julietirw

Waktu gue bilang ke Cantika kalau Hadani mau nyusulin kita bertiga, tiba-tiba seperti disuntik serotonin booster wajahnya langsung berseri-seri. Gue dan Cantika udah berteman lama banget sejak di bangku sekolah dasar. Luar dan dalam dari masing-masing pribadi sudah tertanam di otak kita. Gak mudah buat nyembuiin apa pun dari satu sama lain. Makanya, gue bisa tahu alasan dia jadi sumringah gini. Sudah jelas dia pengen ngeledekin gue. As she always does.

“Gak usah yang aneh-aneh lo. Awas aja.” ancam gue.

“Siapa yang mau aneh-aneh sih?” balasnya dengan tertawa. Kemudian fokusnya berpindah ke Naditya. “Nadi nanti ajak kenalan ya om-nya.”

“Om siapa, Ma?” tanya Naditya penasaran.

“Coba kamu tanyain tante Oyin-nya.” Setelah itu dia nengok ke gue dengan wajah yang penuh ejekan.

Naditya yang punya rasa penasaran setinggi gunung langsung berpindah ke tempat duduk di samping gue. “Tante Yin, Nadi boleh tau gak om siapa kata mami?” Suara Naditya manis selayaknya permen coklat kesukaan dia.

Salah satu alasan yang membuat gue bisa ngasih rasa sayang yang besar ke Nadi—selain karna fakta dia anak cantika yang notabene sahabat sehidup gue—adalah karena dia bukan balita yang tantrum gak tau tempat. Untuk usia yang baru mau menginjak 4 tahun, dia pintar mencuri hati orang dewasa.

Tangan gue bergerak untuk mengusap puncak kepala Naditya hendak menjawab pertanyaannya. “Maksud mami kamu itu–” Kedatangan seseorang memotong ucapan gue.

“Halo!” sapa seseorang. Suara laki-laki yang gue kenal.

Kita bertiga menengok ke arah sumber suara tersebut.

“Papiii,” pekik Naditya.

Benar. Orang yang datang dan memotong ucapan gue itu adalah suami Cantika. Gue gak tau kalau dia bakalan nyusul kita ke sini. Sudah jelas ini adalah salah satu akal-akalan dari Cantika.

“Ngapain nyusul deh.” protes gue.

“Marah mulu lo. Gue mau nyusul anak istri gue sirik aja.” katanya melawan.

“Jangan gituin di, Lex. Brondongnya mau nyusulin ke sini.” cetus Cantika.

“Tumben banget tiba-tiba ke brondong.” ejek Alex.

“Daripada sama temen-temen lo gak ada yang jelas.”

Debat bersama Alex dan Cantika berhenti karena handphone gue berbunyi dan menunjukkan satu notif whatsapp dari Hadani yang mengatakan bahwa dia telah sampai dan menanyakan tempat kita duduk. Setelah gue membalas pesan itu, dari jarak dekat terlihat dia berjalan dengan senyuman yang sama dengan jumat malam kemarin. Gambaran seorang Hadani dua tahun lalu sudah terlalu buram di ingatan gue. Tapi, gue ingat kalau dia sangat murah senyum. A smile that makes you feel warm. A smile that gives you reinforcement. A smile that seems to say “ everything it’s gonna be okay” to you. A smile that rarely appears on my face.

Dia mengenalkan dirinya ke Alex–suami Cantika, Cantika, dan tak terlewatkan Naditya. Disambut dengan heboh oleh ketiganya. I can never understand how I’m stuck with these three extroverts, while being an introvert. Pertanyaan jail ke luar dari mulut suami istri tersebut dan gue yang harus meminta maaf kepada Hadani karena ucapan mereka yang tidak terfilter dengan baik.

“Jadi, lo calon cowo tersakiti yang ke berapa?” tanya Alex ke Hadani.

“Lex.” tegur gue dengan tatapan kesal yang gue yakin dia paham.

“Jangan gitu, Lex.” Cantika membela gue–setidaknya itu yang gue pikirkan sebelum dia melanjutkan kalimatnya. “Kali aja Hadani gak bakal disakitin.”

You guys need to stop.” kesal gue. Hadani hanya merespon dengan ketawa yang terdengar sedikit canggung. “Sorry, Dan. As you can see this is what I've been through. Temen-temen gue pada gak waras. Lo udah pesen kan?” Gue mencoba untuk mengalihkan topik.

“Santai gapapa kok seru... dan udah gue udah pesen tadi, Kak.” katanya. “Gue malah gak enak ganggu waktu makan kalian bareng gini.” Dia mengusap tengkuknya canggung.

“Om, om siapanya tante Yin?” tanya Naditya yang sudah berdiri di sebelah Hadani. Entah kapan anak ini bergerak dari samping papinya ke samping Hadani.

“Tante Yin?” tanyanya bingung, tapi seperti klik dengan sesuatu dia langsung melanjutkan. “Oh… temennya mungkin?” jawab Hadani kurang yakin.

“Tapi, kata mami temennya tante Yin cuma mami doang.” jawab Naditya polos membuat meja kita dipenuhi gelak tawa. Hadani mengusap kepala Naditya pelan. I can tell that he could easily get along with kids. Unlike me.

“Temen yang lain kan ada, Nadi.” Cantika berseru. Tapi, seruannya terpotong ketika ada pelayan yang mengantarkan makanan kita semua. Gue sedikit menghelakan napas karena setidaknya mulut comberan milik Cantika bisa sedikit terdiam karena akan berjejal makanan.

Kita memilih untuk menghabiskan makanan sebelum melanjutkan obrolan lagi. Obrolan untuk saling mengenal satu sama lain seperti apa yang dikerjakan, alumni almamater mana, dan sebagainya. Obrolan-obrolan kosong juga terjadi di meja kita pada malam hari itu.

“Dari sini mau lanjut ke mana?” tanya Alex, mungkin untuk ke kita semua.

“Gue mau pulang.” jawab gue singkat.

“Lo gimana Dan?” tanya Alex kali ini tertuju pada satu target.

“Gue juga balik aja sih, Lex.” Hadani manggil Alex dan Cantika pakai nama karena mereka yang minta. Meskipun, ke gue dia tetap manggil ‘kak’. Lagian rasanya akan aneh kalau dia manggil gue tanpa embel-embel tersebut. Walaupun gue gak gila hormat, tapi Hadani pernah sekali jadi orang yang gue ‘mentorin’.

Raut wajah Cantika berubah ketika mendengar jawaban Hadani. Gue tau harus waspada, karena otak perempuan itu kadang terlalu licik.

“Yah, Yin.” kata Cantika dengan suara memelas. Ok. The drama starts. “Gue mau lanjut keliling-keliling keluarga dulu. Lo gak bisa balik sama gue dong? Suami gue sih pake acara nyusl gak jelas. Padahal kan kalau gak ada dia tadi gue bakal langsung nganterin lo pulang.” She deserves the grammy for this. Aktingnya tai banget.

Alex yang seperti paham maksud istrinya langsung menimpali. “Kita udah lama gak jalan malam bareng ya, sayang.” Gue memutar mata. Bewitched by their acting. “Lo bisa nganterin dia gak, Dan?” Kan. Emang suami istri sialan.

“Apaan sih lo berdua? Sana pergi aja gue bisa pulang sendiri kali.” kata gue kesal.

“Bisa kok.” jawab Hadani. “Bareng gue aja, Kak.”

“Nah itu pergi bareng Hadani aja, Yin.” seru Cantika. “Btw Dan, alamatnya di–” kalimatnya terpotong.

“Gue tahu, jumat kemarin gue nganterin Kak Riana juga.”

Dumbfounded. Gue sama sekali belum cerita ke Cantika soal itu.

“Oh hahahaha ok kalau gitu yang ini biar gue dan suami aja yang bayar.” She laugh and side eyeing me. Dari matanya gue bisa liat dia menuntut penjelasan.

“Eh jangan gitu.” Hadani menahan tangan Alex yang ingin membayar.

It’s ok, bills on me tonight. Next time lo yang bayar.” jawab Alex.

Adegan mereka berdua membawa gue ke hari jumat kemarin. Di mana bills malam itu dibayar semuanya oleh Hadani dengan excuse I can pay for the next dinner. Mengingat hal itu mengukir senyum di wajah datar gue.

Hadani's POV

I think it’s been 2 years since the last time I saw Kak Riana. Salah satu dari beberapa orang yang berjasa dalam pembentukan kedewasaan gue. Kalau saja dulu gue gak pernah ketemu dengan perempuan yang sekarang sedang mengistirahatkan tubuh lelahnya di dalam mobil gue, mungkin gue masih menjadi seorang so called troublemaker.

Ada sebuah pertanyaan–mungkin lebih cocok untuk gue sebut pernyataan–yang lama gue pendam sendiri. Apakah gue pantas untuk disebut sebagai sulung? Sulit untuk menerima diri gue disebut “sulung”. Rasanya title itu terlalu berat untuk diemban seorang Hadani Sidharta Cakraya. Tanggung jawab sebagai kakak tertua tidak pernah gue jalani dengan baik. Title “childish” akan lebih cocok bersanding dengan nama gue.

Orang tua gue gak pernah ngelarang pilihan yang gue ambil. Bahkan, waktu gue milih untuk keluar dari tradisi keluarga–kuliah kedokteran–sekalipun. Ketertarikan gue ada pada bidang kreatif, so I pursued it. Gak bisa dipungkiri bahwa ada secercah perasaan kecewa—terlihat dari perayaan yang mereka lakukan saat adik gue memutuskan untuk kuliah kedokteran—dari mereka, tapi gak menghilangkan sedikit pun dukungan untuk cita-cita gue. They proved it by helping me get the internship program in one of the biggest agency companies in Indonesia.

There. I met Kak Riana.

“Tempatnya bakal jauh gak?” Pertanyaan yang diajukan Kak Riana membuyarkan lamunan gue. Dia menyandarkan tubuhnya dengan nyaman dan matanya menatap ke luar jendela. I can feel the coldness in her voice, it never dies. She’s always been like this. Makes people think that she’s approachable but the truth is she never let her guard down.

“10 menit aja dari sini.” She nods. “Kalau capek tutup mata aja, Kak. I will wake you up when we arrive.” Gue senyum. The smile that radiates I’m not a dangerous person.

She laughs, more like a slighted chuckle. The laughs that make me stare. I never knew that I could miss the sound of someone laughing. I found some interesting things again and it made my smile grow wider. But, I’m trying to hide it. I don’t want her to read me like an open book. Blame Ezra for this.

I’m fine, Hadani.” ucapnya. “You’re not my driver.” Tatapan matanya berpindah, lurus ke jalan.

I’m not saying I’m your driver, Kak. I just know you need to rest. Kerjaan lo dari dulu kan selalu gak ada abisnya. And you need to know that you did well. But, you're not a robot, so rest.

I know.” jawabnya. She holds her smile down there. “Thanks. But, I’m really fine.

Stubborn. How about making it into 3 meals?” celetuk gue asal merujuk pada janjinya untuk membelikan gue makan.

“Dasar bocah tengil.” keluhnya dan untuk pertama kali dia ngeliat langsung ke arah gue with you-are-unbelievable stare.

Setelah itu pertanyaan yang sering dilontarkan saat reuni pun keluar. “Sekarang lo lagi sibuk apa?” tanyanya. 1 point for me, because she’s trying to make a conversation.

“Oh itu ada hubungannya dengan apa yang mau gue tanyain ke lo, Kak. Bukan pertanyaan juga sih, it’s more like I need your advice.” I caught her attention, she sat straight.

Sounds interesting.”

It is.” Senyuman terpatri jelas di wajah gue.

Obrolan kita berdua kembali berjalan di seputar 2 tahun terakhir, saling lempar-melempar topik. But, again, at some points I could feel the coldness in her voice. If I can describe it, Kak Riana seperti tumbuhan putri malu. Tiap ada yang mencoba untuk mendekati, terutama menyentuh titik tertentu yang disembunyikannya dia akan melakukan pertahan. Menutup diri.

10 menit berlalu dan akhirnya mobil gue sampai di restoran seafood, sesuai dengan janji. Setelah memarkirkan mobil, kita berdua turun dan memesan beberapa seafood that catch our eyes. Obrolan “bisnis” berjalan dengan lancar selama 2 jam. Selama itu juga pandangan gue tidak lepas darinya. Tiap saran yang diberikan gue serap dengan baik. Mendengarkan dan melihat Kak Riana talks about work never failed me. She sounds and looks intimidating in a good way. I love that look on her.

Riana's POV

I’m growing up while listening to all my parents “discussion” about money. Mulai sejak bokap masih punya pekerjaan dan gaji yang stabil, sampai pada giliran nyokap yang harus muter otak untuk mikirin kita bisa makan apa esok hari. They just never stop. Kalau ada yang tanya gimana rasanya? Jelas menegangkan, sama seperti waktu gue pertama kali menjadi penonton dalam acara debat antar sekolah. Walaupun sekolah gue saat itu tidak keluar sebagai pemenang, gue tahu betul bagaimana 20 menit terasa seperti 20 jam hanya dengan mendengar argumen yang disela oleh interupsi pelik. Terlalu panas, legit, berapi, seperti saat orang tua gue memulai debat pribadi mereka. Mengakibatkan gue sebagai penonton dan pendengar melemparkan diri masuk ke dalam kamar dengan satu bantal yang menutupi kedua telinga.

They would persistently complain about “family” financial problems. Make sure that I was there listening to all their yammer. I always tried hard to escape from that, but the result will always be the same. Sometimes, it leads me to have many “what ifs”. Pertanyaan, “gimana kalau dulu…”, “coba aja dulu…”, dan masih banyak lagi bersemayam dalam diam di kepala gue dan akan muncul secara tiba-tiba di saat yang kurang tepat.

Salah satunya adalah di saat tengah malam, di mana gue sibuk dengan tumpukan kerjaan yang entah kapan akan lenyap. I could stay up all night and work till my pants ripped due all the endless work and accompanied by a cup of warm milk. Ketenangan malam bakalan ngebawa gue untuk membanding-bandingkan kehidupan yang sedang berjalan dengan kehidupan hasil daydreaming yang selalu terlintas tanpa kenal waktu dan tempat.

Perkara kehidupan menyuburkan perasaan cemburu yang tertanam di dalam lubuk hati dan akhirnya berbuah gue sebagai seorang yang mudah untuk cemburu. Gue bisa cemburu cuma dengan melihat keluarga yang sedang makan malam bersama dengan harmonis, gue bisa cemburu cuma dengan melihat teman kantor gue yang rutin mendapatkan panggilan telepon dari orang tua-nya, gue bisa cemburu dengan melihat beberapa mentee gue yang dijemput oleh orang tuanya after work hours. Pathetic.

Setidaknya, kehidupan yang telah gue jalani bisa membentuk gue menjadi seperti sekarang. Menjadikan gue money oriented yang gila bekerja. Berhasil membuat gue angkat kaki dari tempat yang digadang-gadang sebagai “rumah” tersebut. Menyadarkan gue bahwa I still have an option–when my parents made me believe that I left with no option at all.

Orang-orang selalu ngomong kalau gue berubah. But, did I really change? Or is it just the real me? Cold as stone, cold as the poles, and cold as the night breeze. Maybe, just maybe. What I need the most is a cup of warm milk at midnight.

cw // mention of kiss , bad eating habits

Ngajakin seseorang untuk ketemu di tempat itu so not usually side of me. Sebagai seorang yang sangat sangat gampang canggung, gue gak pernah mau ketemu orang di tempat janjian. Alasannya banyak, pertama karena gue bakalan bingung harus ngapain kalau sampai duluan. Kedua, gue gak mau draw attention kalau hadir telat. Ngebayangin gue jadi pusat perhatian aja mampu membuat bulu kuduk gue merinding. Ketiga, walaupun gue datang tepat waktu pasti bakalan canggung jalan sendiri ke tengah-tengah kumpulan orang. Makanya, gue selalu minta untuk bareng, kecuali I’ve gain comfort dengan tempat tujuan tersebut atau emang gue lagi pengen me time.

Beberapa alasan itu membuat gue selalu berharap ada keajaiban untuk mengurangi rasa canggung yang gue rasa setiap terpaksa datang ke tempat janjian seorang diri. Keajaiban dalam bentuk bertemu teman janjian di parkiran atau di pintu masuk. Sayangnya, keajaiban yang telah gue tunggu-tunggu dalam kurun waktu lama, malah terjadi malam ini. Di saat gue sama sekali tidak mengharapkan kejadian itu.

Maha telah memarkirkan motornya di saat gue baru datang dengan ojek online. Sudah sekitar 2 minggu gue gak pernah ketemu Maha secara langsung. Rasa canggung yang ada di dalam diri gue sedang berlomba-lomba untuk caper ke Maha. Karena tidak mungkin gue pura-pura ngelewatin dia begitu saja di saat mata kita sudah saling bertabrakan. Akhirnya gue hanya bisa diam di tempat untuk memudahkan Maha nyamperin gue.

Pertukaran “halo” dengan tawa rendah menutupi kecanggungan kita lakukan. Entah untuk berapa kali gue akan nyebut kata canggung. Tapi, kata itu yang paling tepat untuk mendeskripsikan diri gue—dan Maha mungkin—detik ini juga.

Maha tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya terbuka, gesture mempersilakan untuk jalan. Basa-basi dilakukan Maha untuk membunuh udara dingin yang ada di sekitar kita. Pertanyaan yang seharusnya dapat dengan mudah terjawab dia tanyakan kepada gue. Dengan tenang gue coba menjawab satu-persatu. Maha tahu benar bagaimana cara untuk memukul masuk rasa canggung gue. Mengembalikan gue yang bisa bercanda dan ngobrol santai dengan dia yang juga otomatis mengembangkan senyum di wajahnya.

It’s fascinating to witness his laugh after 2 weeks apart.

Ini pertama kalinya gue datang ke JNM Bloc dan gue gak tau kalau bakalan sesepi ini. Teman kampus gue, in short Maya always said that this place was too crowded. Anehnya, hal yang gue antisipasi ternyata tidak ada. Melainkan hanya ada 2 meja terisi oleh gerombolan anak seusia kita yang kita temui. Gue dan Maha memutuskan untuk duduk agak jauh dari kerumunan tersebut. Berusaha untuk mengurangi gangguan. Di depan kita ada panggung kecil yang gue yakini sering diisi oleh live performance. Tapi, berbeda dengan malam ini, seperti tahu bahwa gue dan Maha akan datang. Sehingga, mereka memberikan ruang dan ketenangan untuk kita berdua berbicara.

So, how’s life, Alin?” tanya Maha di saat kita berdua telah selesai memesan minuman.

You’ve been asking the same question since you saw me today.” jawab gue dengan dengusan.

It’s because I always pray that your life will be filled with smiles. No less.” katanya, menatap mata gue.

Maha juga tahu benar bagaimana cara agar gue menutup rapat mulut hingga menimbulkan semu merah di pipi.

Hening. Gue menatap pohon beringin yang menjulang tinggi di hadapan kita berdua. Sedangkan, Maha malah menatap gue. Gue bisa merasakan tatapan lembut yang dilakukannya. Tatapan yang selalu membuat gue ingin jatuh ke dalam pelukannya. Tatapan yang gue jamin tidak ada satu orang pun yang punya selain dia. Tatapan yang bisa membuat gue ngeluarin tiga kata yang selalu gue tahan untuk katakan. Tapi, tiga kata yang gue yakin pada akhirnya akan berlabuh di telinga Maha.

Seperti mengumpulkan tenaga, gue menarik napas panjang dan berbalik menatap dia. Walaupun gerakan gue cukup tiba-tiba, tapi tidak ada niatan dari Maha untuk pura-pura tidak menatap gue. Dia malah tersenyum. Pernah sekali gue bertanya ke Maha, alasan kenapa dia menjadikan kegiatan menatap gue sebagai hobinya. Waktu itu dia balas pertanyaan gue dengan tertawa dan malah menyuapkan satu kentang mcd ke mulut gue. Karena teringat, gue mencoba untuk menanyakan hal itu lagi kali ini.

“Kamu kenapa jadiin kegiatan natap aku sebagai hobi sih?”

Kali ini dia tidak tertawa. “Masih penasaran sampai sekarang?” Dia mengalihkan pandangannya ke depan.

Bukannya menjawab, gue hanya menganggukan kepala. Dia kembali melihat gue dan kali ini dia tertawa. Kemudian, membuka jaket yang dikenakannya dan menyelimuti jaket itu di paha gue. “Dingin.” katanya.

Kesal dengan responnya, gue mencoba menyerang Maha dengan satu kalimat yang gue yakin bisa membuat dia terdiam. “Bukannya kita di sini untuk jujur-jujuran ya?”

Benar saja. Senyumannya perlahan luntur, tapi sedetik kemudian senyuman itu kembali lagi. “Iya. Kamu bener, Alin.” jawabnya. “Tapi, pertanyaan itu kita simpan untuk lain waktu ya. Sekarang ayo kita ngobrol serius.” lanjutnya.

Gue merasa baru saja mendapatkan boomerang. Tetapi, sebelum bom waktu yang gue buat semakin membesar. Ada baiknya untuk gue mulai menguraikan kabel-kabel kusut di sana agar tidak meledak.

You right. Let’s begin our real talk.” Dengan satu kalimat itu gue menarik napas panjang–lagi. Maha meraih tangan gue yang mulai dingin karena rasa gugup. Sikapnya membuat kegugupan gue sirna perlahan.

I’ll try to be honest about what happened last year…” Ada jeda yang gue buat. “To me or simple to us.” Satu kata terakhir yang gue sebutkan sukses menarik senyum simpul Maha.

First, I’m simply a dumb person. I hate the fact that you’re leaving me behind, that you don’t give me any explanation or a small sign that you’ll leave, that I got to know that from others. But, I’m trying to fool myself. I made a defense. I make myself believe that I hate long distance relationships. So, I don’t get hurt too much and have a reason if someone asks why it’s not working for us. I thought it could make me less hurt. But, guess what? I’m still hurting myself.” Gue mendongakan kepala menahan agar tidak ada tetesan air mata yang jatuh.

“Dan waktu gue tahu lo bakal pergi lagi dan tahunya dari orang lain. not directly from you. Semua pikiran gue waktu itu balik lagi. Perasaan untuk membuat pembelaan atas diri gue sendiri itu balik. Supaya gue gak tersakiti. Berakhir dengan gue cut off lo lagi. Sama kaya waktu itu.” Maha mengelus tangan gue, membuat gue menurunkan pandangan yang juga otomatis menjatuhkan satu tetes cairan dari mata kiri gue. Tangan Maha dengan cepat mengusap pipi gue.

I’m just a fool and dumb person, Maha.”

Kedua tangan Maha menangkup pipi gue, tanpa memaksa membuat gue menatap matanya. “So what if you’re a dumb person? I’m a dumb too for not realizing it too soon.

Tangannya beralih untuk mencubit pipi gue, “If we’re not in public space I would like to kiss you now.” Membuat gue mendelik.

You’re not mad at me?” tanya gue, setelah mengeluh sakit karena cubitannya.

Of course not. How about you?” tanyanya balik.

I don’t know. You still don’t give me any explanation.

Please don’t ever get mad at me. Or maybe worse, hate me.” Maha mengeluh. “The thought of being hated by you makes me scared.

“Gak janji.” balas gue bercanda.

No, don’t say that. I will explain myself, so you better listen.” Dia berhenti untuk melihat respon gue. Saat melihat senyuman yang keluar, dia ikut tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. “It’s never my intention to leave you behind, even a tiny thought about it never crosses my mind. Waktu aku tau orang-orang tahu tentang aku yang pindah aja aku kaget. Padahal aku mau jadiin itu surprise buat kamu.”

Kalimat terakhir Maha menimbulkan tanda tanya di kepala gue. Tapi, gue sama sekali tidak ingin memotong penjelasannya.

“Aku tahu kamu pasti penasaran dengan maksud aku apa. Kamu inget gak waktu aku ngajakin kamu night ride?” Maha mengoper pertanyaan ke gue.

“Inget yang waktu kita ke langit di atas awan kan?” tanyanya.

Not that one, Alin. But, the first one yang aku ajak kamu night ride jam 11 malam.”

Tiba-tiba kejadian yang Maha katakan berlangsung seperti sebuah film di bioskop di dalam kepala gue. Waktu itu sama seperti beberapa saat lalu, maha ngajakin gue night ride karena kata dia bosen nugas jam 11 malam di chat. Kita pergi untuk nyari angkringan dan mengisi perut. Juga menjadi pertama kalinya bagi gue seorang Tanalin Moira makan tengah malam.

“Inget?” Gue mengangguk. “Tahu gak kenapa aku bela-belain jam 11 malam ke kosan kamu dan maksa kamu untuk pergi nemenin aku padahal sudah jelas jam segitu portal di kosan kamu udah tutup.” Gue menggeleng.

“I'm not telling the truth. I was lying. It's not because I was bored. It's because you said that you haven't eaten*. Kamu cuma minum susu favorit kamu itu.”

Gue diem. Maha bener, gue punya kebiasaan makan buruk yang tanpa sadar gue lakukan karena terbiasa.

“Kamu tahu gak kalau kebiasaan kamu itu bahaya untuk diri kamu sendiri? Alasan kamu gampang banget kedinginan, gampang capek, dan lainnya itu karena kebiasaan buruk itu dan aku gak mau. Aku sama sekali gak mau orang yang aku sayang ngerasain itu. Aku gak mau kehilangan orang yang aku sayang karena kebiasaan itu.” Kalimat Maha mulai menyadarkan gue perlahan.

“Waktu aku coba masak buat kamu, ternyata kamu suka banget dengan masakan aku. Hal itu yang ngedorong aku sampai ada di tahap ini sekarang.” Semua penjelasan Maha mulai bisa masuk ke dalam kepala gue, memecahkan beberapa tanda tanya yang ada.

I’m not saying that I do this for you. But, you make me realize and know what I want to do in life.” Dia menarik tangan gue, mendekapnya. “Senyuman kamu waktu nyobain masakan aku. Senyuman itu buat aku bener-bener bahagia dan ngerasa hidup.”

Air mata yang tadinya hanya turun tetes demi tetes berubah menjadi deras seperti hujan.

“Aku pengen liat senyum kamu terus-menerus, makanya aku mutusin untuk ini. I know it's kinda selfish of me. Aku bilang aku lakuin ini karena kamu, tapi kamu sendiri gak tahu tentang itu.” He gave a chuckle, tanda meremehkan dirinya sendiri. Gue menggeleng, mencoba menyangkal semua pernyataan Maha. Kemudian, menarik dirinya ke dalam pelukan dalam.

In the end, we both are a dumb person, Alin.”

Mungkin Maha benar. Pada akhirnya kita semua sama-sama orang bodoh yang merasa bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah keputusan tepat untuk diri sendiri. But, there's never a right or wrong choice when it comes to making a decision. We choose that choice because we believe it was the righteous thing to do. Even though it builds us to be a dumb person. It has never been wrong.

cw // kissing

Waktu Maha menjemput gue di kosan, dia sudah dengan pakaian tidurnya, tapi tidak terlihat pancaran kantuk dari wajahnya. Tentu itu menarik rasa penasaran karena jam di handphone gue udah nunjukin pukul 2 dini hari. “Lo gak ngantuk, Maha?”

Dia ngeliat gue dari kursinya dan terukir senyum di wajah putih susunya. “I’m not. Gue tahu tabiat lo tiap sakit kaya gimana. Lo pasti butuh temen untuk ngobrol karena gak bisa tidur.” Jawaban yang diberikan Maha membuat gue tercengang. “Makanya gue nungguin lo buat ngehubungin gue.” tutupnya. Dia dengan santai kembali arah depan, sedangkan gue yang ada di sampingnya merasakan panas di pipi.

What if gue sama sekali ga ngehubungin lo?” Maksud gue orang gila mana yang nungguin text dari orang sakit sampai gak tidur. Tapi, seperti biasa Maha selalu tahu caranya buat gue terkesima dengan tiap perlakuannya. Sebelum menjawab pertanyaan gue, dia ngambil selimut yang ada di kursi belakang dan nyelimutin gue dengan itu.

Setelahnya dia kembali ngeliat gue, shrugged his shoulders. Dia memalingkan pandangannya ke arah setir mobil “I believe you will definitely do it and…”. Kali ini dia kembali ngeliat gue, tapi dengan tatapan lebih tajam seakan ingin membuktikan sesuatu. Membuktikan bahwa he knows me too well, even me myself don’t know it. “...it's proven.”

It’s hard to not blush after listening to all of those words. So, I’m trying to hide myself by covering up my head with the hoodie that I wore. Don’t forget about the blanket he gave me, I literally wrap my body with that.

Sepertinya demam gue udah lebih mendingan, mungkin tadi gue ngerasa dingin banget karena gak ada yang nemenin. Sekarang ada Maha di samping gue rasanya lebih tenang aja. Lebih hangat.

“Masih ada yang mau ditanyain gak, Alin? Kayanya susah banget ga ngobrol sama gue 5 detik.” tanyanya tertawa.

“PD banget lo. Udah jalan aja, yuk.” Gue memukul pelan lengan kirinya dan mendapatkan respon dramatis dari sang pemilik.

“Lo lagi sakit aja, kuat banget mukulnya.” ucapnya dengan nada bercanda.

“Idih. Katanya gym tiap hari, gitu aja gak kuat.” cibir gue. Dia tersenyum simpul.

Talks about gym, lo mau gak gym bareng gue?” tanyanya.

Gue ngasih tatapan aneh ke Maha sebagai jawaban. Berharap dia paham dengan maksud dari tatapan gue. Tapi, dia masih tersenyum manis nungguin jawaban atas ajakan dia sebelumnya. Akhirnya gue nyoba untuk nanya ke dia. “Maha, are you for real?”

Once again, he shrugged. “Yeah, why not? Pasti seru.” ujarnya.

Rasanya gue mau ketawa denger respon yang dia berikan. And I did. I laugh. “Lo gym di mana?” tanya gue berusaha mencari solusi setelah tertawa tidak jelas. “Gimana kalau lo nge gym, gue nongkrong di cafe deket gym nungguin lo. Itu tuh di samping Forus Coffee ada tempat gym, mana dua-duanya pakai kaca. Kita bisa saling liat-liatan.” jelas gue.

Kali ini tatapan aneh muncul dari wajah Maha. Dia mendekat, kemudian menoyor kepala gue pelan. “Isi kepala lo ada apaan sih? Gue selalu penasaran. You’re weird. In a good way. Funny weird or weird funny.” Dia ketawa. Setelah itu kepalanya bersandar di atas kemudi mobil dan natap gue dengan senyuman tipis. “Mau jalan sekarang aja?” katanya dengan volume kecil, hampir seperti bisikan.

Gue ngangkat alis gue, gestur meminta pengulangan.

Melihat respon gue, bukannya membesarkan volume suaranya, Maha malah mendekat, lebih dekat dibandingkan posisi waktu dia noyor kepala gue. Otomatis membuat gue melakukan hal sebaliknya. Gue perlahan mundur. Semakin dia mendekat, semakin susah untuk gue fokus. Susah untuk bedain rasa panas di pipi gue akibat demam atau akibat laki-laki di samping gue yang terus-menerus mendekatkan wajahnya.

Di saat fokus gue 100 persen ada di wajah–terutama bibir merah alami–laki laki ini. Dia kembali berbisik, “I said, wanna go to my place?”

Entah kenapa gue yakin bukan itu yang tadi dia katakan. He’s flirting with me right now. Gue jadi pengen teriak di mukanya, harus banget di saat gue sakit? Well, I don’t mind… It’s not that bad.

Gue nahan napas panjang dan menjawab dengan anggukan pelan. Dia menarik badannya kembali ke tempatnya, dengan sedikit cekikikan membuat gue merasa sedang dikerjain.

“Kok lo ketawa?” protes gue.

“Gue ngetawain diri gue sendiri, Alin. It’s not about you.” Dia menjawab sambil menggelengkan kepalanya.

But, what’s wrong?” tanya gue penasaran.

No, I just think…” Dia diam beberapa detik, membersihkan tenggorokannya, berusaha membuat suara lain untuk mengalihkan fokus. “Gue rasa kalau kita masih terus di dalam mobil ngobrol dengan lo yang menurut gue patut dipertanyakan kelucuannya waktu lagi sakit–dan gak sakit–gini.” Dia narik napas. “I think I would end up kissing you.”

Gue… speechless.

I’m sorry, but I think your laugh, your words, your face, everything about you is my weakness, Alin.” lanjutnya. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke kemudi, kembali ke posisi yang sama seperti tadi. Maintain eye contact.

Gue. Speechless.

Rasa salting membuat gerak-gerik gue aneh. Pura-pura batuk, ngatur rambut yang jelas ga berantakan, menggaruk pipi setelah ngelakuin ten step skincare routine. I felt like the most stupid person that exist in this world. While he—Maha—still looked at me with the same attitude.

It’s not like we’ve never kissed before. Yeah. We’ve kissed and I’m dying to do it again with him. Tapi, gak di saat gue lagi sakit gini yang ada gue malah transfer virus ke dia. But, yes, it will be our first kiss after 1 year apart.

“Ok, ayo.” jawab gue memutuskan kontak mata.

“Yang mana?” tanyanya.

Muka gue memerah. Paham dengan maksudnya. “Ke kosan lo.” bentak gue.

Dia ketawa, merasa menang berhasil ngebuat gue puzzled.


Kita berdua sampai di kosannya pukul dua lewat empat puluh menit. Gue masuk sambil memeluk tubuh dengan selimut tadi. Sedangkan, barang-barang gue dibawain Maha. Dia jalan di depan gue, tapi nengok ke belakang tiap beberapa detik. Memastikan gue gak kehilangan jejaknya.

You take the bed, I’ll take the sofa.” katanya.

Setelahnya kita berdua pergi ke tempat masing-masing. Gue di kasur dan Maha di sofa. Dia nemenin gue ngobrol sampai rasa kantuk datang. Sama sekali melupakan pembahasan yang membuat gue kembali panas waktu di mobil. Tapi, gue merasa akan sangat menyesal jika tidak mengungkit tentang hal itu. Sebelum gue jatuh ke dalam mimpi, gue mau ngungkit itu sekali and after that I’ll blame my fever for saying this ridiculous thing.

“Maha…” panggil gue. “I think…”

Maha ngasih perhatian sepenuhnya ke tiap kata yang keluar dari mulut gue. Tidak merespon. Tapi, gue bisa merasakan itu dari tatapannya.

I think I want to kiss you too.” cicit gue.

Rasanya tiap detik berjalan sangat lambat setelah gue ngungkapin apa yang ada di otak gue. Kita berdua saling melihat satu sama lain.

“Alin, I don’t have much self-control. So you want to kiss me or not? ” Dia bangun dari sofanya, perlahan mendekat.

Posisinya saat ini sudah berdiri tepat di depan gue, membuat gue terduduk dari tidur. “I do want it. But, you know I’m not in a perfect condition.

Nope. You’re perfect for me.” Dia naik ke atas kasur dengan bertumpu pada lutut kirinya.

What if you get sick? Because of me?” Tubuh Maha makin mendekat. He grabs my waist with his hands.

I’m already sick because of you, Alin. I always want to be by your side.” Tangannya sekarang berada di pipi gue. Dia menempelkan kedua kening kita. “But, you. Are you sure?” tanyanya meminta consent.

Untuk nelan ludah di posisi ini pun rasanya sulit. Gue natap matanya. He didn’t lie. He wants to kiss me. So do I. That way, I just close my eyes. Nunggu Maha untuk nyium gue.

And he did it. I felt his lips press on mine.

I think… I’ve never been this happy when I was sick.

So, I was wondering what if I am fit as a fiddle when we do it?

I think… I’ll be on cloud nine.

Butuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke Kebun Buah Mangunan atau Negeri di Atas Awan yang sekarang gue dan Alin pijak. Dari namanya mungkin orang-orang berpikir bahwa akan menemui perkebunan buah, tapi nyatanya sama sekali salah. Justru yang bakalan ditemui di atas sana adalah hamparan pemandangan yang indah.

Gue selalu takjub dengan sesuatu yang indah. Salah satunya adalah Alin. Tanalin Moira. Nama yang indah bukan?

Nama yang gak pernah gue lupain sejak pertama kali kita berkenalan secara tidak sengaja di tempat fotocopy jaman maba dulu. Dia yang berjalan sendirian, membawa tumpukan hasil print-an yang mungkin cukup untuk sekelas. Sebagai seorang laki-laki yang dididik dengan baik oleh kedua orang tua. Gue merasa terpanggil untuk membantu Alin saat itu. Kemudian perkenalan itu menjadi hal yang gak akan pernah gue sesali seumur hidup.

Gue masih ingat gimana lekuk uraian rambutnya saat itu. Gimana dia natap gue dengan matanya yang sejernih kristal. Gimana wanginya yang merupakan perpaduan antara vanilla, bitter almond, cashmere wood, dan pink pepper menyatu dengan seharusnya di tubuh Alin dan menusuk dengan halus ke indra penciuman gue.

Setelah pesan terakhir yang gue kirimin ke Alin lewat DM Instagram hanya di-seen oleh yang punya. Alin bergegas berdiri ninggalin gue sendirian di gazebo dan berjalan menuruni tangga untuk mencapai pagar pembatas. Dari jarak 25 meter gue bisa ngeliat dia memeluk tubuhnya sendiri. Udara di atas sini terlalu dingin untuk Alin yang gampang terserang flu.

Akhirnya gue memutuskan untuk nyusulin dia ke bawah sana.

Dia sama sekali tidak bergeming waktu gue udah berdiri tepat di sampingnya. Tapi, sebuah kalimat keluar dari mulutnya, “Thanks, Maha.”

Gue menoleh, “Tau dari mana kalau ini gue?” Bukan merespon ucapannya, gue mengajukan pertanyaan lain.

Dia balik menoleh ke gue. “Gue tau wangi lo, Mahaprana.” Dia melakukan penekanan waktu nyebutin nama gue. Kemudian kembali menolehkan kepalanya ke depan. Jawaban yang diberikan Alin sontak membuat ujung bibir gue tertarik ke atas.

Gue ketawa dan lanjut bertanya, “Thanks for what?

Dia mengangkat kedua bahunya. “I don't know. For bring me here? Mungkin.”

This is nothing, Alin. We do have plan back then kan.” Dia tersenyum.

Yes, we do have plan.” Tatapannya fokus ke pemandangan matahari terbit.

“Gak dingin?” tanya gue. Dia masih di posisi memeluk tubuhnya sendiri sejak tadi. Sebelum Alin sempat menjawab pertanyaan yang gue lontarkan. Tangan kiri gue udah bergerak terlebih dahulu untuk merangkul pundaknya, sembari meminta izin.

Dia menggelengkan kepalanya, kemudian menyandarkannya ke pundak gue. Membuat gue sedikit bingung dengan reaksi balasannya.

You know what.” ucapnya pelan, lebih seperti bisikan. Gue berdeham tanda respon pada ucapannya. “I wish we can stay here longer.

Gue diam beberapa menit. Tidak memberikan jawaban apapun ke dia. Apalagi jawaban kosong.

Suasana yang gue dan Alin coba bangun dipecahkan oleh suara beberapa orang yang menyuruh kita berdua untuk berpindah tempat karena mereka ingin mengambil foto. Gue dan Alin otomatis saling melihat satu sama lain dan tertawa karena kekonyolan tersebut. Tetapi, memutuskan untuk mengalah dan naik ke atas–gazebo tadi.

Dia sibuk mengecek isi tasnya. Gue sibuk ngeliatin dia yang lagi ngecek isi tasnya. Dia ngambil sesuatu dari dalam sana. Kalau gue gak salah, namanya itu cushion. Dia bercermin lewat benda itu. Kemudian memperbaiki beberapa makeup di wajahnya. Walaupun di mata gue gak ada yang kurang dari wajahnya. But, I love to see how passionate she is while touching up her makeup. Memperhatikan tiap gerakan Alin memicu rasa penasaran yang sudah lama gue pendam.

Why has she never talked to me again since that day? She's been completely cutting me off.

“Alin,”

“Maha,”

Kita berdua saling memanggil nama satu sama lain.

You go first.” kata gue dengan memberikan gestur tangan mempersilakan.

I know you must have been wondering the reason why I cut you off last year…” Gue mengangguk di tengah kalimatnya. “I’ll tell you the reason behind it. But, let me prepare myself. Because it’s so fucking stupid.” Dia memukul kepalanya pelan.

“Sebodoh gue yang masih suka lo sampe detik ini gak?” ujar gue dengan jujur.

Dia nunjukin muka gak percaya dengan ucapan gue. “Bisa gak lo tuh ditutup-tutupin dikit kalau naksir ke orang. Kalau orangnya kabur gimana?”

“Oh, jadi alasan lo kabur dulu karena gue terlalu blak-blakan ya?” Dia menggeleng cepat.

“Bukan gitu maksud gue, Maha. Maksud gue nanti, kalau lo suka ke orang lain. Gue sih suka cowok blak-blakan.” I could never like someone else, Alin. Dia senyum memamerkan deretan giginya. “Malah kayanya lo yang bakal kabur setelah denger alasan gue dulu. Terus ngerasa deket sama gue lagi adalah hal yang percuma, karena ternyarta yang lo deketin cegil.” Kali ini gue ketawa dengan volume yang sedang, cukup ribut di dekat Alin, tapi terdengar kecil untuk orang-orang di bawah sana–masih sibuk dengan handphone-nya mencari pose terbaik untuk foto.

Btw, Alin.” Dia mengangkat alisnya. “I also wish the same thing.


Sekarang udah nunjukkin jam tujuh pagi. Gue nganterin Alin balik karena gue tau dia udah kedinginan di atas sana–walaupun dia ngomong gapapa. Ditambah cuaca yang tiba-tiba mendung, membuat rasa tanggung jawab gue makin tinggi. If she’s caught a cold, that would be my responsibility. Gue yang ngajak dia ke sana.

Sebelum pulang, gue sempat ngajak dia untuk singgah sarapan. Tapi, dia menolak dengan alasan udah ngantuk dan pengen tidur. Makanya gue mutusin untuk langsung nganterin dia pulang.

Dia turun dari motor, melepaskan helmnya. “Udah kali liatnya jangan kaya gitu. Gue gak bakal sak–” Alin belum sempat menyelesaikan ucapannya, tetapi dia sudah bersin terlebih dahulu. Membuat gue menghela napas panjang.

“Kan sakit.” Tiba-tiba segala rasa khawatir memuncak dalam diri gue. Dia ketawa dan mengibaskan tangannya ke arah gue.

“Gak, gak sakit. Kalau gue sakit, lo tinggal tanggung jawab.” katanya tertawa.

“Ok. Gue tanggung jawab.” kata gue dengan yakin.

Alin ketawa. “Orgil lo. Udah gue mau masuk, mau mandi, mau bobo. Hati-hati di jalan, Maha.” Dia menjulurkan lidahnya. Kemudian berlenggang masuk ke dalam pelataran kosan.

“Jangan lupa mandi dulu Alin sebelum tidur.” Gue teriak sebelum dia masuk ke dalam kosannya.

“Iya, bawel. Lo juga.” balasnya teriak.

This is how I know. Mulai detik ini, gue dan Alin kembali ngelanjutin journey kita berdua untuk nyoret list yang udah kita buat di notes–sejak setahun lalu.

I wish we could stay like this. I do really wish.

“Punya” Maha di awal perkuliahan adalah suatu hal yang paling gue syukurin. Why not? He always try to drag my lazy ass untuk ngikut dia ngebolang di Jogja. He always wins btw, and I’m glad he did. Setidaknya, nyokap gue gak bakal stres setiap nanya “Kakak udah ke mana aja di Jogja?” karena gue punya beberapa destinasi yang bisa gue ceritain keseruannya. Mulai dari tempat yang selalu disebutin tiap ada konten ‘recommended place to go in Jogja’, sampai ke tempat-tempat ‘hidden gem’ yang hanya sedikit orang tau.

Kita berdua pun gak pernah ngedatangin satu tempat untuk kedua kali. Karena list ‘place to go’ yang ada di notes yang dibagikan ke handphone gue dan Maha masih sangat menumpuk. The urge to taste every single place on this city was insane. Truth be told list itu udah ada di dasar notes gue. Simple. Because, when he left, never once in my life (1 year) reopening that list. But, I don’t know about him. Apa pernah dia sekali buka list itu dan pergi tanpa gue? Walaupun lubuk dasar hati berharap kalau list tersebut juga terakhir kali dibuka Maha bersamaan dengan gue.

So that means he never goes to those places without me.

Setelah keluar dengan wajah yang lebih segar, juga leather jacket yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, membuat kulitnya terlihat lebih bersinar, Maha nyamperin gue dan ngasih jaket miliknya ke gue. Dengan sedikit ledekan that weirdly sounds sweet. Dia ngasih gue jaket di tangannya, jaket yang dapat dikenali dengan mudah bahwa itu bukan milik gue. Terlihat dari gimana gue tenggelam di dalam jaket itu.

Udara malam ini sama dinginnya seperti malam-malam sebelumnya. Gue duduk di boncengan Maha, masih ragu untuk melingkarkan lengan di kedua pinggang lelaki itu. Tangan gue memilih untuk merapatkan jaket untuk mencari kehangatan. Canggung untuk tiba-tiba merekatkan diri ke laki-laki depan gue.

Maha memelankan motornya. “Kalau kedinginan peluk aja, Alin.” celetuk Maha, suaranya terdengar jelas.

Bukan hal yang baru buat gue untuk meluk Maha. I did that a lot in the past. Tapi, setelah setahun ini merupakan momen pertama gue dibonceng oleh Maha lagi. Gue gak mau sembrono. Mengabaikan perasaan hati gue yang sudah menggebu untuk melingkarkan lengan dan menyandarkan tubuh gue di punggung Maha.

“Mau gultik dulu?” tanyanya, dia menghentikan motornya saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah.

“Kita baru aja selesai makan-makan yang banyak, Maha.” Gue memperbaiki posisi duduk.

“Kali aja lo laper lagi. Gue tau lo makannya ga banyak tadi.” Dia berusaha nengok ke belakang, tepatnya ke gue. Tapi, kesusahan karena helm yang digunakannya. Hingga, hanya setengah dari wajahnya yang terlihat.

Gue sempat diam beberapa detik melihat wajah Maha yang sejuk. “Bukan cuma tadi. Tapi, gue emang gak pernah makan banyak.” tukas gue.

“Banyakin, Alin. Kalau lo sakit gimana?” Oh, Maha inget.

“Gue udah jarang sakit, Maha.” ujar gue meyakinkan.

“Iya, tapi lo inget gak yang lo sakit karena night ride 10 menit kita karena cuma pakai cardigan tipis sampai akhirnya gak masuk kampus 1 minggu.” Oh, Maha inget semuanya.

“Males, gitu mulu yang diinget.” Gue melipat kedua tangan di atas dada.

Maha ketawa. Perlahan kembali mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan, melihat lampu lalu lintas warna merah yang telah di detik akhirnya.

5

4

3

2

1

Waktu warna lampu lalu lintas sedang dalam persiapan berpindah dari merah ke hijau. Maha menarik kedua tangan gue untuk memeluk pinggangnya. Membuat gue sedikit terkejut dengan aksi tiba-tibanya.

“Gue inget semuanya kali. Semua tentang lo.” Iya. Gue percaya. “Gultik dulu ya. Kita lanjutin list kita, Alin.” Gue bisa merasakan senyuman di kalimat terakhir yang dia ucapkan. Tetapi, gue juga bisa mendengarkan suara degup jantung yang entah milik gue sepenuhnya atau telah berbaur dengan milik Maha.

Oh. Maha. Ingat. Semuanya.

Kampus ini punya beberapa student corner, salah satunya yang dekat dengan kantin. Kadang mahasiswa dan mahasiswi kampus mengalihfungsikan student corner itu jadi tempat makan siang. Sama seperti yang gue dan Alin lakukan siang hari ini. By the way, it’s been two weeks since I drove her home. Setelahnya kita berdua sama-sama sibuk untuk bertemu. Tapi, cukup sering bertukar pesan untuk sekedar ngomong “just checking up on you”.

Waktu gue datang dengan membawa dua tas belanja besar–kanan berisi bekal dan kiri berisi jajanan dari indomaret–Alin sudah duduk lesu di salah satu kursi dan menyandarkan kepalanya di atas meja. Sebelum mendekat, gue mengambil satu kotak berisi susu dari sisi kiri gue. Susu kemasan dingin yang sengaja gue beli untuk Alin.

Mukanya bete waktu ada yang mengusik tidur atau istirahatnya tersebut. Tapi, waktu sadar kalau yang gangguan itu berasal dari gue, ekspresinya perlahan menghangat. Walau tidak sehangat matahari Jogja siang ini.

“Gue pikir siapa yang ganggu.” ujarnya dengan nada sewot.

Gue ngambil tempat di hadapannya, membuat kita saling berhadapan. “Kecut amat tuh muka atau lemon?” ejek gue.

“Jeruk Bali.” jawabnya acuh tak acuh sambil melirik-lirik ke tas-tas belanja yang gue bawa.

“Kenapa lirik-lirik?” Gue narik dua tas itu menjauh dari pandangnya.

“Mau dong, Maha. Boleh gak? Ternyata marah-marah bisa buat gue laper.” Dia senyum. Pikirnya senyum itu bisa buat gue luluh kali ya? But, she’s not wrong. Karena gue luluh.

Perlahan tangan gue kembali membawa tas-tas tadi ke atas meja. Kemudian setelahnya mengeluarkan satu persatu isi tas tersebut. Gue fokus ngeliatin benda-benda yang keluar dari tas tersebut. dua kotak makan, dua air mineral kemasan, dua kotak lebih kecil lagi berisi buah-buahan potong, dan lima kotak susu.

“Lo laper karena liat masakan gue kali.” Pandangan gue beralih ke Alin yang ternyata sejak tadi sibuk menatap gue.

Dia mengalihkan pandangannya saat mata kita bertabrakan. “Idih seneng lo kalo gue bilang iya.” Namun, tangannya bergerak salah tingkah, menunjukkan rasa malu karena terciduk natap gue.

Gue berusaha mengulum senyum dan berpura-pura tidak memperhatikan sikapnya saat ini. “Seneng lah. Mau makan sekarang?” tanya gue.

“Mauuuu…” serunya seperti anak sepuluh tahun.

Ada beberapa hal yang gue suka dari Alin. Pertama, she never tries hard to impress someone. She always stays true to herself. Kedua, dia cantik. Tipe cantik yang gak ngebosenin untuk dipandang tiap hari. Kalau diberi kesempatan untuk selamanya hanya natap dia, gue mau. Ketiga, gak ada. Karena gue gak mau ada yang ketiga di antara kita. Baik itu orang, maupun kesempatan.

Berbagi cerita dengan Alin adalah hal yang selalu gue rindukan tiap harinya. Awal-awal kita berpisah–tanpa alasan–adalah fase dalam hidup yang gak ingin gue rasain lagi. Merasa cocok dengan seseorang menurut gue adalah anugrah. Dari milyaran makhluk hidup di bumi, bertemu dengan seseorang yang cocok bukan lah hal yang mudah. Tapi, gue dapetin itu di Alin. Rasa cocok.

So, why do I need to find someone else?

Beberapa menit berlalu. Semua benda-benda yang tadi gue keluarkan, isinya telah tandas, tersisa tempat-tempat kosong. Kecuali tiga kotak susu yang masih lengkap isinya, tapi dinginnya mulai berkurang.

Masih ada waktu lima belas menit lagi. Alin sadar waktu gue mulai ngecek jam tangan. Karena setelahnya dia juga ikut melihat jam yang ada di handphonenya.

“Udah mau balik?” tanyanya.

No, masih ada waktu.” Gue merentangkan tubuh dan kembali duduk dengan nyaman. “Lo yakin mau nunggu di kampus? Jam tiga masih lama.” tanya gue.

“Nanti kalau gue cabut, gue malah bolos, Maha.”

“Tapi, muka lo ngantuk banget, Alin.”

“Bukannya I am always sleepy?” jawabnya.

“Bener sih. Ngantukan dan mageran. What a perfect combo.” Gue ketawa mengingat Alin yang sering menolak ajakan gue dengan dua alasan itu.

“Hehe gue emang keren.” katanya tanpa tersinggung.

Gue bisa merasakan beberapa tatapan mata melihat ke arah kita. Beberapanya adalah tatapan familiar. Mungkin orang-orang yang gue kenal waktu kuliah di sini.

“Maha…” Suara yang mendekat dari arah belakang. Kan bener. “Ngapain lo di sini?” tanya seseorang yang gue lupa namanya.

Belum sempat gue menjawab, dia kembali mengeluarkan pertanyaan. “Lo mau balik kuliah lagi ya? Duh yuk balik biar kita bisa main-main bareng lagi.” Tangannya mulai narik gue.

Sebelum dia membuat benang-benang di baju gue lepas. Kayanya gue harus angkat bicara. “Sorry sebelumnya, gue di sini bareng Alin. So, I appreciate it if you leave us. Next time, ke cafe gue aja. Taste Ghanim, baru aja buka. Mungkin di sana kita bisa ngobrol lagi. Sorry banget. My time is limited.”

Setelahnya, dia–gue masih lupa namanya–dan teman-temannya pergi ninggalin gue dan Alin dengan beberapa kata maaf.

“Ga boleh gitu kali, Maha. Temen-temen lo tuh.” kata Alin setelah gue duduk kembali.

“Gue aja lupa nama mereka. Artinya gue gak dekat sama mereka.” Circle gue dulu cukup besar, kadang kita hanya sekedar kenalan dan berakhir kenal nama doang. So, I can’t recall her name.

“Serius? Kayanya emang pernah main bareng lo deh?” tanyanya.

“Mungkin. Gue inget, tapi gak inget namanya. Not someone I should remember mungkin. Maksud gue gak jahat loh.” Disclaimer sebelum orang-orang nganggep gue sombong. Even though gue sering ketemu orang baru, gue gak mau nganggep semuanya sebagai teman. Sometimes, it can be a boomerang toward us. I love to keep my circle small. Tapi, gue juga suka kenalan sama orang baru. So, solusinya adalah gue harus pinter milih-milih temen. Keep someone that I wanted.

“Cie sombong.” katanya mengejek.

“Gak sombong, Alin.” I look at her.

“Bercanda, Maha.” She looked at me back.

Alin… Alin is one of them. The people that I want to keep.

Keep as mine.

Dulu gue bertanya-tanya kenapa kakak kelas gue banyak banget yang ngerantau ke Jogja buat ngelanjutin pendidikannya. Tapi, dua tahun kemudian gue ngeliatin diri gue sendiri yang sibuk nyari kosan di kota pelajar ini. Gue gak keterima sbmptn dan akhirnya nyari universitas swasta yang mau nerima gue. So here we go. Gue ngambil ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Dari situ gue pikir kehidupan gue bakalan berubah drastis. Ternyata… gak juga.

Kehidupan kuliah gue sama seperti orang-orang di luar sana–lebih ke biasa aja. Gue bukan tipe yang aktif di kelas atau organisasi. Bukan juga tipe yang party dan nongkrong every night. Gue ambil tiap bagian dari kehidupan perkuliahan dengan porsi secukupnya. Biar gak puyeng. Mungkin ada satu yang gak biasa aja dan gak semua orang kebagian untuk alamin, yaitu dideketin sama most wanted ospek.

Mahaprana Tama. Nama ganteng yang sangat mencerminkan orangnya.

Awal ospek dimulai, Maha langsung jadi the center of attention. Dia jadi rebutan kakak-kakak pembina. Bahkan, waktu perkuliahan dimulai Maha bisa dengan mudah masuk ke circle-circle kating that looks unreachable. Circle yang lo mau coba untuk bayangin aja ga sanggup. Iya, circle yang kayak gitu. Di luar itu ada banyak hal yang membuat gue yakin gak bakal pernah bisa kenalan–apalagi jadi teman–dengan Maha.

Seorang Tanalin Moira yang jadi mahasiswi aktif kalau sempat dan cuma punya temen sebiji doang alias Maya, ga mungkin lah bisa dekat sama seorang Mahaprana Tama. Tapi, langit berkata lain dan seperti petir di siang hari yang cerah. Karena akhrnya gue dekat sama Maha as in PDKT. Gue gak percaya dengan kisah cinta yang gak selesai di semester 1 itu beneran terjadi sampai detik ini. Because it's bizarre.

Awalnya dimulai dari Maha yang nge-dm gue dengan dalih mau bantuin isi kuesioner tugas waktu itu. Berujung dengan kita yang selalu tukaran tugas, sampai akhirnya Maha jujur kalau dia ingin coba untuk move to another stage. Gue bingung. I’m not a very popular girl in college. But, I was a popular girl in High School. Menurut gue, cowok populer or most wanted seperti Maha pasti bakalan nyari orang yang punya tingkat popularitas sepadan dia. Not me—yang di saat itu mirip mahasiswi kupu-kupu. Makanya gue bingung.

Then again, he told me that it doesn’t matter because I caught his attention from the start. I know it's sweet of him. However, the sweetness doesn't last long.

1 semester yang indah. Karena setelah 1 semester kuliah dan juga beberapa bulan kita dekat, dia malah pindah kembali ke Jakarta. With a good reason actually. Tapi...

Buat gue yang gak punya keinginan untuk menjalani long distance relationship at any cost. Memilih untuk cut off Maha perlahan adalah hal yang gue lakuin waktu itu. It’s not because I have trauma. It’s just not everyone can stand LDR, and… Hello, I’m everyone.

“Emang aku kelupaan apaan sih kak?” Anulika masuk ke dalam mobil gue dan duduk tepat di samping gue. Di kursi yang terlihat sudah seperti miliknya. No… It’s hers.

Selain Bunda dan Haira, gue gak bisa ngeliat ada perempuan lain yang duduk di seat itu. Hanya Anulika seorang. Dan gue harap selamanya akan seperti itu. Tapi, apa sih arti dari selamanya?

Mungkin kalau tadi Anulika tidak bersuara, gue masih akan sibuk dengan lamunan seorang diri. Gue bahkan gak dengar suara pintu yang terbuka. Lucky me Anulika has this noisy habit. P.S I’m not complaining.

Gue gak langsung menjawab pertanyaannya, melainkan bergerak untuk mengambil sesuatu di jok belakang. Meraba-raba untuk meraih barang tersebut. Anulika tidak kepo, dia tetap menatap lurus ke depan, sedikit memainkan kuku jarinya. Gue kembali ke posisi awal setelah mendapatkan apa yang gue cari.

“Isn't this yours?” tanya gue sambil mengarahkan bouquet di tangan ke arah Anulika.

“Eh,” Anulika ngambil bouquet yang gue kasih dengan wajah bingung, tapi dia masih juga tidak melihat ke gue. Entah kenapa sejak tadi sore dia selalu mencoba untuk meniadakan kontak mata diantara kita berdua. Dia diam sebentar. Kemudian mempertanyakan hal yang membuat dia bingung tersebut. “Kok isinya stroberi?”

Bukannya udah jelas? “Because you like them.” I smiled. I’m not a fan of rhetorical questions, but it’s Anulika who makes the question. So, I will always answer her questions. Even the silly one.

“I know.” She rolled up her eyes. “Can I eat this?” Tanpa menunggu jawaban dari gue, dia langsung narik salah satu stroberi yang ada di bouquet dan memasukkannya ke dalam mulut. Mata kanannya bereaksi dari rasa asam stroberi. Pipinya pun tidak tertinggal dan ikut memberikan reaksi yang lebih menarik di mata gue.

Masih dengan posisi mengunyah, Anulika berbicara. “Au piir amu upa oh…”

Gue ketawa. “Dikunyah dulu, Anulika.” Gue ngambil tissue dan menadahkan tangan di dekat wajahnya. Sementara dia sibuk menyelesaikan kegiatan mengunyahnya.

“Aku pikir kamu lupa loh.” ulangnya.

“Ga mungkin aku lupa.” Gak mungkin, apalagi untuk hari ini–lanjut gue dalam hati.

“Kan aku pikir.” cetusnya galak.

“Jangan marah-marah dong.” Gue ngacak rambutnya sepersekian detik.

“Ini aja kan? Aku turun ya.” ujarnya.

“Also this…” Dengan cepat gue ngambil satu tas belanja yang ada di jok belakang. Tas yang udah gue atur tempatnya biar gampangin gue buat ngambil.

“Ha? Kamu abis ngerampok alfamart ya?” Tangannya sibuk membongkar isi tas belanja, “OMG I love this one.” Dia ngeluarin salah satu ice cream strawberry cheesecake dari tas belanja tersebut. “Thank you, Kak Hart.” Dia senyum menimbulkan pipinya yang bersemu merah. But, I can’t see it properly because she tried to hide her face from me. “Udah kan? Hati-hati di jalan ya, aku mau makan ini sekarang.”

“Tunggu,” gue nahan tangannya sebelum membuka pintu. “Kamu lupa satu hal lagi.”

“Apa lagi, Kak?” tuturnya perlahan.

All the things you wanna heard.

Jujur gue gak siap. Tapi, kalau gue terus-terusan mikir gue gak siap? Kapan gue bakalan siap?

Seperti kata temen-temen gue, terutama Jeje yang semalam sibuk membombardir gue dengan kata-kata mutiara yang gue bingung dia curi dari mana. Perfect moment itu dibuat, bukan dicari. So, I will try to make one. A perfect moment.

Dia diam dan kembali duduk dengan rapi di seat tadi. Duduk kaku seakan sedang duduk di kursi panas. Ke mana Anulika yang semenit lalu duduk di seat sebelah gue dengan santai? Karena kali ini dia terlihat seperti orang yang baru pertama kali duduk di situ. Dia terlihat tidak nyaman.

You ok?” Tentu hal itu menarik rasa penasaran gue.

“Bukannya udah jelas?” cicitnya.

You’re not?” Gue memastikan.

Dia mengangguk dan untuk pertama kalinya nengok dengan full ke arah gue. Memperlihatkan wajah sedih yang terlihat seperti telah ditahannya sejak tadi. Akhirnya gue sadar, mata berkaca yang awalnya gue pikir akibat dari rasa asamnya stroberi, pipi bagian atas yang bersemu merah, bukan lah reaksi yang baru muncul ketika dia memakan stroberi. Gue salah.

Did you cry?” Ok the stupid and rhetorical questions that I hate the most. Of course she’s been crying, Hart bego.

Semua kata dan kalimat yang udah gue siapin untuk malam hari ini tertelan begitu saja. Gue merasa kacau. Did I hurt her? Did I hurt her feelings?

“Kamu mau cerita ke aku dulu?”

Apapun yang akan dia sampaikan ke gue bisa jadi merubah rencana gue hari ini. But, I need to know, I need to know what happened.

“Boleh?” Dia memastikan, gue balas dengan anggukan. “I don’t know, but, after last night.” Dia diam, mengulum bibirnya. “I mean the argument we had.” Seperti ada yang ditahan, seluruh kalimat yang dikeluarkannya terputus-putus. “Dan ngeliat sikap kamu hari ini, aku takut untuk dengerin penjelasan kamu.”

Gue hanya diam mendengarkan.

“Aku takut semua yang aku bayangin ternyata jauh dari kenyataan.” Kali ini dia memberanikan diri untuk natap mata gue. “Aku takut ngira kita hanya beda 1 jengkal, tapi ternyata masih 1000 jengkal.” Wajahnya sembab. It hurts me.

“Tapi aku beneran nguatin hati untuk balik ke sini. Berharap kali ini bener-bener dapet kejelasan. Apapun itu. Sesuai dengan keinginanku atau gak. Aku siap.” She tries to hold back her tears. But, she endes up crying.

Tidak tahan melihat air mata yang perlahan jatuh, tangan gue bergerak sesuai dorongan otak. Menghapus tiap jejak yang terbentuk di atas pipi Anulika. Sikap gue membuat Anulika meneteskan air mata lebih deras lagi.

“Kamu jadi ngomong gak sih? Aku udah jujur tentang semua rasa anxious aku dari semalam. Kalau kamu gak jadi ngomong, I will hate you forever.”

Gue senyum. Bukan senyum jail. Just a simple one. Senyum yang mencoba untuk menyampaikan kalau semuanya akan baik-baik saja.

“Kamu siap?” Tangan gue masih ada di pipinya, memberikan beberapa usapan kecil.

No, kamu buat aku makin takut.” Keningnya berkerut.

Then I will not talk.”

What’s wrong with that logic?” Nadanya marah. “Then I will go and act like we do not exist.” This one is not even funny.

Anulika hampir narik handle pintu mobil untuk kedua kalinya sebelum gue ngomong, “Sorry for giving you a hard time.” Dia melepas tangannya dari handle pintu mobil untuk kembali duduk sekaku tadi.

Gue narik napas. Try to rearrange all the words in my mind.

“I don’t know where to start… But I think you must know the reason behind my call back in july.”

Dia merapatkan cardigan pink tipisnya. Hawa malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin ini hanya hawa yang muncul di antara kita berdua.

Sebelum melanjutkan penjelasan, gue mengecilkan volume ac mobil agar Anulika tidak merasa kedinginan. Setelahnya gue menarik napas lebih panjang, menyiapkan kalimat-kalimat yang akan mengupas diri gue. Never once in my life I was lying. All I did was try to hide it. And now what I’m trying to hide, Anulika will know everything.

The reason we didn’t talk the past 6 months before is my fault. I'm trying to make peace with myself. Trying to understand that I'll be ok. I'm trying so hard so I'll not be disappointed if something goes wrong when I'm with you. But when I saw you together with that… guy. It makes me slightly angry.”

I sound like a helpless, jealous, and selfish person. I don’t like it. What if Anulika hates this side of me?

Kali ini giliran dia yang diam mendengarkan. “Waktu aku ngehubungin kamu lagi, aku belum selesai dengan itu. Aku belum selesai dengan diri aku sendiri. Aku belum berdamai dengan diri aku sendiri.” Gue berhenti untuk melihat ekspresinya. I thought she would give me weird looks, but no. She do not.

“Malah dengan egoisnya, aku ngehubungin kamu lagi.” Dia mengangguk kecil. Seperti salah satu pertanyaannya terjawab. “In the end, I gave you a hard time. A really hard time.” Matanya kembali berkaca. “Aku ngebuat kamu ngerasa digantung and it makes me looks like I ignore your feelings. Selalu minta kamu untuk bareng aku terus, when I’m the one that didn’t give you the chance.” Anulika ga bisa nahan air matanya. Untuk kesekian kalinya dia nangis di depan gue hari ini.

“Maaf aku sering buat kamu nangis.” Dia menggelengkan kepala, berbisik ‘no, you’re not’. “Kalau dengan aku kamu malah jadi sedih, mungkin emang kita ga ditakdirkan bersama.” Dia menolak dengan menggeleng makin keras.

“Kamu kalau buat aku sedih harusnya tanggung jawab! Bukan nyalahin takdir, Kak.” Reaksi Anulika membuat gue sedikit sadar dengan tingkah gue selama ini ke dia. Gue terlalu berlaku seenaknya. “Aku gak paham kak. Terima kasih untuk semua penjelasan kamu. Aku paham semuanya. Tapi, pertanyaan aku cuma satu and it was simple.” Dia diam sebelum mengeluarkan pertanyaan yang lebih terdengar seperti tuntutan untuk fakta. “What are we?”

Kali ini kedua tangan gue kembali berada di pipi Anulika. Menilik tiap bagian dari wajahnya. Apa gue bisa setega itu untuk ngelepasin Anulika? Apa gue bisa ikhlas ngeliat dia dengan orang lain? I don’t think so. Like I said, I’m a selfish person.

I smiled. “That’s the first thing you need to know. Now would you be willing to move to other things?”

Dia menarik hidungnya dan memunculkan suara khas orang pilek.

Tears don't look good at your pretty face, Anulika. In the future, please let me be the one that will erase it for you, not the one who makes your eyes wet…” Dia menggigit bibir bagian dalamnya, menahan semua gejolak tangis. Again. It hurts me. I don’t want to make her cry over the river like this ever again. “Don’t you worry, Anulika. Because I can’t see that seat seated by another person, other than you.”

Kalimat terakhir gue seperti memberikan tiupan energi ke Anulika. Dia mulai perlahan kembali duduk dengan nyaman, bahkan lebih nyaman dibandingkan yang pernah gue lihat. Hal itu membuat gue yakin dengan keputusan yang udah gue buat semalam. I will never ever find someone like her again. Never in this life.

Setelah diam, dia mulai berkata. “Aku boleh makan ini gak? Udah mau leleh.” Dia ngeliat ke tas belanja yang sudah jadi milik dia sepenuhnya. Fokus ke es krim yang tadi sempat merubah sedikit moodnya.

Gue ketawa dan mempersilakan dia untuk makan. “Boleh.”

Gue diam sembari kembali merangkai kata-kata yang tepat. Bersama Anulika di samping yang kali ini sibuk dengan es krimnya. Masih dengan wajah sembab dia mulai melahap es krim tersebut.

Hening yang muncul kali ini lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Walaupun masih ada sedikit hawa dingin di sekitar. Mungkin hawa itu muncul karena es krim milik Anulika.

I’m too selfish, Anulika. Aku egois.” ungkap gue.

Dia mengangguk. “You've stated it before. Gak ada yang salah dengan jadi egois, Kak. Selama gak merugikan orang lain.”

Otomatis gue ngelirik ke dia. “Jadi aku boleh egois?”

“Boleh.” katanya. Kemudian kembali menyendokkan es krim di pangkuannya.

“Kalau gitu aku mau kamu sama aku terus. Aku mau kamu selamanya sama aku.” ungkap gue.

Dia terdiam, berhenti bergerak. Bahkan, sendok yang ada di mulutnya pun tidak dikeluarkannya.

Setelah sepersekian detik, dia menggerutu. “Kak, boleh gak sih aba-aba? Aku lagi jelek banget lagi nyuapin es krim kaya gini?” Bener kan? I will never find someone like her again. Never. “I hate you.” Dia naro es krimnya di dashboard. Kemudian natap gue, “Karena kamu susah ditebak.”

Dia ngambil es krim tadi, kemudian menyodorkannya ke gue. “Mau gak?” tanyanya.

Gue menggeleng dan tersenyum.

“Gak gak gak, kamu harus mau.” tolaknya. “Coba aaa.” Dia memperagakan dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Setelah gue mengikuti, Anulika langsung menyendokkan es krim tersebut ke gue.

“Aku juga mau selamanya sama kamu.” katanya cepat. Dengan tangannya yang masih menyendokkan es krim di mulut gue. Dengan sengaja gue gigit sendok itu, sehingga terlepas dari tangannya. Membuatnya protes, “Ih curang kok respon kamu gak sama kayak aku?” Selanjutnya, kembali terdiam karena gue ngambil tangan kanannya. Membawa tiap jarinya masuk ke dalam sela-sela jari milik gue. Kemudian menariknya ke dalam satu pelukan hangat. This is the perfect moment and I’m successfully made it.

I hope we stay like this, forever. Feel the warmth of each body. I want it forever.

“Tapi, Kak.” Dia sedikit bergumam.

“Hmm?” Gue melonggarkan pelukan kita untuk menatap Anulika.

“Kadang aku bingung, apa sih arti dari selamanya?” Satu pertanyaan singkat milik Anulika cukup menampar gue. Didn’t I ask the same question before? I always said forever, but I didn’t even know the meaning.

Gue kembali memeluk Anulika. “I don’t know. How about we figured it out. Since we’re together now.”

Wait, so what are we?” tanyanya.

“Anulika, I feel the urge to throw up everytime you say those words.” Dia ketawa. “We’re together.” Instead of saying we’re in a relationship or define our relationship. Gue lebih milih untuk bilang kalau kita bersama. “You are mine and I’m yours.

So… We’re together?” I didn’t answer, I just held her tightly and placed my face in the crook of her neck.

Anulika made me realize that one way to accept other people in our life is to accept ourselves first. New people–like her–have zero responsibility for my past trauma.

Anulika Anulika Anulika. Thank you for everything that you gave me. Let’s find the meaning of forever, together.