bingung, “Eh sejak kapan aku tidur?” tanyanya.

“Aku ga tau. Tadi aku manggil tapi kamu ga jawab, ternyata tidur.” ucap Johnny. Laki-laki itu tidak pernah lupa untuk mengecup kening Pamela. “Gimana tadi? Aku liat ruang tamu udah rapi banget. Berarti acara besok jadi ya?.”

“Seru. Mereka banyak bantu-bantu. Ada gunanya jugaz. Jadi dong, lagian yang bakalan datang juga dikit orang aja.” kata Pamela tertawa. “Aku masih ngantuk, tapi pengen mandi. Lebih ke pengen cuci rambut aja sih, udah lepek banget.” kata Pamela.

“Aku yang cuciin,” kata Johnny. “Btw, anak aku apa kabar hari ini?” tanya Johnny beralih ke perut Pamela.

“Baik dong, Pa.” jawab Pamela.

“Kapan sih dia mulai nendang-nendang gitu?” Johnny bertanya sambil menempelkan kepalanya di perut Pamela.

“Harusnya sih udah mulai, tapi belum berasa banget.” Pamela menyisir rambut Johnny dengan jari-jarinya.

“Yaudah ayo mandi.” ajak Johnny. Sebelum sepenuhnya berdiri, Johnny mengangkat Pamela ke pelukannya dan membawanya ke bathroom.

Pamela duduk di bathub, di belakangnya Johnny secara perlahan memberikan shampoo dan mengusap rambut Pamela pelan. Kegiatan tersebut diiringi dengan obrolan-obrolan ringan yang sering keduanya lakukan.

“Kamu udah kepikiran belum sih anak kita cewek atau cowok?” tanya Pamela.

Johnny menghentikan gerakan tangannya di kepala Pamela. “Cewek atau cowok aku seneng sih. Emang kamu pengennya apa?” kata Johnny melanjutkan kegiatannya.

“Aku juga seneng. Padahal waktu itu aku udah sempat takut banget ga bisa hamil.” cicit Pamela di akhir kalimat.

Johnny hanya tersenyum. Kemudian menyirami pelan rambut Pamela. “Udah nih, ayo kita ke kamar aku mau ngeringin rambut kamu dulu.”

Pamela berjalan terlebih dahulu ke kamar, sedangkan Johnny merapikan beberapa barang di kamar mandi yang tadi sempat dan tidak sempat digunakan.

“Tapi, aku beneran boleh mulai kerja kan? I just felt so stressed at home.” kata Pamela yang saat ini telah duduk di depan meja rias.

Johnny yang baru saja berjalan masuk ke dalam kamar langsung menanggapinya. “Boleh.” Pria itu mengambil hairdryer dan mencolok kabelnya di tempat yang kosong.

Kemudian mengaturnya ke volume sedang. “Tapi, tetap ga boleh sampai kecapean. Ingat kata dokter, Sayang.” Johnny mulai menyisiri rambut Pamela perlahan.

“Iya, tenang aja.” Pamela menjawab dengan intonasi senang.

Kemudian diam, diam yang nyaman. Johnny sibuk mengeringkan rambut Pamela, sedangkan wanita tersebut merasa terlalu nyaman hingga hampir tertidur.

“Rambutnya udah nih, tidur di kasur ayo.” Johnny membangunkan Pamela yang hampir tertidur.

“Makasih, sayang.” kata Pamela mulai beranjak dari duduknya. “Loh kamu ga tidur?” Pamela membalikkan badannya ketika dia merasa Johnny tidak mengikutinya ke tempat tidur.

“Aku mandi dulu, sayang.” Johnny tertawa kecil.

“Kenapa ga bareng aja sih tadi?” Pamela sedikit mengeluh, tapi karna rasa kantuknya dia memutuskan untuk tidur lebih dulu.

Johnny hanya dapat tertawa melihat tingkah sang istri. “Ga lama kok mandinya.”

Kemudian meninggalkan Pamela yang telah memeluk bantal guling dengan selimut sampai di bawah dagu. Selesai dengan kegiatan bersih-bersihnya, pria itu ikut masuk ke dalam selimut. Melepaskan pelukan Pamela dari bantal guling dan perlahan menarik Pamela ke dalam pelukannya.

Pamela pun mencari posisi ternyamannya di dalam dada Johnny. Memeluknya dengan erat dan tidur dengan nyaman. Johnny memberikan kecupan selamat tidur di kening, pipi, dan bibir Pamela. Kecupan terakhir untuk malam ini.

Setelah UAS itu harusnya jadi saat yang paling melegakan bagi seluruh mahasiswa. Tapi, ga dengan teman-teman gue yang dilimpahi masalah yang gila-gilaan. Termasuk gue sih, tapi dibawa santai aja.

Mereka bahkan ngeluarin ide-ide gila untuk buka usaha. Gue sih bagian yang ngikut aja. Tapi, sekarang kita tinggalin dulu pembahasan tentang ide gila Jauzan dan Yordan.

Sekarang gue lagi duduk di salah satu tempat makan sederhana. Makanan di sini itu enak banget dan juga murah. Itu yang jadi alasan gue ngajak Varetta untuk ngobrol di sini saja. Gue kayaknya gak bakalan kuat buat mentraktir dia di cafe mahal.

Gue sibuk melirik handphone yang sejak tadi gak berhenti bolak-balik gue cek. Masih menunggu pesan dari Varetta yang menandakan dia telah sampai. Tiba-tiba gue jadi kepikiran jangan-jangan dia gak mau lagi diajak ke tempat kayak gini.

Tapi, waktu handphone gue bergetar dan terlihat nama Varetta di layarnya. Gue menepis semua pikiran negatif gue tersebut. Ternyata dia datang dengan kaos oversized dan mom jeans sebagai bawahannya. Varetta tipe cewek yang cantik effortless. Beruntung banget yang jadi pasangannya nanti.

“Hai,” sapanya menarik salah satu kursi di hadapan gue. “Finn.”

“Halo, Ret.” Gue berdiri dari duduk dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Dia menerima tangan gue dengan sedikit menundukkan badannya. Sopan.

Varetta tersenyum, “Finally kita bisa kenalan face to face.” Gue terpanah ngeliat senyumnya. Benar-benar cantik.

“Hahaha iya. Btw, lo mau pesen makan dulu ga? Gue tadi udah sih.” Gue mencoba membuka obrolan agar tidak terasa canggung. Walaupun, gue yakin suara gue tadi sedikit bergetar. Aneh. Padahal gue bukan tipe yang gampang gugup.

“Ah iya pas banget gue laper. Kata lo tadi udah langganan di sini kan? Boleh saranin gue ga? Gue makannya ga pemilih kok.” kata Varetta kemudian dia fokus dengan tasnya.

Gue berdiri dan pergi memesankan makanan setelah menanyakan kepada Varetta pendapatnya. Saat balik dari memesan makanan. Gue kaget melihat beberapa kertas yang nangkring di atas meja.

So, Finn. Ini beberapa contoh kontrak dan juga storyboard untuk konsep music video-nya nanti. Lo liat dan baca-baca aja dulu. Kalau ada yang pengen ditanyain, feel free aja.” kata Varetta terdengar sangat professional.

Gue mulai mengambil potongan-potongan kertas tersebut dan melihatnya. Gila. Ini keren banget.

“Gue suka konsepnya.” kata gue merapikan kertas-kertas itu.

Thank you. Gue rancang sendiri loh. Sorry, if I sound too self centered. But, I adored myself so much.” Gue bisa ngeliat gimana merah wajah Varetta. Perempuan yang duduk di depan gue saat ini punya daya tarik yang kuat.

Kemudian, obrolan mengenai music video berlanjut ke topik-topik lain. Bahkan, yang sedikit pribadi. Dia cerita gimana lagu ini ditulis untuk cinta pertamanya yang saat ini berpacaran dengan teman dekatnya.

Gue ga banyak cerita karena jujur saja gue bukan orang yang gampang terbuka. Bahkan, ke Jauzan yang sudah jadi temen gue cukup lama. Gue di sini mencoba jadi pendengar yang baik saja.

Putusan tentang job gue sebagai model mv-nya sudah selesai sejak sejam yang lalu. Tapi, obrolan-obrolan random terus memenuhi dialog kita berdua.

Ketenangan kita berdua tiba-tiba diusik oleh beberapa perempuan yang salah satu dari mereka sepertinya pernah gue lihat sekali.

“Lo ngapain anjir, Ta? Sejak kapan seorang Varetta makan di tempat gini.” teriak heboh perempuan itu. Sedangkan, dua orang lainnya hanya diam dan tersenyum kepada Varetta.

Gue ingat sekarang. Itu perempuan yang waktu itu di penyetan yang ngeliatin gue kayak habis dapat jackpot.

Dan apa katanya? Retta ga pernah makan di tempat seperti ini.

“Lo lupa selalu ngajakin gue makan di tempat gini, Ony.” Saat mengatakan “tempat gini” Varetta menggerakan dua jari telunjuk dan tengah dengan kedua tangannya—seperti membuat tanda petik. Gue ngapain? Tentu saja tertawa. Tapi, pikiran gue kembali ke pernyataan yang disampaikan si Ony tadi.

Terlalu sibuk memikirkan tempat makan yang sesuai dengan selera Varetta, gue gak sadar kalau ada seseorang yang memanggil-manggil nama gue sepersekian menit.

Itu Beka.

Dini hari telah menyambut dua keluarga yang tengah berbahagia ini. Semuanya berkumpul di salah satu kamar terbesar untuk mengobrol beberapa hal.

Wajah lelah terlihat jelas pada semuanya, terutama Pamela. Tetapi, yang dapat dilakukannya hanya tersenyum.

“Jadi kalian bakalan langsung berangkat honeymoon besok ya?” tanya Mama Agni.

“Iya, Ma. Soalnya aku cutinya sekalian gitu.” jawab Johnny.

Obrolan ringan banyak terjadi. Sebenarnya rasa lelah yang saat ini dirasakannya sedikit terbayarkan. Berkumpul bersama seperti ini terasa sangat berharga. Apalagi ini tidak akan selalu terjadi.

Pamela menikmati saat ini, walaupun tidak dapat dipungkiri wajah lelahnya sangat terlihat. Para orang tua yakin kedua anak mereka terlalu lelah untuk melanjutkan obrolan. Maka, semuanya pamit untuk meninggalkan Pamela dan Johnny dan pindah ke kamar masing-masing.


“Kamu capek banget ya?” tanya Johnny. Posisinya saat ini berdiri di hadapan Pamela dan menumpukan kedua tangannya di sandaran sofa.

With not-so-puffy eyes, she stared at him and nodded. That looks sexy for Johnny. So he went straight to kiss her.

Johnny kisses her lips, cheeks, eyes, nose, and then moves to her ear. He’s enjoying himself and be gentle. Make a red mark upon her skin.

He traced his lips from her neck down to her breasts. But, Pamela stop him.

“Can we do it like tomorrow? I’m too tired.” said Pamela.

Johnny suddenly stops what he’s doing and glances at Pamela's face. “I’m sorry. Let’s go to bed.”

Johnny lifted up Pamela and carried her to the bed. And he left her.

“Where you going?” ask Pamela.

“Finish myself.” look at his lower body.

I’m sorry, Ka Jo.”

“No-no, it’s my problem. Don’t worry. I’ll be back.”

He kissed her forehead and went straight to the bathroom. Pamela laughed and fell asleep right away.

Terdengar suara dari luar ruangan memanggil nama Pamela. Persiapan yang dilakukan sejak subuh tadi telah selesai. Gaun putih bersih dengan potongan yang menunjukkan kesan seksi tapi sopan jatuh dengan sangat indah di tubuh Pamela.

Wajah yang sudah dilapisi berbagai jenis formula yang menegaskan kecantikan dari wanita yang sebentar lagi akun menjadi istri seorang Johnny Asmaralaya. Rasa gugup yang dirasakannya saat ini jauh lebih besar dibandingkan saat acara lamaran dilakukan.

Staff MUA yang menemani di dalam ruangan segera membukakan pintu untuk orang yang memanggil-manggil nama sang pengantin. Terlihat Kanista dengan wajah terharunya.

“Pam, I have no words. But, please be happy.” ucap Kanista kepada sahabatnya itu.

Segugup-gugupnya Pamela, rasa haru tidak sampai kepadanya. Pernyataan dari Kanista hanya dibalasnya dengan tertawa mengiyakan. “I will.”

Kanista tersenyum, “20 menit lagi kita bakalan berangkat ke gereja. Lo belum ketemu Kak John kan, Pam?” lanjutnya.

“Belum, Nisaku sayang.” jawab Pamela.

“Lo harus liat sih nanti.” kata Kanista menahan tawa.

Pamela mengerutkan keningnya, tetapi langsung ditegur oleh MUA. Takut makeup-nya rusak. Sedikit berlebihan, tapi itu yang harus dilakukan.


Setelah berbaikan kemarin keduanya kembali seperti biasanya. Masih sangat dimabuk cinta. Tetapi, kenyataan bahwa keduanya hari ini akan diresmikan dalam ikatan komitmen dan janji baru, membuat perasaan berdebar terus menerus hadir di dada Johnny dan Pamela.

Untuk pertama kalinya Johnny akan melihat sang calon istri sebelum janji pernikahan diikrarkan. Laki-laki itu telah berdiri di altar bersama sang Romo. Kedua tangannya saling terpaut. Menanti sang wanita menunjukkan dirinya yang terbalut gaun cantik.

Suara langkah kaki dengan ketukan high heels memenuhi ruangan. Terdengar beberapa orang menahan napasnya. Termasuk Johnny. Secara perlahan wajahnya tersenyum saat bertatapan mata langsung dengan Pamela. Walaupun wajah wanita itu terhalang oleh wedding veil, Johnny tetap dapat melihat kecantikannya.

Tanpa sadar Johnny menitikan air mata. Bahagia. Seperti ingin dengan segara merengkuh Pamela ke dalam pelukannya. Banyak hal berputar di kepala Johnny saat ini.

Bagaimana seorang wanita yang awalnya hanya lewat saja di hidupnya, menjadi seorang wanita yang akan menua bersama dengannya. Wanita yang dengan impulsif diajaknya jalan bersama saat liburan itu. Wanita yang ternyata adalah sahabat sepupunya. Wanita sehebat itu.

Sama seperti Johnny. Tiap langkah Pamela menuju altar, pikirannya juga berlarian ke sana ke mari.

Memikirkan seorang pria hebat seperti Johnny yang mampu mematahkan janjinya kepada diri sendiri. Pria yang dapat diajak untuk berpikir bersama. Pria yang dapat memberikan kenyamanan yang tidak sering dirasakannya. Pria yang tidak lelah dengan sifat Pamela yang dirinya sendiri sadar jeleknya.

Papa Dion dan Pamela menghentikan langkahnya. Keduanya sampai di hadapan altar. Siap untuk memberikan tangan Pamela kepada Johnny. Pria yang akan menghabiskan waktunya bersama Pamela. Sehidup semati bersama. Tangan Johnny dengan siap menerima tangan Pamela yang diserahkan oleh Papa Dion.

Tak lama setelah itu, gereja dipenuhi dengan suara-suara ucapan janji-janji pernikahan.

“Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.” janji Johnny.

“Saya mengambil engkau menjadi suami saya,” diulang oleh Pamela.

Proses pemberkatan pernikahan berjalan dengan khusyuk, bahagia, dan mengharukan. Cukup banyak air mata yang mengalir.

Pamela yang tadinya tidak ingin menangis pun, menumpahkan air matanya saat berlutut memohon izin di hadapan orang tua. Terutama di hadapan Papa Dion. Pamela sadar betapa seringnya adu mulut dengan sang Ayah. Ketika sadar hidupnya kali ini tidak lagi menjadi tanggungan Papa Dion. Wanita itu memecahkan tangisnya.

Bahkan, sampai membutuhkan waktu 10 menit untuk lanjut ke prosesi selanjutnya. Karena, sang pengantin wanita yang tidak dapat menghentikan tangisnya.


Acara tidak berhenti sampai di sini saja. Pesta resepsi yang menjadi pikiran mereka beberapa bulan ini akhirnya terlaksana dengan baik.

Walaupun, ada beberapa minor problems yang sempat menarik perhatian Pamela sedikit.

The real kehidupan pernikahan menanti di hadapan Johnny dan Pamela. Siapkah keduanya untuk menghadapinya?

As a man, Johnny tidak begitu memiliki ego yang tinggi. Sebelum menginjakkan kaki ke dalam bakery milik sang wanita. Dibacanya bait perbait kata-kata yang dikirim Pamela. Ujung bibir Johnny perlahan tertarik ke atas.

Johnny itu memantapkan langkah kakinya masuk ke dalam bakery, ingin dalam hatinya memeluk Pamela erat. Tetapi, tempat yang tidak mendukung membuat lelaki itu mengurungkan keinginannya tersebut.

“Hai,” sapa Johnny kepada Pamela. “Kamu cantik banget hari ini, walaupun tiap hari juga cantik.”

Thank you, Ka Jo,” Pamela tersemu merah. “You look great too, never fail.* Mau jalan sekarang aja?” lanjut Pamela bertanya.


“Jadi untuk semuanya udah deal seperti itu kan?” tanya salah satu staf WO yang hadir untuk diskusi kali ini.

“Iya, aku udah suka semua sih. Kalau dari aku undangannya jangan sampai fail ya. Ka Jo, gimana?” tanya Pamela.

“Aku juga setuju dan suka sama konsepnya. Nanti bakal meeting lagi kan?” Johnny bertanya ke tiga staf WO tersebut.

“Iya, Pak. Nanti akan kita kabari lagi kalau sample merchandise dan invitations card udah jadi. Untuk food testing jadinya hubungin nomor yang tadi kan, Pak?” tanya staf kedua.

Johnny melirik Pamela, untuk memastikan jawaban dari pertanyaan tersebut. Pamela menganggukan kepalanya.

“Iya, Mba. Hubungi nomor yang tadi saja ya. Namanya Jenggala, dia udah tau kok.” ucap Johnny.

“Baik, Pak. Semoga semuanya berjalan lancar sampai D-day.” ujar staf ketiga.

“Amin. Terima kasih ya.” jawab Pamela dan Johnny bersama.


cw // kiss

“Kamu mau langsung aku anterin balik ke bakery?” tanya Johnny saat keduanya telah terduduk di mobil.

“Kok kamu pengen banget nganterin aku balik?” jawab Pamela dibuatnya sinis.

“Sayang ga gitu.” kata Johnny menghela napas pendek.

Pamela yang hanya berpura-pura ketus langsung menyemburkan tawa. “Aku bercanda tau. Yaudah kalau mau nganterin aku balik juga gapapa.”

Wanita itu menarik seatbelt-nya, tetapi sebelum memasangnya dengan tepat, kedua pundaknya dipegang secara lembut oleh Johnny. Perlahan melepas seatbelt dari tangan Pamela.

“Loh kenapa?” Pamela menengok ke arah Johnny, sedangkan lelaki itu tersenyum manis.

Tangan Johnny berpindah dari pundak ke kedua pipi Pamela. Menariknya pelan hingga kedua bibir merah mereka bertemu. Softly, Johnny’s tongue enter her mouth. Same as Pamela. Their tongues pressed again each other and their saliva mixes.

Both of them swallowed a hard breath. So they take time and parted their lips to catch a breath.

He changed the position, pull Pamela to his seat. On top of him and in this position they locked lips once more. Focused on exploring their inside of mouth and get sucked on.

Until once again they need to searching for air. Last, Johnny give a peck on top of her lips, thousands time.


“Minggu depan ketemu dokter kan?” tanya Johnny.

“Iya,” jawab Pamela terdengar sendu. “Aku takut deh sama hasilnya.” Pamela menundukkan kepalanya.

“Pam, you no need to worry.” ujar Johnny mengelus kepala tunangannya itu.

“Tapi,” Pamela menengok Johnny. “What if I can get pregnant?”

That’s ok. Not a problem for me. I already told you, I want to live with you. Child is a blessing for us. Kalau pun Tuhan ga ngizinin untuk kita punya, that’s ok. Aku mau menikah dan punya komitmen sama kamu, karena aku mau jalani hidup sama kamu. That’s all, Pam.” Tidak pernah lelah Johnny mengatakan kata-kata yang menenangkan ke Pamela.

Pamela hanya dapat menganggukan kepalanya berulang kali. Terharu. But, at the same time she’s afraid.

Pamela dengan cepat berjalan ke luar dari rumahnya dan memasuki mobil untuk dikendarainya ke apartment milik Johnny. Sebelum sampai dia menyempatkan untuk mampir di salah satu supermarket membeli beberapa keperluan penting dan juga makanan-makanan ringan karena dia tahu bahwa apartment milik Johnny pasti tidak memiliki cemilan ataupun minuman berasa.

Pamela mengendarai mobilnya sekitar 15 menit. Kemudian mencari parkiran dan parkir di tempat yang kosong. Pamela mengambil semua belanjaannya tadi tanpa melupakan satu barang pun dan segera naik ke kamar milik Johnny.

Perempuan itu memencet bel menggunakan bahu kanannya karena kesusah untuk menggunakan kedua tangannya yang terisi penuh. Tidak lama kemudian seorang laki-laki yang kemarin dijemputnya di bandara membukakan pintu tersebut.

“Cepet juga lo, Pam.” Pamela sedikit kaget walaupun tidak menunjukkan wajah kagetnya itu. Ternyata Danu benar-benar bekerja sama dengannya untuk mengubah panggilan mereka. “Iya, Ka. Ka Jo mana?” tanya perempuan itu.

“Masih tidur, lo mau nginep?”

“Iya gue nginep aja deh. Dia masih ngambek kayanya sama gue. Lo udah sempet ngomong ka sama dia?” jawab Pamela.

“Sama sekali belum, dia tidur gitu gimana mau ngomong.” kata Danu sedikit berbohong, karena menurutnya mereka belum bicara secara benar.

“Yaudah deh, lo pulang aja hati-hati ya.” kata Pamela.

Danu tersenyum. “Thanks. Gue pulang.”

Setelah mengantar Danu ke depan pintu dan menutup pintu itu. Pamela mengatur barang-barang yang sempat dibeli dan juga dibawanya dari rumah. Perempuan dengan rambut hampir sepinggang tersebut mengikat cepol rambutnya dan memakai bandana untuk mencuci wajahnya. Saat keluar dari kamar mandi dia terkejut melihat Johnny yang sudah duduk di sofa miliknya. Dengan pelan dia mendekat dan meraba kening laki-laki tersebut.

“Ka Jo, panas banget loh.” Kata perempuan itu masih meletakkan punggung tangannya di kening milik Johnny.

“Kaya ngeliat lo kemarin, panas banget gue.” kata Johnny ketus.

“Ka, I already told you. Iya gue ngaku salah banget. Mau nyelesaiin masalah sekarang?” tanya Pamela.

I know, but I’m still upset.” **kata Johnny menutup matanya.

So what can I do?” Pamela sedikit frustasi.

I don’t know.”

“Ka Jo please. We have time, tapi percuma kalo lo ngediemin gue gini. We can’t communicate. Kan gue udah pernah bilang juga.” Pamela ikut menyandarkan tubuhnya ke sofa.

Perempuan itu melirik Johnny yang masih saja menutup matanya. Kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan gusar. Sedangkan, Johnny berusaha untuk terus menutup matanya seakan tidak peduli apa yang Pamela lakukan.

“Ka Jo, I was wrong. I know. Tapi, gue bener-bener ga tau bakalan sekacau ini. We’ve both been busy this past week. It’ll be strange if I brought up the topic about my ex. I wanna tell you about that. About Ilona, you can blame me for being to much.” Pamela melirik Johnny yang terlihat tidak terganggu sama sekali. Still close his eyes.

Pamela terus memberikan banyak penjelasan dari sudut pandangnya. Kemudian melanjutkan perkataannya, “Oh God, Ka Jo. Stop act like you don’t want to hear it.”

I’m listening, Pam.” jawab Johnny.

No, you’re not.” Pamela berdiri dengan cepat dan ingin meninggalkan sofa, menuju balkon untuk mencari angin. Mungkin itu dapat menyegarkan pikirannya. Tetapi, Johnny langsung menarik tangan perempuan itu.

He’s care. Dia dengar semua penjelasan Pamela and give a thought about that.

I’m sorry for being upset, but can you hug me?” Johnny being clingy.

Pamela sedikit menghela napas, setidaknya Johnny memberikan respon. “Of course. I don’t know that you’re a clingy person.”

You know. Stop saying shit.” kata Johnny yang membuat Pamela tergelak dan tertawa terbahak.

Kemudian mereka hanya diam dan mendengarkan napas satu sama lain masih dengan posisi duduk sambil berpelukan di atas sofa tersebut.

Johnny melihat Pamela yang menutup matanya. Kemudian mulai berkata, “It’s not just you, Pam. I actually can asked you, but we both the same. Kita sama-sama nunda, gue nunda buat nanya dan lo nunda buat jelasin.”

But, lo ngasih gue kepercayaan. And it feels like I break that trust.” kata Pamela memeluk Johnny lebih erat.

Nah, that’s my problem. Well, we always talk about how communications are important. But, we barely do it.” ucap Johnny.

Pamela sedikit bangkit dari pelukan itu dan menjawab, “We always communicate.” katanya sedikit tidak terima. Mungkin benar this past weeks they’ve been busy with work. But, they always called at night talks about how’s the day.

I know. But, we talk about trivial things, Pam. Not that trivial, but still. You know what I mean, don’t get me wrong.” kata Johnny sedikit berhati-hati takut Pamela salah menangkap maksud hatinya.

Pamela diam dan sedikit mengangguk. Balik mengeratkan pelukannya ke Johnny.

Kemudian mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Johnny sibuk membelai rambut Pamela. Sedangkan, perempuan itu membenamkan wajahnya di dada Johnny.

Can we sleep together?” kata-kata itu keluar dari mulut Johnny.

Sleep or sleep?” tanya Pamela sambil menaikkan tangan kanannya dan menggerakan kedua jari telunjuk dan tengahnya memberikan isyarat tanda petik.

Both?”

Depend.” usil Pamela.

Of what?” Johnny terlihat tertarik.

You tell me.” kata Pamela membuat Johnny sedikit frustasi.

“I don’t know, Pam.” katanya sambil menundukkan kepalanya dan jelas bibirnya menyentuh puncak kepala Pamela.

Btw, you know what I did today? I confront Teja and tell him to stop seeking you. And stop using Ilona as an excuse to meet you. I never hate someone so much like this. He got on my nerves.”

It’s ok. I can understand it and I'm still so sorry for not telling you.

Nope. Teja is the one to be blamed.”

“Hahahaha, btw I love that you don't get upset at Ilona. I mean she's just a child that happened to lose her mom.”

I know, feel sorry for her. But, we sleep now?”

Just sleep is ok.” Pamela keep teasing Johnny.

Mereka berdua pergi ke kamar tidur Johnny untuk tidur.